• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKADEMISI

Menurut Bapak Pribadi ,Seorang Fajar Junaedi Melihat konsep “ Ketelanjangan “ itu sendiri seperti Apa?

Mas Fajar Junaedi : Ee..kalo kita bicara ketelanjangan kita bisa liat dari apa yang pernah di tulis oleh Mikel Fuco ya, sebenarnya kalo kita bicara pada tubuh, pada ketelanjangan itu kan kita bisa bicara pada kajian-kajian tentang tubuh dan proses pendisiplinan, nah Mikel Foucault misalnya banyak nulis di bukunya seperti Discipline and Punish mengenai bagaimana ketelanjangan ini mengalami represi dan tubuh mengalami proses pendisiplinan , terutama dari masa Ratu Victoria, maka kemudian dikenal Era Victorian tubuh harus ditutupi, tubuh terutama perempuan dan sebagainya bukan semata-mata ditutupi oleh pakaian tetapi tubuh mengalami pendisiplinan bahwa tubuh yang ideal kemudian ada standart-standart tertentu termasuk ketika bicara tentang ketelanjangan pasti ada standart-standart tertentu dari setiap masyarakat yang itu bisa berbeda, nah..kalo bicaranya kita dalam konteks seni, maka kita harus bicara seni untuk seni saja. gitu…

Berarti kalau bicara tentang era-era yang tadi bapak sebutkan, kalau sayakan, yang saya tau di Indonesia sebenarnya juga punya budaya-budaya seperti itu, istilahnya memamerkan bentuk tubuh dan sebagainya, contohnya seperti di bali kaya gitu, kalau dikaitkan dengan tradisi-tradisi yang seperti itu, bagaimana keilmuwan Indonesia membatasi, kan ada orang bilang telanjang itu pornolah ada sebagian orang nganggap oh enggak itu seni dan sebagainya, oh enggak ini bagian dari budaya, nah dari sisi keilmuan sendiri membatasi gap-gap antara satu makna ketelanjangan yang satu dengan yang lain itu seperti apa?

Mas Fajar Junaedi : Oh siap, jadi kalau kita bicara tentang ketelanjangan terutama dalam konteks tubuh maka kita harus bicara pada rezim wacana dari rezim yang berkuasa setiap rezim kan pasti punya relasi power and knowledge ( pengetahuan dan kekuasaan ) , nah kalau kita bicara pada seperti ini, sekali lagi mengutip dari pemikiran Mikel Foucault pasti masyarakat tertentu dikuasai oleh satu system dan system tertentu kan dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu juga bisa jadi mereka adalah mayoritas bisa jadi masyarakat minoritas juga yang menguasai struktur budaya yang kemudian melalui system kebudayaan itu kebudayaan itu kemudian disebarkan, ada dua hal yang menarik untuk bicara tentang ini yaitu tentang Proses Inklusi dan Proses Eksklusi. Inklusi ketika pengetahuan itu dianggap sesuai dengan kekuasaan sesuai dengan kuasa, maka pengetahuan itu akan diterima, contoh misalnya pengetahuan bahwa tubuh telanjang ini adalah pengetahuan yang tidak bersebrangan dari kepentingan rezim dominan maka kemudian pengetahuan ini akan diterima menjadi bagian dari tata aturan yang ada dalam masyarakat jawa misalnya dulu ketika ada upacara manten ka nada siraman tubuhnya juga terlihat sampe segini ( bagian dada ) dia itu bagian dari mempertunjukkan keindahan tubuh, nah ada proses lagi disebut sebagai ekslusi dimana pengetahuan ( Knowledge ) ini dianggap tidak sesuai dengan power, yang terjadi adalah knowledge akan dikeluarkan dan dianggap tidak sesuai dengan rezim yang berkuasa, nah untuk mengganggap ini tidak sesuai, rezim pun menggunakan klaim-klaim pengetahuan, klaim pengetahuan ini biasa berupa, kemudian dibentuk dalam berupa peraturan atau bahkan undang-undang atau sekedar norma sosial. Kita bisa ingat misalnya undang-undang pornografi yang ada di Indonesia undang-undang ini kan secara kuat Meristriksimasyarakat-masyarakat tertentu, semua harus dianggap sama standartnya, padahal kalau kita bicara Indonesia kan harus bicara kebhinekaan. Begitu…

Berarti kalau saya bilang rezim di Indonesia, mengikuti istilah bapak inklusi dan eksklusi, apakah masuk eksklusi atau inklusi, kalau saya bilang eksklusi benar gak pak?

Mas Fajar Junaedi : Dalam beberapa hal rezim di Indonesia kemudian mengeksklusi pengetahuan-pengetahuan local, Local Wisdom ( Kearifan Lokal ) yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan menariknya atas nama modernitas kemudian ini dikaitkan dengan puritanisme terutama puritanisme agama, nih kan sebenarnya kan bagi saya berbahaya, karena kalau kita bicara tentang seni ya jangan difis afiskan dengan agama, karena pasti gak akan pernah selesai gitu kan, saya sebut tadi seni untuk seni.

Terkait kami pernah mewawancarai salah satu seniman, mereka para seniman saat menghasilkan karya mereka merasa dirinya bebas untuk berekspresi dan sebagainya. Melihat dari sisi keilmuan, komunikasi khususnya, apa yang hendak ditampilkan ( maknanya ) dari karya Nude Art oleh penciptanya?

Mas Fajar Junaedi : Mari kita bicara konstitusi dulu, konstitusi Negara kita kan menjamin kemerdekaan, berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tertulis nah ini kan bagian dari bagaimana seniman membuat karya seninya, membuat karya foto misalnya kan bagian dari membuat karya artefak secara tertulis, nah itukan harus perlu di hargai sebagai bagian dari kebebasan berekspresi gitu, nah yang bahaya lagi adalah ketika kemudian penguasa mengutip bahasa dari Antonio Gramschi melakukan strategi hegemoni ketika warga, civil society ( Masyarakat Sipil ) ini dipaksa untuk taat kepada Negara, dipaksa untuk tunduk kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh Negara, nah ini kan menjadi berbahaya karena kemudian akan ada pengetahuan-pengetahuan local misalnya yang dianggap tidak sesuai kemudian akan disingkirkan terutama temen-temen yang

dianggap minoritas di daerah-daerah misalnya, kasus bali misalnya kan menjadi menarik, terus saudara-saudara kita di papua apa kemudian ketika pake koteka apa itu dianggap sebagai telanjang ya kan? Maka kita harus menghargai itu sebagai kearifan local. Begitu… ( Segi Konstitusi ) ( Eksplorasi, Kebebasan berkspresi )terutama dalam karya foto nude art.

Beberapa karya seni foto yang ditampilkan itu kan ingin merefleksikan sebenernya Indonesia mempunya tradisi-tradisi yang menampilkan ketelanjangan, Nah kalau karya-karya seperti ini ( Karya Darwis Triadi ) konteksnya dia diupload dalam satu media yang bisa diakses secara luas, itu menurut bapak seperti apa, positifkah atau harus dibatasikah atau dilihat kembali?

Mas Fajar Junaedi : Kalo menurut saya ya, saya tidak mau kemudian ketika ada kata sensor yang keluar, karena pasti statement itu kan arahnya seni kemudian harus disensor, agar sesuai dengan pasar-pasar audiens tertentu misalnya. Bagi saya sensor itu kan pada diri audiens sendiri, literasi bagi audiens kalau audiens merasaa itu tidak sesuai dengan dia misalnya foto ini nude photography diupload di instagram kan cukup kita gak usah memfollownya. Dan tidak usah membukanya bahwa teknologi bagi saya adalah netral. Tergantung kita sebagai dalam perspektif pengguna kalau merasa kita tidak cocok, yah gak usah melihatnya tidak usah memfollownya persoalankan selesai, iya kan? Kemudian jangan dibesar-besarkan justru ketika dibesar-besarkan bagian dari ini menjadi perdebatan dan orang tidak taupun ingin tau dan membawanya pada isu yang dangkat (banality of issue) isunya kemudian terjebak pada porno dan tidak porno. Bukan lagi bicara seni yang estetik maupun seni yang tidak estetik, nah bahayanya kan disitu. Tidak lagi bicara ini sebagai sebuah karya seni tapi kemudian perdebatannya kalau dibawa ini misal dibawa pada isu pornografi melalui media sosial misalnya pasti arahnya regulasi, arahnya adalah politik, isu-isu politik pada akan diarahkan pada UU ITE misalnya

ya ini menurut saya berbahayanya, Jadi mari kita memahami seni ini sebagai bagian dari karya seni. Bahwa kalau kita merasa ini tidak cocok sebagai seni kita, ya gak usah diakses yang kedua tadi misalnya tentang pernyataan tentang bagaimana kita tidak paham tentang budaya daerah. Menurut saya ada sedikit yang salah apa yang kita terima dari SD sampai SMA guru kita selalu mengajarkan kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Sebut saja ini kebudayaan nasional ini ada kebudayaan Jawa kebudayaan Bali, Kebudayaan papua, Maluku, dan sebagainya. Kan ada puncaknya, lalu pertanyaannya adalah kaki dan badannya atau kalau ibarat gunung, kaki gunung dan apa namanya? Lereng gunungnya mau ditaroh dimana? Nah ka nada penghilangan toh ketika disebut puncak-puncak kebudayaan daerah dianggap sebagai kebudayaan nasional. Makanya kemudian kita kan menjadi baru tahu ketika kuliah, oh ternyata di Bali ada hal seperti ini, di Papua ada hal seperti ini, karena tidak pernah diajarkan oleh guru-guru kita dulu.

Menurut bapak apakah masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bisa disebut penikmat seni? Disini konteksnya adalah senin telanjang mulai dari seni lukis, seni rupa, maupun seni fotografi.

Mas Fajar Junaedi : Okay, kalau kita bicara tentang masyarakat Indonesia, mari kita bicara realitas dulu. Berapa masyarakat Indonesia berkunjung ke galeri seni, iya kan? Dua kita bisa lihat bagaimana penghargaan masyarakat Indonesia pada karya- karya yang ada diruang publik, contoh aja misalnya mural baru dimural sudah dirusak, iya kan? Ini sebenarnya kan persoalan literasi masyarakat Indonesia pada seni ini kan memprihatinkan. Untuk bicara tentang bagaimana masyarakat Indonesia ini mengalami lompatan, kalau dinegara-negara maju, masyarakat ini kan mereka dari budaya baca-tulis, baru kemudian masuk ke budaya audio-visual, masuk ke budaya cyber. Kita kan tidak. Budaya baca tulisnya belum tamat sudah loncat ke budaya audio-visual. Audio-visual belum selesai sudah loncat ke budaya internet,

yang terjadi ketika misalnya karya seni itu di upload disosial media yang tidak setuju kemudian mengecamnya dengan menggunakan, dalil-dalil dengan menggunakan alasan-alasan yang berkaitan pada persoalan-persoalan yang bersifatnya teologi satu, dua alasan-alasan yang bersifat pada persoalan-persoalan yang kemudian sebenarnya bisa diperdebatkan, ini yang menurut saya yang menjadi bermasalah di Indonesia saat ini. Jadi untuk dibilang bahwasanya, masyarakat Indonesia sebenarnya dimasa lalu adalah masyarakat yang bisa menikmati seni, ambil contoh misalnya candi Borobudur kita bisa liat relief candi Borobudur, candi Suko, dan candi Ceto misalnya ketelanjangan kan juga dieksposisi dan bahkan itu dibangunan suci dan masyarakat juga mengunjunginya dimasa itu mereka tidak merusak candi, justru yang terjadi kan sekarang dari pengunjung saja misalnya sepatu yang tajem merusak batuan candi kan bagian yang kecil,belum lagi vandalism terhadap bangunan bangunan candi terhadap relief-relief candi, termasuk kalau kita bawa ke sekarang diera-era cyber adalah ketika karya seni ini diupload disosial media kecaman-kecaman dari orang yang tidak setuju memperlihatkan bagaimana kemudian gejala-gejala fasisme itu tumbuh muncul dan itu perlu kita waspadai. Gitu kita harus melihat Indonesia sebagai sebuah negara yang berbhineka dan kita tidak bisa menyebut bahwasanya kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah bagi saya ketika menyebut budaya nasional adalah puncak-puncak budaya daerah dan itu kemudian digunakan sebagai dalil untuk membunuh kreatifitas seni. Pasti yang terjadi aka nada yang dikeluarkan atau dieksklusikan karena dianggap tidak sesuai dengan rezim kuasa yang sedang menguasai Negara.

Terkait dengan jawaban diatas saya melihat ada perbandingan antara karya seni telanjang dahulu dengan karya seni telanjang jaman yang sekarang, itu kan pasti ada konteks tertentu yang jadi pertimbangan seseorang penikmat yang melihat karya tersebut. Nah kalau dilihat dari konteks yang sedemikian, apakah karya seni terutama fotografi dia masi punya ruang kah atau tidak di penikmatnya di Indonesia sekarang?

Mas Fajar Junaedi :Kalau bagi saya harus diberi ruang, karena bagaimana juga itu bagian dari ekspresi seni. Nah kalau bahwa kemudian penikmatnya kan adalah orang-orang yang bisa menikmati karya seni ini dan melihat ini sebagai sebuah bagian dari karya seni bukan sebagian dari pornografi. Maka kita harus melihat bahwasanya seni untuk seni yak an? Jangan dibawa pada ranah-ranah yang lain, kalau dibawa pada ranah yang lain perdebatannya tidak akan pernah selesai begitu.

TELANJANG

Dokumen terkait