• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Data dan Analisis

5.1.2. Aspek Biofisik

5.1.2.1. Topografi dan Kemiringan Tapak

Kebun Anggrek berbatasan langsung dengan Sungai Progo. Berdasarkan data dari BAPPEDA Kota Magelang tahun 2009, Kota Magelang memiliki topografi yang terjal di bagian barat, sepanjang Sungai Progo yakni dengan sudut kemiringan berkisar 15-30%. Kebun Anggrek yang berlokasi di tepi Sungai Progo juga memiliki topografi yang terjal. Untuk merekayasa topografi di Kebun Anggrek yang terjal tersebut, maka oleh pengelola TKL lahan Kebun Anggrek dibuat bertingkat-tingkat menyerupai terasering. Kebun Anggrek sendiri berada pada ketinggian antara 330-375 m (Gambar 13).

Analisis topografi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian tapak dalam hal pengembangannya untuk aktivitas wisata. Kriteria kemampuan tapak untuk pengembangan kegiatan wisata dilihat dari kesesuaian lereng dalam tapak untuk pengembangan ruang luar serta potensi erosi pada tapak yang akan berpengaruh terhadap pengembangan kegiatan wisata. Berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng untuk pengembangan ruang luar Booth (1983), maka kemiringan tapak di Kebun Anggrek dapat diklasifikasikan menjadi 0-5%, 5-10%, 10-15%, >15%. Kondisi kemiringan tapak tersaji pada Gambar 14.

Booth (1983) menyebutkan bahwa area dengan kemiringan 1-5% adalah area datar yang sesuai untuk pengembangan ruang luar. Pada kemiringan ini memungkinkan adanya elemen tapak berukuran besar seperti gedung utama, area parkir, dan sebagainya, serta aktivitas apapun dapat dilakukan (tidak terbatas) di dalamnya. Kemiringan 5-15% merupakan area landai sampai berbukit yang sesuai untuk berbagai tipe penggunaan lahan tetapi aktivitas di dalamnya terbatas. Kemiringan >15% merupakan area curam dimana di dalamnya tidak diperkenankan adanya aktivitas apapun.

Analisis topografi juga dilakukan berdasarkan potensi erosi yang dimiliki Kebun Anggrek. Potensi erosi ini dilihat dari kemiringan lereng dan tingkat run-off di tapak. Tingkat run-off mengikuti klasifikasi Darmawijaya (1990), dimana run-off diklasifikasikan berdasarkan kecepatannya menjadi sangat lambat hingga lambat, lambat hingga sedang, cepat hingga sangat cepat. Indikator untuk menentukan kecepatannya lambat sampai cepat berdasarkan kemiringan tapak.

Pada area yang relatif datar (0-3%), aliran air di permukaan tanah (run-off) sangat lambat. Hal ini mengakibatkan air tergenang di permukaan tanah dalam waktu lama dan kemudian meresap ke dalam profil tanah atau menguap. Kondisi seperti ini tidak menyebabkan erosi. Aliran air di permukaan tanah (run-off) lambat sampai sedang pada area landai sampai berbukit (3-15%). Aliran dengan kecepatan tersebut mengakibatkan permukaan tanah tetap basah untuk waktu cukup lama walaupun air meresap ke dalam profil tanah. Dalam kondisi seperti ini, bahaya erosi belum begitu membahayakan. Jadi, area yang sesuai untuk pengembangan ruang luar memiliki potensi erosi tidak berbahaya hingga belum begitu membahayakan. Area dengan kemiringan ini diberi nilai 3 karena sesuai untuk pengembangan aktivitas wisata dengan potensi erosi yang tidak membahayakan. Area yang cukup sesuai untuk pengembangan ruang luar memiliki potensi bahaya erosi yang belum begitu membahayakan. Area dengan kemiringan tersebut diberi nilai 2 karena cukup sesuai untuk pengembangan aktivitas wisata.

Pada area yang miring sampai curam (>15%), aliran air di permukaan tanah (run-off) berlangsung cepat dan hanya sebagaian kecil yang meresap ke dalam profil tanah. Kondisi seperti ini memiliki bahaya erosi yang cukup besar. Jadi, area yang kurang sesuai untuk pengembangan ruang luar memiliki potensi bahaya erosi yang cukup besar. Area dengan kemiringan ini diberi nilai 1 karena kurang sesuai untuk pengembangan aktivitas wisata dan bahaya erosi yang dimilikinya cukup besar. Hasil analisis kemiringan tapak menghasilkan peta kesesuaian aktivitas wisata yang dapat dilihat pada Gambar 15.

5.1.2.2. Vegetasi

Vegetasi yang ada di Kebun Anggrek terdiri dari vegetasi di dalam rumah kaca dan di sekitar rumah kaca. Vegetasi di dalam rumah kaca adalah komoditi utama yang dibudidayakan di dalam kebun ini yaitu anggrek berupa bibit yang ditanam di dalam pot-pot. Vegetasi yang ada di sekitar rumah kaca didominasi oleh Pohon Jati (Tectona grandis). Pohon Jati ini ditanam sejak tahun 2004 sebanyak 105 pohon. Di sela-sela Pohon Jati tersebut terdapat beberapa pohon seperti Sawo Kecik (Manilkara kauki), Spatodea (Spathodea campanulata), Mahoni (Swietenia macrophylla), Flamboyan (Delonix Regia), Bambu (Gigantochloa apus), serta paku-pakuan yang menempel pada dinding badan Kali Bangkong. Vegetasi eksisting Kebun Anggrek dapat dilihat pada Gambar 16. Peta vegetasi di Kebun Anggrek disajikan pada Gambar 17.

Gambar 16 Vegetasi eksisting di Kebun Anggrek

Kumpulan jati Kumpulan bambu

Potensi vegetasi untuk pengembangan anggrek dilihat berdasarkan potensi anggrek yang bernilai ekonomi serta kemampuan vegetasi untuk dapat menjadi habitat anggrek dianalisis secara deskriptif. Bentuk bunga anggrek yang beraneka ragam, membuat spesies ini memiliki potensi genetik yang kaya untuk dimuliakan/disilangkan. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun terus melahirkan ragam varietas baru yang semakin unik dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Permintaan akan tanaman hias ini terus meningkat setiap tahun (Widiastoety, 2010). Purnawati (2003) dalam Kurniati et al. (2007) menjelaskan bahwa anggrek yang diekspor dari Indonesia dalam bentuk bibit, tanaman, dan bunga potong terdiri dari spesies Aranda, Cattleya, Phalaenopsis, dan Dendrobium dengan nilai ekspor US$ 3 juta pada tahun 1999, meningkat mencapai US$ 4,1 juta pada tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa anggrek memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Oleh karena itu komoditas anggrek ini akan dipertahankan sebagai vegetasi utama yang dikembangkan di tapak.

Pohon Jati yang dominan mengisi bagian timur dan utara rumah kaca di Kebun Anggrek berpotensi untuk dijadikan sebagai tempat menempelnya (pohon inang) anggrek epifit. Pohonnya yang berbatang licin dapat ditanggulangi dengan sebelumnya menempelkan batang pohon dengan media yang bisa menahan air, seperti serabut kelapa atau potongan pakis (Iswanto, 2002).

Pada analisis spasial aspek vegetasi, analisis dilakukan berdasarkan kesesuaian vegetasi di tapak untuk menjaga sumber daya lahan yaitu kemampuan vegetasi dalam mengikat tanah maupun menyerap air. Bambu yang berada di sisi belakang Kebun Anggrek memiliki potensi untuk menahan tanah karena di daerah tersebut topografinya agak miring sampai miring/berbukit sehingga rawan longsor. Selain itu, keberadaan bambu sekaligus sebagai pembatas dan pengaman dari gangguan luar seperti pencurian. Vegetasi yang memiliki fungsi ekologis seperti pohon jati dan bambu sebagai pengikat tanah diberi nilai 3. Penutup tanah seperti rumput dan semak yang di atasnya tidak ada tegakan pohon diberi nilai 2 karena kemampuannya dalam mengikat tanah dan air kurang. Nilai 1 diberikan pada area yang tidak bervegetasi. Hasil analisis spasial vegetasi berdasarkan potensi dalam menjaga sumber daya lahan di tapak disajikan pada Gambar 18.

Dokumen terkait