• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil

4.1.2. Pasang Surut

Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya air laut karena pengaruh gaya tarik bumi dan bulan. Dalam survei batimetri pasang surut sangat

berpengaruh terhadap nilai kedalaman yang didapatkan. Data kedalaman hasil pemeruman dikoreksi dengan menggunakan Mean Sea Level (MSL) sehingga didapatkan data kedalaman yang akurat (Sasmita, 2008). Koreksi dilakukan

secara otomatis dengan memasukan nilai pasang surut lokasi penelitian pada menu load tide yang terdapat dalam perangkat lunak Caris HIPS&SIPS 6.1.

Pasang surut di lokasi penelitian diukur menggunakan instrumen Tide Gauge Valeport 740 selama 30 hari dengan interval pengambilan waktu setiap 10 menit. Gambar 18 menunjukan pasang surut di lokasi penelitian dengan sumbu x sebagai waktu pengambilan data dan sumbu y sebagai tinggi pasang surut.

Gambar 18. Pasang Surut di Lokasi Penelitian

Pasang surut di lokasi penelitian termasuk kedalam jenis campuran. Nilai kisaran pasang surut di lokasi penelitian sebesar 0.85-1.68 meter. Pengukuran pasang surut dilakukan sesuai dengan ketetapan Special Publication No. 44 (S.44)-IHO yang menyebutkan bahwa pengukuran dilakukan minimal 29 hari untuk mendapatkan data pasang surut yang akurat.

4.1.3 Topografi Dasar Laut

Data multibeam hasil akuisisi telah terkoreksi terhadap pengaruh pitch, roll, heave dan heading sehingga dapat langsung divisualisasikan. Koreksi dilakukan secara real time menggunakan sensor CodaOctopus F180. Sudut pitch dan roll dijaga agar bernilai kurang dari 0.025o. Perubahan posisi karena pengaruh heading dikoreksi dengan menggunakan sistem baseline oleh dua buah antena

dari sensor tersebut. CodaOctopus F180 berfungsi untuk melakukan koreksi terhadap pengaruh perubahan vertikal pada beam. Perubahan posisi (horizontal) dikoreksi dengan menggunakan instrumen Differential Global Positioning Systems (DGPS) Sea Star 8200 VB dengan sensitifitas sebesar 1 meter. Kapal Baruna Jaya IV menggunakan dua buah sistem DGPS, yaitu primary dan secondary. Primary DGPS merupakan sistem penentuan posisi utama yang memberikan nilai posisi kapal pada saat akusisi data. Pada Kapal Baruna Jaya IV primary DGPS yang digunakan, yaitu DGPS Sea Star 8200 VB sedangkan untuk secondary DGPS digunakan sensor CodaOctopus F180.

Nilai keakuratan data yang diperoleh selama akuisisi dijaga agar selalu tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta batimetri yang akurat. Berdasarkan ketentuan IHO Tahun 2008, lokasi penelitian termasuk dalam orde 1b dengan ketelitian horizontal sebesar 20 meter. Spasi lajur perum maksimum orde ini, yaitu tiga kali kedalaman rata-rata atau 25 meter tergantung dari nilai yang paling besar. Special publication No. 44 (S.44)-IHO Tahun 1998

menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari peta batimetri yang dihasilkan (Lampiran 4).

Gambar 19 merupakan peta batimetri 2 dimensi lokasi penelitian. Peta batimetri 2 dimensi memberikan informasi mengenai kedalaman lokasi penelitian secara umum.

Gambar 19. Peta Batimetri Secara 2 Dimensi

Kedalaman laut lokasi penelitian termasuk kedalam kategori laut dangkal Kedalaman laut tersebut berkisar antara 11.5 meter sampai dengan 22.5 meter. Topografi dasar laut relatif datar dengan peningkatan kedalaman menuju laut lepas. Kemiringan topografi dasar laut banyak terlihat pada bagian sisi jalur penelitian. Bagian tengah jalur penelitian memiliki topografi yang lebih datar dibandingkan bagian sisi (Gambar 20). Nilai kemiringan yang relatif datar digunakan sebagai salah satu pertimbangan pemilihan jalur pipa bawah laut (Yanto, 2007).

Gambar 20. Peta Batimetri 3D 4.1.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut

Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dilakukan dengan menggunakan nilai sebaran amplitudo dari data multibeam. Data amplitudo difilter dengan

menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi eksponensial dari jarak antar beam dan normal factor. Sapuan beam dihitung berdasarkan lebar tiap beam dan altitude sonar (GMT Manual Book, 2009).

Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah 1 (dekat dengan daratan), wilayah 2 (bagian tengah lokasi pemeruman) dan wilayah 3 (ujung jalur pemeruman). Pembagian wilayah ini dilakukan untuk mempermudah pengolahan data. Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan nilai amplitudo telah dilakukan oleh Kodagali, Hagen dan Schenke tahun 1997 tentang pemetaan sedimen dasar laut secara kualitatif menggunakan root mean square (rms) amplitudo dari nilai backscattering

strength. Penelitian lain dilakukan oleh Aritonang tahun 2010 menggunakan data multibeam Elac Seabeam 1050D dengan mencocokan nilai amplitudo dan hasil coring. Aritonang (2010) mengklasifikasikan jenis sedimen dasar laut menjadi 3 jenis, yaitu silty clay dengan kisaran nilai amplitudo sebesar 311 - 352, clayey silt dengan kisaran sebesar 352 - 399 dan jenis sedimen sandy silt dengan kisaran amplitudo 399 – 428 (Tabel 5).

Tabel 5. Kisaran amplitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian

Peneliti Kisaran Amplitudo Jenis Sedimen Ukuran Butiran (mm) Aritonang (2010) 311-352 Silty clay 0.004-0.062 352-399 Clayey silt <0.004 399-428 Sandy silt 0.062-2 Penelitian ini (2011) 300-350 Silt 0.01-0.08 350-400 Silty clay 0.008-0.01 400-450 Clayey silt 0.001-0.01

Nilai kisaran amplitudo yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 300 –

450. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom perairan dan ukuran butiran yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo yang berada diluar kisaran dianggap sebagai data yang tidak teridentifikasi. Nilai amplitudo yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan jenis sedimen yang diperoleh dari hasil coring. Perbandingan antara kisaran amplitudo dan jenis sedimen hasil coring dilakukan berdasarkan koordinat. Coring dilakukan di sepanjang jalur pemeruman sebanyak 27 titik pengambilan dengan interval jarak setiap 1000 meter dengan kedalaman pengambilan sedimen 1.5 meter. Alat yang digunakan adalah gravity core tipe Kulenberg ukuran 2.5 inch dengan pipa transparan 2 inch. Data coring selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk

kemudian dilakukan interpretasi mengenai informasi geoteknik yang terdapat di lokasi peneltian.

Pada koordinat tertentu hasil coring didapatkan jenis sedimen silt kemudian dilihat kisaran amplitudo dari setiap lokasi tempat jenis sedimen tersebut didapatkan (Gambar 21). Proses tersebut juga dilakukan untuk jenis sedimen yang lainnya. Nilai amplitudo kemudian difilter sehingga hanya didapatkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian. Nilai kisaran amplitudo 300 –

350 merupakan nilai amplitudo untuk jenis sedimen silt. Nilai kisaran amplitudo 350 – 400 merupakan nilai untuk jenis sedimen silty clay dan kisaran amplitudo 400 – 450 merupakan nilai kisaran untuk jenis sedimen clayey silt.

Wilayah 1 lokasi klasifikasi jenis sedimen dasar laut merupakan titik awal lokasi pemeruman. Pada wilayah ini umumnya jenis sedimen memiliki nilai sebaran yang merata. Hal ini sesuai dengan data coring yang didapatkan. Pada sisi kiri jalur pemeruman wilayah 1 juga terdapat jenis sedimen silt (Gambar 22). Warna putih pada lokasi klasifikasi jenis sedimen dasar laut wilayah 1 merupakan lokasi dengan nilai amplitudo berada diluar kisaran. Klasifikasi pada wilayah 1 dimulai pada koordinat 6.3238 LS, 108.5017 BT dan 6.3365 LS, 108.4690 BT .

Gambar 23 merupakan lokasi klasifikasi jenis sedimen dasar laut wilayah 2. Wilayah tersebut merupakan bagian tengah dari jalur pemeruman. Klasifikasi jenis sedimen wilayah 2 dilakukan pada koordinat 6.3365 LS, 108.4690 BT sampai dengan 6.3313 LS, 108.4951 BT. Pada wilayah ini jenis sedimen dasar laut didominasi oleh jenis clayey silt. Jenis sedimen tersebut pada wilayah 2 mencapai 80%. Jenis sedimen silty clay juga terdapat lebih banyak pada bagian awal dan tengah wilayah 2 namun dengan luasan yang kecil. Jenis sedimen silt hanya terdapat pada sisi kiri wilayah 2 dengan luasan yang sangat terbatas. Luasan berwarna putih merupakan wilayah dengan nilai amplitudo diluar kisaran 300 – 450 atau bisa disebut sebagai daerah yang tidak teridentifikasi.

Wilayah yang tidak teridentifikasi terjadi selain disebabkan nilai amplitudo yang diluar kisaran juga disebabkan oleh jarak antar beam yang terlalu dekat atau berhimpit sehingga pada saat interpolasi dilakukan wilayah tersebut tidak

terinterpolasidengan baik. Meskipun demikian, metode Gaussian Weighted Mean yang terdapat pada GMT 4.4 sangat akurat untuk memproses data sonar ataupun batimetri. Hal ini terlihat pada Gambar 23 yang menunjukan klasifikasi jenis sedimen dasar laut yang sangat halus.

Wilayah 3 merupakan klasifikasi jenis sedimen dasar laut pada bagian ujung lokasi pemeruman. Klasifikasi jenis sedimen dimulai pada koordinat 6.3313 LS, 108.4951 BT sampai dengan 6.3253 LS, 108.5257 BT. Pada wilayah ini jenis sedimen didominasi oleh jenis clayey silt. Jenis sedimen silty clay banyak terdapat pada sisi kiri wilayah 3 sementara itu jenis sedimen silt terdapat pada titik awal wilayah 3. Sisi kanan wilayah 3 hampir seluruh bagiannya didominasi jenis sedimen clayey silt (Gambar 24).

Klasifikasi jenis sedimen yang dilakukan pada wilayah 3 memiliki luas yang sama dengan luas jalur pemeruman. Hal ini dilakukan untuk mengindari adanya data bayangan yang muncul karena proses interpolasi. Jenis sedimen yang terdapat di wilayah 3 secara tidak langsung menunjukan pengurangan terhadap pengaruh daratan. Secara umum jenis sedimen clayey silt banyak terdapat di wilayah 2 dan 3 yang lebih dekat ke arah laut lepas . Kondisi berbeda terjadi pada jenis sedimen silty clay yang banyak terdapat pada wilayah yang lebih dekat ke arah daratan. Namun untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kedua hal tersebut harus dilakukan penelitian tersendiri. Silt sendiri merupakan jenis sedimen yang besar ukurannya berada dipertengahan antara sand dan clay. Ukuran partikel dan arus merupakan faktor yang berperan dalam penyebaran jenis sedimen (Manik, 2006). Arus yang kuat dan ukuran partikel yang relatif kecil menyebabkan distribusi partikel tersebut terjadi secara luas sedangkan ukuran partikel sedimen yang besar menyebabkan partikel tersebut tersebar hanya di sekitar wilayah pantai.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Sound Veolcity Profile

Cepat rambat gelombang akustik dalam air laut dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu suhu, salinitas dan tekanan. SVP di lokasi penelitian (Gambar 15) termasuk kedalam wilayah surface layer. Peningkatan suhu sebesar 5oC pada wilayah tersebut meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 16 m/s atau sebesar 1%. SVP pada wilayah surface layer sangat dipengaruhi oleh perubahan diurnal harian air bagian bawah. Panas dari sinar matahari

menyebabkan air lapisan atas lebih hangat dibandingkan bagian bawah. Kondisi tersebut menyebabkan terbentuknya mixed layer yang terus berlangsung sampai sore hari hingga gradient SVP tersebut menjadi negatif (afternoon effect). Pergerakan gelombang pada wilayah ini menyebabkan terjadinya percampuran sehingga pengaruh suhu dan salinitas menjadi berkurang (Kinsler et.al,2000). Nilai positif dari gradient SVP disebabkan kuatnya pengaruh mixed layer yang dapat menyebabkan kondisi isotermal sehingga tekanan air laut merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap cepat rambat gelombang akustik. Tekanan air laut meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 1.6 m/s atau sebesar 0.1%. Menurut Kinsler et.al (2000) peningkatan suhu 10C akan meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 4 m/s, peningkatan tekanan air laut setiap 1 km meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 17 m/s dan peningkatan salinitas 1 psu meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 1.4 m/s.

SVP sangat penting dalam survei batimetri karena dapat digunakan untuk meramalkan arah penjalaran gelombang akustik. Secara empiris pengukuran kedalaman menggunakan metode hidroakustik adalah melakukan penghitungan terhadap cepat rambat gelombang akustik dibagi dua, kemudian dikali dengan waktu tempuhnya. Special publication No. 44 (S.44)-IHO menyebutkan bahwa data kedalaman yang akurat harus memperhitungkan nilai Total Propagated Error (TPE) terlebih dahulu termasuk didalamnya cepat rambat gelombang akustik.

4.2.2 Pasang Surut

Pasang surut di Balongan, Indramayu tergolong kedalam jenis campuran. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Madi (2010) yang menyebutkan bahwa jenis pasang surut di Eretan, Indramayu tergolong kedalam jenis campuran condong ke harian ganda. Pasang surut jenis campuran memungkinkan terjadinya pasang dan surut terjadi sebanyak dua kali dalam satu hari dengan periode yang berbeda-beda. Nilai MSL yang diperoleh sebesar 1.01 m. Nilai tersebut digunakan untuk mengkoreksi data kedalaman hasil pemeruman. Menurut Hasanudin (2009) data pasang surut yang digunakan sebaiknya data pasang surut lokasi penelitian atau lokasi terdekat dengan lokasi penelitian.

Nilai MSL sebesar 1.01 m diartikan sebagai pergerakan dinamis rata-rata muka air laut yang terjadi di lokasi penelitian. Ketentuan pemerintah tentang peletakan pipa bawah laut menyebutkan bahwa kedalaman syarat pendam pipa dihitung berdasarkan kedalaman MSL. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi

penurunan ketinggian air laut pada saat surut. Penghitungan nilai surut yang salah dapat menyebabkan ketinggian air laut berada dibawah nilai batas (Yanto, 2007).

4.2.3 Topografi Dasar Laut

Data kedalaman hasil akuisisi diolah dengan menggunakan perangkat lunak Caris HIPS&SIPS 6.1 milik BPPT dengan nomor seri CW9605878 untuk

mendapatkan topografi dasar laut. Nilai offset dari setiap sensor yang digunakan harus dihitung terhadap center line. Nilai offset tersebut penting untuk melakukan koreksi dari beberapa sensor yang digunakan terhadap sumbu salib kapal. Berikut merupakan offset dari multibeam ELAC SEABEAM 1050D, DGPS Seastar 8200 VB dan CodaOctopus F180. (Gambar 24)

Gambar 25. Posisi Offset Sensor Pada Kapal Baruna Jaya IV CodaOctopus F180 diasumsikan berada tepat pada posisi center line. Dalam koreksi offset, jarak dari masing-masing instrumen tersebut dibuat nol sehingga ketiga instrumen tersebut diasumsikan berhimpit (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Pada sumbu x nilai -0.530 meter artinya posisi offsetSeastar 8200 VB digeser ke arah kiri sejauh 0.530 meter sedangkan pada sumbu z,draft

transduser dinaikan sejauh 3.40 meter sehingga diasumsikan berhimpit pada center line.

Koreksi lain yang harus dilakukan, yaitu koreksi swath dan koreksi navigasi kapal. Koreksi swath bertujuan untuk menghilangkan atau melakukan interpolasi terhadap beam yang dianggap kurang baik (Hasanudin, 2009). Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh dari beam tersebut terhadap data (Gambar 25).

Gambar 26. Koreksi Swath Pada Data Multibeam

Beam berwarna merah merupakan beam yang berasal dari bagian lambung kanan multibeam sementara beam berwarna hijau berasal dari bagian lambung kiri. Beam yang berada di luar kisaran dipilih kemudian dihilangkan atau

diinterpolasi (berwarna kuning). Setiap beam memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap data sehingga harus terhindar dari eror (Moustier, 2005).

Kecepatan kapal berpengaruh pada saat pemeruman. Kecepatan yang ideal pada saat pemeruman, yaitu sebesar 4 knot atau 7.408 km/jam dan diusahakan konstan (Handbook off survey, 2004 dalam Sasmita, 2004). Dampak negatif dari

kecepatan kapal yang tidak konstan menyebabakan data pemeruman yang didapatkan mengalami overlap. Hal ini disebabkan kemampuan setiap elemen transduser menerima kembali pulsa suara tergantung kepada metode kalibrasi terhadap gerak kapal (Hammerstad, 2008). Koreksi terhadap kecepatan kapal dilakukan pada menu navigasi editor dalam perangkat lunak Caris (Gambar 26).

Gambar 27. Koreksi Kecepatan Kapal

Koreksi kecepatan kapal dilakukan pada tahap processing karena kecepatan kapal pada saat akuisisi sering tidak konstan. Nilai kecepatan kapal yang berada jauh diluar kisaran dihilangkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas data sehingga pada tahap visualisasi, data yang digunakan tetap memiliki akurasi yang baik.

Gambar 19 merupakan bentuk topografi dasar laut lokasi penelitian secara 2 dimensi. Nilai grid yang diberikan, yaitu sebesar 0.9 meter untuk mendapatkan gambar topografi dasar laut yang detail. Metode interpolasi yang digunakan,

yaitu metode grid terpisah. dalam perangkat lunak GMT. Metode tersebut terdiri dari empat tahapan, yaitu grdmask, grdmath, grdgradient dan grdimage.

Grdmask digunakan untuk memberikan batasan area dari data yang akan

diinterpolasi sehingga data yang berada di luar grdmask akan diabaikan. Grdmath digunakan untuk melakukan proses matematis terhadap data dalam grdmask. Grdgradient digunakan untuk menghitung turunan dari data yang diinterpolasi menggunakan grdmath. Tahapan interpolasi terakhir, yaitu grdimage yang digunakan untuk memberikan perubahan warna setiap perubahan kedalaman sebesar 0.5 meter.

Peta batimetri menunjukan bagian sisi yang lebih terjal dibandingkan bagian tengah jalur penelitian (Gambar 20). Informasi tersebut dapat digunakan sebagai informasi awal jalur lokasi peletakan pipa. Faktor lain yang harus diperhatikan, yaitu jalur pipa sebelumnya yang telah diletakan, jenis sedimen, pasang surut, dan arah pergerakan arus (Yanto, 2007).

4.2.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut

Jenis sedimen dasar laut diklasifikasikan berdasarkan nilai kisaran amplitudo. Pada penelitian ini nilai amplitudo yang didapatkan berkisar antara 300 – 450 dengan interval setiap 50. Nilai amplitudo yang didapatkan pada setiap beam telah diinterpolasi sebelumnya menggunakan metode Gausian Weighted Mean. Jenis sedimen clayey silt merupakan jenis sedimen yang banyak

didapatkan di lokasi penelitian dengan kisaran amplitudo sebesar 400 - 450. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan,

sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas permukaan (Urick, 1983).

Wilayah 1 didimonasi oleh jenis sedimen silty clay. Jenis sedimen ini memiliki kisaran nilai amplitudo 350 – 400. Perbedaan nilai amplitudo disebabkan oleh impedansi akustik yang berbeda dari masing-masing jenis sedimen. Impedansi akustik merupakan hasil kali dari densitas dan cepat rambat gelombang akustik yang digunakan. Dalam hal ini densitas jenis sedimen yang berbeda akan memberikan nilai amplitudo yang berbeda pula. Nilai impedansi akustik yang lebih besar akan memberikan nilai amplitudo dari hambur balik yang lebih besar pula. Klasifikasi menggunakan kisaran amplitudo dan bukan nilai backscatter (dB) merupakan hal yang baru. Amplitudo didapatkan secara langsung berupa nilai hambur balik yang berasal dari dasar sementara itu backscatter didapatkan dengan menggunakan penurunan dari intensitas.

Wilayah 2 dan 3 hampir seluruh bagian wilayahnya tertutupi jenis sedimen clayey silt. Hal ini telihat dari nilai sebaran amplitudo 400 – 450 yang menutupi wilayah tersebut. Nilai amplitudo yang didapatkan pada penelitian ini merupakan nilai amplitudo yang sudah diinterpolasi sebelumnya menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode ini dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo yang paling baik dari setiap beam.

Amplitudo dari masing-masing beam dihitung menggunakan sudut lebar beam dan altitud sonar sehingga didapatkan keseluruhan nilai amplitudo pada seluruh cakupan lokasi penelitian. Kelebihan menggunakan metode ini adalah apabila variasi data tinggi maka metode ini bisa melakukan interpolasidengan spasi yang sangat tepat sehingga menghasilkan resolusi data yang tinggi (GMT

4.4, 2009). Spasi grid yang diberikan sebesar 5 meter. Pemberian nilai grid setiap 5 meter dilakukan berdasarkan perhitungan luas lajur perum dan kisaran total amplitudo.

Jenis sedimen clayey silt mendominasi lebih dari 80% luas jalur

pemeruman wilayah 2. Terdapat beberapa bagian pada wilayah 2 yang berwarna putih. Bagian tersebut merupakan bagian yang tidak teridentifikasi atau memiliki nilai amplitudo di luar kisaran 300 – 450. Nilai yang berada diluar kisaran

tersebut merupakan nilai eror yang tidak terfilter dengan baik. Hal ini disebabkan filter yang digunakan untuk sudut datang dari dasar laut sehingga hambur balik yang berasal dari dekat draft transduser lolos dari filter. Hydrografer cenderung menggunakan minimum filter untuk menghilangkan noise tersebut (MB-Systems Cook-Book 5, 2009).

Wilayah 3 yang merupakan bagian ujung jalur pemeruman didominasi oleh jenis sedimen clayey silt. Sisi kanan wilayah 3 hampir 90% didominasi jenis sedimen tersebut. Pada wilayah 3 terdapat beberapa bagian yang tidak

teridentifikasi. Karakteristik dasar laut diketahui dengan menganalisis struktur dan variasi signal yang diterima masing-masing beam. Analisis yang dilakukan merupakan analisis statistik dengan menerapkan prinsip Huygen-Freshnel dan Gaussian (de Moustier, 1985).

Pada bagian tengah wilayah 1, 2 dan 3 terdapat pola memanjang yang merupakan jalur peletakan pipa sebelumnya. Jalur peletakan pipa tersebut pada wilayah 1 tertutupi oleh jenis sedimen clayey silt dan silty clay. Pada wilayah 2 dan 3 jalur peletakan pipa sebelumnya tertutupi oleh jenis sedimen silt.

Pembuatan parit dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah karena kedalaman lokasi kurang dari 28 meter sehingga pipa harus dikubur sedalam 2 meter (Yanto, 2007). Penutupan pipa oleh sedimen clayey silt dan silty clay pada wilayah 1 disebabkan kedua jenis sedimen tersebut banyak terdapat di lokasi. Kondisi yang berbeda terjadi pada wilayah 2 dan 3. Pada kedua wilayah tersebut didominasi oleh jenis sedimen clayey silt akan tetapi jenis sedimen yang menutupi pipa merupakan jenis sedimen silt dan silty clay. Hal tersebut dapat terjadi karena sedimen silt dan silty clay yang terbawa oleh arus dari wilayah 1 atau parit tempat pipa diletakan sengaja ditimbun sedimen tersebut.

Penelitian yang dilakukan Charnila dan Manik (2010) menggunakan instrumen side scan sonar menyebutkan bahwa target yang terdapat dalam perairan balongan terdiri dari pole, box, bekas mooring dan potongan pipa. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi jenis sedimen yang terdapat di wilayah Perairan Balongan didominasi oleh jenis sedimen clay dan sand. Nilai amplitudo dengan nilai yang tinggi memiliki kenampakan yang lebih gelap dibandingkan dengan nilai amplitudo yang rendah.

Klasifikasi nilai kisaran amplitudo untuk mendapatkan jenis sedimen dasar laut berpengaruh terhadap kegiatan peletakan pipa. Det Norske Veritas (DNV) merupakan suatu badan independen yang didirikan dengan tujuan mengatur prosedur keselamatan kerja, barang dan lingkungan. DNV pertama kali didirikan pada tahun 1864 di Norwegia dan sampai sekarang beberapa ketentuan DNV digunakan sebagai pedoman kegiatan teknis kerja, salah satunya dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut (www.dnv.com). Dalam ketetapan DNV-RF-105 jenis sedimen dasar laut diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu tanah non kohesif (clay

dan silt) dan tanah kohesif (sand). Perbedaan kedua jenis sedimen ini

berpengaruh saat menganalisis free span atau bentangan bebas pipa yang terjadi akibat ketidakteraturan dasar laut. Jenis sedimen kohesif memiliki nilai sudut geser dalam yang berkisar antara 28o– 410 sedangkan sedimen non kohesif memiliki nilai tegangan geser yang berkisar dari 12 – 200 kN/m2. Nilai tegangan

Dokumen terkait