• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transfer Keuangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah

Teruntuk Mama dan Papa tercinta

DAFTAR GAMBAR

2.2 Transfer Keuangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah

Transfer dana dari pusat merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Simanjuntak, mengemukakan bahwa: ”satu alasan utama mengapa peran dana transfer dari pusat sedemikian pentingnya untuk pemerintahan daerah adalah untuk menjaga atau menjamin tercapainya standar pelayanan publik

minimum”. 11 Lebih jauh ia menyatakan tujuan utama dari transfer dana pemerintah pusat adalah untuk:12

1. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal 2. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horisontal

3. Menginternalisasikan atau memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat (biaya) kepada daerah yang menerima limpahan manfaat (yang menimbulkan biaya) tersebut.

Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah, sistem transfer di Indonesia sendiri secara umum terbagi atas tiga jenis, yaitu (1) subsidi (bertujuan untuk mencukupi kebutuhan rutin daerah), (2) bantuan (bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan, baik yang bersifat umum maupun khusus), (3) DIP (Daftar Isian Proyek). Kedua jenis pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan (intergovermental grants) sebab menjadi bagian dari pemerintah daerah. Sedangkan DIP diklasifikasikan sebagai ’in-kind allocation’, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah.13

Perjalanan sejarah sistem transfer fiskal pusat ke daerah diawali dengan era sebelum Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Instruksi Presiden (INPRES). Sampai dengan diundangkannya UU No 32 Tahun 1956, tentang Perimbangan

11

Robert A. Simanjuntak. 2002. Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara, dalam Machfud Sidik, dkk (Ed), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal. 23.

12

Ibid. Hal. 27.

13

Rakasasa Mahi dan Andriansyah. 2002. Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah, dalam Machfud Sidik, dkk (Ed), Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal. 1.

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sistem subsidi yang dipakai adalah sistem ”sluit post” , yaitu suatu bentuk subsidi yang memberikan tunjangan sebesar selisih antara besarnya rencana penerimaan yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Namun demikian, dalam prakteknya yang dijalankan bukanlah sistem ”sluit post” murni. Pemberian tunjangan pada daerah sangat tergantung pada kebijaksanaan sepihak pemerintah pusat, yang sebagian besar berdasarkan pertimbangan politis.

Berdasarkan UU No 32 tahun 1956, secara konseptual pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah diterjemahkan kedalam 3 (tiga) hal utama, yaitu:

1. penyerahan sumber pendapatan negara kepada pemerintah daerah

2. pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak negara kepada pemerintah daerah

3. memberikan ganjaran, subsidi dan sumbangan kepada pemerintah daerah Sejak tahun 1965, seiring dengan perubahan dalam dunia politik di Indonesia, tidak terdapat lagi pola pembagian pajak negara kepada daerah yang ditetapkan dengan PP. Pola ini digantikan dengan suatu pola kebijakan yang memberikan subsidi kepada daerah yang didasarkan pada perhitungan besarnya jumlah pengeluaran untuk gaji pegawai daerah otonom atau yang disebut sebagai subsidi perimbangan keuangan yang dikenal sebagai Subsidi Daerah Otonom (SDO). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna membantu menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan.

Berbeda dengan SDO yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah daerah, bantuan INPRES, yang diberikan atas Instruksi Presiden (INPRES), diberikan untuk membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Dasar pemberian bantuan tersebut adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Salah satu tujuan utama dari INPRES adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam pembangunan, dan distribusi hasil-hasil pembangunan.

Bentuk transfer fiskal yang hanya berlaku satu tahun lebih (tahun 1999/2000 dan tahun 2000) yaitu Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD). Pada dasarnya DRD dan DPD tidak mempunyai perbedaan yang prinsip dengan pola SDO dan INPRES. Alasan utama perubahan ini dalah karena sejalan dengan tuntutan Otonomi Daerah, pemerintah pusat ingin menunjukkan secara jelas dalam APBN besaran dana yang di daerahkan, selain memperbesar pula alokasi dana yang di daerahkan.

Setelah di berlakukannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah yaitu UU No 22 tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999, maka pola transfer pusat-daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk Dana Perimbangan, yang terdiri atas Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak yaitu bagian daerah yang berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam. Berdasarkan ketentuan baru tersebut, maka terjadi suatu mekanisme bagi-hasil atas berbagai penerimaan yang berasal dari sumber daya alam (Tabel 2.1). Ketentuan tentang bagi-hasil sumber

daya alam ini disambut secara antusias maupun dengan penuh kekhawatiran oleh berbagai daerah di Indonesia.

Bagi daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka bagi- hasil ini memberikan “porsi” yang relatif lebih besar dari porsi yang mereka terima dalam sistem bagi-hasil yang berlaku selama ini.

Tabel 2.1. Proporsi Bagi Hasil Pajak dari Sumber Daya Alam Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 (dalam persen)

Sebelum Sesudah No Jenis SDA

Pusat DATI I

DATI

II Pusat Propinsi Kab/kota

Kab/kota lainnya 1 Minyak 100 - - 85 3 6 6 2 Gas alam 100 - - 70 6 12 12 3 Iuran tetap 20 16 64 20 16 64 - 4 Royalti pertambangan umum 20 16 64 20 16 32 32 5 IHH 55 30 15 20 16 64 - 6 IHPH/PSDH 55 30 15 20 16 32 32 7 Perikanan 100 - - 20 - - 80 Sumber: Sidik (2002)

Bila didasarkan pada perhitungan bagi-hasil di atas, maka beberapa daerah yang tidak memiliki sumber daya alam sesuai dengan UU No.25 tahun 1999 akan mengalami kekhawatiran yang cukup mendalam dalam rangka melaksanakan proses desentralisasinya. Tetapi dalam UU No.25 th 1999 telah diperhitungkan pula kemungkinan tersebut, yakni dengan diadakannya Dana Alokasi Umum (DAU). DAU ini memiliki ciri berupa dana blok (block grant) dan dialokasikan ke daerah dengan tujuan agar masyarakat di seluruh Indonesia memiliki kualitas atas pelayanan jasa dan fasilitas publik yang sama (Equalization Principle).

Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk melakukan alokasi DAU ini kepada daerah-daerah di Indonesia. Menurut ketentuan yang

berlaku pada UU No.25 1999, maka alokasi DAU ini ditentukan dengan mempertimbangkan sisi kebutuhan (Fiscal Needs) dan sisi kemampuan fiskal (Fiscal Capacity). Untuk memperoleh perkiraan kebutuhan dan kemampuan fiskal, diperlukan suatu kajian empiris. Hal ini diperlukan agar diketahui variabel- variabel apa yang dapat mewakili (proxy) bagi kebutuhan dan kemampuan fiskal, serta bobot dari variabel tersebut dalam penentuan alokasi DAU.

Menurut ketentuan UU No.25/1999, maka kebutuhan wilayah otonomi daerah paling sedikit dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Menurut ketentuan ini, paling tidak sudah diperoleh 4 variabel proxy bagi kebutuhan. Sementara itu, untuk potensi ekonomi daerah, antara lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima daerah, seperti potensi industri, sumber daya alam, sumber daya manusia dan PDRB.

Adapun Dana Alokasi Khusus (DAK) pada hakikatnya merupakan dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi prasarana baru, pembangunan

jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritasnasional.

Dokumen terkait