POLA ASUH BAGI ANAK BERKELAINAN DALAM NOVEL
“HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” KARYA MICHIYO INOUE
MICHIYO INOUE NI KAKARETA SHOUSETSU “500G DE UMARETA MUSUME E” NI OKERU SHOUGAI GA ARU KODOMO MUKE
NO OSHIEKATA
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana
dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh:
ANNARIA PANGARIBUAN NIM: 140708008
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pola Asuh Bagi Anak Berkelainan Dalam Novel Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu Karya Michiyo Inoue” ini sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dalam analisis maupun tata bahasanya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini agar menjadi skripsi yang lebih sempurna lagi kedepannya.
Skripsi ini dapat diselesaikan bukan karena kemampuan penulis sendiri, namun juga karena dukungan doa dan bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung penulis. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, MS, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D. selaku ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik dan juga Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memeriksa dan memberikan arahan perbaikan demi penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak/Ibu para dosen pengajar Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen- dosen Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu pengetahuan umum, tentang sastra, budaya, dan bahasa Jepang, serta kepada staf pegawai Sastra Jepang.
4. Kepada yang terkasih dan teristimewa orangtua penulis, Ayahanda Pasang Pangaribuan yang telah dipanggil Bapa Sorgawi lebih dulu dan Ibunda Nurmina Simatupang yang telah menjadi orangtua tunggal selama bertahun-tahun yang begitu kuat dan selalu mendoakan penulis serta tidak bosan untuk menyemangati penulis. Dear mom! You are the only person who staying by my side. Thank for becoming a hero in my life.
5. Kepada kakanda Eva Pangaribuan dan adik Mawarni Pangaribuan, dua wanita dengan karakter yang sangat berbeda tetapi telah mengisi hari-hari penulis dengan berbagai hal, yang tidak pernah mengungkapkan kata mengasihi namun telah menunjukkan arti kasih.
6. Saudara penulis di dalam Kristus ada KK YOSIA yang dipimpin oleh kak Solian Situmorang, S.S dan menjadi keluarga dari Putri Ayu Purba, Sari Tampubolon, dan Yuki Siahaan terimakasih telah sama-sama bertumbuh untuk menuju kesempurnaan. Penulis berharap kita tetap saling membangun dan menegur dalam kasih.
7. Teman-temanku secara khusus Putri Ayu Purba, Endina Panggabean terimakasih telah menjadi teman yang sempurna dan selalu ada bagi penulis, juga untuk kebersamaan kita sejak Semester I sampai sekarang dan harapannya untuk seterusnya, semoga segala impian kita tercapai pada waktu yang tepat.
8. Teman-teman AKB 48 kak Siska Napitupulu, Sari Tampubolon, Endina Panggabean, Herna Napitupulu, Risna Siahaan, Himpun Silaban, Elfi Sianipar, Nelly Tambunan, Septu Tambunan, dan kak Melisa Tambunan.
Terimakasih untuk segala kebersamaan kita, baik suka dan duka telah kita lewati bersama ketika hidup jauh dari orangtua, segala dukungan moral tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun juga.
9. Wanita dengan segala keseruannya Agustina, Melysa, Elidawati terimakasih untuk komunikasi yang masih terjalin meskipun tidak seintensif dahulu. Itu sudah cukup menghibur dan menemani penulis selama ini.
10. Kepada seluruh teman-teman AOTAKE angkatan 2013 Sastra Jepang khususnya kelas B yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis bersyukur bisa belajar bersama kalian selama 4 tahun.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra Jepang. Semoga Tuhan Yesus selalu memberkati kita dimanapun berada.
Medan, Juli 2017 Penulis,
Annaria Pangaribuan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1.6 Metode Penelitian... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” KARYA MICHIYO INOUE DAN KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA ... 14
2.1 Definisi Novel ... 14
2.2 Resensi Novel... 18
2.2.1 Tema ... 18
2.2.2 Alur ... 19
2.2.3 Latar ... 21
2.2.4 Penokohan (Perwatakan) ... 24
2.2.5 Sudut Pandang (Point of View) ... 27
2.3 Kajian Sosiologi Sastra ... 29
2.4 Biografi Pengarang... 31
BAB III ANALISIS NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU
MENDAMPINGIMU” KARYA MICHIYO INOUE ... 33
3.1 Sinopsis Cerita ... 33
3.2 Masalah Sosiologis dan Pola Asuh Michiyo Sebagai Tokoh Utama dalam Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” Karya Michiyo Inoue... 34
3.2.1 Masalah Sosiologis Kehidupan Michiyo Inoue ... 34
3.2.2 Pola Asuh Michiyo Inoue Bagi Anak Berkelainan ... 38
3.2.2.1 Individual ... 38
3.2.2.2 Kekonkretan/Pengalaman Pengindraan ... 42
3.2.2.3 Totalitas ... 44
3.2.2.4 Prinsip Aktivitas Mandiri (Self Activity) ... 50
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 58
4.1 Kesimpulan ... 58
4.2 Saran ... 59 DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra atau dalam bahasa Sanskerta yaitu shastra yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar „Sas‟ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan „Tra‟ yang berarti “alat” atau
“sarana”. Definisi karya sastra merupakan suatu hasil karya manusia baik lisan maupun nonlisan (tulisan) yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki nilai estetik (keindahan bahasa) yang dominan.
Karya sastra dibedakan atas prosa, puisi dan drama. Sedangkan prosa juga terbagi lagi kedalam jenis novel, cerita pendek (cerpen) dan roman.
Novel adalah genre sastra yang berupa prosa yang panjang, mudah dibaca dan dicerna dan mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Untuk menganalisis karya sastra, dalam hal ini adalah novel dapat dilakukan dengan berbagai metode pendekatan kritik sastra.
Salah satu pendekatan kritik sastra adalah sosiologi sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif, artinya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Sosiologi dan sastra adalah dua hal yang dapat saling melengkapi, karena sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan pengarang.
Penelitian ini berawal dari ketertarikan penulis pada novel
“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyo Inoue sebagai penulis dan merupakan tokoh utama dalam novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dengan judul “500g De Umareta Musume E”, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia pada tahun 2006 oleh Tiwuk Ikhtiari.
Novel ini menceritakan kisah nyata dari kehidupan sosial tokoh utama yaitu Michiyo Inoue, seorang wanita yang lahir tanpa pertanggungjawaban ayahnya dan kelahirannya tidak diinginkan oleh ibunya. Akhirnya dia dirawat oleh kakek dan neneknya yang sudah tua dengan kondisi yang berkekurangan. Ketika masih anak-anak, Michiyo dipaksa oleh neneknya untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga dan menjual telur ayam secara berkeliling desa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal ini menyebabkannya tidak dapat menikmati masa kecilnya sebagaimana kehidupan anak-anak pada umumnya yang dihiasi dengan dunia bermain.
Akhirnya Michiyo menjadi seorang anak yang penurut dan tidak mementingkan diri sendiri. Dia menuruti ajakan ibunya ketika dijemput dari rumah neneknya dan menjadikannya pelayan yang harus menuruti keinginan tamu pria di kedai minum milik ibunya. Semua itu dilakukannya demi mendapatkan kasih sayang dari ibunya, meskipun pada akhirnya tidak seperti yang diharapkannya. Pada umur 15 tahun Michiyo memutuskan untuk lari dari rumah ibunya akibat mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari ayah tirinya. Pengalamannya selama 3 tahun menjadikan
dia tidak ingin dikasihani oleh orang lain. Pada umur 18 tahun, Michiyo dapat membuka rumah makan “Nodate” dan menjadi sumber penghasilannya.
Pada umur 36 tahun, dia berkenalan dengan seorang pria dan keduanya memiliki rasa ketertarikan yang sama. Namun hubungan mereka dilarang oleh orangtua pria tersebut karena menganggap Michiyo lahir dari keluarga yang tidak jelas asal-usulnya. Larangan tersebut tidak menjadikan mereka menjauh. Hingga akhirnya Michiyo hamil diluar nikah dan pria itu berjanji akan menikahinya apabila sudah pulang dari dinas luar kota selama 1 bulan. 1 minggu kemudian, Michiyo mendapat kabar bahwa calon suaminya meninggal akibat kecelakaan dan dimakamkan tanpa kehadirannya. Akibat kejadian itu, Michiyo melahirkan anaknya ketika masih berusia 5 bulan dan kondisi perematur menyebabkan anaknya tunanetra.
Akibat penderitaannya di masa kecil, akhirnya Michiyo memiliki tekad tidak ingin mengulanginya pada anaknya. Kalau dulu dia tidak mengenal penderitaan dan perjuangan untuk mandiri, tentu dia akan patah semangat saat memiliki anak yang buta. Untuk itu Michoyo menetapkan akan mengasuh anaknya dengan baik. Karena tekad yang ada dalam hatinya sedemikian kuatnya untuk menjadikan anaknya sejajar dengan orang normal, adakalanya dia menjadi seorang ibu yang terlalu keras. Menjadi orangtua tunggal (single parent) tanpa bantuan dari keluarga membuatnya harus berusaha lebih keras dalam menghidupi dan mendidik anaknya yang berkelainan. Dalam mendidik pun, ada pola-pola yang harus dilaksanakan
oleh Michiyo. Pola tersebut adalah bentuk-bentuk yang harus dilaksanakannya secara terstruktur.
Istilah berkelainan dalam percakapan sehari-hari dikonotasikan sebagai suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Efek penyimpangan yang dialami oleh seseorang seringkali mengundang perhatian orang-orang yang ada di sekelilingnya, baik sesaat maupun berkelanjutan (Putranto, 2015:100-104).
Penyikapan dan perlakuan keluarga memiliki kontribusi yang cukup kuat dalam mengasuh anak berkelainan dibanding dengan orang yang tidak berkelainan. Berhasil atau tidaknya anak berkelainan dalam perkembangannya, tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga, khususnya orangtuanya. Sebagian kondisi sosial yang lebih dulu dialami oleh ibunya dapat menjadi acuan dalam mengasuh anaknya.
Berdasarkan penjelasan diatas pendidikan pada anak berkelainan dimulai dari lingkungan keluarga. Oleh karena itu penulis akan membahas skripsi ini dengan judul “Pola Asuh Bagi Anak Berkelainan dalam Novel Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu Karya Michiyo Inoue”.
1.2 Perumusan Masalah
Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyo Inoue merupakan novel pertama yang menceritakan kisah nyata pribadinya dalam mengasuh anaknya yang berkelainan bernama Miyuki Inoue. Novel ini menggambarkan peristiwa-peristiwa yang mengandung nilai-nilai positif dan bermanfaat pagi pembaca.
Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”, yang diceritakan didalamnya yaitu Michiyo Inoue seorang tokoh ibu yang merupakan single parent (orangtua tunggal) yang membesarkan anaknya yang berkelainan seorang diri. Nilai-nilai positif bagi pembaca antara lain, menjadikan situasi sosial yang telah dialami menjadi pembelajaran yang dapat diterapkan dalam hidup, memberikan pendidikan bagi anak di usia dini hingga dewasa, bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri seorang anak, bagaimana pentingnya menghormati dan menghargai antar manusia meskipun memiliki kekurangan, dan lain sebagainya.
Selain itu, novel ini juga dapat memberikan informasi kepada pembaca melalui peristiwa-peristiwa sosial yang digambarkan oleh sang tokoh utamanya ketika menjadi seorang anak, ibu, dan pola asuh bagi anaknya lewat teks-teks yang ada dalam cerita. Novel ini menceritakan bagaimana pola asuh seorang ibu dalam mendidik dan membimbing anaknya Miyuki Inoue yang menderita kebutaan permanen karena terkena Retinophaty of Prematurity (kebutaan saat kelahiran prematur yang dipicu
karena terlampau banyak menghirup oksigen dari tabung dalam ruang inkubator).
Kondisi anaknya yang merupakan anak berkelainan dituntut oleh Michiyo untuk tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Banyaknya situasi sosial yang telah dialami mulai dari kecil hingga menjadi ibu, membuat Michiyo menjadi sosok seorang ibu yang kuat karena telah belajar dari pengalamannya. Pengalaman dari situasi sosial memiliki pengaruh yang kuat dalam mengasuh anaknya yang berkelainan.
Berdasarkan alasan tersebut penulis merumuskan masalah agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan sasaran yang ingin dikaji.
Rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana masalah sosiologis yang dialami tokoh utama dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyo Inoue?
2. Bagaimana pola asuh Michiyo dalam mendidik seorang anak berkelainan dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”
karya Michiyo Inoue?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Untuk mencegah kekaburan masalah dan untuk mengarahkan penelitian ini agar lebih intensif dan efisien sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, diperlukan pembatasan masalah. Dalam penelitian ini,
penulis membatasi pembahasannya pada bagian cerita novel yang menggambarkan situasi sosial penulis novel sebagai tokoh utama yang mempengaruhi sikap dan pola asuhnya terhadap anak berkelainan yang merupakan anak kandungnya sendiri. Dengan mendeskripsikan cuplikan cerita yang berkaitan erat dengan dirinya melalui pendekatan sosiologis bertujuan untuk mengetahui peran dan perjuangan tokoh utama dalam cerita tersebut, yaitu Michiyo Inoue dalam mengasuh anaknya yang berkelainan dalam penglihatan.
Untuk mendukung pembahasan tersebut, penulis juga menjelaskan tentang novel, menjelaskan tentang kajian sosiologis kehidupan sosial yang dialami tokoh utama, sekilas kehidupan tokoh utama sekaligus pengarang serta pola asuh orangtua terhadap anak berkelainan.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelitian ini, penulis telah melakukan berbagai bahan pustaka yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan topik penelitian, diantaranya yaitu:
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Rizky Adi, Jurusan Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara tahun 2016 dengan judul
“Strategi Orangtua Tunggal dalam Mengasuh Anak di Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu”. Penelitian tersebut membahas tentang pengasuhan yang berasal dari kata asuh yang berarti menjaga, merawat dan
mendidik. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orangtua saat berinteraksi dengan anak termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai atau norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya. Kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah memiliki kesamaan dalam hal objek pembahasan yaitu tentang pola asuh orangtua tunggal. Adapun perbedaannya terletak pada subjek penelitian yang dikaji. Pada penelitian ini akan memfokuskan pada pembahasan tentang pola asuh bagi anak berkelainan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fani Farlinda, Jurusan Keperawatan Universitas Sumatera Utara tahun 2015 dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orangtua Terhadap Perkembangan Sosial Pada Remaja di SMA Dharma Pancasila Medan”. Penelitian tersebut membahas tentang pola asuh orangtua merupakan suatu cara dalam mendidik anak dan kewajiban dalam usaha membentuk pribadi anak. Bagi orangtua agar dapat memberikan pola asuh yang tepat agar perkembangan anak dapat terbentuk lebih baik. Kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah memiliki kesamaan dalam hal objek pembahasan yaitu pentingnya pola asuh bagi perkembangan anak. Adapun perbedaannya terletak pada jenis pola asuh yang diberikan bagi anak normal dan anak berkelainan. Pada penelitian ini akan membahas pola asuh yang diberikan bagi anak berkelainan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nofriyati Jurusan Keperawatan Universitas Sumatera Utara tahun 2016 dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perkembangan Anak Pra Sekolah (3-5 Tahun) di Kelompok Bermain Melati Suka Ramai Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat”. Penelitian tersebut membahas tentang penerapan pola asuh demokratis dalam mengasuh anak karena orangtua bertindak secara realistis dan selalu memberi tanggung jawab pada anak secara penuh sehingga anak bisa tumbuh secara kreatif dan cerdas. Kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah memiliki kesamaan dalam hal objek pembahasan yaitu pentingnya pola asuh bagi perkembangan anak. Pada penelitian ini tidak akan membahas pola asuh demokratis dan tidak hanya terfokus pada anak pra sekolah, namun juga sampai anak berusia remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Azmi Ridwan Fauzi Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara tahun 2017 dengan judul “Kenakalan Remaja Dalam Novel Catatan (Seorang) Pelajar Jakarta Karya Arif Rahman: Analisis Sosiologi Sastra”. Penelitian tersebut membahas tentang karya sastra merupakan proses kreatif seorang pengarang terhadap realita kehidupan sosial pengarangnya. Suatu karya sastra dapat dikatakan baik apabila mencerminkan zaman serta situasi dan kondisi yang berlaku dalam masyarakatnya. Kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah memiliki kesamaan dalam hal objek pembahasan yaitu realita kehidupan sosial pengarangnya. Adapun perbedaannya terletak pada subjek penelitian yang dikaji. Pada penelitian ini akan memfokuskan pada
kehidupan pengarang sebagai tokoh utama sejak anak-anak, remaja, hingga menjadi ibu.
1.4.2 Kerangka Teori
Kerangka teori adalah suatu uraian yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti. Dengan demikian adanya kerangka teori penulis akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan arah penelitiannya (Nawawi, 1995:10).
Analisis sosiologis tidak bermaksud untuk mengubah hakikat rekaan ke dalam fakta, sosiologi sastra juga tidak bermaksud untuk mengubah hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.
Pada prinsipnya, dalam Endraswara menurut Laurenson dan Swingewood (1971:16-17) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya (Putranto, 2013:78).
Konteks sastra sebagai cermin hanya merefleksikan keadaan pada saat tertentu. Istilah cermin ini akan merujuk pada berbagai perubahan dalam masyarakat. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial.
Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaannya lewat karya- karyanya, tanpa terlalu banyak dimajinasikan. Pada tingkatan ini, berarti fungsi sastra bagi masyarakat dapat dirasakan manakala pembaca dapat terpengaruh (Endraswara, 2013:88-89).
Bambang Putranto (2015:100-104) mengatakan bahwa dalam menangani pendidikan dan pembelajaran anak berkelainan penglihatan, terdapat pola-pola yang harus diperhatikan oleh orangtua yaitu individual, kekonkretan/pengalaman pengindraan, totalitas, dan aktivitas mandiri.
Dalam penelitian karya sastra ini, untuk menjawab rumusan masalah yang pertama penulis menggunakan teori Laurenson dan Swingewood tentang prinsip bahwa sosiologi sastra merupakan penelitian yang mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi sosial yang dihadapi penulisnya untuk menjawab masalah sosiologis yang dialami tokoh utama.
Dan untuk menjawab rumusan masalah yang kedua, penulis menggunakan teori Bambang Putranto yaitu empat hal yang harus diperhatikan oleh orangtua, dalam hal ini adalah Michiyo Inoue dalam mengasuh anak berkelainan. Oleh karena itu ada suatu bentuk (standar) atau sistem dan model dalam mengasuh anak berkelainan.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diungkapkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan masalah sosiologis yang dialami tokoh utama dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyou Inoue.
2. Untuk mendeskripsikan pola asuh Michiyo dalam mendidik seorang anak berkelainan dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”
karya Michiyou Inoue.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian ini yaitu:
1. Bagi peneliti dan pembaca dapat memberi manfaat tentang pola asuh seorang ibu kepada anak berkelainan.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang cara pandang dan sikap orangtua terhadap mereka yang memiliki anggota keluarga yang menderita kelainan.
3. Untuk pembaca penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dengan penelitian-penelitian lain yang ada sebelumya.
1.6 Metode Penelitian
Dalam menulis sebuah karya ilmiah dibutuhkan sebuah metode penelitian sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan. Metode adalah langkah atau cara yang tersusun untuk melakukan sesuatu. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah metode deskriptif.
Menurut Ratna (2004:53) metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan. Dalam metode ini penulis menguraikan, memberikan pemahaman serta penjelasan dari topik yang diteliti.
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dari metode pustaka (library research). Dalam mengumpulkan data-data yang berguna untuk mendukung teori, penulis mengambil dari kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian. Sumber-sumber kepustakaan tersebut dapat bersumber dari buku, hasil-hasil penelitian (skripsi), internet, dan sumber-sumber lainnya yang dibutuhkan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” KARYA MICHIYO INOUE DAN KAJIAN
SOSIOLOGI SASTRA
2.1 Definisi Novel
Novel berasal dari bahasa Italia „novella‟ (yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Istilah novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Abrams, dalam Nurgiyantoro, 1998:9). Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya karya sastra, novel dianggap bersinonim dengan fiksi.
Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel. Sebab fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, seperti novel.
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.
Walau berupa cerita rekaan atau khayalan, tak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
tanggung jawab. Fiksi merupakan karya yang imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan model-model kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.
Jenis-jenis novel dapat dibedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel. Suharianto (1982:67) membagi jenis novel berdasarkan tinjauan isi, gambaran dan maksud pengarang, yaitu sebagai berikut:
1. Novel Berendens, yaitu sebuah novel yang menunjukkan keganjilan – keganjilan dan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Oleh karena itu novel ini sering disebut sebagai novel bertujuan.
2. Novel Psikologi, yaitu novel yang menggambarkan perangai, jiwa seseorang serta perjuangannya.
3. Novel Sejarah, yaitu novel yang menceritakan seseorang dalam suatu masa sejarah. Novel ini melukiskan dan menyelidiki adat istiadat dan perkembangan masyarakat pada masa itu.
4. Novel Anak-anak, yaitu novel yang melukiskan kehidupan dunia anak- anak yang dapat dibacakan oleh orangtua untuk pembelajaran kepada anaknya, adapula yang biasanya hanya dibaca oleh anak-anak saja.
5. Novel Detektif, yaitu novel yang isinya mengajak pembaca memutar otak guna memikirkan akibat dari beberapa kejadian yang dilukiskan pengarang dalam cerita.
6. Novel Perjuangan, yaitu novel yang melukiskan suasana perjuangan dan peperangan yang diderita seseorang.
7. Novel Propaganda, yaitu novel yang isinya semata-mata untuk kepentingan propaganda terhadap masyarakat tertentu.
Berdasarkan penjelasan pembagian jenis-jenis novel diatas, maka dapat dilihat bahwa novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyo Inoue termasuk dalam jenis novel psikologi dan novel perjuangan.
Hal ini karena novel ini diangkat dari kisah nyata seorang perempuan Jepang yang berjuang dalam kehidupan akibat penderitaan yang dialaminya mulai kecil hingga dewasa. Pengalaman dari penderitaan akibat masalah yang dihadapi sempat membuat psikologinya hampir terganggu, hingga pada suatu titik tokoh utama ingin membunuh anaknya dan dirinya sendiri karena merasa tidak akan sanggup menghadapi kehidupan kedepannya.
Namun seketika dia tersadar dan memiliki komitmen untuk memperjuangkan hidup dan anaknya apapun yang terjadi.
Novel dibangun atas dua unsur utama, yakni unsur ekstrinsik dan intrinsik. Ekstrinsik adalah faktor-faktor di luar cerita yang mempengaruhi proses kreatif pengarang dalam melahirkan karya sastranya. Unsur ini sangat berkaitan dengan latar belakang dan pengalaman hidup pengarang serta keadaan zaman pada saat novel diciptakan. Termasuk dalam unsur ekstrinsik ini adalah tingkat pendidikan, paham, agama atau kepercayaan, profesi dan hobi, kondisi ekonomi, jenis kelamin pengarang, kondisi sosial politik, dan lain sebagainya.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membentuk cerita da nada di dalam cerita. Yang termasuk dalam unsur ini adalah tema, alur (plot), latar (setting), penokohan (perwatakan) dan sudut pandang atau titik pusat pengisahan (point of view).
Untuk dapat mengungkap unsur-unsur intrinsik tersebut, pembaca harus masuk ke dalam novel yang dibacanya unsur-unsur tersebut. Tidak mungkin dapat terungkap secara tepat dan menyeluruh apabila pembaca hanya membaca cuplikan atau sinopsisnya. Oleh karena itu, langkah penting yang harus dilakukan adalah membaca secara intensif novel yang dianalisis. Bahkan, kalau perlu dibaca berulang kali. Sementara, untuk menganalisis unsur-unsur ekstrinsik, kita harus mengenal latar belakang sejarah dan biografi pengarang. Dengan mengetahui latar belakang itu, kita bisa menganalisis keterkaitan antara kehidupan pengarang dengan tema, amanat, tokoh, latar, dan unsur-unsur cerita lainnya. Sementara itu, untuk mempertajam analisis, kita harus membaca sebanyak-banyaknya referensi tentang teori sastra sehingga landasan teori yang dipergunakan kuat (Suryanto dan Haryanta, 2007:102).
2.2 Resensi Novel
2.2.1 Tema
Agar pembahasan lebih spesifik, maka harus dilakukan perumusan tema. Tema adalah suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan pembahasan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik yang
dirumuskan tersebut (Suryanto dan Haryanta, 2007:133). Tema artinya pokok pikiran. Jadi, tema merupakan pokok pikiran yang dibicarakan didalam tulisan. Tema dapat dibagi dua macam, yaitu tema utama dan tema anakan atau subtema. Tema utama adalah hal-hal yang menjadi fokus utama di dalam tulisan, sedangkan tema anakan adalah bagian-bagian yang lebih kecil daripada tema utama, yang akan dikemukakan didalam karangan atau tulisan (Tantawi, 2014:136).
Menurut Fananie (2000:84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi terciptanya karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan manusia, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan.
Biasanya penulisan baru dapat dimulai kalau sudah ada tema. Tema dalam karang-mengarang ialah pokok pikiran yang mendasari karangan yang akan disusun. Tetapi tema dalam tulis-menulis ialah pokok bahasan yang akan disusun menjadi tulisan. Menelaah tema tidak cukup dengan hanya mencari jawaban atas pertanyaan “apa” (yang dimaksud dengan) tema itu, tapi perlu pula mencari jawaban atas pertanyaan “bagaimana”
(pokok bahasan yang sudah ditemukan itu terjadi, atau dilakukan). Untuk itu, tema perlu dirumuskan kembali agar cakupannya lebih sempit, tapi konkret (Soeseno, 1995:16).
Berdasarkan pengertian tema diatas, tema yang diangkat novel
“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” adalah perjuangan seorang ibu dalam mendidik anaknya yang berkelainan penglihatan untuk menjadi sama seperti orang normal lainnya.
2.2.2 Alur
Alur atau plot adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan satu sama lain menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain. Peristiwa yang lain tersebut akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai peristiwa itu berakhir (Aminuddin, 2000:83).
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk cerita. Alur selalu menampilkan konflik-konflik dari yang sederhana sampai yang kompleks, sehingga mencapai klimaks/ puncak. Konflik bisa berupa konflik internal (batin) atau eksternal (misalnya konflik antar manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan) (Suryanto dan Haryanta, 2007:122).
Tasrif dalam Nurgiyantoro (1995:149), membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
1. Tahap situation (tahap penyituasian), pada tahap ini berisi pengenalan tokoh-tokoh cerita dan situasi latar.
2. Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), masalah- masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
3. Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya berkembang. Peristiwa yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan.
4. Tahap climax (tahap klimaks), konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan ditimpahkan para tokoh mencapai titik puncak.
5. Tahap denouement (tahap penyelesaian), konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
Menurut susunannya atau urutannya alur terbagi dalam dua jenis, yaitu:
1. Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai cerita itu berakhir.
2. Alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa terakhir, kemudian kembali pada peristiwa awal kemudian akhirnya kembali pada peristiwa akhir tadi.
Dari penjelasan alur (plot) diatas, maka alur yang ada pada novel
“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” ini adalah alur maju. Peristiwa yang terjadi dalam novel tersebut dimulai saat tokoh utama Michiyo Inoue melahirkan anaknya Miyuki Inoue yang menderita kelainan penglihatan akibat lahir dengan kondisi prematur. Seiring berjalannya waktu, Michiyo
berjuang untuk menjadikan anaknya seorang anak yang berprestasi dan hidup sebagaimana orang normal. Kemudian cerita diakhiri dengan anaknya yang berhasil menjadi juara 1 lomba pidato para penyandang cacat se-Kyushu dan membuat buku karangannya sendiri.
2.2.3 Latar
Latar merupakan lukisan tempat, hubungan, waktu, lingkungan sosial, tempat terjadinya peristiwa. Fungsi latar adalah untuk lebih menghidupkan cerita dan untuk menggambarkan situasi batin/ psikologis tokoh (Suryanto dan Haryanta, 2007:122). Latar selalu memiliki hubungan dengan unsur- unsur signifikan yang lain dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan (unity) dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang.
Latar selalu memiliki hubungan dengan penokohan dan alur untuk mewujudkan suatu tema cerita.
Menurut Abrams dalam Zainuddin (2001:99) secara garis besar latar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu:
a. Latar Tempat
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.
Dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” ini, lokasi berlangsungnya peristiwa adalah di sekitar kota Kurume, di Provinsi Fukuoka di Jepang. Namun tidak semua peristiwa yang ada dalam novel tersebut terjadi di Kurume, tetapi juga di Tokyo sebagai tempat memenangkan lomba mengarang tingkat nasional Jepang yang diiukuti oleh anak Michiyo Inoue.
b. Latar Waktu
Latar waktu mengarah pada saat terjadinya peristiwa, yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut.
Novel ini memiliki latar belakang cerita tentang keadaan tokoh utama yang lahir pada tahun 1948 dan menerima penolakan dari orangtuanya hingga pada tahun 1984, Michiyo melahirkan seorang anak berkelainan. Semua peristiwa dalam novel ini berlangsung selama 55 tahun sejak tokoh utamanya lahir dan akhirnya berhasil menjadi ibu yang melihat keberhasilan anaknya pada tahun 2003. Tentu saja peristiwa yang ada dalam novel bukanlah akhir dari kisah hidup tokoh utama, akan tetapi yang dituangkan dalam novel ini hanya kisah hidupnya sampai pada tahun 2003.
c. Latar Sosial
Latar sosial mengarah kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau tinggi. Dalam novel ini pengarang menunjukkan bahwa pada saat anaknya lahir dengan kondisi cacat buta, masyarakat masih menganggap keberadaan penyandang cacat itu aneh dan tidak dapat diterima. Pada kenyataanya masyarakat masih menganggap kecacatan sebagai suatu aib, sehingga penyandang cacat harus disembunyikan keberadaannya.
Di tahun 2001 banyak berdiri pelayanan-pelayanan publik bagi penyandang cacat, baik itu swasta maupun milik pemerintah. Hal ini menunjukkan perhatian masyarakat terhadap para penyandang cacat, agar keberadaan mereka tidak lagi dianggap sebagai komunitas yang terabaikan dan sebagai penunjang bagi kesejahteraan hidup mereka dan sebagai satu integritas kehidupan bermasyarakat dalam segala bidang, sehingga diharapkan penyandang cacat memiliki kesempatan dan persamaan dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang.
Kemudian untuk mencegah hal-hal diskriminasi dalam pekerjaannya terhadap para penyandang cacat, pemerintah Jepang juga membuat larangan diskriminasi dalam hal pekerjaan bagi penyandang cacat, yang berisi:
1. Penolakan atas pengangkatan atau pemberhentian penyandang cacat atas dasar kecacatan yang di deritanya.
2. Melakukan hal yang merugikan pada penyandang cacat atas kondisi atau lingkungan kerja, gaji, dan promosi.
3. Membatasi akses ke kualifikasi tertentu atau membatasi aplikasi bagi kesempatan penyandang cacat untuk tetap bisa bekerja.
2.2.4 Penokohan (Perwatakan)
Suryanto dan Haryanta (2007:121), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasi tokoh, ada 3 hal yang bisa dilihat yaitu:
1. Fisiologi meliputi ciri muka, ciri tubuh, usia, jenis kelamin, pakaian.
2. Psikologis meliputi perasaan, pola pikir, pola bicara, pola tingkah laku.
3. Sosiologis meliputi pekerjaan, jabatan, pendidikan, ideologi, status sosial, aktivitas sosial, kepercayaan, kehidupan pribadi.
Jones dalam Nurgyantoro (1998:165), mengatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Jadi penokohan dalam karya sastra menunjuk pada pelaku atau tokoh ceritanya. Penokohan dalam novel
“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” adalah sebagai berikut:
1. Michiyo Inoue adalah tokoh utama yang merupakan seorang wanita dewasa yang mandiri, tegas, perhatian, rela berkorban untuk orang yang ia sayangi, pandai mendidik dan pekerja keras, memiliki tekad yang kuat, dan berkomitmen.
2. Miyuki Inoue adalah anak dari Michiyo Inoue yang menderita kebutaan namun ia memiliki sifat yang periang, baik, mempunyai semangat yang tinggi, percaya diri, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
3. Tsutomu adalah kekasih dari Michiyo Inoue yang berusia 48 tahun, memiliki sifat yang baik dan bertanggung jawab. Akan tetapi ia meninggal dalam peristiwa kecelakaan pada saat perjalanan dinas keluar kota di Hiroshima.
4. Dokter Fukuda adalah seorang dokter yang bekerja di Rumah Sakit Santa Maria. Watak yang ia miliki penuh dengan tanggung jawab dan mempertimbangkan suatu keputusan dengan matang dan bijaksana, penyayang serta memotivasi dan memberi semangat kepada setiap pasiennya.
5. Ibu Junko Nakamura, seorang guru veteran yang baik di SLB A Tingkat Dasar Fukuoka. Sifatnya sangat sabar dalam mendidik.
6. Dokter Hiroko Inada, seorang dokter anak, wanita yang lemah lembut bicaranya, perhatian, penyayang, dan penyabar dalam menghadapi setiap pasiennya.
7. Pak Shohei Kono, seorang guru di SLB A Lanjutan Pertama Fukuoka yang menderita kebutaan saat SMA, memiliki semangat yang tinggi, perhatian, dan peduli terhadap anak didiknya.
8. Asako adalah seorang hostes yang merupakan sahabat Michoyo saat bekerja di klub malam, bersifat baik dan suka menolong.
9. Miyako-san adalah pemilik tempat penginapan tempat Michiyo ketika masih bekerja sebagai pembantu, orangnya ramah dan penyayang. Ia yang mengenalkan Michiyo kepada temannya Kazuko-san pemilik bar.
10. Kazako-san, teman dari Miyako-san yang perhatian dan suka menolong. Ia pernah membawa Michiyo bekerja di pusat kota Fukuoka sebagai seorang pelayan bar.
11. Ibu Michiyo, seorang wanita yang tidak bertanggung jawab atas anaknya, memiliki sifat dingin, egois, menjadikan anaknya sebagai pelampiasan kemarahannya.
12. Nenek Michiyo berwatak keras, pemarah dan pelit, menjadikan Michiyo sebagai pencari uang meskipun masih kecil, namun meskipun demikian telah merawat Michiyo hingga SMP.
13. Kakek Michiyo seorang penganyam dan pendiam, tetapi selalu memperhatikan Michiyo.
2.2.5 Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita novel tersebut. Dengan kata lain, posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita tersebut, apakah ia ikut terlibat langsung atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita (Aminuddin, 2000:90).
Sudut pandang atau point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan, sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, dikutip Nurgiyantoro, 1998:248). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Terdapat beberapa jenis sudut pandang (pusat pengisahan/point of view), yaitu:
1. Pengarang sebagai tokoh utama. Sering juga posisi yang demikian disebut dengan sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang menuturkan dirinya sendiri.
2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Disini pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita, akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Dalam posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandnag orang pertama pasif.
3. Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Disini pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal. Sering juga posisi yang demikian disebut dengan sudut pandang orang ketiga.
Dalam hal ini, sudut pandang pengarang Michiyo Inoue dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” adalah sudut pandang orang pertama aktif. Karena Michiyo menceritakan dirinya dan pengalaman pribadinya dalam membesarkan anaknya yang menderita kebutaan sejak lahir yang bernaa Miyuki Inoue di wilayah Kurume, Provinsi Fukuoka.
Dalam hal ini, Michiyo adalah pengarang yang menuturkan dirinya sendiri.
2.3 Kajian Sosiologi Sastra
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk menganalisis kehidupan sosial tokoh utama yang terkandung dalam cerita novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingmu” karya Michiyo Inoue, penulis mengambil beberapa cuplikan teks yang menunjukkan pengalaman hidupnya ketika anak-anak, dewasa, dan setelah menjadi seorang ibu.
Sosiologi sastra dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda.
Sosiologi dan sastra, secara harafiah mesti ditopang oleh dua teori yang berbeda, yakni teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Dalam sosiologi sastra yang jelas mendominasi teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer (Ratna, 2005:18).
Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektf. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra (Endraswara, 2013:77).
Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu, namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini
muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi berusaha mencari pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensi (Endraswara, 2013:77).
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror).
Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.
Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.
2.4 Biografi Pengarang
Michiyo Inoue atau lebih akrab dipanggil dengan nama Mit-chan ketika masih kecil lahir di Osaka tanpa sosok seorang ayah. Ibunya adalah seorang pelayan di sebuah klab malam di Osaka. Pada suatu hari ibunya menjalin hubungan asmara dengan seorang pria yang menyebabkan ia hamil, namun pria itu tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan tersebut. Kemudian lahirlah Michiyo kecil dengan status anak haram dari hasil hubungan tanpa status pernikahan ibunya tersebut. Tidak lama setelah Michiyo dilahirkan, ia dititipkan ke rumah kakek dan neneknya di Fukuoka.
Sementara ibunya kembali ke Osaka seorang diri. Di Fukuoka, Michiyo kecil dirawat oleh bibinya yang berumur 24 tahun. Karena kehidupan yang pas-pas an, Michiyo kecil tidak pernah diberi air susu, ia hanya diberi air tajin yang dicampur gula. Saat usia Michiyo 3 tahun, bibinya menikah dan meninggalkan dia untuk dirawat oleh nenek dan kakeknya. Pada saat
Michiyo duduk di kelas 3 SD, kakeknya meninggal dunia. Sejak saat itu Michiyo bekerja semakin giat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan neneknya. Pada saat SMP di usia 13 tahun, Michiyo dibawa oleh ibunya kembali karena ibunya telah mendirikan kedai minuman. Tinggallah neneknya seorang diri di rumah tanpa ada yang menemani. Setelah tinggal dengan ibunya, Michiyo dijadikan pelayan di kedai minuman ibunya sepulang dari sekolah. Ia harus mengantarkan makanan dan minuman kepada tamu, menuangkan minuman dan menemani para tamu. Pada saat usia 14 tahun, neneknya meninggal dunia, tetapi ia tidak bisa pergi menghadiri pemakaman karena dipaksa oleh ibunya untuk bekerja.
Di usia 15 tahun Michiyo kabur dari rumah ibunya dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah penginapan. Tetapi setelah itu bekerja sebagai hostes di Fukuoka. Akhirnya di usia 30 tahun, Michiyo mendirikan sebuah rumah makan kecil yang diberi nama “Nodate”. Saat usia 36 tahun, Michiyo menjalin hubungan asmara dengan seorang pria yang bernama Tsutomu yang berusia 48 tahun dan hamil di luar nikah . Tahun 1984 Tsutomu meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Selang sebulan kemudian, dia melahirkan bayi prematur dengan bobot 500 gram dan buta. Dengan setia dan penuh tanggung jawab ia membesarkan bayi yang diberi nama Miyuki Inoue. Ia rela mengeluarkan banyak uang untuk perawatan Miyuki, menutup rumah makan dan membuka usaha catering, mengajari anaknya hidup mandiri dan menceritakan berbagai hal. Akhirnya kesabaran dan ketekunannya merawat anaknya terbayar setelah 15 tahun kemudian yaitu saat Miyuki memenangkan lomba pidato se Kyushu.
Beranjak dari kemenangan pidato Miyuki inilah merupakan awal terbitnya novel biografi dan memori ibu dan anak ini. Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” menjadi novel best seller di Jepang pada tahun 2000.
Novel ini berisi cerita kehidupan Michiyo Inoue sebagai seorang ibu yang membesarkan dan mendidik anaknya seorang diri.
BAB III
ANALISIS NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU”
KARYA MICHIYO INOUE
3.1 Sinopsis Cerita
Perjuangan seorang ibu bernama Michiyo Inoue yang tinggal di Fukuoka, Jepang, yang membesarkan seorang anak hanya seorang diri tanpa ditemani seorang suami karena sebelum meresmikan pernikahan, sang calon suami telah meninggal dunia terlebih dahulu akibat kecelakaan ketika dinas ke luar kota.
Sejak Michiyo Inoue mengandung anaknya, dia sangat menantikan kelahiran si buah hati. Namun kecelakaan yang menyebabkan calon suaminya meninggal dunia membuatnya sempat memaki diri sendiri karena harus mengurus calon bayinya itu sendirian tanpa dukungan dan bantuan dari keluarga. Tidak cukup hanya akan menghadapi kehidupan dengan sendirian, Michiyo juga harus menerima kenyataan bahwa kelahiran anaknya lebih awal bahkan terlalu awal dari perkiraan. Karena seorang bayi akan dilahirkan apabila sudah mencapai usia 40 minggu, tetapi Michiyo melahirkan bayinya ketika memasuki minggu ke 20.
Bayi tersebut lahir dalam keadaan koma, beratnya hanya 500 gram dan super prematur. Michiyo hanya bisa melihat putrinya tergolek lemas dalam inkubator. Dia sempat menyesal dan meminta maaf pada putrinya karena telah melahirkannya ke dunia dalam keadaan seperti itu. Semakin lama keadaannya membaik karena bayinya mulai tersadar dan jarinya yang kecil
bisa memegang jari tangan Michiyo yang membuatnya kembali semangat untuk mengurus dan menjaga anaknya itu. Tetapi tidak lama kemudian di usia 5 bulan bayi itu divonis tidak bisa melihat.
Setelah berpikir panjang akhirnya Michiyo berjanji tidak akan pernah menyerah untuk membesarkan putrinya Miyuki Inoue. Michiyo selalu berusaha mencari informasi tentang bagaimana cara merawat anak yang buta. Seiring berjalannya waktu, Michiyo menyekolahkan putrinya di SLB.
Berkat didikan yang disiplin oleh sang ibu, Miyuki menjadi anak yang pintar, rasa ingin tahunya akan hal-hal baru yang sangat tinggi dan berhasil menjadi pemenang lomba pidato se Kyushu dan masih banyak prestasi- prestasi yang lainnya.
3.2 Masalah Sosiologis dan Pola Asuh Michiyo Sebagai Tokoh Utama Dalam
Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”
3.2.1 Masalah Sosiologis Kehidupan Michiyo Inoue
Dalam novel ini penulis menemukan beberapa cuplikan yang menunjukkan masalah sosiologis Michiyo ketika masih kecil hingga menginjak usia remaja. Masalah sosiologis yang dialami Michiyo berawal dari adanya situasi sosial yang kurang baik. Situasi sosial adalah suatu kondisi tertentu dimana berlangsung hubungan antara individu yang satu
dengan individu yang lain atau terjadi hubungan antara dua individu atau lebih seperti yang terlihat dalam cuplikan berikut.
Cuplikan 1
“Jangan sekali-kali kamu memanggil ibu di depan tamu. Panggil aku
„mama-san‟, mengerti?” kata ibu dengan muka tegang. Aku hanya bisa menurut. Bagaimana mungkin aku harus memanggil ibu sendiri dengan sebutan “mama-san” seperti wanita lainnya. Apakah wanita ini benar ibuku? Tidak punyakah hati untukku (Inoue, 2006:46).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa masalah sosiologis yang tercermin adalah terjalin hubungan yang tidak baik antara Michiyo dengan ibunya sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan cuplikan yang menyuruh Miyuki untuk tidak memanggil ibunya dengan kata ibu karena hal itu akan merepotkan ibunya di hadapan para pelanggan. Akibat situasi sosial tersebut, Michiyo sempat berpikir apakah wanita tersebut adalah ibunya atau tidak.
Cuplikan 2
Sejak kecil aku tidak pernah mengerti akan kehidupanku sendiri. Aku dibesarkan oleh nenek dan kakek yang sangat disiplin. Aku tak pernah merasakan pelukan dan senyum manis. Pahit memang mengingat semuanya itu, tapi itu pelajaran yang sangat berharga sehingga aku tidak ingin mengulanginya pada anakku (Inoue, 2006:82).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa masalah sosiologis Michiyo adalah dibesarkan tanpa kasih sayang dari orangtuanya. Dia dibesarkan oleh kakek dan nenek yang telah tua dan tidak pernah memberikan pelukan dan senyuman manis yang selayaknya dibutuhkan oleh anak-anak. Berbagai pengalaman hidup yang pahit telah dirasakan oleh Michiyo selama hidupnya. Ini menunjukkan bahwa masalah sosiologis yang dialami Michiyo pada saat itu menunjukkan bahwa kakek dan neneknya adalah orang yang dingin terhadap anak kecil. Hubungan yang terjadi antara Michiyo dengan kakek dan neneknya hanya sebatas hubungan membesarkan cucu tanpa cinta dan kasih sayang. Hal ini tentu dapat membuat trauma padanya, namun Michiyo memiliki kesadaran bahwa dibalik semua pengalaman pahitnya, Tuhan menggantikannya dengan memberikan seorang anak bernama Miyuki. Michiyo tidak ingin anaknya ikut merasakan kepedihan yang telah dirasakannya dulu sebagaimana situasi sosial yang dialaminya.
Cuplikan 3
Aku sangat memahaminya berdasarkan pengalaman pribadi. Kalau aku dulu tidak mengenal penderitaan, tentu akan patah semangat saat memiliki anak yang buta (Inoue, 2006:126).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa masalah sosiologis yang dialami oleh Michiyo adalah mengalami penderitaan ketika masih kecil dan
menjadi pengalaman yang selalu diingatnya. Akan tetapi masalah sosiologis tersebut telah membentuknya menjadi seorang ibu yang kuat dalam menghadapi kenyataan bahwa anaknya seorang tunanetra.
Cuplikan 4
Waktu kecil, aku adalah anak yang penurut dan tidak mementingkan diri sendiri. Dengan senang hati aku akan melakukan semua yang diperintahkan nenek dan kakek, walaupun aku merasa tidak kuat karena masih kecil. Aku pun hanya diam saja walaupun diejek teman-teman. Aku menjadi sosok yang tabah karena ibuku. Ibu yang tidak pernah mengakuiku sebagai anaknya, bahkan tega menitipkan di rumah nenek walaupun ibu punya rumah (Inoue, 2006:138).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa kondisi yang berlangsung antara Michiyo dengan nenek dan kakeknya adalah hubungan yang kurang baik, karena Michiyo hanya diperintahkan untuk mengerjakan semua yang telah disediakan oleh neneknya. Hal ini menunjukan bahwa masalah sosiologis yang terjadi pada saat itu adalah Michiyo tidak mampu untuk melakukan perlawanan atau penolakan terhadap semua perintah karena ketidakberdayaannya sebab masih anak-anak. Selain itu tidak adanya pengakuan dari ibunya adalah sebuah masalah sosiologis. Situasi penolakan oleh ibunya juga telah menjadikannya sebagai sosok yang tabah dan kuat.
3.2.2 Pola Asuh Michiyo Inoue Bagi Anak Berkelainan
3.2.2.1 Individual
Dalam prinsip individual menekankan perlunya orangtua untuk memperhatikan perbedaan individu masing-masing anak saat melakukan kegiatan pendidikan. Perbedaan meliputi beberapa macam bagian, diantaranya perbedaan umur, jenis kelamin dan lain-lain. Untuk anak berkelainan, dalam hal ini anak tunanetra, perbedaan ini berkaitan dengan penyebab kebutaan, tingkat kebutaan, masa terjadinya kebutaan dan masih banyak lagi. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya orangtua merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswa. Inilah alasan paling mendasar dari perlunya penerapan IEP (Individual Education Program). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan IEP adalah sebagai berikut:
a. Apa yang bisa dilakukan anak?
Cuplikan 1
Pak Kono juga menyarankan agar Miyuki ikut dalam lomba pidato dan memenangkannya. Kalau berhasil menang, Miyuki bisa ikut dalam kompetisi se-Kyushu. Dan kalau berhasil menang lagi, Miyuki bisa mengikuti kompetisi tingkat nasional di Tokyo. Lomba pidato adalah mimpiku dan mimpi Miyuki. Aku tahu selama ini Miyuki senang mengarang. Dia rajin sekali menulis buku harian, di buku itulah dia menuangkan semua perasaannya yang tak pernah diceritakan padaku, dia juga menulis semua kejadian di sekolah (Inoue, 2006:126).
Analisis
Kutipan diatas menceritakan tentang Michiyo yang melihat bahwa meskipun anaknya seorang yang berkelainan, tetapi bisa mengikuti lomba pidato dan mengarang hingga menulis buku. Hal ini membuktikan bahwa anak berkelainan pun dapat melakukan berbagai hal dalam hidupnya dan tidak selalu harus bergantung pada orang lain.
b. Kemampuan apa yang seharusnya dimiliki anak?
Cuplikan 1
Dia akan berkirim email, kemudian membuat data. Dia bahkan mempunyai mimpi untuk memiliki situs pribadi. Di sekolah, dia belajar kesusastraan Jepang Kuno dan Kimia, walaupun sulit. Aku tidak perlu menjadi guru privat yang mengajarinya ini dan itu. Aku hanya membuatkan makanan lezat dan memerhatikannya (Inoue, 2006:182).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk mengetahui kemampuan anaknya, Michiyo tidak perlu terlalu terlibat dalam mengajari. Michiyo yakin bahwa anaknya memiliki kemampuan selain mengarang yaitu membuat situs pribadi dan kemampuan menulis.
c. Bagaimana orangtua dapat membantu anak memiliki kemampuan tersebut?
Cuplikan 1
“Coba kamu tambahkan emosimu, seolah sedang benar-benar kesal pada ibu”, saranku (Inoue, 2006:182).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk membantu anak memiliki kemampuan mengarang, Michiyo memotivasi dan menjadi pendengar dari karangan yang dibacakan oleh anaknya.
Cuplikan 2
Aku berusaha mengingatkan Miyuki akan semangatnya yang keras saat itu, hingga akhirnya bisa mencapai keinginannya. Kalau sekarang aku tidak membuatnya mengerti arti “berusaha keras”, bisa-bisa dia frustasi saat masuk SMA nanti. “Sebetulnya Ibu tak ingin kamu menyesal di masa depanu nanti, anakku” (Inoue, 2006:134-135).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan perjuangan Michiyo dalam membantu anaknya yaitu dengan membuat anak mengerti arti “berusaha keras”.
Karena jika tanpa usaha yang keras maka mustahil apabila anaknya dapat mencapai semua impiannya.
Cuplikan 3
“Teruslah bersemangat, Ibu mendukungmu. Ibu tak kan menghalangi cita-citamu. Mungkin kamu juga bisa menang di lomba pidato se Kyushu… ah, kamu pasti menang, Miyuki. Kamu pasti bisa,” kataku kepadanya saat pulang ke rumah (Inoue, 2006:182).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Michiyo selalu memberikan semangat kepada anaknya. Tidak perduli seberat apapun perlombaan yang akan diikuti anaknya, Michiyo tetap menyemangati dan mendukung anaknya.
Cuplikan 4
“Maaf, ada yang ingin saya tanyakan, apa yang harus diwaspadai oleh Miyuki jika dia ikut lomba? Soalnya, dia kan mau ikut ke perlombaan tingkat nasional” (Inoue, 2006:158).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk memperlengkapi anaknya agar dapat memberikan yang terbaik pada perlombaan, Michiyo menyempatkan diri untuk menanyakan kepada juri tentang apa yang harus diperbaiki dari Miyuki. Ini menunjukkan bahwa Michiyo sangat memperlengkapi kekurangan anaknya untuk mencapai cita-cita.
3.2.2.2 Kekonkretan/Pengalaman Pengindraan
Dalam prinsip kekonkretan menekankan perlunya orangtua/guru membimbing anak berkelainan untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung. Ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran, seperti huruf braille, komputer berbicara, buku bicara (Digital Talking Book), printer braille, termoform.
Cuplikan 1
Jawaban guru itu, “Begini Bu, lupakan kalau dia tidak bisa melihat.
Tangannya yang akan menggantikan matanya. Biarkan dia menyentuh apa saja.” Dia akan mengerti dengan menyentuh dan akan bertindak setelah menyentuh (Inoue, 2006:158).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pola asuh yang digunakan Michiyo dalam mendidik anaknya dimulai dari hal-hal kecil yaitu menggunakan tangan menggantikan mata sebagai sarana untuk melakukan apapun dan melupakan pemikiran bahwa seorang tunanetra tidak dapat bertindak melakukan apapun.
Cuplikan 2
Setelah menidurkan Miyuki, aku meletakkan berbagai mainan yang mengeluarkan suara-suara, seperti piano mainan, pokoknya mainan yang dengan sedikit sentuhan akan mengeluarkan suara (Inoue, 2006:158).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk mengajari anak harus dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang menghasilkan suara sebagai ganti dari penglihatan. Michiyo sudah memulainya sejak anaknya masih bayi.
Cuplikan 3
“Ibu, tadi aku belajar mengenal huruf braille. Bu guru bilang, yang pertama dilakukan adalah meraba titik-titik kemudian merasakannya, dengan begitu kita akan bisa membaca huruf-huruf itu”… demikian juga Miyuki, dengan bersemangat dia menuliskan huruf Braille (Inoue, 2006:95,97).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa anak tunanetra membutuhkan huruf braille sebagai huruf yang bisa dibaca dengan menggunakan ujung jari. Huruf braille menjadi sarana dalam pembelajaran umum maupun untuk menulis. Michiyo telah melakukan prinsip kekonkretan kepada anaknya dengan membimbingnya untuk meraba huruf-huruf secara langsung.
3.2.2.3 Totalitas
Dalam prinsip totalitas, anak berkelainan perlu dilatih dan dibiasakan untuk memanfaatkan secara maksimal indra lain yang masih berfungsi dengan baik sehingga dapat membantu indranya yang kurang.
Bagi anak tunanetra, karena matanya mengalami gangguan maka perlu dilatih untuk menggunakan indra dan anggota tubuh yang lain yang masih berfungsi dengan baik, misalnya indra penciuman, indra perabaan, indra pendengaran dan anggota tubuh yang lain.
Kehilangan ataupun penurunan penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara serentak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa teknik penggunaannya menjadi sangat penting untuk dilakukan (Putranto, 2015:103).
Cuplikan 1
Pada saat bersama dengan ibu ini, ucapan itu sedikit demi sedikit bisa kupahami. Lupakan kalau dia tidak bisa melihat. Biarkan dia menyentuh dengan tangannya. Mudah-mudahan aku bisa melakukan hal ini dengan sebaik-baiknya setiap hari (Inoue, 2006:27).
Analisis
Dalam mendidik anaknya, Michiyo membiarkan Miyuki untuk menyentuh secara langsung setiap benda yang ditemuinya dan merasakan
pengalaman secara langsung dalam setiap perbuatan yang akan dilakukan.
Michiyo juga meminta anaknya menggunakan semua indranya yang berfungsi dengan baik secara utuh dan maksimal pula. Hal ini sudah ditanamkan Michiyo pada dirinya sejak anaknya masih bayi sebagai persiapannya dalam mendidik anaknya. Dalam hal ini Michiyo telah menerapkan prinsip totalitas.
Cuplikan 2
Rasa ingin tahu seorang bayi akan tumbuh dalam dirinya dari cara bagaimana keluarganya berbicara dan bertindak dan dari situ akan timbul niat untuk bergerak dan bermain yang akan menambah kepintarannya.
Pertumbuhan mental seperti itulah yang kupikir bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan fisiknya. Beberapa kali Miyuki mengalami masa kritis, tetapi semuanya tidak bisa ditukar dengan keinginanku membina kekuatan mentalnya (Inoue, 2006:32).
Analisis
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hal terpenting dalam mendidik anak adalah membina mentalnya terlebih dahulu. Ada beberapa dampak positif yang dihasilkan jika para orangtua membina ketahanan anak pada saat usia dini seperti peningkatan sosial dan keterampilan emosional anak, peningkatan kesehatan mental, pengurangan stres emosional anak, memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan hidup. Ketahanan mental anak yang tinggi akan meningkatkan level emosional dan sosial yang positif pada anak, keterlibatan dalam kegiatan belajar, kemampuan mengatasi beragam situasi sulit, dan
menurunkan tingkat depresi. Untuk itu, melatih ketahanan mental pada anak adalah suatu investasi untuk kemampuan akademik dan keberhasilan masa depan. Hal inilah yang pertama dilakukan oleh Michiyo agar anaknya kelak menjadi seperti yang diharapkannya, mampu menggunakan semua alat indranya karena pada awalnya kekuatan mentalnya telah terbentuk.
Cuplikan 3
Hampir setiap hari aku pergi ke taman dan mengajaknya bermain, disana dia menyentuh apa saja yang ada di sana. “Nah, di sini gerbang taman. Ayo, kamu jalan mulai dari sini, kita hitung sama-sama ya berapa langkah supaya sampai di bak pasir? Yuk mulai! Satu, dua, tiga, empat, lima…” Dengan ceria Miyuki melangkahkan kaki-kaki kecilnya. Beginilah caraku mengajari konsep jarak. Nah. Miyuki, di taman ini juga ada pohon, coba deh kamu sentuh” kataku sambil membimbing tangannya untuk menyentuh pohon yang ada (Inoue, 2006:59).
Analisis
Kutipan diatas menunjukkan bahwa pendidikan yang dibiasakan sejak kecil mampu membuat anak tunanetra menjadi sama dengan anak pada umumnya. Michiyo selalu menyediakan waktu untuk mengajak anaknya bermain di taman setiap hari dan mengajarinya berbagai hal seperti menunjukkan gerbang taman dengan cara menuntun anaknya berjalan dan menghitung jumlah langkah yang dibutuhkan untuk tiba disana. Michiyo juga memperkenalkan pohon dengan cara membimbing tangan anaknya untuk