• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kajian Pustaka

1.4.5 Transgender

Definisi dari transgender adalah istilah yang digunakan untuk orang yang berperilaku seperti gender lainnya, dalam berpakaian, gerak gerik, dan lain-lain. Transgender menjalani kehidupan yang benar-benar beda, dan sampai batas tertentu, diakui dan kadang diterima oleh (Dermatoto,2010:3).

Transgender merupakan ketidaksamaan antara identitas gender seseorang dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Transgender bukan merupakan orientasi seksual. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual, maupun aseksual. Beberapa menilai penamaan orientasi seksual yang umum tidak cukup atau tidak dapat diterapkan terhadap kondisi transgender. Beberapa definisi dari "transgender" adalah sebagai berikut. :

"Seseorang yang ditunjuk sebagai seks tertentu, umumnya setelah kelahiran berdasarkan kondisi kelamin, namun merasa bahwa hal tersebut adalah salah dan tidak mendeskripsikan diri mereka secara sempurna.

"Tidak mengidentifikasi (diri mereka) atau tidak berpenampilan sebagai seks (serta gender yang diasumsikan) yang ditunjuk saat lahir."

Individu transgender dapat memiliki karakteristik yang biasanya dikaitkan dengan gender tertentu dan dapat pula mengidentifikasi gender mereka di luar dari definisi umum yaitu seperti agender, gender netral, genderqueer, non-biner, atau gender ketiga.

Seseorang yang transgender dapat pula mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang yang bigender, pangender, atau mencakup bagian-bagian dari beberapa rangkaian kesatuan transgender yang umum atau juga mencakup bagian lainnya yang berkembang dengan adanya studi-studi terkini yang lebih rinci. Lebih lanjut lagi, banyak orang transgender mengalami masa perkembangan identitas termasuk pemahaman yang lebih baik terhadap citra, refleksi, serta ekspresi diri mereka. Secara lebih spesifik, keadaan seseorang merasa lebih asli, autentik, serta nyaman terhadap penampilan luar mereka dan menerima identitas asli mereka disebut sebagai keselarasan transgender.

Transgender yang secara fisik merupakan laki-laki akan melakukan sesuatu untuk merepresentasikan kewanitaan dalam tubuh mereka yang laki-laki. Bagaimana mereka berdandan, memakai baju seperti layaknya wanita adalah salah satu hal yang bisa digambarkan dalam penampilan mereka. Tidak hanya itu saja, cara berjalan pun juga dipraktekkan seperti menggoyang panggul dan berbicara dengan nad suara agak manja kewanita-wanitaan. Lipstick, bedak, dan segala macam aksesoris yang bisa dikenakan permpuan adalah barang-barang yang sangat penting untuk menunjang penampilan mereka karena keindahan tubuh menjadi penting dalam penampilan mereka sehari-hari. (Koeswinarno, 2004:54).

1.4.5.1 Kehidupan Sosial dan Permasalahan Transgender

Kehidupan sosial transgender tentu berbeda dengan kebanyakan orang, selain dipandang bahwa transgender merupakan sesuatu yang tidak normal, masyarakat menganggap bahwa transgender adalah bentuk rasa ketidakpercayaan dan ketidakbersyukuran seseorang dalam melihat segala aspek biologis yang diberikan oleh Tuhan terhadap dirinya, untuk mengubah gender yang dimiliki sesuai dengan gender yang diinginkannya. Kelompok transgender juga menjadi kelompok yang seringkali mendapat pandangan negatif dari masyarakat.

Perlakuan tidak adil yang diterima kaum transgender dalam bentuk diskriminasi dan marjinalisasi dapat terjadi dari lingkungan manapun, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal ini merupakan dampak dari adanya anggapan-anggapan yang selama ini berkembang dan menyatakan bahwa transgender merupakan kondisi yang abnormal dan menyimpang, sehingga pada akhirnya masyarakat cenderung menyisihkan mereka dalam pergaulan, dan bahkan memperlakukan mereka dengan tidak menyenangkan. Hal ini menjadi salah satu penyebab timbulnya kecemasan dan perasaan tertekan bagi kelompok transgender, karena baik diri mereka sendiri juga menginginkan hal yang sama seperti yang dirasakan masyarakat pada umumnya, yaitu memiliki jiwa yang sesuai dengan bentuk tubuhnya (Ayudhia,2010:6).

Disebabkan bagian terbesar individu transgender tetap menggantungkan diri pada kehidupan malam, maka hal ini menimbulkan suatu anggapan bahwa dunia mereka diidentikkan dengan pelacuran. Stigma ini tentunya akan menimbulkan suatu pandangan bahwa berbicara mengenai manusia transgender, akan dengan sendirinya berbicara mengenai kehidupan malam pelacur, yang sudah pasti akan mempengaruhi status kesehatan reproduksi dan kesehatan seksualnya (Parendrawati,2011:3).

1.4.5.2 Permasalahan Transgender di Indonesia

Di Indonesia para kaum transgender, homoseksual, biseksual dan lesbian tidak mendapatkan tempat untuk menunjukkan jati diri mereka. Kebanyakan masyarakat Indonesia memandang sebelah mata mengenai keyakinan ini. Selain itu, masyarakat Indonesia banyak yang tidak bisa membedakan antara kaum transgender dan lainnya. Biasanya, yang susah dibedakan oleh masyarakat adalah kaum transgender dan waria. Seringkali, transgender dianggap sebagai waria. Padahal tidak semua transgender adalah waria, karena setiap individu transgender mempunyai keyakinannya sendiri mengenai ketertarikan seksual mereka. Juga setiap individu transgender memiliki hak untuk berpenampilan seperti apa. Waria adalah transgender dari kaum laki-laki yang memutuskan untuk berpenampilan menyerupai wanita.

Bila dibandingkan dengan kaum homoseksual, ternyata waria mempunyai permasalahan yang lebih banyak, salah satunya adalah yang berkaitan dengan identitas dirinya. Mereka mengalami krisis

sehingga mereka sangat sulit untuk bisa diterima didalam sebuah masyarakat, seperti lingkungan kerja. Salah satu faktor ini, yang kadangkala membuat kaum mereka tersisihkan dalam masyarakat.

Hidup “sebagai waria” dalam konteks kebudayaan dengan sendirinya dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu aspek eksternalisasi, aspek objektivasi, dan aspek internalisasi. Aspek eksternalisasi cukup penting karena mewakilkan transgender melakukan penyesuaian dengan lingkungannya ketika mendapat tekanan dari berbagai pihak di lapisan masyarakat. Hal ini juga dapat melihat bagaimana sebuah kultur menduduki posisi penting dalam pembagian peran secara seksual. Aspek objektivasi bisa dilihat dari interaksi sosial yang dilakukan mereka untuk merespon tekanan-tekanan itu, sehingga mereka dapat bertahan hidup “dengan status sebagai waria”. Aspek internalisasi adalah ketika seseorang melakukan identifikasi diri dengan lingkungan sosial sehingga memperoleh makna dan pemahaman hidup “sebagai waria” dalam suatu ruang sosial (Koeswinarno, 2004:29).

Sebutan banci, bencong, waria merupakan sebutan untuk mereka yang berjenis kelamin pria, berdandan dan berpenampilan wanita, serta secara psikologis mereka merasa dirinya sebagai wanita. Hampir semua waria di Indonesia pernah menjalankan praktik Homoseksual. Pembedanya dengan kaum gay (karena dalam masyarakat awam masih menganggap kaum mereka berciri-ciri sama)

mereka tidak perlu berpenampilan memakai make up, dan apapun penampilan seperti layaknya wanita.

Sunahara (2004) menjelaskan bahwa permasalahan transgender antara lain menyangkut moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, karena secara normatif tidak ada jenis kelamin ketiga diantara laki-laki dan perempuan. Terlihat dari bagaimana masyarakat menilai dan menerima terhadap pria transgender yang sebatas formalitas, sehingga transgender harus bertahan di tengah diskriminasi sosial terhadap transgender (Ruhghea, 2014: 12).

Dokumen terkait