Metode biaya perjalanan ini dikembangkan untuk menilai kegunaan dari barang non-market. Alam secara khusus tidak memegang harga dalam pasar sehingga kita harus menemukan alternatif yang dimaksudkan untuk memperkirakan nilainya (Pierce, 2006). Menurut Hufschmidt (1987), pendekatan biaya perjalanan merupakan suatu cara menilai barang yang tidak memiliki harga. Di negara maju, pendekatan ini telah dipakai secara meluas untuk mendapatkan kurva permintaan barang-barang wisata.
Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mengunjungi tempat wisata. Diketahuinya pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan. Pendekatan biaya perjalanan berhubungan dengan tempat khusus dan mengukur nilai dari tempat tertentu dan bukan wisata pada umumnya (Hufschmidt, 1987).
Fauzi (2006) juga menambahkan bahwa tujuan kerja TCM untuk mengetahui nilai sumber daya alam yang atraktif dari suatu tempat wisata, yang dilakukan melalui pendekatan proxy. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumber daya alam digunakan proxy untuk menentukan harga dari sumber daya alam tersebut.
Menurut Kusumastanto (2000) TCM merupakan salah satu teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut. Hanley dan Spash (1993) menyatakan asumsi yang dipakai dalam kebanyakan penelitian yang menggunakan metode perjalanan adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat terpisah.
Secara umum terdapat dua teknik yang digunakan dalam menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan Individual Travel Cost Method (ITCM). ZTCM merupakan pendekatan yang relatif mudah dan murah. Pendekatan ini bertujuan untuk mengukur nilai dari jasa
wisata dari sebuah tempat secara keseluruhan. ZTCM diaplikasikan dengan mengumpulkan informasi dari jumlah kunjungan ke tempat wisata dari berbagai daerah atau zona.
Pada Zonal Travel Cost Method (ZTCM) tempat wisata diidentifikasi berdasarkan kawasan yang mengelilinginya dibagi ke dalam zona konsentrik yang semakin jauh yang menunjukkan peringkat biaya perjalanan yang semakin tinggi. Survei terhadap para pemakai tempat wisata kemudian dilakukan pada tempat wisata untuk menentukan zona asal, tingkat kunjungan, biaya perjalanan, dan berbagai karakteristik sosial ekonomi. Informasi dari contoh para pengunjung dianalisis dan data yang dihasilkan digunakan untuk meregresi tingkat kunjungan yang dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan berbagai variabel sosial ekonomi.
Dalam hal ini, biaya perjalanan dan waktu akan meningkat seiring dengan meningkatnya jarak, maka informasi yang didapat memungkinkan peneliti untuk memperhitungkan jumlah kunjungan di berbagai harga. Informasi tersebut digunakan untuk membangun fungsi permintaan dan mengestimasi surplus konsumen atau keuntungan ekonomi untuk jasa rekreasi dari sebuah tempat.
ITCM (individual travel cost method) pada dasarnya serupa dengan ZTCM, tetapi menggunakan data survei yang berasal dari pengunjung secara individu dalam analisis statistik daripada data dari setiap zona. Metode ini memerlukan pengumpulan data yang lebih banyak dan analisis yang lebih sulit tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat.
Peralihan metode biaya perjalanan dari ZTCM menjadi ITCM dalam menurunkan nilai surplus konsumen disebabkan beberapa hal, pertama sering analisa yang dilakukan didasarkan pada willingness to pay individual. Hal yang kedua adalah karena pengamatan sering kali teramat kecil dibandingkan dengan keseluruhan zona, ketiga sering ditemui situasi dimana sejumlah individu melakukan perjalanan dari daerah asal yang umum dan selanjutnya terdispersi dalam kelompok-kelompok kecil menuju lokasi wisata sekitarnya. Sebab lain yaitu karena individu tidak semata-mata ingin menikmati pariwisata saja tetapi mungkin kombinasi dari melihat-lihat, berburu, dan sebagainya.
Metodologi ITCM secara prinsip sama dengan ZTCM (Mehmet dan Turker, 2006) namun ITCM menggunakan data dari survei setiap pengunjung
dalam analisis statistik bukan data dari masing-masing zona. Sehingga metode ini memerlukan data yang lebih banyak dan analisis lebih rumit, tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat.
Sedangkan Grigalunas et al. (1998) menyatakan bahwa ada tiga model travel cost, yaitu (1) zonal travel cost, (2) individual tracel cost, dan (3) discrete choice travel cost, yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi perjalanan yang tidak kontinu, di mana individu mengunjungi suatu lokasi sekali per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak ke lokasi terpilih.
Dalam membangun fungsi permintaan dalam TCM diperlukan asumsi dasar agar penilaian sumberdaya alam dengan metode ini tidak bias. Menurut Haab dan McConnel (2002) yang diacu dalam Fauzi (2006), fungsi permintaan harus dibangun dengan asumsi dasar, antara lain:
1) Biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga dari rekreasi;
2) Waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas;
3) Perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multitrips).
Kelebihan dari ITCM dibandingkan dengan ZTCM diantaranya : 1) Lebih efisien dari sisi statistik (proses perhitungan);
2) Konsistensi teori dalam perumusan model permintaan dan perilaku individu; 3) Menghindari keterbatasan zonal atau lokasi;
4) Menambah heterogenitas karakteristik populasi pengunjung diantara suatu zona, serta mengeliminasi efek pengunjung dengan tingkat kunjungan nol (non-participant).
Meski dianggap sebagai suatu pendekatan praktis, TCM memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1) TCM dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju. Artinya TCM tidak menelaah aspek kunjungan ganda (multipurpose visit), padahal pada
kenyataannya seorang individu bisa saja mengunjungi tempat lain terlebih dahulu sebelum ke tempat wisata yang kita maksud;
2) TCM tidak membedakan individu yang memang datang dari kalangan pelibur (holiday makers) dan mereka yang datang dari wilayah setempat (resident). Jadi jika para holiday makers ini memang datang untuk menikmati keindahan alam tempat wisata yang kita teliti, maka tentunya biaya perjalanan penduduk sekitar harus dialokasikan pada holiday makers tersebut;
3) Masalah pengukuran nilai dari waktu (value of time), harus dibedakan antara waktu yang memang menghasilkan utilitas (wisata) dan waktu yang menjadi korbanan (oppotunity cost).