BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU
3.2 Masalah Sosiologis dan Pola Asuh Michiyo Sebagai Tokoh Utama
3.2.2 Pola Asuh Michiyo Inoue Bagi Anak Berkelainan
3.2.2.3 Totalitas
Dalam prinsip totalitas, anak berkelainan perlu dilatih dan dibiasakan untuk memanfaatkan secara maksimal indra lain yang masih berfungsi dengan baik sehingga dapat membantu indranya yang kurang.
Bagi anak tunanetra, karena matanya mengalami gangguan maka perlu dilatih untuk menggunakan indra dan anggota tubuh yang lain yang masih berfungsi dengan baik, misalnya indra penciuman, indra perabaan, indra pendengaran dan anggota tubuh yang lain.
Kehilangan ataupun penurunan penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara serentak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa teknik penggunaannya menjadi sangat penting untuk dilakukan (Putranto, 2015:103).
Cuplikan 1
Pada saat bersama dengan ibu ini, ucapan itu sedikit demi sedikit bisa kupahami. Lupakan kalau dia tidak bisa melihat. Biarkan dia menyentuh dengan tangannya. Mudah-mudahan aku bisa melakukan hal ini dengan sebaik-baiknya setiap hari (Inoue, 2006:27).
Analisis
Dalam mendidik anaknya, Michiyo membiarkan Miyuki untuk menyentuh secara langsung setiap benda yang ditemuinya dan merasakan
pengalaman secara langsung dalam setiap perbuatan yang akan dilakukan.
Michiyo juga meminta anaknya menggunakan semua indranya yang berfungsi dengan baik secara utuh dan maksimal pula. Hal ini sudah ditanamkan Michiyo pada dirinya sejak anaknya masih bayi sebagai persiapannya dalam mendidik anaknya. Dalam hal ini Michiyo telah menerapkan prinsip totalitas.
Cuplikan 2
Rasa ingin tahu seorang bayi akan tumbuh dalam dirinya dari cara bagaimana keluarganya berbicara dan bertindak dan dari situ akan timbul niat untuk bergerak dan bermain yang akan menambah kepintarannya.
Pertumbuhan mental seperti itulah yang kupikir bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan fisiknya. Beberapa kali Miyuki mengalami masa kritis, tetapi semuanya tidak bisa ditukar dengan keinginanku membina kekuatan mentalnya (Inoue, 2006:32).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hal terpenting dalam mendidik anak adalah membina mentalnya terlebih dahulu. Ada beberapa dampak positif yang dihasilkan jika para orangtua membina ketahanan anak pada saat usia dini seperti peningkatan sosial dan keterampilan emosional anak, peningkatan kesehatan mental, pengurangan stres emosional anak, memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan hidup. Ketahanan mental anak yang tinggi akan meningkatkan level emosional dan sosial yang positif pada anak, keterlibatan dalam kegiatan belajar, kemampuan mengatasi beragam situasi sulit, dan
menurunkan tingkat depresi. Untuk itu, melatih ketahanan mental pada anak adalah suatu investasi untuk kemampuan akademik dan keberhasilan masa depan. Hal inilah yang pertama dilakukan oleh Michiyo agar anaknya kelak menjadi seperti yang diharapkannya, mampu menggunakan semua alat indranya karena pada awalnya kekuatan mentalnya telah terbentuk.
Cuplikan 3
Hampir setiap hari aku pergi ke taman dan mengajaknya bermain, disana dia menyentuh apa saja yang ada di sana. “Nah, di sini gerbang taman. Ayo, kamu jalan mulai dari sini, kita hitung sama-sama ya berapa langkah supaya sampai di bak pasir? Yuk mulai! Satu, dua, tiga, empat, lima…” Dengan ceria Miyuki melangkahkan kaki-kaki kecilnya. Beginilah caraku mengajari konsep jarak. Nah. Miyuki, di taman ini juga ada pohon, coba deh kamu sentuh” kataku sambil membimbing tangannya untuk menyentuh pohon yang ada (Inoue, 2006:59).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa pendidikan yang dibiasakan sejak kecil mampu membuat anak tunanetra menjadi sama dengan anak pada umumnya. Michiyo selalu menyediakan waktu untuk mengajak anaknya bermain di taman setiap hari dan mengajarinya berbagai hal seperti menunjukkan gerbang taman dengan cara menuntun anaknya berjalan dan menghitung jumlah langkah yang dibutuhkan untuk tiba disana. Michiyo juga memperkenalkan pohon dengan cara membimbing tangan anaknya untuk
menyentuh pohon yang ada. Selain menggunakan indra perabaan, Michiyo juga mengajarkan anaknya untuk menggunakan perasaan dan ingatan, karena tanpa kedua hal tersebut, maka akan cukup sulit menggunakan alat tubuh yang lain.
Cuplikan 4
Aku mengajarkannya untuk membedakan antara tanah dan pasir dengan menyentuhkan keduanya. Dengan tangannya Miyuki meremas-remas pasir kemudian tanah. “Ini namanya bangku. Coba kamu pegang bangku ini.
Bangku ini gunanya untuk duduk kalau kita di taman.” Kataku sambil menuntun tangan Miyuki untuk memegang bangku itu. “Nah, sekarang kamu bisa berjalan-jalan sepuasmu di sekitar sini, jangan takut, ibu duduk disini menunggumu” (Inoue, 2006:60).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa Michiyo mengajarkan anaknya menggunakan tangan untuk membedakan berbagai benda, contohnya antara tanah dengan pasir dan bangku taman. Meskipun tunanetra yang masih berstatus sebagai anak-anak yang baru belajar mengenal lingkungan, inilah saat-saat terbaik untuk mengajarinya karena daya ingat yang sangat baik.
Seperti kutipan diatas yang menunjukkan bahwa Michiyo mengajarkan anaknya untuk membedakan antara tanah dan pasir dengan menyentuh keduanya. Kemudian anaknya akan mengingat bahwa untuk membedakan keduanya adalah dengan menyentuh kemudian merasakan perbedaan tekstur nya. Begitu juga dengan bangku taman, Michiyo menuntun tangan anaknya
untuk memegang bangku itu. Selain hal-hal diatas, Michiyo juga menyuruh anaknya untuk berjalan-jalan sepuasnya di taman untuk menjawab rasa penasarannya akan lingkungan.
Cuplikan 5
“Jangan perlakukan dia secara istimewa hanya karena buta. Kalau dia tidak mengerti, ajarkan dengan membimbing tangannya untuk menyentuh yang dia tidak mengerti.” Begitulah permintaanku kepada guru taman kanak-kanak pada saat Miyuki berumur tiga tahun dan mulai bersekolah (Inoue, 2006:66).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa untuk mendidik anak tunanetra adalah dengan cara menganggapnya seperti anak-anak normal. Dengan memperlakukannya secara istimewa hanya karena buta akan mengurangi kesempatan anak dalam belajar untuk mandiri. Perlakukan ini harus dihindari oleh orang yang mendidik anak tersebut. Yang harus dilakukan adalah membimbing tangan anak untuk menyentuh yang tidak dimengerti. Dengan demikian akan mengajarkan anak untuk menggunakan tangannya sebagai sarana menggantikan penglihatannya.
Cuplikan 6
“Ini timun. Jenis sayuran. Timun yang suka kita makan waktu sarapan.
Coba kamu pegang yang benar dan rasakan permukaan kulitnya. Timun ini mengandung banyak air dan vitamin yang berguna untuk tubuh kita. Ayo coba
makan!” Miyuki pun lalu memakan timun dengan lahapnya. Dia suka sekali.
Tetapi untuk Miyuki, tidak cukup hanya sekali menjelaskan, dan akan mudah dilupakan karena jumlah informasi yang bisa tertampung di memorinya jauh lebih sedikit dari mereka yang bisa melihat. Makanya itu aku harus menjelaskan lalu mempraktekkannya agar Miyuki menjadi mengerti dan mengingatnya (Inoue, 2006:71-72).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa selain menyentuh sebuah benda, anak tunanetra juga harus dapat merasakan permukaan benda yang dipegangnya. Selain itu juga harus disertai dengan penjelasan tentang benda tersebut untuk memudahkan anak dalam mengingat dan menyuruh anak untuk merasakan langsung benda tersebut seperti memakannya dan mengolahnya seperti memotong apabila benda tersebut adalah makanan. Hal lain untuk mengajarinya adalah jika diiringi aksi. Sehingga akan ada sebuah pengalaman yang ikut ter-input dalam ingatan mereka. Hal ini dapat membantu ingatan anak tunanetra karena informasi yang bisa tertampung di memorinya jauh lebih sedikit dari mereka yang bisa melihat.