PERBEDAAN TINGKAT KEBERSIHAN MULUT TERHADAP
KEJADIAN TONSILITIS KRONIK PADA ANAK-ANAK DI
SEKOLAH DASAR (SD) NEGERI 060922
Oleh :
SITI NOOR EDAYU BINTI ENDUT
NIM: 080100277
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBEDAAN TINGKAT KEBERSIHAN MULUT TERHADAP
KEJADIAN TONSILITIS KRONIK PADA ANAK-ANAK DI
SEKOLAH DASAR (SD) NEGERI 060922
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
SITI NOOR EDAYU BINTI ENDUT
NIM: 080100277
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Perbedaan Tingkat Kebersihan Mulut Terhadap Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
Nama : Siti Noor Edayu bin Endut
NIM : 080100277
Pembimbing, Penguji I,
(dr. Farhat, Sp.THT-KL (K)) (dr. Ilhamd, Sp. PD) NIP : 19700316 200212 1 002 NIP: 19662304 199603 1 001
Penguji II
(dr. Mustafa Mahmud Amin, Sp. KJ) NIP: 19780330 200501 1 003
Medan, 21 Desember 2011
Dekan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Tonsilitis kronik dapat terjadi akibat tonsilitis akut yang tidak diterapi, ataupun diterapi namun tidak adekuat, dan bisa juga dikarenakan adanya penyebaran dari infeksi kronik lainnya seperti sinusitis dan rinitis. Tonsilitis kronik pada anak kemungkinan besar disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang berulang, tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat dan kurangnya perawatan terhadap kebersihan mulut dapat menjadi salah satu faktor risikonya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis kronik pada anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara total sampling dimana populasinya terdiri dari siswa/siswi Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922, Medan mulai dari kelas I sampai kelas VI dengan jumlah total 220 orang. Semua responden, baik yang penderita maupun yang bukan penderita tonsilitis kronik, dilakukan pemeriksaan dan diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya
Responden terdiri dari 44.1% laki-laki dan 55.9% responden perempuan. Tonsilitis kronik lebih sering dijumpai pada responden dengan jenis kelamin laki-laki (58.8%) dibandingkan yang perempuan (41.2%). Responden dengan kelompok usia 8 hingga 11 tahun tahun mempunyai persentasi tertinggi kasus tonsilitis kronik (69.4%). Responden yang berasal dari status ekonomi rendah paling banyak menderita tonsilitis kronik dengan persentase 67.1%. Didapatkan juga jumlah responden dengan riwayat perawatan gigi yang jelek mempunyai persentase menderita tonsilitis kronik yang lebih tinggi berbanding responden dengan riwayat perawatan gigi yang baik (77.6%). Berdasarkan hasil uji Chi Square pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis kronik di kalangan anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922, Medan.
Peneliti yang lain diharapkan dapat meneruskan penelitian ini dengan memperbanyak jumlah responden yang meliputi usia sekolah dan usia dewasa. Peneliti lain juga dapat menambahkan variabel-variabel lain seperti kelainan anatomis pada rongga mulut dan tonsil, akibat lahir premature, penyakit dan penggunaan obat-obat tertentu, dan lain-lain.
ABSTRACT
Chronic tonsillitis may be caused by untreated acute tonsillitis, treated acute tonsillitis with inadequate medicine, or spread chronic infection such as sinusitis or rhinitis. Chronic tonsillitis in children may be caused by repeated Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) or untreated acute tonsillitis or treated acute tonsillitis with inadequate medicine with poor oral hygiene as risk factor. The aim of this study is to know the difference of oral hygiene level towards the incidence chronic tonsillitis among the pupils at Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
This study uses Total Sampling technique where the population of the samples is all the pupils at Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922, Medan with total samples 220. All the respondents that may have and may not have chronic tonsillitis were been checked based on the checklist form and got the image of their characteristic.
The respondents consist of 44.1% boys and 55.9% girls. Chronic tonsillitis is often found in the male respondents (58.8%) compared to female respondents (41.2%). The total number of respondents from the second group of age (pupils from 8 to 11 years old) has the highest percentage of having chronic tonsillitis (69.4%). Respondents from low economic status have the highest percentage of having chronic tonsillitis (67.1%). Also obtained the number of respondents with poor oral hygiene that have chronic tonsillitis is higher than the respondents with good oral hygiene (77.6%). Based on Chi Square Test, the result of this study indicates that there is difference of oral hygiene level towards the incidence of chronic tonsillitis among the pupils at Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
Other researchers are encouraged to continue this research by increasing the number of samples included children at school age and adolescents. Other researchers can also add other variables such as anatomy defect in oral cavity and tonsil, premature birth, diseases, medications and so forth.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia, rahmat
kesehatan dan keselamatan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan
penelitian ini tepat pada waktunya. Judul yang dipilih adalah “Perbedaan Tingkat
Kebersihan Mulut Terhadap Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak-anak di
Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922”.
Dalam penulisan hasil penelitian ini, peneliti telah banyak mendapat
bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin menyampaikan terima
kasih kepada :
1. dr. Farhat, SpTHT-KL(K) selaku dosen pembimbing, dr. Ilhamd, Sp.PD selaku
dosen penguji 1 dan dr. Mustafa Mahmud Amin, Sp.KJ selaku dosen penguji 2
serta seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa
pendidikan.
2. Teman-teman kelompok satu bimbingan yaitu Yeong Huei Yiaw dan Siska
Febrina serta teman-teman peneliti lainnya yaitu Wan Alyaa Atiqah binti Wan
Zainalam, Syarifah Emirlia binti Sawaludin, Maidzatul Syima binti Mahadzir,
Farhana binti Mohd. Amirruddin dan Nazrul Amar bin Husin yang telah
banyak memberikan saran dan bantuan kepada peneliti selama penyusunan
hasil penelitian.
3. Orang tua peneliti yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun
material dan keluarga yang telah banyak memberikan motivasi kepada peneliti.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan hasil penelitian ini masih terdapat
banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan akibat keterbatasan ilmu pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki peneliti. Oleh karena itu, semua saran dan kritik
akan menjadi sumbangan yang sangat berarti guna menyempurnakan penelitian
Akhirnya peneliti ingin mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, bangsa dan negara, serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
Medan, 21 Desember 2011,
Peneliti,
SITI NOOR EDAYU BINTI ENDUT
DAFTAR ISI
Daftar Istilah/Singkatan ... viii
Daftar Gambar ... ix
2.3.2. Pembersihan Rongga Mulut Secara Mekanik ... 12
2.3.3. Tingkat Kebersihan Mulut ... 13
2.3.4. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kebersihan Mulut . 15 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL... 16
3.1. Kerangka Konsep... 16
3.2. Defenisi Operasional... 16
3.3. Skala Pengukuran... 19
BAB 4 METODE PENELITIAN... 20
4.1. Jenis Penelitian ... 20
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 20
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 20
4.5. Pengolahan dan Analisa Data... 21
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 22
5.1. Hasil Penelitian ………... 22
5.1.1. Deskripsi Lokasi penelitian ………... 22 5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……….. 22 5.1.3. Hasil Analisa Data.…... 33
5.2. Pembahasan……….…. 35 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 37
6.1. Kesimpulan... 37
6.2. Saran... 38
DAFTAR PUSTAKA... 39
DAFTAR ISTILAH / SINGKATAN
1. GALT gut associated lymphoid tissue
2. GABHS group A β-hemolytic Streptococcus
3. ISPA infeksi saluran pernafasan akut
4. LED laju endap darah
5. OHI-S Oral Hygiene Index Simplified
6. UKG Ultra Korte Golof
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.3.3.1 Debris Index (D.I) Greene and Vermillion (1964)... 14
Tabel 2.3.3.2 Calculus Index (C.I.) Greene and Vermillion (1964)... 14
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin……… 23
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok
Umur……… 23
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status
Ekonomi……….. 24
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi 25
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat
Perawatan Gigi……… 25
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat
Kebersihan Mulut……… 26
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Dengan dan Tanpa
Tonsilitis Kronik………. 26
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Kebersihan Mulut
Berdasarkan Kelompok Umur………. 27
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik
Berdasarkan Jenis Kelamin………. 28
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik
Berdasarkan Kelompok Umur………. 29
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik
Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik
Berdasarkan Status Gizi……….. 31
Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik
Berdasarkan Riwayat Perawatan Gigi………. 32
Tabel 5.14 Hasil Uji Tabulasi Silang Tingkat Kebersihan Mulut
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP………. 25
LAMPIRAN 2 FORMULIR PERSETUJUAN
(Informed Consent)... 26
LAMPIRAN 3 DAFTAR PEMERIKSAAN PENELITIAN.... 28
LAMPIRAN 4 TABEL INDEKS MASSA TUBUH – UMUR
(CDC 2000)……….. 30
LAMPIRAN 5 SURAT IZIN PENELITIAN
(Ethical Clearance)……… 49
LAMPIRAN 6 SURAT PERNYATAAN SEKOLAH……… 50
LAMPIRAN 7 DATA INDUK……… 51
LAMPIRAN 8 FREKUENSI DAN DESKRIPTIF
RESPONDEN………. 59
ABSTRAK
Tonsilitis kronik dapat terjadi akibat tonsilitis akut yang tidak diterapi, ataupun diterapi namun tidak adekuat, dan bisa juga dikarenakan adanya penyebaran dari infeksi kronik lainnya seperti sinusitis dan rinitis. Tonsilitis kronik pada anak kemungkinan besar disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang berulang, tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat dan kurangnya perawatan terhadap kebersihan mulut dapat menjadi salah satu faktor risikonya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis kronik pada anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara total sampling dimana populasinya terdiri dari siswa/siswi Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922, Medan mulai dari kelas I sampai kelas VI dengan jumlah total 220 orang. Semua responden, baik yang penderita maupun yang bukan penderita tonsilitis kronik, dilakukan pemeriksaan dan diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya
Responden terdiri dari 44.1% laki-laki dan 55.9% responden perempuan. Tonsilitis kronik lebih sering dijumpai pada responden dengan jenis kelamin laki-laki (58.8%) dibandingkan yang perempuan (41.2%). Responden dengan kelompok usia 8 hingga 11 tahun tahun mempunyai persentasi tertinggi kasus tonsilitis kronik (69.4%). Responden yang berasal dari status ekonomi rendah paling banyak menderita tonsilitis kronik dengan persentase 67.1%. Didapatkan juga jumlah responden dengan riwayat perawatan gigi yang jelek mempunyai persentase menderita tonsilitis kronik yang lebih tinggi berbanding responden dengan riwayat perawatan gigi yang baik (77.6%). Berdasarkan hasil uji Chi Square pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis kronik di kalangan anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922, Medan.
Peneliti yang lain diharapkan dapat meneruskan penelitian ini dengan memperbanyak jumlah responden yang meliputi usia sekolah dan usia dewasa. Peneliti lain juga dapat menambahkan variabel-variabel lain seperti kelainan anatomis pada rongga mulut dan tonsil, akibat lahir premature, penyakit dan penggunaan obat-obat tertentu, dan lain-lain.
ABSTRACT
Chronic tonsillitis may be caused by untreated acute tonsillitis, treated acute tonsillitis with inadequate medicine, or spread chronic infection such as sinusitis or rhinitis. Chronic tonsillitis in children may be caused by repeated Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) or untreated acute tonsillitis or treated acute tonsillitis with inadequate medicine with poor oral hygiene as risk factor. The aim of this study is to know the difference of oral hygiene level towards the incidence chronic tonsillitis among the pupils at Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
This study uses Total Sampling technique where the population of the samples is all the pupils at Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922, Medan with total samples 220. All the respondents that may have and may not have chronic tonsillitis were been checked based on the checklist form and got the image of their characteristic.
The respondents consist of 44.1% boys and 55.9% girls. Chronic tonsillitis is often found in the male respondents (58.8%) compared to female respondents (41.2%). The total number of respondents from the second group of age (pupils from 8 to 11 years old) has the highest percentage of having chronic tonsillitis (69.4%). Respondents from low economic status have the highest percentage of having chronic tonsillitis (67.1%). Also obtained the number of respondents with poor oral hygiene that have chronic tonsillitis is higher than the respondents with good oral hygiene (77.6%). Based on Chi Square Test, the result of this study indicates that there is difference of oral hygiene level towards the incidence of chronic tonsillitis among the pupils at Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
Other researchers are encouraged to continue this research by increasing the number of samples included children at school age and adolescents. Other researchers can also add other variables such as anatomy defect in oral cavity and tonsil, premature birth, diseases, medications and so forth.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kebersihan (hygiene) merupakan satu bidang pengetahuan yang
berhubungan dengan lingkungan dan meneliti tentang kepentingan lingkungan
dan kesannya terhadap tubuh manusia. Dalam konsep yang lain, kebersihan mulut
merupakan faktor yang penting yang dapat mengelakkan seseorang daripada
menderita karies gigi dan penyakit-penyakit mulut yang lain. Edukasi tentang
kebersihan mulut juga sangat penting dalam bidang kedokteran gigi karena ia
merupakan satu cara dalam meningkatkan kesedaran dan memotivasi masyarakat
umum tentang mengekalkan kebersihan mulut yang bagus (Krawczyk et al.,
2006).
Tonsil adalah salah satu jaringan limfoid pada tubuh manusia selain
kelenjar limfe, limpa, timus, adenoid, apendiks (usus buntu), agregat jaringan
limfoid di lapisan dalam saluran pencernaan yang disebut bercak Peyer atau gut
associated lymphoid tissue (GALT), dan sum-sum tulang. Jaringan limfoid
mengacu secara kolektif pada jaringan yang menyimpan, menghasilkan, atau
mengolah limfosit. Limfosit yang menempati tonsil berada di tempat yang
strategis untuk menghalang mikroba-mikroba yang masuk melalui inhalasi atau
dari mulut (Sherwood, 2001).
Tonsilitis kronik pula merupakan peradangan pada tonsila palatina yang
lebih dari 3 bulan ataupun tonsilitis akut yang berulang. Menurut kajian yang
dilakukan oleh National Center of Health Statistics pada Januari 1997 di United
State, penyakit kronik pada tonsil dan adenoid adalah tinggi, dengan prevalensi
24,9% per 1000 orang anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. (Collin, 1997).
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi di Indonesia pada
tahun 1994-1996, prevalensi kejadian tonsilitis kronik adalah yang tertinggi
setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebanyak 3,8%. Insiden tonsilitis kronik di
RS Dr. Kariadi Semarang mencapai 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15
dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari
seluruh jumlah kunjungan (Farokah et al., 2007).
Mengingat pentingnya menjaga kebersihan mulut untuk mencegah
terjadinya infeksi pada rongga mulut terutama pada tonsil yang bertindak sebagai
sistem pertahanan tubuh, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini
dan melihat bagaimanakah perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian
tonsilitis kronik dikalangan anak-anak.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Diperlukan suatu penelitian evaluatif untuk menjawab pertanyaan
bagaimana perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis kronik
dikalangan anak-anak. di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian
tonsilitis kronik di kalangan anak-anak sekolah dasar
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbedaan kelompok usia terhadap penjagaan kebersihan
mulut di kalangan anak-anak sekolah dasar
2. Mengetahui perbedaan kelompok usia terhadap kejadian tonsilitis kronik
di kalangan anak-anak sekolah dasar
3. Mengetahui perbedaan jenis kelamin terhadap kejadian tonsilitis kronik
di kalangan anak-anak sekolah dasar
4. Mengetahui perbedaan tingkat status ekonomi terhadap kejadian tonsilitis
kronik di kalangan anak-anak sekolah dasar
5. Mengetahui perbedaan tingkat status gizi terhadap kejadian tonsilitis
kronik di kalangan anak-anak sekolah dasar
6. Mengetahui perbedaan tingkat riwayat perawatan gigi terhadap kejadian
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan kepada masyarakat
terutama orang tua yang mempunyai anak-anak usia sekolah dasar dalam
menjaga dan meningkatkan kebersihan mulut yang merupakan salah satu
usaha pencegahan tonsilitis kronik.
2. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu
metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang dampak
penjagaan kebersihan mulut yang kurang terhadap kejadian tonsilitis
kronik di kalangan anak-anak usia sekolah dasar.
3. Bagi Institusi
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau sumber informasi untuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI RONGGA MULUT
Tonsil adalah satu struktur yang sangat penting dalam sistem pertahanan
tubuh terutama pada protein asing yang dimakan atau dihirup. Sifat mekanisme
pertahanan pada tonsil adalah secara spesifik atau non spesifik. Sel-sel fagositik
mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi antigen apabila patogen
menembus lapisan epitel. Tonsil berbentuk oval dan berada di ruang berbentuk
segitiga yang dibentuk oleh palatum dan lidah (palatoglossus) yang juga dikenal
sebagai plika anterior dan ruang antara palatum dan faring (palatofaringeus) yang
juga dikenali sebagai plika posterior. Pada masa anak, ukuran tonsil adalah paling
besar dan ukuran ini akan mengecil secara bertahap pada saat pubertas (Farokah et
al., 2007).
Jaringan limfoid di dalam mulut tidak berhubungan dengan mulut, tidak
seperti jaringan limfoid pada usus yang berhubungan dengan usus (gut-associated
lymphoid tissues) serta jaringan limfoid pada paru-paru yang berhubungan dengan
bronkus. Agregasi limfoid di dalam mulut terdiri dari 3 tipe yang utama dan
berperanan sebagai pengawasan imunologi jaringan mulut.
1. Tonsil palatum : Tonsil palatum merupakan massa limfoid yang berpasangan
antara mulut dan faring yang tertanam di antara glosso-palatinal dan
lengkungan faringopalatinal. Tonsil ini dibungkus oleh sel-sel gepeng yang
menyusup ke dalam jaringan limfoid membentuk 10-20 lubang. Sel-sel
retikulum dan limfosit ditemukan di bawah epitel. Peningkatan permeabilitas
benda-benda asing dikawal oleh epitel kripta yang dapat ditemukan di dalam
makrofag. Folikel limfoid mengandung sel-sel B yang berpoliferasi dalam
pusat germinal dan bergerak sebagai limfosit B atau sel plasma; karena itu
sel-sel ini berkembang secara lokal di dalam tonsil. Studi imunofluresensi
menunjukkan bahwa sel selaput IgG yang terwarnai jauh lebih banyak
dibanding dengan IgA dan selaput IgA sebaliknya lebih banyak dibandingkan
serta mitogen sel-T dan sel-B yang dapat menimbulkan kekebalan primer dan
sekunder bereaksi in vintro dengan sel tonsil yang menyerupai kelenjar getah
bening. Jalur aferen antigen langsung melewati kripta, sehingga hanya antigen
lokal yang dapat masuk. Antibodi dan sel-sel yang peka dapat melewati epitel
dan oleh itu mempunyai fungsi perlindungan lokal dalam membentengi saluran
pencernaan dan pernafasan.
2. Tonsil lidah : Merupakan struktur yang kurang menonjol pada tiap sisi lidah, di
belakang papilla sirkumvalat. Kripta terhasil daripada epitel-epitel gepeng yang
menyusup masuk ke dalam jaringan limfoid. Sel-sel dibersihkan dengan
adanya duktus kelenjar mukosa yang bermuara ke dalam kripta. Semua ini
memungkinkan tonsil lidah bebas dari sisa-sisa kotoran dan infeksi.
3. Tonsil faring (adenoid) : Merupakan massa jaringan limfoid yang sederhana,
terdapat di bawah mukosa nasofaring. Walaupun terdapat di luar rongga mulut,
adenoid melengkapi cincin jaringan limfoid yang memisahkan mulut dan
hidung dari faring (Lehner, 1995).
2.2. TONSILITIS KRONIK
2.2.1. Definisi
Secara umum, tonsilitis kronik dapat didefinisikan sebagai infeksi atau
peradangan pada tonsila palatina lebih dari 3 bulan. Kronik yang dimaksudkan
adalah terjadinya perubahan histologi pada tonsil, dan terdapatnya jaringan
fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang.
Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi
bagi organ-organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi
adalah sumber bakteri / kuman di dalam tubuh dimana kuman atau
produk-produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat
menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau
bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau
gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi (Siswantoro,
2.2.2. Etiologi
Tonsilitis kronik dapat disebabkan oleh tonsilitis akut yang tidak diterapi,
diobati dengan obat yang tidak adekuat, atau menyebarnya infeksi kronik seperti
sinusitis dan rinitis. Higiene mulut yang jelek, iritasi kronik akibat rokok atau
makanan, sistem imun tubuh yang rendah, dan pengaruh cuaca dapat menjadi
faktor risiko terjadinya tonsilitis kronik. Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak
mungkin disebabkan oleh karena anak sering menderita infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) atau karena tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau
dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat
pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Dari hasil
penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) : streptokokus alfa merupakan penyebab
tersering dan diikuti stafilokokus aureus, streptokokus beta hemolitikus grup A,
stafilokokus epidermis dan kuman gram negatif yaitu enterobakter, pseudomonas
aeruginosa,klebsiella dan E. coli yang didapat ketika dilakukan kultur apusan
tenggorok. (Farokah et al., 2007)
Produksi bahan-bahan oksidasi terjadi semasa proses inflamasi
berlangsung. Antioksidan berperan dalam meneutralkan kerusakan yang berlaku
akibat proses inflamasi. Oleh karena tonsilitis kronik merupakan proses
peradangan yang kronik pada orofaring dan nasofaring, terdapat satu
kemungkinan yang bermakna pada keseimbangan bahan oksidan dan antioksidan
yang terlibat dalam proses dan tingkat keparahan penyakit ini. Walau
bagaimanapun, patogenesis bagaimana bahan oksidan dan antioksidan ini dalam
menyebabkan terjadinya tonsilitis kronik belum dapat difahami dengan sempurna
(Yılmaz et al., 2004).
2.2.3. Patofisiologi
Terdapat beberapa barier dalam rongga mulut yang dapat mencegah
terjadinya penetrasi bakteri dari plak gigi ke jaringan :
1. Barier fisis pada permukaan epitel mukosa
3. Barier elektrik dimana terdapat beda muatan pada dinding sel antara
pejamu dan mikroba
4. Barier imunologik dari sel-sel pembentuk imunologi
5. Barier fagosit yang terdiri dari sistem retikuloendotelial
Penetrasi bakteri dapat dicegah dan dikurangi oleh sistem barier ini yang
bekerjasama pada keadaan normal. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik
atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri
dan produknya yang merupakan faktor virulen (lipopolisakaraida=LPS) akan
melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Tonsil yang
bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan berespons terhadap
stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons imunologis dengan mengaktivasi
sel-sel mediator inflamasi yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme
jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang pada tonsil (Santoso et al., 2009).
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke
tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan
dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil
berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak
memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa
membunuh kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan
akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.
Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan
imun yang menurun (Siswantoro, 2003).
2.2.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tonsilitis ditandai oleh gejala-gejala di hidung, nyeri
tenggorok, dan kemerahan yang menyeluruh pada tonsil. Umumnya disebabkan
oleh virus. Tonsilitis streptokokus lebih jarang ditemukan dan biasanya ditandai
Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik. Gejala
yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan
menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala sistemik
tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri tenggorok atau merasa tidak
enak di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang seperti benda asing
(pancingan) di tenggorok. Pada tonsil yang mengalami infeksi kronik, akan terjadi
fibrotasasi yaitu sebagian jaringan tonsil akan rusak dan digantikan oleh jaringan
ikat. Tarikan-tarikan pada lobuli tonsil akan terjadi karena adanya fibrosis
sehingga kripta akan melebar dan menyebabkan permukaan tonsil akan menjadi
tidak rata dan berbenjol-benjol. Pembesaran kelenjar limfe subangulus dapat
terjadi karena tonsil mempunyai saluran limfe eferen ke kelenjar tersebut dan
menyebabkan infeksi kelenjar subangulus (Farokah et al., 2007).
Tonsilitis kronik akan menyebabkan sakit tenggorokan rekuren, atau
persisten dan gangguan menelan atau pernafasan, walaupun yang terakhir
disebabkan oleh kelenjar adenoid yang membesar. Tonsila akan memperlihatkan
pelbagai darjat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Nafas penderita
bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat
obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat
menyebabkan hipertensi pulmonal (Delf dan Manning, 1996).
2.2.5. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus
atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenjar leher
dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan (Herawati dan Rukmini S, 2003).
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 – T4. Cody& Thane
T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula
T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½
jarak pilar anterior-uvula
T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾
jarak pilar anterior-uvula
T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.
Fokal infeksi pada tonsil dapat diperiksa dengan melakukan beberapa tes.
Dasar dari tes-tes ini adalah adanya kuman yang bersarang pada tonsil dan apabila
tes dilakukan, terjadi transportasi bakteri, toksin bakteri, protein jaringan fokal,
material lymphocyte yang rusak ke dalam aliran darah ataupun dengan perkataan
lain akan terjadi bakterimia yang dapat menimbulkan kenaikan pada jumlah
lekosit dan LED. Dalam keadaan normal jumlah lekosit darah berkisar antara
4000-10000/mm3 darah.Tes yang dapat dilakukan adalah seperti :
1. Tes masase tonsil : salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5
menit dengan kain kasa, jikalau 3 jam kemudian didapati kenaikan lekosit lebih
dari 1200/mm3 atau kenaikan laju endap darah (LED) lebih dari 10 mm
dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.
2. Penyinaran dengan UKG : tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4 jam
kemudian diperiksa jumlah lekosit dan LED. Jika terdapat kenaikan jumlah
lekosit lebih dari 2000/mm3 atau kenaikan LED lebih dari 10 mm dibandingkan
sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.
3. Tes hialuronidase : periksa terlebih dahulu jumlah lekosit, LED dan temperatur
oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam setelah diinjeksi, jika
didapati kenaikan temperatur 0.3o C, kenaikan jumlah lekosit lebih dari
Terjadinya peningkatan lekosit karena lekosit terutama akan tertarik
terhadap produk-produk yang dihasilkan kuman dan dilepaskan oleh jaringan
yang cedera. Namun, bakterimia yang terjadi karena rangsang terhadap fokal
infeksi biasanya bersifat sementara dengan demikian akan terjadi kenaikan jumlah
lekosit dan LED yang bersifat sementara juga (Siswantoro, 2003).
2.2.6. Penatalaksanaan
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering
dilakukan pasa pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan
pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi
dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi
seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi (Amarudin dan
Christanto, 2007).
Tonsilitis kronik merupakan salah satu penyakit otorinolaring yang paling
sering dan tonsilektomi merupakan satu dari bermacam prosedur operasi yang
dilakukan sebagai tatalaksana untuk pasien yang menderita penyakit tonsilitis
kronik. Masih terdapat kontroversi tentang keefektifan tonsilektomi yang
dilakukan pada pasien yang dewasa karena kurangnya bukti tentang hal tersebut.
Penelitian banyak menunjukkan bahwa kaedah tonsilektomi sangat efektif
dilakukan pada pasien anak-anak yang menderita tonsilitis berulang (Skevas et al.,
2010).
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik.
Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala
yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh
streptokokus perlu diobati dengan penisilin V secara oral, cefalosporin, makrolid,
klindamicin, atau injeksi secara intramuskular penisilin benzatin G. Terapi yang
menggunakan penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh itu penggunaan antibiotik
2.2.7. Komplikasi
Tonsil dan adenoid yang sangat besar dapat menyebabkan obstruksi jalan
nafas sehingga menimbulkan apnea ketika tidur dan hipertensi pulmonal yang
jarang terjadi. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien dengan tonsilitis
kronik adalah scarlet fever, glomerulonefritis akut dan demam rematik tetapi
jarang dijumpai (Hull dan Johnston, 2008).
Anak dengan tonsilitis kronik dapat terganggu fisiologisnya bahkan
kadang sampai tidak sekolah karena sakit yang selanjutnya dapat mempengaruhi
proses dan hasil belajarnya. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan
obstruksi saluran nafas atas yang dapat mengakibatkan gangguan pada kondisi
fisiologis dan psikologis sehingga proses belajar menjadi terganggu yang pada
akhirnya mempengaruhi prestasi belajar. Ganong (1977) menyebutkan bahwa
dalam keadaan hipoksia maka otak merupakan salah satu organ yang pertama
terkena akibatnya. Hipoksia dapat menyebabkan mengantuk, gelisah, perasaan
sakit yang samar-samar, sakit kepala, anoreksia, nausea, takikardi dan hipertensi
pada hipoksia yang berat. (Farokah et al., 2007)
2.3. KEBERSIHAN MULUT
2.3.1. Definisi
Kebersihan mulut adalah kondisi atau perlakuan dalam menjaga jaringan
dan struktur dalam rongga mulut tetap berada di tahap yang sehat. Rongga mulut
telah diketahui dapat menjadi satu tempat yang efektif untuk patogen membiak.
Kebersihan mulut yang jelek dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti
tonsilitis, gingivitis, halitosis, xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi
pada rongga toraks dengan kebersihan mulut yang jelek. Penjagaan kebersihan
mulut adalah sangat penting dan perlu dijadikan sebagai satu rutin kebersihan
secara general pada seseorang (Satku, 2004).
Penjagaan kebersihan mulut yang jelek dapat meningkatkan risiko
seseorang untuk mendapat penyakit pada mulut terutamanya akumulasi bakteri
infeksi terutamanya infeksi bakteri group A β-hemolytic Streptococcus (GABHS)
sehingga berlanjut ke komplikasi yang lebih parah telah lama diketahui. Satu
penelitian mendapati adanya hubungan antara infeksi GABHS yang persisten dan
penggunaan sikat gigi yang dicuci dengan cairan steril mendapati kultur GABHS
adalah negatif dalam masa 3 hari, dan pada sikat gigi yang tidak dicuci dengan
cairan steril, kultur GABHS adalah persisten hingga 15 hari (Desai et al., 2008).
2.3.2. Pembersihan Rongga Mulut Secara Mekanik
Kebersihan sisi-sisi mulut secara alami dipertahankan oleh kerja otot lidah,
pipi dan bibir. Aktivitas ini banyak dibantu oleh saliva dengan penambahan
lubrikasi pada pergerakan semasa berbicara, menghisap, menelan yang
memungkinkan bakteria, leukosit, jaringan dan sisa-sisa makanan ke dalam perut,
tempat di mana bakteria atau bahan-bahan yang dapat menyebabkan penyakit
menjadi tidak aktif.
Kebiasaan meludah, secara fisiologik adalah efektif bagi individu dalam
mempertahankan kebersihan mulut, tetapi berbahaya terhadap lingkungan karena
dapat menyebarkan jasad renik yang infeksius. Aliran terus-menerus dari saliva
tanpa stimulasi ataupun pada keadaan istirahat, menunjukkan rata-rata 19 ml/jam.
Jumlah ini akan meningkat dengan rangsangan psikis, seperti pada saat
memikirkan makanan. Walau bagaimanapun, terdapat perbedaan yang besar pada
aliran saliva pada masing-masing individu semasa keadaan istirahat
(0,5-111ml/jam). Pada suatu waktu penderita dengan demam dan dehidrasi sering
mengalami infeksi sepanjang duktus kelenjar liur, yang disebabkan oleh
penurunan aliran saliva dan seterusnya menyebabkan menurunnya tahap
kebersihan mulut. Hal ini akan mengakibatkan stasis dan infeksi pada duktus,
yang sering menyebabkan parotitis dan tonsilitis (Lehner, 1995).
Penggunaan sikat gigi merupakan lini pertama dalam pembersihan mulut
kecuali pada pasien yang sering mengalami perdarahan, nyeri atau aspirasi.
Rasional menggunakan sikat gigi karena sikat gigi sangat efektif untuk
mengurangkan plak dan mengelakkan terjadinya infeksi pada mulut. Selain itu,
aproksimal dan celah-celah gigi serta lebih ekonomis. Sikat gigi yang bagus
digunakan adalah sikat gigi yang mempunyai bulu yang lembut dan ujung yang
kecil karena dapat menyingkirkan plak dengan efisien dan meminimalkan
kejadian trauma pada gusi. Gigi harus disikat sekurang-kurangnya 2 kali sehari,
sebaiknya selepas bangun dari tidur dan sebelum tidur.
Busa pembersih (foam swabs) pula kebanyakannya digunakan apabila
penggunaan sikat gigi tidak direkomendasikan seperti pada orang-orang tua dan
pasien yang sering mengalami pendarahan gusi. Rasionalnya adalah karena busa
pembersih lebih lembut berbanding sikat gigi dan dapat mengurangkan terjadinya
trauma pada rongga mulut. Pasien dengan jumlah platlet yang kurang lebih rentan
terhadap terjadinya pendarahan gusi semasa menyikat gigi. Oleh itu, busa
pembersih dapat digunakan sebagai pengganti sikat gigi untuk tetap menjaga
kebersihan dan kesehatan mukosa pada rongga mulut serta mengurangkan
terjadinya abrasi dan trauma pada rongga mulut. Busa pembersih juga dapat
meningkatkan peredaran darah pada rongga mulut dan seterusnya meningkatkan
produksi saliva yang bertindak secara alami dalam menjaga rongga mulut agar
tetap bersih dan sehat. Walau bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa penggunaan
busa pembersih tidak boleh digunakan berlama-lama tanpa keperluan. Berbanding
sikat gigi, busa pembersih menyingkirkan debris dan plak lebih sedikit pada gigi,
terutama di area yang terlindung pada gigi dan jaringan gusi. Penggunaan yang
berlama-lama boleh memperparah masalah gigi tersebut (Satku, 2004).
2.3.3. Tingkat Kebersihan Mulut
Secara klinis tingkat kebersihan mulut dinilai dalam suatu kriteria
penilaian khusus yaitu Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) dari Greene dan
Vermillion. Kriteria ini dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris
dan karang gigi kalkulus. Indeks debris yang dipakai adalah Debris Index (D.I)
Tabel 2.3.3.1 Debris Index (D.I) Greene and Vermillion (1964)
NILAI KRITERIA DEBRIS LUNAK
0 tidak ada debris lunak
1 terdapat selapis debris lunak menutupi tidak lebih dari1/3 permukaan
gigi
2 terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi
tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi
3 terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi
Sumber : Indeks-indeks untuk penyakit gigi (Bahan Ajar). Medan: Bagian Ilmu
Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG USU, 2001
Sedangkan indeks kalkulus yang digunakan adalah Calculus Index (C.I.)
Greene and Vermillion (1964) yaitu :
Tabel 2.3.3.2 Calculus Index (C.I.) Greene and Vermillion (1964)
NILAI KRITERIA KALKULUS SUPRAGINGIVA
0 tidak ada kalkulus
1 kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari ⅓ permukaan gigi
2 kalkulus supragingiva menutupi lebih dari ⅓ permukaan gigi tetapi
tidak lebih dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus subgingival berupa
bercak hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
3 kalkulus supragingiva menutupi lebih dari ⅔ permukaan gigi atau
kalkulus subgingiva berupa cincin hitam di sekitar leher gigi atau
terdapat keduanya
Sumber : Indeks-indeks untuk penyakit gigi (Bahan Ajar). Medan: Bagian Ilmu
Kriteria debris lunak dan kalkulus supragingiva diperiksa pada 1 buah gigi
di setiap 6 segmen tertentu yaitu bukal kiri, labial dan bukal kanan untuk rahang
atas dan rahang bawah. Jadi, jumlah gigi yang diperiksa adalah 6 buah. Untuk
mengetahui indeks debris lunak, nilai kriteria debris lunak yang didapat pada
setiap segmen dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah segmen yaitu 6. Pengiraan
yang sama dilakukan untuk mengetahui indeks kalkulus supragingiva. Indeks
kebersihan mulut diperoleh dengan menjumlahkan nilai indeks debris dan indeks
kalkulus (Raharjanto, 2006).
2.3.4. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kebersihan Mulut
Kesehatan mulut tergantung pada keutuhan mukosa yang merupakan
kesatuan sejumlah struktur anatomi berkaitan dengan kesinambungan kulit bibir
pada pertemuan mukokutaneus dengan faring ataupun laring melalui orofaring.
Terdapat faktor lain yang berperan dalam mempertahankan kesehatan mulut
supaya tetap berada di tahap yang sehat yaitu aliran saliva, cairan saku gingival,
dan sistem pertahanan humoral dan selular (Lehner, 1995).
Pada bidang kesehatan gigi, kebersihan mulut mempunyai peranan
penting, karena kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan timbulnya
berbagai macam penyakit baik lokal maupun sistemik. Tingkat kebersihan mulut
yang telah dijelaskan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pola makan,
kebiasaan menggosok gigi secara benar dan teratur, susunan gigi geligi dan
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. KERANGKA KONSEP
Yang menjadi kerangka konsep pada penelitian dengan judul “Perbedaan
Tingkat Kebersihan Mulut Terhadap Kejadian Tonsilitis Kronik di
Kalangan Anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922” dapat dilihat
pada bagan sebagai berikut:
3.2.1. Kebersihan mulut adalah kondisi atau perlakuan dalam menjaga jaringan
dan struktur dalam rongga mulut tetap berada di tahap yang sehat yang
dilihat berdasarkan Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) Greene and
Vermillion (1964).
a) Cara ukur: Melakukan pemeriksaan debris dan kalkulus pada
responden sesuai daftar pemeriksaan dengan bantuan dokter
b) Hasil ukur:
3.2.2. Usia adalah karakteristik usia yang dikaji berdasarkan golongan usia
anak-anak di sekolah dasar yaitu 5 – 12 tahun.
3.2.3. Jenis kelamin adalah anak-anak laki-laki dan perempuan.
3.2.4. Status ekonomi adalah kemampuan suatu keluarga untuk memenuhi
kebutuhan sandang pangan dan kebutuhan lain yang menunjang dalam
hidup bermasyarakat.
a) Cara ukur: Menanyakan pada responden jumlah gaji orang tua dan
dibagikan kepada status ekonomi tinggi, sedang dan rendah
berdasarkan Upah Minimal Regional Kota Medan 2011.
b) Hasil ukur :
3.2.5. Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk
anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status
gizi anak dilihat pada tabel Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index)
berdasarkan umur anak yang dikeluarkan oleh CDC tahun 2004.
HASIL JUMLAH INDEKS DEBRIS DAN
INDEKS KALKULUS
Baik 0,0 – 1,2
Sedang 1,3 – 3,0
Jelek 3,1 – 6,0
STATUS EKONOMI JUMLAH GAJI ORANG TUA
Tinggi >Rp2.000.000,00
Sedang Rp1.000.000,00 - Rp2.000.000,00
a) Cara ukur: Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan
responden kemudian dilakukan pengiraan Indeks Massa Tubuh bagi
setiap responden. Status gizi responden diinterpretasikan sesuai dengan
tabel Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index) berdasarkan umur anak
yang dikeluarkan oleh CDC tahun 2000.
b) Hasil ukur:
3.2.6. Riwayat perawatan gigi adalah upaya yang dilakukan agar gigi tetap
sehat dan dapat menjalankan fungsinya. Riwayat perawatan gigi dilihat
berdasarkan Indeks DMF-T (DMF-Teeth) yang menggambarkan
banyaknya karies yang diderita seseorang. Indeks DMF-T (DMF-Teeth)
diguna pakai untuk menilai tahap kesehatan gigi anak dan dewasa. Yang
dimaksudkan dengan DMF-T adalah:
- Decay :Jumlah gigi karies yang tidak ditambal / yang masih dapat
ditambal.
- Missing : Jumlah gigi yang indikasi untuk dicabut / gigi yang telah
hilang karena karies.
- Filling : Jumlah gigi yang telah ditambal dan masih baik.
a) Cara ukur: Menghitung indeks DMF-T pada responden yaitu dengan
STATUS GIZI INTERPRETASI PADA TABEL
Kurang < 5th percentile
Normal 5th – 85th percentile
3.2.7. Tonsilitis kronik adalah infeksi atau peradangan pada tonsila palatine
lebih dari 3 bulan.
a) Cara ukur: Menilai adanya tanda-tanda tonsilitis kronik pada tonsil
seperti kripta yang melebar, derajat hipertrofi tonsil, pembentukan
fibrotasi dan ada atau tidaknya dendritus.
b) Hasil ukur: YA atau TIDAK
3.3. SKALA PENGUKURAN
3.3.1. Skala nominal
Tingkatan skala yang paling lemah. Skala ini mengklasifikasikan obyek
pengamatan kepada beberapa kelompok dan obyek tersebut hanya masuk
ke salah satu kelompok saja. Pada penelitian ini, yang termasuk dalam
skala nominal adalah jenis kelamin.
3.3.2. Skala ordinal
Skala ini membagi obyek penelitian menjadi kelompok yang ada
hubungan (ranking) tetapi tidak tumpang tundik. Perkaitan antara
kelompok dapat dinyatakan dengan baik, cukup, dan kurang atau rendah,
menengah, dan tinggi. Skala ordinal yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kebersihan mulut, usia, tingkat kelas, status ekonomi, status gizi
dan riwayat perawatan gigi .
3.4. HIPOTESA
Terdapat 2 hipotesis yang dapat diperoleh:
1. Ho = Tidak ada perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian
tonsilitis kronik di kalangan anak-anak
2. Ha = Ada perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. JENIS PENELITIAN
Penilitian ini adalah penelitian analitik yang telah dilakukan dengan
pendekatan pada desain cross sectional study, dimana akan dilakukan
pengumpulan data berdasarkan pemeriksaan dan survei terhadap
anak-anak yang menderita dan tidak menderita tonsilitis kronik.
4.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
4.2.1. Lokasi
Penelitian ini telah dijalankan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922.
4.2.2. Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September hingga November
2011.
4.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa di Sekolah Dasar (SD)
Negeri 060922.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah semua populasi siswa yang menderita dan tidak menderita
tonsilitis kronik di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922. Sampel diambil
dengan cara total sampling dan mengikut keterbatasan waktu penelitian.
4.4. METODE PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
data primer yang diperoleh dengan melakukan pemeriksaan sesuai daftar
pemeriksaan yang telah dikonsultasi kepada dokter spesialis THT di RSUP
sampel-sampel penelitian. Responden juga perlu mengisi data berdasarkan
daftar pemeriksaan. Seterusnya, dilakukan pencatatan sesuai penelitian.
4.5. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel. Data
mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian dianalisis agar
memberikan arti yang berguna dalam memecahkan masalah dalam
penelitian ini. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan
bantuan program komputer yaitu Statistical Package for the Social
Sciences (SPSS) Version 17.0 for Windows.
BAB 5
sekolah yang berlokasi di Kecamatan Medan Sunggal, Kelurahan Tanjung Rejo.
Sekolah ini diselenggarakan oleh pemerintah dengan status Sekolah Negeri
dibawah selenggaraan DIKNAS. Selain itu, sekolah ini terletak bersebelahan
dengan sebuah sekolah negeri yang lain yaitu Sekolah Dasar (SD) Negeri 068083.
Kedua-dua sekolah ini terletak di dalam suatu kawasan yang sama.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Penelitian ini telah dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling
dimana populasi sampel ini terdiri dari anak-anak siswa di Sekolah Dasar (SD)
Negeri 060922, Medan dari kelas I sehingga kelas VI dengan jumlah total 425
orang. Dari total sampel 425 orang, sebanyak 205 orang telah diekslusikan. Hal
ini karena 107 orang tidak menyerahkan kembali lembar pemeriksaan, 58 orang
tidak mengisi lembar pemeriksaan dengan lengkap dan 40 orang tidak diberikan
izin oleh orang tua mereka sehingga jumlah responden yang dapat dievaluasi
adalah sebanyak 220 orang.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan penelitian ini dijalankan
adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian
tonsilitis kronik di kalangan anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922,
Medan. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka diperlukan kelompok
responden yang tidak menderita tonsilitis kronik sebagai kelompok kontrol, dan
kelompok responden yang menderita tonsilitis kronik bertindak sebagai kelompok
Semua responden yang terdiri dari penderita dan bukan penderita tonsilitis
kronik dilakukan pemeriksaan dan diperoleh gambaran mengenai
karakteristiknya. Berikut adalah tabel-tabel yang mendiskripsikan karakteristik
responden dalam penelitian ini:
5.1.2.1. Jenis Kelamin Responden
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Frekuensi
(orang)
jumlah responden dari jenis kelamin laki-laki adalah 97 orang (44.1%) dan jumlah
responden dari jenis kelamin perempuan adalah lebih tinggi dari responden
laki-laki yaitu 123 orang (55.9%).
5.1.2.2. Kelompok Umur Responden
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
No. Kelompok Umur Frekuensi
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 220 orang yang menjadi responden,
jumlah responden dari kelompok umur 1 yaitu dari usia 5 hingga 7 tahun adalah
79 orang (35.9%). Jumlah responden dari kelompok umur 2 yaitu dari usia 8
hingga 11 tahun adalah yang paling tinggi yaitu 121 orang (55.0%) dan jumlah
responden dari kelompok umur 3 yaitu dari usia 12 hingga 15 tahun adalah paling
rendah dengan jumlah 20 orang (9.1%).
5.1.2.3. Status Ekonomi Responden
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Ekonomi
No. Status Ekonomi Frekuensi
5.1.2.4. Status Gizi Responden
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi
No. Status Gizi Frekuensi
(orang)
paling rendah dengan jumlah 9 orang (4.1%) dan jumlah responden dengan status
gizi yang jelek adalah 84 orang (38.2%).
5.1.2.5. Riwayat Perawatan Gigi Responden
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Perawatan Gigi
No. Riwayat
5.1.2.6. Tingkat Kebersihan Mulut Responden
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kebersihan Mulut
No. Tingkat Kebersihan
Jumlah responden dengan kebersihan mulut yang sedang adalah yang paling
tinggi yaitu 122 orang (55.5%) dan jumlah responden dengan kebersihan mulut
yang jelek adalah 46 orang (20.9%).
5.1.2.7. Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Responden
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Dengan dan Tanpa Tonsilitis Kronik
No. Tonsilitis kronik Frekuensi
(orang)
jumlah responden yang tidak menderita tonsilitis kronik adalah lebih tinggi
5.1.2.8. Distribusi Frekuensi Tingkat Kebersihan Mulut Berdasarkan
Kelompok Umur
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Kebersihan Mulut Berdasarkan Kelompok
Umur
mempunyai tingkat kebersihan mulut yang baik adalah 15 orang (28.8%). Untuk
kelompok usia yang sama, jumlah responden yang mempunyai tingkat kebersihan
mulut yang sedang adalah 48 orang (39.3%) dan jumlah responden yang
mempunyai tingkat kebersihan mulut yang jelek adalah 16 orang (34.8%). Jumlah
responden dari kelompok umur 2 yaitu dari usia 8 hingga 11 tahun yang
mempunyai tingkat kebersihan mulut yang baik adalah 34 orang (65.4%). Untuk
kelompok usia yang sama, jumlah responden yang mempunyai tingkat kebersihan
mulut yang sedang adalah 63 orang (51.6%) dan jumlah responden yang
mempunyai tingkat kebersihan mulut yang jelek adalah 6 orang (13.0%). Jumlah
responden dari kelompok umur 3 yaitu dari usia 12 hingga 15 tahun yang
mempunyai tingkat kebersihan mulut yang baik adalah 3 orang (5.8%). Untuk
kelompok usia yang sama, jumlah responden yang mempunyai tingkat kebersihan
mulut yang sedang adalah 11 orang (9.0%) dan jumlah responden yang
5.1.2.9. Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Jenis
Kelamin
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis
Kelamin
Tonsilitis Kronik
Ada Tiada
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
Laki-laki 50 58.8 47 34.8
Perempuan 35 41.2 88 65.2
Jumlah 85 100 135 100
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 220 orang yang menjadi responden,
jumlah responden laki-laki yang mempunyai tonsilitis kronik adalah 50 orang
(58.8%) dan jumlah responden dari jenis kelamin laki-laki yang tidak mempunyai
tonsilitis kronik adalah 47 orang (34.8%). Jumlah responden perempuan yang
mempunyai tonsilitis kronik adalah 35 orang (41.2%) dan jumlah responden dari
jenis kelamin perempuan yang tidak mempunyai tonsilitis kronik adalah 88 orang
5.1.2.10. Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan
Kelompok Umur
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan
Kelompok Umur
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa dari 220 orang yang menjadi responden,
jumlah responden dari kelompok umur 1 yaitu dari usia 5 hingga 7 tahun yang
mempunyai tonsilitis kronik adalah 20 orang (23.5%). Untuk kelompok usia yang
sama, jumlah responden yang tidak mempunyai tonsilitis kronik adalah 59 orang
(43.7%). Jumlah responden dari kelompok umur 2 yaitu dari usia 8 hingga 11
tahun yang mempunyai tonsilitis kronik adalah 59 orang (69.4%). Untuk
kelompok usia yang sama, jumlah responden yang tidak mempunyai tonsilitis
kronik adalah 62 orang (45.9%). Jumlah responden dari kelompok umur 3 yaitu
dari usia 12 hingga 15 tahun yang mempunyai tonsilitis kronik adalah 6 orang
(7.1%) dan untuk kelompok usia yang sama, jumlah responden yang tidak
5.1.2.11. Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Status
Ekonomi
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Status
Ekonomi
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa dari 220 orang yang menjadi responden,
jumlah responden dari status ekonomi tinggi yang mempunyai tonsilitis kronik
adalah 9 orang (10.6%) dan 14 orang (10.4%) dari status ekonomi tinggi tidak
mempunyai tonsilitis kronik. Jumlah responden dari status ekonomi sedang yang
mempunyai tonsilitis kronik adalah 9 orang (22.4%) dan 43 orang (31.9%) dari
status ekonomi sedang tidak mempunyai tonsilitis kronik. Jumlah responden dari
status ekonomi rendah yang mempunyai tonsilitis kronik adalah 57 orang
5.1.2.12. Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Status
Gizi
Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Status
Gizi
Status Gizi
Tonsilitis Kronik
Ada Tiada
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
Baik 46 54.1 81 60.0
Lebih 3 3.5 6 4.4
Kurang 36 42.4 48 35.6
Jumlah 85 100 135 100
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa dari 220 orang yang menjadi responden,
jumlah responden dengan status gizi baik yang mempunyai tonsilitis kronik
adalah 46 orang (54.1%) dan 81 orang (60.0%) tidak mempunyai tonsilitis kronik.
Jumlah responden dengan status gizi lebih yang mempunyai tonsilitis kronik
adalah 3 orang (3.5%) dan 6 orang (4.4%) tidak mempunyai tonsilitis kronik.
Jumlah responden dengan status gizi kurang yang mempunyai tonsilitis kronik
5.1.2.13. Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan
Riwayat Perawatan Gigi
Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Kejadian Tonsilitis Kronik Berdasarkan Riwayat
Perawatan Gigi
jumlah responden dengan riwayat perawatan gigi yang baik dan mempunyai
tonsilitis kronik adalah 19 orang (22.4%) dan 62 orang (45.9%) tidak mempunyai
tonsilitis kronik dengan riwayat perawatan gigi yang baik. Jumlah responden
dengan riwayat perawatan gigi yang jelek dan mempunyai tonsilitis kronik adalah
66 orang (77.6%) dan 73 orang (54.1%) tidak mempunyai tonsilitis kronik dengan
5.1.3. Hasil Analisa Data
Untuk mengetahui perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian
tonsilitis kronik di kalangan anak-anak di Sekolah Dasar (SD) Negeri 060922
digunakan uji chi-square. Hasil uji tabulasi silang antara kebersihan mulut dan
kejadian tonsilitis kronik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel 5.14 Hasil Uji Tabulasi Silang Tingkat Kebersihan Mulut dan Kejadian
Tonsilitis Kronik
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa jumlah responden dengan tingkat
kebersihan mulut yang baik dan mempunyai tonsilitis kronik adalah 9 orang
(17.3%) dan jumlah responden yang tidak mempunyai tonsilitis kronik dengan
tingkat kebersihan mulut yang baik adalah 43 orang (82.7%). Jumlah responden
dengan tingkat kebersihan mulut yang sedang dan mempunyai tonsilitis kronik
adalah 50 orang (41.0%) dan jumlah responden yang tidak mempunyai tonsilitis
kronik dengan tingkat kebersihan mulut yang sedang adalah 72 orang (59.0%).
Jumlah responden dengan tingkat kebersihan mulut yang jelek dan mempunyai
tonsilitis kronik adalah 26 orang (56.5%) dan jumlah responden yang tidak
mempunyai tonsilitis kronik dengan tingkat kebersihan mulut yang jelek adalah
Di dalam penelitian ini, telah ditetapkan dua hipotesis:
- Ho = Tidak ada perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis
kronik di kalangan anak-anak
- Ha = Ada perbedaan tingkat kebersihan mulut dan kejadian tonsilitis kronik di
kalangan anak-anak
Menguji hipotesis:
Dalam penelitian ini, uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square. Uji Chi
Square menyatakan bahwa:
Ho ditolak dan Ha diterima apabila nilai p (probabilitas) yang dihitung <
nilai α yang telah ditentukan. Nilai α adalah nilai kemaknaan dalam penelitian ini yang telah ditetapkan sebelumnya dengan nilai α = 5%
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square 16.468a 2 .000
Likelihood Ratio 17.482 2 .000
Linear-by-Linear
Association
16.016 1 .000
N of Valid Cases 220
Berdasarkan hasil tes dalam penelitian ini, nilai p < 0.001 dan hubungan nilai p
dan nilai α adalah p < α Ho ditolak.
Kesimpulan : Ada perbedaan tingkat kebersihan mulut terhadap kejadian tonsilitis
5.2. PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan tingkat kebersihan
mulut terhadap kejadian tonsilitis kronik di kalangan anak-anak di Sekolah Dasar
(SD) Negeri 060922. Penelitian dilakukan secara deskriptif-retrospektif dan
mendapatkan data responden secara langsung dari pemeriksaan yang telah
dilakukan.
1. Penelitian menunjukkan responden dari status ekonomi rendah adalah paling
banyak yaitu 135 orang berbanding responden dari status ekonomi sedang dan
status ekonomi tinggi yaitu masing-masing 62 orang (28.2%) dan 23 orang
(10.5%). Menurut pendapat peneliti, hal ini disebabkan lokasi sekolah yang
terletak di kawasan perumahan yang mayoritasnya adalah penduduk dengan status
ekonomi rendah dan ini menyebabkan sekolah ini menjadi pilihan orangtua karena
biaya sekolah yang tidak mahal.
2. Penelitian ini menunjukkan responden dari kelompok umur 2 yaitu dari umur 8
hingga 11 tahun mempunyai tingkat kebersihan mulut yang baik, sedang dan jelek
yang paling tinggi yaitu masing-masing 34 orang (65.4%), 63 orang (51.6%) dan
24 orang (52.2%). Menurut pendapat peneliti, hal ini wajar karena responden dari
kelompok umur 2 merupakan responden yang paling banyak yaitu 121 orang jika
dibandingkan dengan responden dari kelompok 1 yang hanya berjumlah 79 orang
dan kelompok umur 3 yang berjumlah 20 orang.
3. Data menunjukkan kelompok umur yang paling tinggi menderita tonsilitis
kronik adalah kelompok umur 2 yaitu sebanyak 59 orang (69.4%). Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar (SD) Kota Semarang tentang
hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar siswa (Farokah et al., 2007).
Menurut pendapat peneliti, hal ini dikarenakan usia 8 tahun dan ke atas