APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM
KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT
(CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN)
GUGUM GUMBIRA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
RINGKASAN
Gugum Gumbira. Aplikasi Instrumen Multibeam Sonar Dalam Kegiatan
Peletakan Pipa Bawah Laut. Dibimbing Oleh Henry M. Manik dan Djoko Hartoyo
Saat ini pemerintah berusaha mengatasi permasalahan keterlambatan transportasi minyak bumi dan gas alam dari lokasi pengeboran ke tempat pengolahan dengan membangun pipa bawah laut. Hal ini erat kaitannya dengan masalah waktu dan biaya. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai topografi dan jenis sedimen dasar laut serta menentukan jalur peletakan pipa bawah laut.
Survei batimetri dilakukan di Perairan Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Akuisisi data dilakukan dalam perangkat lunak Hydrostar yang terdapat dalam Kapal Baruna Jaya IV. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data kedalaman adalah Caris HIPS&SIPS 6.1. MB-Systems digunakan untuk memperoleh data amplitudo yang digunakan untuk melakukan klasifikasi jenis sedimen dasar laut.
ABSTRACT
GUGUM GUMBIRA. APLICATION OF MULTIBEAM SONAR
INSTRUMENT FOR UNDERWATER PIPELINE CONSTRUCTION. SUPERVISED BY HENRY M MANIK AND DJOKO HARTOYO.
In this time government tries to solve the problems of oil and gas transportation from drilling area to processing area. This problems related with time and money. For that reason, the solution of this problems have to found immediately. The purpose of this research is to get under water topography information, sediment classification and also to make under water pipeline route. Survey held in Balongan, Indramayu, West Java. Data acquisition done by using hydrostar software. Bathymetry data was processed with Caris HIPS&SIPS. Amplitude data was processed with MB-Systems this data was used to make underwater sediment classification. Depth in study area arrange from 11.5 m – 22.5 m. According to the rules of DNV-OS-F101 Submarine Pipelines Systems 2007 under water pipeline route is the right side from sounding route in 108.39 E, 6.36 S, until 108.62 E, 6.36 S, with bathymetry slope 1.5 m between area 2 and 3 also 1 m in area 3. The center region from sounding route has plain bathymetry slope but pipeline construction can not be placed because another pipeline has placed there. The type of underwater sediment gotten by processing amplitude data and core sample sediment. Then the amplitude data interpolated with Gaussian method to get underwater sediment classification. Sediment in the pipeline route dominated with clayey silt type,then silty clay type, and the last is silt type.
Keyword: Underwater Pipeline, Bathymetry Survey, Data Acquisition,
APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM
KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT
(CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN)
OLEH :
GUGUM GUMBIRA
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
© Hak cipta milik Gugum Gumbira, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN)
adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR
DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN) Nama Mahasiswa : Gugum Gumbira
Nomor Pokok : C54070026
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc
NIP. 19701229 199703 1 008 NIP. 19681020 1994031 1 005
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tidak lupa Shalawat
beserta salam penulis panjatkan kepada Rasul tercinta Nabi Muhammad S.A.W
yang telah menjadi panutan dan tauladan yang baik bagi umat islam. Skripsi yang
berjudul APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM
KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI
PERAIRAN BALONGAN) diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua penulis, Yayat Sudrajat dan Yati Suryati beserta semua
keluarga besar penulis yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan
motivasi,
2. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T dan Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc selaku komisi
pembimbing yang telah membantu penulis dalam penelitian sehingga skripsi
ini dapat terseleseikan dengan baik.
3. Rindu Dwi Malateki Solihin beserta keluarga atas perhatian, dorongan dan
4. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama
penulis menyeleseikan studi di IPB.
5. Bapak Dwi Haryanto, Indra Kurniawan, Anan fauzi dan Mayor Laut Gentio
atas bantuan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.
6. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menggunakan data multibeam sonar.
7. Teman-teman warga ITK, khususnya warga ITK 44, terima kasih atas
motivasi dan dorongannya,
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, 7 Juli 2011
DAFTAR ISI
2.1. Ketentuan Internatonal Hydrographic Organisation (IHO) Standars for Hydrographic Survei (S.44-IHO) Untuk Kegiatan Peletakkan Pipa Bawah Laut ... 3
2.8. Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut ... 22
2.9. Klasifikasi Dasar Laut ... 24
4.1.1 Sound Velocity Profile... 35
4.1.2 Pasang Surut ... 36
4.1.3 Topografi Dasar Laut Lokasi Penelitian ... 38
4.1.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut ... 40
4.2. Pembahasan ... 49
4.2.1 Sound Velocity Profile... 49
4.2.2 Pasang Surut ... 50
4.2.3 Topografi Dasar Laut Lokasi Penelitian ... 51
4.2.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut ... 54
4.2.5 Penentuan Jalur Peletakan Pipa ... 58
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
LAMPIRAN ... 67
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 78
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi Fluida ... 5
2. Klasifikasi Tingkat Keamanan Lokasi Peletakan Pipa Bawah Laut ... 6
3. Klasifikasi Sedimen Berdasarkan Ukuran Butiran ... 22
4. Parameter Umum Tanah Menurut DNV RP-F 105 ... 23
5. Kisaran Amplitudo dan Jenis Sedimen Dari Berbagai Penelitian ... 41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kedalaman Pipa Bawah Laut ... 7
2. Geometri Waktu Transduser ... 10
3. Jangkauan Sapuan ELAC SEABEAM 1050 D Terhadap Kedalaman .... 12
4. Offset Statik ... 13
5. Kalibrasi Pitch Offset ... 15
6. Kalibrasi Time Delay... 16
7. Kalibrasi Roll ... 17
8. Profil kecepatan Suara Dalam Air ... 19
9. Sistem Koordinat Kartesian Kapal-Sistem Koordinat Referensi... 20
10. Diagram Kapal ... 20
11. CodaOctopus F 180 ... 21
12. Prinsip Pengukuran Backscattering Strength Menggunakan Multibeam Sonar ... 25
13. Lokasi Penelitian ... 27
14. Diagram Alir Pengambilan Data Multibeam Sonar ... 29
15. Diagram Alir Pemrosesan Data Kedalaman Pada Perangkat Lunak Caris HIPS&SIPS 6.1 ... 31
16. Diagram Alir Pemrosesan Data Hambur Balik Dasar Laut Pada
Perangkat Lunak MB-Systems ... 34
17. Sound Velocity Profile di Lokasi Penelitian ... 36
18. Pasang Surut di Lokasi Penelitian ... 37
19. Peta Batimetri 2D ... 39
20. Peta Batimetri 3D ... 40
21. Peta Lokasi Coring dan Jalur Peletakan Pipa ... 43
22. Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut Wilayah 1 ... 44
23. Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut Wilayah 2 ... 46
24. Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut Wilayah 3 ... 48
25. Posisi Offset Sensor Pada Kapal Baruna Jaya IV ... 51
26. Koreksi Swath Pada Data Multibeam ... 52
27. Koreksi Kecepatan Kapal ... 53
28. Jalur Pipa Yang Telah Terpasang ... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Profil Kapal Baruna Jaya IV ... 68
Lampiran 2. Instrumen Multibeam Elac Sea Beam 1050D ... 69
Lampiran 3. CodaOctopus F 180 Attitude and Positioning Systems ... 70
Lampiran 4. Standar Ketelitian Kedalaman Menurut IHO ... 71
Lampiran 5. Data Jenis Sedimen Hasil Coring ... 79
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permintaan terhadap minyak bumi dan gas yang terus meningkat
mengharuskan pemerintah untuk membangun sistem pendistribusian yang efektif.
Pembangunan pipa bawah laut merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi
lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pendistribusian material cair seperti
minyak dan gas dari lokasi pengeboran. Pengangkutan material tersebut dalam
jumlah besar menggunakan kapal membutuhkan waktu yang cukup lama.
Informasi mengenai kondisi dasar laut sangat dibutuhkan untuk kegiatan
pembangunan pipa bawah laut. Informasi mengenai dasar laut didapatkan melalui
survei batimetri. Multibeam sonar merupakan instrumen hidroakustik yang
banyak digunakan dalam survei batimetri. Hal ini disebabkan kemampuan
instrumen tersebut dalam melakukan pemindaian dasar laut dengan akurasi yang
sangat tinggi dan cakupan yang luas (Anderson, 2008).
Informasi yang didapatkan dari multibeam sonar berupa kedalaman dan
nilai backscattering yang dapat digunakan untuk mengetahui sebaran jenis
sedimen dasar laut (Manik, 2008). Sebaran jenis sedimen yang dideteksi
menggunakan instrumen multibeam sonar dapat berubah tergantung dari masukan
sedimen yang ada di sekitarnya. Pembangunan pipa bawah laut harus
memperhatikan topografi dan jenis sedimen dasar laut. Peletakan pipa pada
topografi yang salah dapat menyebabkan pipa patah. Menurut Bachri (1998)
diperlukan empat tahapan survei secara berurutan dalam melakukan pembangunan
pipa bawah laut, yaitu :
1. Survei pendahuluan (recconaissance survey)
2. Survei detail (detail investigation survey)
3. Survei konstruksi (construction survey)
4. Survei inspeksi (as built or inspection survey)
Pemanfaatan instrumen multibeam sonar dalam setiap survei yang dilakukan
mengacu kepada spesfikasi teknis International Hydrographic Organization
(IHO) untuk memenuhi standar ketelitian survei hidrografi. Koreksi dilakukan
untuk mendapatkan data yang akurat, koreksi tersebut meliputi :
1. Koreksi pergerakan kapal
2. Koreksi penentuan koordinat
3. Koreksi cepat rambat suara di air
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan interpretasi karakter fisik dasar
laut seperti topografi dan jenis sedimen sebagai informasi utama dalam penentuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standars for Hydrographic Survei (S.44-IHO) Untuk Kegiatan Peletakan Pipa Bawah Laut
Survei batimetri merupakan suatu proses kegiatan pengukuran kedalaman
yang ditujukan untuk memperoleh suatu gambaran (model) dan bentuk
permukaan dasar perairan (seabed surface) (Yanto, 2007). Survei batimetri hanya
mendapatkan gambaran tentang bentuk dasar perairan tidak sampai dengan
kandungan materialnya ataupun biota yang hidup disana (Poerbandono, 1999).
Pengukuran kedalaman atau yang lebih dikenal sebagai kegiatan pemeruman
hanya dilakukan pada titik-titik kedalaman tertentu (titik sounding) yang dipilih
untuk mewakili wilayah yang akan dipetakan. Pencatatan waktu pada setiap titik
sounding juga harus dilakukan untuk dikoreksi terhadap kenaikan muka air laut
karena pengaruh pasang surut (Sasmita, 2008).
Publikasi khusus International Hydrographic Organisation (IHO) No.44
edisi ke-4 bulan April tahun 1998 menyebutkan bahwa ketentuan teknik survei
hidrografi yang secara khusus diberlakukan untuk keperluan perencanaan
peletakan pipa gas di bawah laut belum ada. Untuk keperluan praktis, survei
hidrografi yang dilakukan berlandaskan kepada ketentuan teknik dari special
publication No. 44 (S.44)-IHO. Ketentuan teknik tersebut merupakan standar
internasional untuk survei hidrografi yang memberikan spesifikasi minimum
dalam pengumpulan data yang akurat dan tepat untuk keselamatan navigasi para
pelaut. Ketentuan tersebut meskipun dibuat untuk keselamatan navigasi para
pelaut akan tetapi dapat digunakan sebagai acuan dalam memandu bagi
pengumpulan data dan perhitungan faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada
peletakan pipa bawah laut. Ketentuan tersebut, yaitu :
1. Skala Survei dan Kerapatan Pemeruman
Skala survei digunakan untuk menentukan resolusi dari peta batimetri
yang dihasilkan. Penentuan skala survei harus disesuaikan dengan waktu,
tujuan survei, dan dana yang tersedia.
2. Penentuan Posisi
Posisi survei direferensikan terhadap sistem geosentris dengan World
Geodetic System 84(WGS-84). Apabila posisi direferensikan terhadap
posisi geodetik lokal maka posisi tersebut harus dikaitkan terhadap WGS
84.
3. Pengukuran Kedalaman
Kedalaman yang diukur harus disurutkan terhadap chart datum, yaitu
dengan memperhitungkan tinggi pasang surut. Ketelitian kedalaman air
diartikan sebagai ketelitian kedalaman yang disurutkan. Semua kesalahan
harus diperhitungkan sehingga diperoleh Total Propagated Error (TPE).
TPE merupakan akumulasi yang terdiri dari beberapa kesalahan, yaitu :
a. Kesalahan sistem pengukuran dan kesalahan kecepatan suara
b. Kesalahan pemodelan dan pengukuran pasang surut
c. Kesalahan pemrosesan data
4. Pengamatan Pasang Surut
Pelaksanaan pengamatan pasang surut dimaksudkan untuk mereduksi
mengenai data ramalan pasang surut yang dilakukan tidak kurang dari 29
hari. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data batimetri yang akurat
dan dapat digunakan pada masa mendatang.
2.2 Syarat Teknis dan Mekanisme Peletakan Pipa Bawah Laut
Berdasarkan ketentuan standar DNV-OS-F101 Submarine Pipelines
Systems 2007, keamanan pipa diatur dalam suatu metodologi dengan beberapa
batasan (Load and Resistance Faktor Design Format). Ketentuan ini menyatakan
tingkat dari risiko keamanan pipa yang secara normal disebabkan oleh isi dan
lokasi pipa. Klasifikasi fluida dilakukan karena jenis fluida yang berbeda akan
menimbulkan risiko yang berbeda pula terhadap pipa (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Fluida (Sumber : DNV-OS-F101 Tahun 2007)
Kategori Deskripsi
A Fluida tidak mudah terbakar yang berbasis air.
B Fluida mudah terbakar atau beracun yang berbentuk cair pada suhu kamar dan kondisi tekanan atmosfir.
C Fluida tidak mudah terbakar yang berbentuk gas, tidak beracun pada suhu kamar dan tekanan atmosfir contohnya nitrogen, karbondioksida dan argon.
D Gas alam berfasa satu dan tidak beracun
E Fluida mudah terbakar dan beracun yang berbentuk gas pada suhu kamar dan kondisi tekanan atmosfir, contohnya hidrogen dan gas alam
Jenis fluida yang dialirkan dan jarak lokasi peletakkan pipa terhadap lokasi
aktifitas manusia digunakan untuk menganalisis tingkat keamanan pada pipa
(Tabel 2). Desain pipa harus berdasarkan konsekuensi kegagalan yang mungkin
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Keamanan Lokasi Peletakan Pipa Bawah Laut (Sumber : DNV-OS-F101 Tahun 2007)
Tingkat Keamanan
Definisi
Rendah Kegagalan menyebabkan risiko yang rendah terhadap kecelakaan manusia dan kerugian kecil terhadap lingkungan dan ekonomi
Medium Pada kondisi temporer (tahap instalasi sampai pengujian) kegagalan yang terjadi dapat menyebabkan risiko
kecelakaan pada manusia, polusi terhadap lingkungan, dan kerugian yang sangat besar terhadap faktor ekonomi. Klasifikasi ini diterapkan pada tahap operasi yang
dilakukan di luar area platform
Tinggi Kondisi operasi, kegagalan menyebabkan risiko yang tinggi terhadap kecelakaan manusia, polusi lingkungan yang signifikan atau kerugian yang sangat besar pada ekonomi dan politik.
Uji berlabuh jangkar (Anchorage Drop Test) dilakukan sebelum
pelaksanaan kegiatan peletakan pipa. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dengan
pasti jenis dasar perairan di lokasi instalasi pipa bawah laut dan sebagai dasar
penentuan kedalaman peletakan pipa di dasar perairan (natural seabed). Berikut
merupakan ketentuan kedalaman penempatan jalur pipa bawah laut :
1. Pipa diletakan sedalam 3 meter di dasar laut untuk kedalaman 0 – 3 meter
dari Mean Sea Level (MSL).
2. Pipa diletakan sedalam 2 meter di dasar laut untuk kedalaman 10 – 28
meter dari MSL.
3. Pipa langsung diletakan diatas dasar laut untuk kedalaman lebih dari 28
meter dari MSL.
4. Lokasi peletakan pipa harus terhindar dari lokasi pipa yang telah diletakan
sebelumnya dan telah diumumkan secra resmi sesuai dengan ketentuan
Langkah awal penentuan jalur pipa bawah laut adalah dengan melakukan
pembahasan terhadap peta batimetri yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan
penggambaran memanjang dari jalur pipa yang akan dibuat dengan melakukan
penghitungan jarak mendatar di permukaan bumi fisik antara dua titik kedalaman
pada jalur pipa yang direncanakan. Penentuan kedalaman peletakan pipa bawah
laut sesuai DNV F 101, yaitu (d(syarat pendam)) dihitung berdasarkan kedalaman
MSL. Kedalaman peletakan pipa didapatkan dari penyesuaian chart datum(d) ke
MSL ( dMSL) dengan menambahkan nilai muka surutan (Zo) terhadap kedalaman
kolom air (CD). Berikut merupakan persamaan yang digunakan dalam penentuan
kedalaman pemendaman pipa bawah laut :
dMSL = d + CD (1)
dpipa = dMSL + d(syarat pendam) (2)
Nilai dpipayang didapatkan selanjutnya digunakan untuk perhitungan faktor
reduksi jarak mendatar (fr) pada permukaan bumi fisik sebagai komponen
tinggi terhadap MSL (h). Gambar 1 merupakan ketentuan kedalaman
Gambar 1. Kedalaman Pipa Bawah Laut (Yanto, 2007)
Jarak antara dua titik kedalaman pada bidang mendatar dihitung
menggunakan persamaan jarak berikut ini (Yanto, 2007) :
2
E = Selisih absis antara dua titik
ij
N = Selisih ordinat antara dua titik
Panjang jalur pipa yang dibuat dihitung menggunakan metode
penjumlahan jarak miring antar dua ttik kedalaman pada penampang memanjang
yang terbentuk. Perhitungan jalur peletakkan pipa dilakukan setelah didapatkan
kedudukan pipa yang aman, efektif dan efisien. Perhitungan panjang jalur pipa
dihitung berdasarkan selisih dua titik kedalaman dan jarak antara dua titik
2
2.3 Prinsip Kerja Multibeam Sonar
Multibeam sonar merupakan instrumen hidroakustik yang menggunakan
prinsip yang sama dengan single beam namun perbedaannya terletak pada jumlah
beam yang dipancarkannya lebih dari satu dalam satu kali pancar. Berbeda
dengan Side Scan Sonar pola pancaran yang dimiliki multibeam sonar melebar
dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam memancarkan satu pulsa suara
dan memiliki penerimanya masing-masing. Saat kapal bergerak hasil sapuan
multibeam tersebut menghasilkan suatu luasan area permukaan dasar laut
(Moustier, 2005).
Transduser yang terdapat di dalam multibeam sonar terdiri dari
serangkaian elemen yang memancarkan pulsa suara dalam sudut yang berbeda.
Biasanya hanya satu beam yang ditransmisikan tetapi menghasilkan banyak
pantulan energi dari masing-masing pulsa suara yang ditransmisikan. Kemampuan
setiap elemen transduser menerima kembali pulsa suara yang dipantulkan
tergantung kepada metode kalibrasi terhadap gerak kapal yang diterapkan
Multibeam sonar memiliki ketelitian yang sangat baik dalam pengukuran
kedalaman. Kedalaman diukur melalui cepat rambat gelombang akustik yang
dipancarkan sampai diterima kembali dibagi dengan dua kali waktu yang
dibutuhkan dalam perambatan (Gambar 2).
Gambar 2. Geometri Waktu Transduser (Djunarsjah, 2005)
Sehingga pengukuran kedalaman oleh MBS dapat dirumuskan sebagai berikut :
t v
h . .
2 1
(5)
Keterangan :
h = kedalaman (m)
v = cepat rambat gelombang akustik
∆t = selang waktu gelombang yang ditransmisikan dengan diterima kembali
Kedalaman hasil pengukuran yang didapatkan tetap harus dikoreksi dari
berbagai kesalahan yang mungkin terjadi. Kesalahan tersebut dapat berasal dari
kecepatan gelombang suara, pasang surut, kecepatan kapal, sistem pengukuran,
International Hydrographyc Organisation (IHO) batas toleransi kesalahan
ketelitian kedalaman (σ) dihitung dengan menggunakan persamaan 6.
2
σ
: ketelitian kedalamana
: konstanta kesalahan kedalaman, yaitu jumlah dari semua konstanta kesalahanb
: faktor pengganti kesalahan kedalaman laind
: kedalaman (meter)bxd
: Kesalahan kedalaman lain, jumlah semua kesalahan2.4 Multibeam ELAC SEABEAM 1050 D
Multibeam ELAC SEABEAM 1050 D merupakan jenis multibeam yang
dapat digunakan pada kedalaman laut medium, yaitu laut dengan kedalaman tidak
lebih dari 3000 m. Multibeam jenis ini memiliki kemampuan untuk memetakan
wilayah laut secara luas dengan lebar sapuan mencapai 153o dan memiliki 126
beam dengan jumlah bukaan 1.5o untuk masing-masing beam (Lampiran 2).
SEABEAM 1050 D memiliki dua frekuensi yang dapat digunakan, yaitu 50 kHz
dan 180 kHz. Kemampuan deteksi menggunakan frekuensi 50 kHz mencapai
kedalaman 3000 meter sedangkan frekuensi 180 kHz digunakan untuk kedalaman
Frekuensi 180 kHz sangat baik untuk digunakan pada laut dangkal karena
menghasilkan data kedalaman yang lebih detail. Penggunaan frekuensi 180 kHz
pada laut dalam akan menghasilkan atenuasi yang tinggi. Keunggulan lain dari
multibeam sonar ELAC SEABEAM 1050 D adalah menghasilkan data dengan
standar IHO dan memiliki kemampuan yang sama bagus untuk digunakan di laut
dangkal ataupun laut kedalaman medium (L3 communications ELAC Nautik
GmbH, 2003).
Gambar 3. Jangkauan Sapuan ELAC SEABEAM 1050 D (Frekuensi 50 kHz) Terhadap Kedalaman.
(L3 communications ELAC Nautik GmbH, 2003).
2.5 Kalibrasi Multibeam Sonar
Setiap data yang didapatkan dari sounding yang dilakukan harus melalui
tahapan kalibrasi terhadap dinamika laut. Kalibrasi meupakan tahapan yang
dilakukan untuk memeriksa dan menentukan besarnya kesalahan yang ada dalam
instrumen yang bersangkutan. Kalibrasi diperlukan untuk menentukan kualitas
proses roll, pitch, gyro dan cepat rambat akustik, kalibrasi offset statik dan uji
keseimbangan kapal (Mann, 1996).
Kalibrasi offset statik merupakan kalibrasi yang dilakukan untuk
melakukan penyesuaian jarak dari sensor-sensor yang digunakan terhadap
centerline dari kapal dan transduser. Proses penyesuaian ini meliputi beberapa
komponen, yaitu kapal, antena GPS kapal, transduser, kompas giro dan Motion
Refernce Unit (MRU).
Gambar 4. Offset Statik (Mann,1996)
Uji keseimbangan meliputi beberapa tahapan kalibrasi, yaitu kalibrasi
pitch, roll, time delay dan profil cepat rambat akustik. Serangkaian kalibrasi
tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perubahan posisi kapal yang
2.5.1 Kalibrasi Pitch
Pitch diukur dari dua pasang titik kapal dalam menentukan kedalaman
terhadap suatu kemiringan pada dua kecepatan yang berbeda (Sasmita, 2008).
Kalibrasi pitch dilakukan dengan tujuan mencari besarnya nilai koefisien koreksi
pitch dan time delay sehingga kedalaman yang terukur menjadi akurat. Kalibrasi
ini dilakukan dengan cara membuat satu garis sapuan multibeam dengan memilih
dasar laut yang memiliki kemiringan. Pengambilan data pada garis ini dilakukan
sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama, setelah itu
pengambilan data dilakukan lagi dengan kecepatan setengah dari kecepatan
pertama dan kedua. Pada kedua garis ini dibuat satu koridor untuk mendapatkan
nilai koefisien pitch (Kongsberg Maritime, 2005).
Gerakan pitch mempengaruhi perubahan posisi rotasi kapal pada sumbu y.
Gerakan ini dipengaruhi oleh dinamika pergerakan air laut. Sudut rotasi pitch
bernilai positif apabila posisi haluan kapal (sisi depan kapal) berada diatas
permukaan air (Aritonang, 2010). Hal penting dari kalibrasi pitch, yaitu
pergantian jalur sepanjang sumbu y sebanding terhadap kedalaman air(Sasmita,
2008). Dengan mengasumsikan kapal melintasi lajur yang sama, arah yang
berlawanan, kedangkalan yang bergradien tajam dan kecepatan yang sama maka
koreksi pitch offset (sudut pancaran) dirumuskan sebagai berikut (Mann, 1996) :
z : kedalaman
d : jarak terjal pengukuran 1 dan 2
Gambar 5. Kalibrasi Pitch Offset (Mann, 1996)
2.5.2 Kalibrasi Waktu Tunggu
Pengambilan data pemeruman yang dilakukan multibeam sonar (MBS)
memiliki perbedaan waktu dengan Differential Global Positioning Systems
(DGPS). Perbedaan tersebut disebabkan adanya pengaruh kolom perairan
terhadap gelombang suara yang diterima kembali sehingga waktu yang diterima
multibeam cenderung lebih lambat.
Perbedaan ini menyebabkan adanya keterlambatan pada DGPS. Kalibrasi
waktu tunggu atau yang lebih dikenal sebagai kalibrasi time delay digunakan
untuk melakukan koreksi terhadap keterlambatan DGPS. Time delay umumnya
bernilai antara 0.2-1 s dan kondisi ini menyebabkan kesalahan pada posisi yang
dideteksi hingga 10-50 ms (Handbook of Offshore Survey, 2006). Gambar 6
memperlihatkan kalibrasi time delay secara empiris yang dipengaruhi oleh
kecepatan kapal dan slope.
Gambar 6. Kalibrasi Time Delay (Mann, 1996)
Persamaan yang digunakan untuk menghitung kalibrasi waktu tunggu
(time delay) adalah :
Vh = kecepatan kapal pada kemiringan terjal (m/s)
2.5.3 Kalibrasi Roll
Kalibrasi ini digunakan untuk mengoreksi gerakan oleng kapal pada arah
sumbu x. Kalibrasi terhadap gerakan roll sangat diperlukan karena pengaruhnya
yang sangat besar pada wilayah laut dalam. Untuk melakukan kalibrasi roll, harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kapal melintasi jalur yang sama dengan
arah yang berlawanan, melintasi dasar laut dengan relief datar, menggunakan
kecepatan yang sama dan pancaran terluar yang overlap digunakan untuk koreksi
(Sasmita, 2008). Gambar 7 merupakan pergerakan pada lambung kapal akibat
pengaruh roll.
Gambar 7. Kalibrasi roll (Mann, 1996)
Offset roll dapat diperkirakan untuk sudut kecil kurang dari 3 derajat
menggunakan persamaan berikut (Mann, 1996) :
x y
1
Keterangan :
= offset roll
y = kedalaman (m)
x = panjang jalur (m)
2.5.4 Kalibrasi Cepat Rambat Gelombang Suara
Kecepatan suara merupakan faktor yang sangat penting dalam survei
batimetri. Hal ini disebabkan kecepatan suara dalam air memiliki nilai yang tidak
selalu sama untuk setiap wilayah sehingga langkah awal untuk melakukan
pemetaan dasar laut (Marine mapping) adalah melakukan perhitungan terhadap
kecepatan suara di wilayah tersebut. Pengambilan data kecepatan suara dapat
dilakukan menggunakan Conductivity Temperature and Depth (CTD) ataupun
Sound Velocity Profile (SVP).
Kapal melewati jalur survei (minimal sebanyak dua kali) dengan relief
dasar laut yang relatif datar kemudian pada masing-masing titik dilakukan
pengambilan data salinitas, suhu, tekanan dan kecepatan suara menggunakan CTD
(Sasmita, 2008). Data kecepatan suara yang didapatkan dimasukkan kedalam
sistem yang digunakan untuk perekaman data. Tujuan dari pengambilan data
kecepatan suara ini adalah untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang suara
yang akurat, sehingga akan dihasilkan nilai kedalaman yang akurat (Hasanudin,
2009). Gambar 8 memperlihatkan contoh kecepatan suara yang diperoleh
Gambar 8. Profil kecepatan suara dalam air (Kinsler et al, 2000)
2.6 Sistem Koordinat Kapal
Sistem penentuan posisi kapal menggunakan Differential Global
Positioning System (DGPS) dengan metode Real Time Differential GPS
(RTDGPS) yang digunakan untuk objek yang bergerak. Alat yang digunakan
dalam sistem ini, yaitu DGPS Sea Star 8200 VB. RTDGPS merupakan sistem
penentuan posisi real time secara differential menggunakan data pseudorange.
Untuk merealisasikan data yang real time maka monitor stasiun mengirimkan
koreksi differensial ke kapal secara real time menggunakan sistem komunikasi
data (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Sistem koordinat pada kapal
digambarkan menggunakan sistem tegak lurus yang dibentuk oleh sumbu x, y dan
Gambar 9. Sistem koordinat Kartesian Kapal-Sistem Koordinat Referensi (Hydrographic Survey, 2004 dalam Sasmita, 2008)
Untuk membuat sistem koordinat transduser relatif terhadap posisi kapal,
pusat sistem koordinat kapal adalah salib sumbu antara arah kapal (heading)
sebagai sumbu x serta arah tegak lurus ke arah dasar laut sebagai sumbu z
.
Gambar 10. Diagram Kapal (Kongsberg, 2006)
Posisi transduser ditentukan melalui hasil pengukuran yang dilakukan oleh
sensor antena GPS terhadap transduser yang diikatkan di kapal. Berdasarkan
sistem koordinat yang digunakan, maka gerak kapal dinyatakan sebagai gerak
rotasi begitu juga dengan titik-titik kedalaman yang diperoleh dari hasil
pengukuran instrumen multibeam sonar.
2.7 Sensor Kalibrasi CodaOctopus F 180
Kalibrasi terhadap pengaruh roll, pitch, heave dan heading dilakukan
secara real time menggunakan sensor attitude and positioning systems
CodaOctopus F 180. Sensor ini memiliki ketelitian posisi mencapai 20 cm
dengan menggunakan Real Time Kinematic (RTK), kecepatan 0.03 m/s dan
kemampuan adaptasi terhadap suhu pada rentang -10oC sampai 60oC (Lampiran
dapat diikatkan di kepala transduser multibeam. Keunggulan sensor ini, yaitu
memiliki perangkat lunak untuk pemrosesan model posisi dan data yang mudah
digunakan (Gambar 11).
Gambar 11. CodaOctopus F 180
2.8 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut
Dasar laut memiliki sebaran sedimen yang berbeda untuk setiap wilayah.
Sedimen merupakan partikel-partikel yang berasal dari pembongkaran
batu-batuan dan potongan kulit (shell) serta sisa rangka dari organisme laut yang telah
mengalami berbagai proses fisika, kimia dan biologi di dasar laut dalam jangka
waktu tertentu (Hutabarat dan Stewart, 2000). Informasi mengenai jenis sedimen
di dasar laut penting untuk mengetahui organisme bentik yang terdapat disana
selain itu untuk mengetahui tingkat kekokohan sedimen tersebut dalam menahan
beban dalam rekayasa peletakan pipa bawah laut. Sedimen diklasifikasikan
berdasarkan ukuran butir (grain size), tekstur dan porositas. Wentworth (1922)
mengklasifikasikan jenis sedimen berdasarkan ukurannya menjadi 6 jenis (Tabel
Tabel 3. Klasifikasi Sedimen Berdasarkan Ukuran Butiran
Nama Partikel Ukuran Sedimen Nama Batu
Bongkah/Boulder >256 mm Gravel Konglomerat dan Breksi berdasarkan kebundaran
partikel Kerakal/Cobble 64-256 mm Gravel
Kerikil/Pebble 2-64 mm Gravel
Pasir/Sand 0.0625-2 mm Sand Sandstone Lanau/Silt 0.0039-0.0625 mm Silt Batu lanau Lempung/Clay <0.0039 mm Clay Batu lempung
Klasifikasi sedimen dasar laut selain berdasarkan ukuran butiran juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi pengendapan sedimen tersebut. Chester
(1993) mengklasifikasikan sedimen menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Nearshore sediment. Endapan sedimen sebagian besar berada di dasar
laut yang dipengaruhi kuat oleh kedekatannya dengan daratan. Hal
tersebut mengakibatkan kondisi fisika, kimia dan biologi dalam
sedimen ini bervariasi.
2. Deep sea sediment. Endapan sedimen sebagian besar mengendap di
laut dalam diatas 500 m. Jauhnya dari daratan, reaksi antara
komponen terlarut dalam kolom perairan serta adanya biomassa
khusus yang mendominasi lingkungan tersebut menyebabkan jenis
sedimen di wilayah ini memiliki sifat yang khusus.
Dalam perencanaan desain pipa bawah laut, jenis tanah diklasifikasikan
menjadi dua kategori utama, yaitu tanah kohesif (clay/silt) dan tanah non-kohesif
(sand). Det Norske Veritas (DNV) memberikan ketetapan umum untuk parameter
Tabel 4. Parameter Umum Tanah Menurut DNV RP-F105
2.9 Klasifikasi Dasar Laut
Multibeam sonar memiliki kemampuan untuk membedakan dasar laut
melalui analisis nilai backscattering strength. Sedimen yang keras akan
memantulkan nilai backscatter yang tinggi yang dipengaruhi oleh tingkat
kekerasan dan kekasaran dasar tersebut. Nilai dari backscatter selain tergantung
dari tipe dasar perairan (khususnya kekasaran dan kekerasan) tetapi tergantung
juga dari parameter alat (frekuensi dan transduser beamwidth) (Burczynski 2002).
Backscatter adalah nilai hamburan dari sinyal suara yang ditransmisikan
gelombang suara yang kembali (backscatter) memungkinkan untuk mengekstrak
informasi mengenai struktur dan kekerasan dari dasar laut, yang digunakan untuk
identifikasi jenis substrat dasar laut. Sinyal kuat yang kembali menunjukkan
permukaan yang keras (rock, gravel) dan sinyal yang lemah menunjukkan
permukaan yang lebih halus (silt dan mud) (Gambar 12).
Gambar 12. Prinsip Pengukuran Backscattering Strength Menggunakan Multibeam Sonar (Kagesten, 2008)
Hambur balik dari multibeam memiliki cakupan daerah dan tingkat detail
yang lebih baik dibandingkan dengan singlebeam, tetapi proses pengolahan
datanya lebih kompleks. Sinyal backscatter bervariasi bergantung pada geometri
beam, kedalaman dan komposisi penyusun dasar perairan. Kelebihan lain yang
dimiliki multibeam adalah kemampuannya untuk mencakup hampir seluruh jalur
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Februari
sampai dengan April 2011 disekitar wilayah Balongan, Indramayu Provinsi Jawa
Barat (Gambar 13). Pengambilan data kedalaman dan backscatter dilakukan
selama 6 hari sejak tanggal 4 Oktober 2010 sampai dengan 9 Oktober 2010.
Lokasi tersebut dipilih karena akan menjadi tempat kegiatan peletakan pipa bawah
laut yang menyalurkan Liquid Natural Gas (LNG) dari laut ke darat. Data yang
digunakan merupakan data sekunder dari Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Data diperoleh menggunakan instrumen hidroakustik
multibeamELACSEABEAM 1050D dengan frekuensi 50 kHz yang terpasang
pada kapal riset Baruna Jaya IV milik Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (Lampiran 1).
Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Teknologi Survei
Kelautan, Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Gambar
13 merupakan peta lokasi penelitian yang terletak di daerah Balongan, Indramayu.
3.2 Pengambilan Data Multibeam
Pengambilan data kedalaman dan backscatter dilakukan dengan
menggunakan instrumen multibeamELACSEABEAM 1050D. Data multibeam
yang didapatkan merupakan data yang telah terkoreksi terhadap pergerakan kapal
seperti pitch, heave, roll dan heading. Koreksi tersebut dilakukan menggunakan
sensor attitude and positioning CodaOctopus F 180. Koreksi posisi sensor dan
transduser (offset correction) yang digunakan terhadap center line Kapal Baruna
Jaya IV dilakukan menggunakan DGPS Sea Star 8200 VB. Sistem navigasi yang
digunakan dalam Kapal Baruna Jaya IV diatur dalam perangkat lunak Hypack
yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data multibeamELAC
SEABEAM 1050D.
Akuisisi data multibeam dilakukan menggunakan perangkat lunak
Hydrostar. Data yang telah diakuisisi selanjutnya diolah menggunakan perangkat
lunak Caris HIPS and SIPS6.1 dan MB Systems. Perangkat Lunak Caris HIPS
and SIPS6.1 digunakan untuk mengolah nilai kedalaman sehingga didapatkan
produk akhir berupa peta batimetri yang divisualisasikan menggunakan perangkat
lunak Generic Mapping Tool (GMT ) secara 2D dan Fledermus (3D). MBSystems
digunakan untuk melakukan klasifikasi dasar perairan dengan mencocokan nilai
amplitudo yang sudah diinterpolasi dengan data hasil coring. Informasi yang
sudah didapatkan kemudian digunakan untuk menentukan jalur peletakan pipa
yang dibuat dalam perangkat lunak ArcView GIS 3.2. Gambar 14 merupakan
diagram alir sistem akuisisi dan pengolahan data multibeamELAC SEABEAM
Gambar 14. Diagram alir pemrosesan data multibeam sonar.
3.3 Pemrosesan Data Multibeam
Hasil akuisisi data multibeam menggunakan perangkat lunak Hidrostar,
yaitu data kedalaman dan backscatter. Data kedalaman selanjutnya diproses
menggunakan perangkat lunak Caris HIPS&SIPS 6.1 sedangkan data backscatter
diproses menggunakan perangkat lunak MB-Systems.
3.3.1 Pemrosesan Data Kedalaman XSE* Data Processing
Export Kedalaman (xyz) Export Amplitudo
Fledermous (Batimetri3D)
Data kedalaman hasil akuisisi dalam perangkat lunak Hydrostar belum
dapat menggambarkan dasar laut secara akurat. Oleh karena itu, data kedalaman
tersebut kemudian diekstrak dalam format *XSE untuk selanjutnya diproses
menggunakan perangkat lunak Caris HIPS&SIPS 6.1. Tahap awal pengolahan
data adalah pembuatan file kapal (Vessel file). Vessel file berisi nilai koordinat
setiap sensor yang direferensikan terhadap titik pusat kapal (centre line). Proses
berikutnya, yaitu pembuatan proyek baru (create new project) dengan
menggunakan vessel file yang telah dibuat. Setelah project dibuat, data
kedalaman dalam bentuk *XSE diubah menjadi hsf menggunakan menu
conversion wizard sehingga data tersebut dapat diproses dalam perangkat lunak
Caris HIPS&SIPS 6.
Data kedalaman tersebut selanjutnya diproses menggunakan menu swath
editor untuk menghilangkan ping yang dianggap buruk. Altitude editor dan
navigation editor kemudian digunakan untuk menghilangkan pengaruh
pergerakan dan kecepatan kapal yang memiliki nilai diluar kisaran. Setelah
editing data dilakukan kemudian dimasukan parameter-parameter yang
mempengaruhi nilai kedalaman, yaitu pasang surut dan kecepatan gelombang
suara masing-masing melalui menu load tide dan sound velocity correction.
Data-data tersebut kemudian digabungkan (merging) untuk didapatkan hasil akhir
berupa peta batimetri. Peta batimetri tersebut kemudian diexport kedalam bentuk
ASCII sehingga dapat divisualisasikan menggunakan GMT. Gambar 15
Gambar 15. Diagram alir pemrosesan data kedalaman pada perangkat lunak Caris HIPS&SIPS 6.1
New Field Sheet
Base Surface
Product Surface Merge
Swath editor Altitude editor Navigation editor Create a Vessel File
Create New Project
Convert Raw Data
hsf File
Load Tide
Sound Velocity Correction
Export to ASCII
3.3.2 Pemrosesan Data Backscatter
Data backscattering yang didapatkan dikoreksi beberapa tahap pada
perangkat lunak MB System untuk mendapatkan informasi mengenai jenis
sedimen yang akurat. MBCLEAN merupakan koreksi yang dilakukan secara
otomatis terhadap beam yang dinilai buruk sehingga didapatkan output berupa
data terkoreksi. Tahap selanjutnya, yaitu MBEDIT koreksi ini digunakan untuk
melakukan koreksi secara manual dengan terlebih dahulu melakukan visualisasi
data beam yang dianggap masih buruk. Koreksi terhadap pengaruh heave, pitch
dan roll dilakukan menggunakan perintah MBNAVEDIT. Nilai kecepatan suara
pada daerah penelitian dikoreksi menggunakan perintah MBVELOCITYTOOL,
proses ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perubahan kecepatan suara di
sepanjang jalur penelitian.
Koreksi selanjutnya yang dilakukan, yaitu MBBACKANGLE dalam proses
ini tabel amplitudo dengan grazing angle dimunculkan untuk digunakan sebagai
patokan antara nilai amplitudo dan kedalaman. Data yang telah dikoreksi tersebut
kemudian digabungkan menggunakan perintah MBPROCESS. Dalam tahap ini
data input berupa *XSE diubah menjadi *.mb94. Nilaiamplitudo yang didapatkan
kemudian digunakan untuk mengklasifikasikan jenis dasar perairan. Nilai
amplitudo dasar perairan divisualisasikan menggunakan perangkat lunak GMT
sehingga didapatkan peta klasifikasi dasar perairan.
Peta tersebut selanjutnya divalidasi dengan menggunakan data coring
sehingga diketahui tingkat akurasi dari peta tersebut. Penggabungan data coring
Filter. Gaussian Weighted Mean Filter merupakan salah satu jenis filter yang
melakukan filter setiap lajur dengan memperhitungkan ukuran grid dan nilai
rata-rata data. Semakin kecil ukuran grid maka data yang terfilter semakin banyak.
Filter ini digunakan untuk melakukan penajaman dalam visualisasi data.
Kelebihan lain yang dimiliki filter ini adalah kemampuan yang sangat baik untuk
digunakan pada data yang memiliki keragaman tinggi. Pemilihan metode
Gaussian dilakukan karena hanya metode yang ini yang terdapat dalam perangkat
lunak GMT yang mampu mendapatkan nilai sebaran amplitudo yang menutupi
jalur survei. Nilai Gaussian Weighted Median Filter untuk threshold sebesar
[0,1] dirumuskan sebagai berikut :
p
Berikut merupakan diagram alir pembuatan peta klasifikasi dasar perairan
Gambar 16. Diagram alir pemrosesan data hambur balik dasar laut pada perangkat lunak MB-Systems
Data Acoustic Output *mb94 Raw Data
(*XSE)
Koreksi *XSE MBPROCESS
MBEDIT MBCLEAN
MBNAVEDIT
MBVELOCITYTOOL
MBBACKANGLE
Peta Klasifikasi Dasar Perairan Klasifikasi jenis sedimen dasar laut
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil
4.1.1. Sound Velocity Profile
Sound Velocity Profile (SVP) merupakan profil cepat rambat gelombang
akustik dalam suatu medium tertentu (Urick, 1983). SVP salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dalam penentuan nilai kedalaman. SVP di lokasi penelitian
diukur secara real time sejak tanggal 4 - 6 Oktober 2010 menggunakan instrumen
CTD SBE 37 SM selama 6 hari. Instrumen tersebut memiliki kemampuan untuk
melakukan perekaman data setiap 1.8-2.6 s dengan sifat memori non-volatile.
CTD SBE 37 SM memiliki kemampuan mengukur tekanan yang dapat dipilih pada
kedalaman 20, 100, 350, 600, 1000, 2000, 3500, 7000 meter. Instrumen ini dapat
digunakan secara portabel dan memiliki resolusi yang tinggi, yaitu sebesar
0.002% untuk pengukuran tekanan (Seabird, 2011).
SVP di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh
kesalahan terhadap data multibeam pada saat melakukan pemeruman. Hal ini
dilakukan karena SVP di setiap wilayah tidak selalu sama. Selama pengukuran
nilai SVP di lokasi penelitian menunjukan peningkatan seiring dengan
meningkatnya kedalaman (Gambar 17). Sumbu x pada gambar tersebut
merupakan cepat rambat gelombang akustik sementara itu sumbu y merupakan
kedalaman pengukuran.
Gambar 17. Sound Velocity Profile di Lokasi Penelitian
Pengukuran SVP dilakukan dengan cara CTD SBE 37 SM diturunkan secara
perlahan disekitar lokasi penelitian sehingga mampu melakukan perekaman data
secara baik. Hasil pengukuran SVP menunjukan kecepatan suara terendah terjadi
pada kedalaman 0.23 meter, yaitu sebesar 1540.22 m/s sedangkan kecepatan suara
tertinggi sebesar 1542.64 m/s terjadi pada kedalaman 33.06 meter. Nilai cepat
rambat gelombang akustik di lokasi penelitian memiliki nilai yang lebih kecil di
permukaan apabila dibandingkan dengan dasar perairan.
4.1.2. Pasang Surut
Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya air laut karena pengaruh
gaya tarik bumi dan bulan. Dalam survei batimetri pasang surut sangat
berpengaruh terhadap nilai kedalaman yang didapatkan. Data kedalaman hasil
pemeruman dikoreksi dengan menggunakan Mean Sea Level (MSL) sehingga
secara otomatis dengan memasukan nilai pasang surut lokasi penelitian pada
menu load tide yang terdapat dalam perangkat lunak Caris HIPS&SIPS 6.1.
Pasang surut di lokasi penelitian diukur menggunakan instrumen Tide
Gauge Valeport 740 selama 30 hari dengan interval pengambilan waktu setiap 10
menit. Gambar 18 menunjukan pasang surut di lokasi penelitian dengan sumbu x
sebagai waktu pengambilan data dan sumbu y sebagai tinggi pasang surut.
Gambar 18. Pasang Surut di Lokasi Penelitian
Pasang surut di lokasi penelitian termasuk kedalam jenis campuran. Nilai
kisaran pasang surut di lokasi penelitian sebesar 0.85-1.68 meter. Pengukuran
pasang surut dilakukan sesuai dengan ketetapan Special Publication No. 44
(S.44)-IHO yang menyebutkan bahwa pengukuran dilakukan minimal 29 hari
untuk mendapatkan data pasang surut yang akurat.
4.1.3 Topografi Dasar Laut
Data multibeam hasil akuisisi telah terkoreksi terhadap pengaruh pitch, roll,
heave dan heading sehingga dapat langsung divisualisasikan. Koreksi dilakukan
secara real time menggunakan sensor CodaOctopus F180. Sudut pitch dan roll
dijaga agar bernilai kurang dari 0.025o. Perubahan posisi karena pengaruh
dari sensor tersebut. CodaOctopus F180 berfungsi untuk melakukan koreksi
terhadap pengaruh perubahan vertikal pada beam. Perubahan posisi (horizontal)
dikoreksi dengan menggunakan instrumen Differential Global Positioning
Systems (DGPS) Sea Star 8200 VB dengan sensitifitas sebesar 1 meter. Kapal
Baruna Jaya IV menggunakan dua buah sistem DGPS, yaitu primary dan
secondary. Primary DGPS merupakan sistem penentuan posisi utama yang
memberikan nilai posisi kapal pada saat akusisi data. Pada Kapal Baruna Jaya IV
primary DGPS yang digunakan, yaitu DGPS Sea Star 8200 VB sedangkan untuk
secondary DGPS digunakan sensor CodaOctopus F180.
Nilai keakuratan data yang diperoleh selama akuisisi dijaga agar selalu
tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta batimetri yang akurat.
Berdasarkan ketentuan IHO Tahun 2008, lokasi penelitian termasuk dalam orde
1b dengan ketelitian horizontal sebesar 20 meter. Spasi lajur perum maksimum
orde ini, yaitu tiga kali kedalaman rata-rata atau 25 meter tergantung dari nilai
yang paling besar. Special publication No. 44 (S.44)-IHO Tahun 1998
menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari peta batimetri
yang dihasilkan (Lampiran 4).
Gambar 19 merupakan peta batimetri 2 dimensi lokasi penelitian. Peta
batimetri 2 dimensi memberikan informasi mengenai kedalaman lokasi penelitian
Gambar 19. Peta Batimetri Secara 2 Dimensi
Kedalaman laut lokasi penelitian termasuk kedalam kategori laut dangkal
Kedalaman laut tersebut berkisar antara 11.5 meter sampai dengan 22.5 meter.
Topografi dasar laut relatif datar dengan peningkatan kedalaman menuju laut
lepas. Kemiringan topografi dasar laut banyak terlihat pada bagian sisi jalur
penelitian. Bagian tengah jalur penelitian memiliki topografi yang lebih datar
dibandingkan bagian sisi (Gambar 20). Nilai kemiringan yang relatif datar
digunakan sebagai salah satu pertimbangan pemilihan jalur pipa bawah laut
Gambar 20. Peta Batimetri 3D
4.1.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut
Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dilakukan dengan menggunakan nilai
sebaran amplitudo dari data multibeam. Data amplitudo difilter dengan
menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut
dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi pemeruman.
Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari
setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi eksponensial dari
jarak antar beam dan normal factor. Sapuan beam dihitung berdasarkan lebar tiap
beam dan altitude sonar (GMT Manual Book, 2009).
Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu
wilayah 1 (dekat dengan daratan), wilayah 2 (bagian tengah lokasi pemeruman)
dan wilayah 3 (ujung jalur pemeruman). Pembagian wilayah ini dilakukan untuk
mempermudah pengolahan data. Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen
dasar laut menggunakan nilai amplitudo telah dilakukan oleh Kodagali, Hagen
dan Schenke tahun 1997 tentang pemetaan sedimen dasar laut secara kualitatif
strength. Penelitian lain dilakukan oleh Aritonang tahun 2010 menggunakan data
multibeam Elac Seabeam 1050D dengan mencocokan nilai amplitudo dan hasil
coring. Aritonang (2010) mengklasifikasikan jenis sedimen dasar laut menjadi 3
jenis, yaitu silty clay dengan kisaran nilai amplitudo sebesar 311 - 352, clayey silt
dengan kisaran sebesar 352 - 399 dan jenis sedimen sandy silt dengan kisaran
amplitudo 399 – 428 (Tabel 5).
Tabel 5. Kisaran amplitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian
Peneliti Kisaran Amplitudo Jenis Sedimen Ukuran Butiran (mm)
Nilai kisaran amplitudo yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 300 –
450. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom
perairan dan ukuran butiran yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo yang
berada diluar kisaran dianggap sebagai data yang tidak teridentifikasi. Nilai
amplitudo yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan jenis sedimen yang
diperoleh dari hasil coring. Perbandingan antara kisaran amplitudo dan jenis
sedimen hasil coring dilakukan berdasarkan koordinat. Coring dilakukan di
sepanjang jalur pemeruman sebanyak 27 titik pengambilan dengan interval jarak
setiap 1000 meter dengan kedalaman pengambilan sedimen 1.5 meter. Alat yang
digunakan adalah gravity core tipe Kulenberg ukuran 2.5 inch dengan pipa
kemudian dilakukan interpretasi mengenai informasi geoteknik yang terdapat di
lokasi peneltian.
Pada koordinat tertentu hasil coring didapatkan jenis sedimen silt
kemudian dilihat kisaran amplitudo dari setiap lokasi tempat jenis sedimen
tersebut didapatkan (Gambar 21). Proses tersebut juga dilakukan untuk jenis
sedimen yang lainnya. Nilai amplitudo kemudian difilter sehingga hanya
didapatkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian. Nilai kisaran amplitudo 300 –
350 merupakan nilai amplitudo untuk jenis sedimen silt. Nilai kisaran amplitudo
350 – 400 merupakan nilai untuk jenis sedimen silty clay dan kisaran amplitudo
400 – 450 merupakan nilai kisaran untuk jenis sedimen clayey silt.
Wilayah 1 lokasi klasifikasi jenis sedimen dasar laut merupakan titik awal
lokasi pemeruman. Pada wilayah ini umumnya jenis sedimen memiliki nilai
sebaran yang merata. Hal ini sesuai dengan data coring yang didapatkan. Pada
sisi kiri jalur pemeruman wilayah 1 juga terdapat jenis sedimen silt (Gambar 22).
Warna putih pada lokasi klasifikasi jenis sedimen dasar laut wilayah 1 merupakan
lokasi dengan nilai amplitudo berada diluar kisaran. Klasifikasi pada wilayah 1
Gambar 23 merupakan lokasi klasifikasi jenis sedimen dasar laut wilayah 2.
Wilayah tersebut merupakan bagian tengah dari jalur pemeruman. Klasifikasi
jenis sedimen wilayah 2 dilakukan pada koordinat 6.3365 LS, 108.4690 BT
sampai dengan 6.3313 LS, 108.4951 BT. Pada wilayah ini jenis sedimen dasar
laut didominasi oleh jenis clayey silt. Jenis sedimen tersebut pada wilayah 2
mencapai 80%. Jenis sedimen silty clay juga terdapat lebih banyak pada bagian
awal dan tengah wilayah 2 namun dengan luasan yang kecil. Jenis sedimen silt
hanya terdapat pada sisi kiri wilayah 2 dengan luasan yang sangat terbatas.
Luasan berwarna putih merupakan wilayah dengan nilai amplitudo diluar kisaran
300 – 450 atau bisa disebut sebagai daerah yang tidak teridentifikasi.
Wilayah yang tidak teridentifikasi terjadi selain disebabkan nilai amplitudo
yang diluar kisaran juga disebabkan oleh jarak antar beam yang terlalu dekat atau
berhimpit sehingga pada saat interpolasi dilakukan wilayah tersebut tidak
terinterpolasidengan baik. Meskipun demikian, metode Gaussian Weighted
Mean yang terdapat pada GMT 4.4 sangat akurat untuk memproses data sonar
ataupun batimetri. Hal ini terlihat pada Gambar 23 yang menunjukan klasifikasi
Wilayah 3 merupakan klasifikasi jenis sedimen dasar laut pada bagian
ujung lokasi pemeruman. Klasifikasi jenis sedimen dimulai pada koordinat
6.3313 LS, 108.4951 BT sampai dengan 6.3253 LS, 108.5257 BT. Pada wilayah
ini jenis sedimen didominasi oleh jenis clayey silt. Jenis sedimen silty clay
banyak terdapat pada sisi kiri wilayah 3 sementara itu jenis sedimen silt terdapat
pada titik awal wilayah 3. Sisi kanan wilayah 3 hampir seluruh bagiannya
didominasi jenis sedimen clayey silt (Gambar 24).
Klasifikasi jenis sedimen yang dilakukan pada wilayah 3 memiliki luas
yang sama dengan luas jalur pemeruman. Hal ini dilakukan untuk mengindari
adanya data bayangan yang muncul karena proses interpolasi. Jenis sedimen yang
terdapat di wilayah 3 secara tidak langsung menunjukan pengurangan terhadap
pengaruh daratan. Secara umum jenis sedimen clayey silt banyak terdapat di
wilayah 2 dan 3 yang lebih dekat ke arah laut lepas . Kondisi berbeda terjadi pada
jenis sedimen silty clay yang banyak terdapat pada wilayah yang lebih dekat ke
arah daratan. Namun untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kedua hal
tersebut harus dilakukan penelitian tersendiri. Silt sendiri merupakan jenis
sedimen yang besar ukurannya berada dipertengahan antara sand dan clay.
Ukuran partikel dan arus merupakan faktor yang berperan dalam penyebaran jenis
sedimen (Manik, 2006). Arus yang kuat dan ukuran partikel yang relatif kecil
menyebabkan distribusi partikel tersebut terjadi secara luas sedangkan ukuran
partikel sedimen yang besar menyebabkan partikel tersebut tersebar hanya di
4.2. Pembahasan
4.2.1. Sound Veolcity Profile
Cepat rambat gelombang akustik dalam air laut dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu suhu, salinitas dan tekanan. SVP di lokasi penelitian (Gambar 15)
termasuk kedalam wilayah surface layer. Peningkatan suhu sebesar 5oC pada
wilayah tersebut meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 16 m/s
atau sebesar 1%. SVP pada wilayah surface layer sangat dipengaruhi oleh
perubahan diurnal harian air bagian bawah. Panas dari sinar matahari
menyebabkan air lapisan atas lebih hangat dibandingkan bagian bawah. Kondisi
tersebut menyebabkan terbentuknya mixed layer yang terus berlangsung sampai
sore hari hingga gradient SVP tersebut menjadi negatif (afternoon effect).
Pergerakan gelombang pada wilayah ini menyebabkan terjadinya percampuran
sehingga pengaruh suhu dan salinitas menjadi berkurang (Kinsler et.al,2000).
Nilai positif dari gradient SVP disebabkan kuatnya pengaruh mixed layer
yang dapat menyebabkan kondisi isotermal sehingga tekanan air laut merupakan
satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap cepat rambat gelombang akustik.
Tekanan air laut meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 1.6 m/s
atau sebesar 0.1%. Menurut Kinsler et.al (2000) peningkatan suhu 10C akan
meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 4 m/s, peningkatan
tekanan air laut setiap 1 km meningkatkan cepat rambat gelombang akustik
sebesar 17 m/s dan peningkatan salinitas 1 psu meningkatkan cepat rambat
SVP sangat penting dalam survei batimetri karena dapat digunakan untuk
meramalkan arah penjalaran gelombang akustik. Secara empiris pengukuran
kedalaman menggunakan metode hidroakustik adalah melakukan penghitungan
terhadap cepat rambat gelombang akustik dibagi dua, kemudian dikali dengan
waktu tempuhnya. Special publication No. 44 (S.44)-IHO menyebutkan bahwa
data kedalaman yang akurat harus memperhitungkan nilai Total Propagated Error
(TPE) terlebih dahulu termasuk didalamnya cepat rambat gelombang akustik.
4.2.2 Pasang Surut
Pasang surut di Balongan, Indramayu tergolong kedalam jenis campuran.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
Madi (2010) yang menyebutkan bahwa jenis pasang surut di Eretan, Indramayu
tergolong kedalam jenis campuran condong ke harian ganda. Pasang surut jenis
campuran memungkinkan terjadinya pasang dan surut terjadi sebanyak dua kali
dalam satu hari dengan periode yang berbeda-beda. Nilai MSL yang diperoleh
sebesar 1.01 m. Nilai tersebut digunakan untuk mengkoreksi data kedalaman
hasil pemeruman. Menurut Hasanudin (2009) data pasang surut yang digunakan
sebaiknya data pasang surut lokasi penelitian atau lokasi terdekat dengan lokasi
penelitian.
Nilai MSL sebesar 1.01 m diartikan sebagai pergerakan dinamis rata-rata
muka air laut yang terjadi di lokasi penelitian. Ketentuan pemerintah tentang
peletakan pipa bawah laut menyebutkan bahwa kedalaman syarat pendam pipa
penurunan ketinggian air laut pada saat surut. Penghitungan nilai surut yang salah
dapat menyebabkan ketinggian air laut berada dibawah nilai batas (Yanto, 2007).
4.2.3 Topografi Dasar Laut
Data kedalaman hasil akuisisi diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Caris HIPS&SIPS 6.1 milik BPPT dengan nomor seri CW9605878 untuk
mendapatkan topografi dasar laut. Nilai offset dari setiap sensor yang digunakan
harus dihitung terhadap center line. Nilai offset tersebut penting untuk melakukan
koreksi dari beberapa sensor yang digunakan terhadap sumbu salib kapal. Berikut
merupakan offset dari multibeam ELAC SEABEAM 1050D, DGPS Seastar 8200
VB dan CodaOctopus F180. (Gambar 24)
Gambar 25. Posisi Offset Sensor Pada Kapal Baruna Jaya IV
CodaOctopus F180 diasumsikan berada tepat pada posisi center line.
Dalam koreksi offset, jarak dari masing-masing instrumen tersebut dibuat nol
sehingga ketiga instrumen tersebut diasumsikan berhimpit (Poerbandono dan
Djunarsjah, 2005). Pada sumbu x nilai -0.530 meter artinya posisi offsetSeastar
transduser dinaikan sejauh 3.40 meter sehingga diasumsikan berhimpit pada
center line.
Koreksi lain yang harus dilakukan, yaitu koreksi swath dan koreksi
navigasi kapal. Koreksi swath bertujuan untuk menghilangkan atau melakukan
interpolasi terhadap beam yang dianggap kurang baik (Hasanudin, 2009). Hal
tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh dari beam tersebut terhadap
data (Gambar 25).
Gambar 26. Koreksi Swath Pada Data Multibeam
Beam berwarna merah merupakan beam yang berasal dari bagian lambung
kanan multibeam sementara beam berwarna hijau berasal dari bagian lambung
kiri. Beam yang berada di luar kisaran dipilih kemudian dihilangkan atau
diinterpolasi (berwarna kuning). Setiap beam memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap data sehingga harus terhindar dari eror (Moustier, 2005).
Kecepatan kapal berpengaruh pada saat pemeruman. Kecepatan yang ideal
pada saat pemeruman, yaitu sebesar 4 knot atau 7.408 km/jam dan diusahakan
kecepatan kapal yang tidak konstan menyebabakan data pemeruman yang
didapatkan mengalami overlap. Hal ini disebabkan kemampuan setiap elemen
transduser menerima kembali pulsa suara tergantung kepada metode kalibrasi
terhadap gerak kapal (Hammerstad, 2008). Koreksi terhadap kecepatan kapal
dilakukan pada menu navigasi editor dalam perangkat lunak Caris (Gambar 26).
Gambar 27. Koreksi Kecepatan Kapal
Koreksi kecepatan kapal dilakukan pada tahap processing karena kecepatan
kapal pada saat akuisisi sering tidak konstan. Nilai kecepatan kapal yang berada
jauh diluar kisaran dihilangkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas data
sehingga pada tahap visualisasi, data yang digunakan tetap memiliki akurasi yang
baik.
Gambar 19 merupakan bentuk topografi dasar laut lokasi penelitian secara
2 dimensi. Nilai grid yang diberikan, yaitu sebesar 0.9 meter untuk mendapatkan
yaitu metode grid terpisah. dalam perangkat lunak GMT. Metode tersebut terdiri
dari empat tahapan, yaitu grdmask, grdmath, grdgradient dan grdimage.
Grdmask digunakan untuk memberikan batasan area dari data yang akan
diinterpolasi sehingga data yang berada di luar grdmask akan diabaikan. Grdmath
digunakan untuk melakukan proses matematis terhadap data dalam grdmask.
Grdgradient digunakan untuk menghitung turunan dari data yang diinterpolasi
menggunakan grdmath. Tahapan interpolasi terakhir, yaitu grdimage yang
digunakan untuk memberikan perubahan warna setiap perubahan kedalaman
sebesar 0.5 meter.
Peta batimetri menunjukan bagian sisi yang lebih terjal dibandingkan
bagian tengah jalur penelitian (Gambar 20). Informasi tersebut dapat digunakan
sebagai informasi awal jalur lokasi peletakan pipa. Faktor lain yang harus
diperhatikan, yaitu jalur pipa sebelumnya yang telah diletakan, jenis sedimen,
pasang surut, dan arah pergerakan arus (Yanto, 2007).
4.2.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut
Jenis sedimen dasar laut diklasifikasikan berdasarkan nilai kisaran
amplitudo. Pada penelitian ini nilai amplitudo yang didapatkan berkisar antara
300 – 450 dengan interval setiap 50. Nilai amplitudo yang didapatkan pada setiap
beam telah diinterpolasi sebelumnya menggunakan metode Gausian Weighted
Mean. Jenis sedimen clayey silt merupakan jenis sedimen yang banyak
didapatkan di lokasi penelitian dengan kisaran amplitudo sebesar 400 - 450. Nilai
amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen