bAb I PENDAHUlUAN
C. Trend APBD (2009 – 2013)
Berdasarkan data APBD 2009 hingga 2013 yang telah dikonsolidasikan maka kita bisa mendapatkan gambaran sebagai berikut:
Grafik 1.3
Trend APBD (dalam miliar rupiah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009 - 2013 (Diolah)
Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa setiap tahun sejak 2009 hingga 2013 Pendapatan Daerah meningkat rata-rata sebesar 15,6% dan peningkatan pada tahun 2013 sebesar 18,4%, di mana Pendapatan Daerah pada tahun 2012 sebesar Rp551,3 triliun meningkat menjadi sebesar Rp652,9 triliun pada tahun 2013. Secara nasional trend anggaran belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2009 hingga 2013 sebesar 14,4%. Belanja daerah yang dianggarkan pada tahun 2012 sebesar Rp591,9 triliun meningkat 19,5% pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp707,1 triliun.
Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, cenderung terus mengalami penurunan dari tahun 2009 hingga 2011, akan tetapi pada tahun 2013 defisit anggaran meningkat sebesar 34,5%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Peningkatan
persentase pembiayaan netto pada tahun 2013 adalah sebesar 34,4% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.4
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2009 – 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009 - 2013 (Diolah)
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada tabel di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi terlihat laju peningkatannya lebih rendah bila dibandingkan laju peningkatan PAD. PAD terus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 PAD seluruh daerah secara nasional mencapai Rp62,7 miliar dan di tahun 2013 meningkat menjadi Rp140,3 miliar rupiah. Peningkatan tersebut secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2013 adalah sebesar 22,4%, peningkatan dari tahun 2012 hingga ke 2013 adalah sebesar 24,5%.
Dana Perimbangan secara nasional setiap tahunnya mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2009 Dana Perimbangan hanya Rp285,0 triliun terus
meningkat menjadi Rp432,7 triliun di tahun 2013. Rata-rata peningkatan Dana Perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013 di kisaran 11,1%. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 13,7% dari anggaran Dana Perimbangan di tahun 2012.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2009 hingga 2013. Pada tahun 2009 secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah masih di kisaran Rp19,5 triliun, kemudian mengalami rata-rata peningkatan per tahunnya sebesar 44,7%, sehingga di tahun 2013 Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah mencapai Rp79,9 triliun. Persentase peningkatan yang terjadi pada tahun anggaran 2012 yaitu sebesar 38,3% dari anggaran tahun sebelumnya dan di tahun 2013 dianggarkan meningkat 37,1%.
Grafik 1.5.
Rata-rata Pertumbuhan (2009 – 2013) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Berdasarkan data trend 2009 hingga 2013 maka kita juga bisa melihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (21,4%), lalu diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta (19,5%) dan Provinsi Sumatera Utara (19,4%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Papua Barat (11,1%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,4%), dan Provinsi Sulawesi Utara (11,6%).
Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan PAD per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 30,7%, lalu diikuti oleh Provinsi Lampung yaitu sebesar 29,5%, dan Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 29,4%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PAD yang terendah yaitu di bawah 11% terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu di kisaran 2,0%, Provinsi Bengkulu sebesar 7,0%, Provinsi Aceh sebesar 10,9%.
Di sisi lain rata-rata pertumbuhan dana perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013 cenderung tidak terlalu tajam fluktuasinya antar provinsi yaitu di kisaran 9,0% hingga 16,0%, dengan pengecualian Provinsi DKI Jakarta dengan rata-rata pertumbuhan dana perimbangan -0,4%.
Grafik 1.6
Trend Belanja Daerah TA 2009 – 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009 - 2013 (Diolah)
Berdasarkan tabel di atas maka dapat kita amati porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Bila dicermati Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung terus meningkat dari tahun 2009 hingga 2013, di mana pada tahun 2009 total Belanja Pegawai secara nasional baru mencapai angka Rp180,4 miliar rupiah dan di tahun 2013 meningkat menjadi Rp296,5 miliar rupiah. Rata-rata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,2%. Pada tahun 2013 Belanja Pegawai mengalami peningkatan sebesar 13,6% dari tahun 2012.
Besarnya Belanja Barang dan Jasa juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2009 total Belanja Barang dan Jasa secara nasional di kisaran Rp79,6 miliar rupiah dan pada tahun 2013 telah meningkat menjadi Rp148,0 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2013 adalah sebesar 15,0%.
Fenomena yang agak berbeda terlihat dari trend Belanja Modal tahun 2009 hingga 2013, dimana secara rata-rata mengalami peningkatan di kisaran 12,7% dari tahun 2009 hingga 2013. Namun demikian, bila dilihat secara nominal, maka perubahan tersebut cenderung fluktuatif, dimana pada tahun 2009 total Belanja Modal mencapai Rp114,6 miliar rupiah lalu mengalami penurunan di tahun 2010 yaitu hanya sebesar Rp96,2 miliar rupiah, kemudian mengalami peningkatan di tahun 2011 hingga di tahun 2013 total Belanja Modal mencapai Rp175,6 miliar rupiah.
Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif pada tahun 2009 hingga 2013 di mana pada tahun 2009 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp40,6 miliar lalu naik menjadi Rp50,11 miliar di tahun 2010. Selanjutnya total Belanja Lain-Lain di tahun 2011 turun lagi menjadi Rp48,4 miliar dan akhirnya pada tahun 2013 total anggaran Belanja Lain-Lain meningkat menjadi Rp87,0 miliar. Secara rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2009 hingga 2013 adalah sebesar 22,3%.
Grafik 1.7
Rata-rata Pertumbuhan (2009 – 2013) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Berdasarkan grafik 1.7 maka kita bisa melihat gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total belanja daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2009 hingga ke 2013. Secara agregat total belanja seluruh daerah per provinsi menunjukkan rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (22,2%), lalu diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta (20,1%) dan Provinsi Lampung (19,0%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah terdapat di Provinsi Aceh (8,1%), Provinsi Kalimantan Tengah (9,8%), dan Provinsi Sumatera Barat (10,8%).
Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi Maluku yaitu sebesar 16,5%, lalu diikuti oleh Provinsi Bangka Belitung yaitu sebesar 15,9%, dan Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 15,6%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah terdapat di Provinsi Riau yaitu di kisaran 11,0%, Provinsi Sumatera Selatan sebesar 11,1%, dan Provinsi Aceh sebesar 11,5%.
Rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten yaitu sebesar 28,1%, Provinsi Aceh sebesar 25,5%, dan Provinsi Bali sebesar 23,6%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar 7,9%, Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 8,9% , dan Provinsi Maluku sebesar 10,7%.
Rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi Lampung yaitu sebesar 31,6% lalu diikuti oleh Provinsi DKI sebesar 28,1% dan Provinsi Banten sebesar 26,9%. Rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Aceh yaitu -7,2%, lalu Provinsi Bangka Belitung sebesar 2,0% dan Provinsi Maluku sebesar 3,6%. Provinsi Aceh relatif terus menurun Belanja Modalnya karena pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di sana lebih dominan berasal dari bantuan hibah yang masuk pada lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Tabel 1.2.
Rata-rata pertumbuhan (2009 – 2013) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
No Se-Provinsi SiLPA (%) No Se-Provinsi SiLPA (%)
1 Sulsel -9.0 18 Malut 5.8 2 Sultra -8.2 19 Jateng 6.2 3 Aceh -8.2 20 Jabar 6.5 4 Sumbar -7.3 21 Kalbar 8.5 5 Sumut -7.2 22 Riau 10.8 6 NTB -6.3 23 Babel 10.8 7 Kepri -5.7 24 Kalsel 12.1 8 Bengkulu -3.2 25 Kaltim 17.2 9 Papua -3.0 26 Bali 20.1 10 Kalteng -1.0 27 Lampung 21.5 11 Papbar 0.0 28 Sumsel 22.9 12 Jatim 0.9 29 Gorontalo 27.9 13 NTT 2.3 30 Sulut 28.5 14 DIY 2.4 31 Banten 31.5 15 Maluku 3.1 32 Sulbar 47.9 16 Jambi 4.3 33 DKI 58.4 17 Sulteng 5.1
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009 - 2013 (Diolah)
Di sisi Pembiayaan Daerah, berdasarkan trend APBD 2009 – 2013 maka kita bisa mendapatkan gambaran mengenai rata-rata pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu -9,0%, lalu diikuti oleh
Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar -8,2%, dan Provinsi Aceh sebesar -8,2%. Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran seluruh pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan kehati-hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan diterima pada saat anggaran tahun berjalan.
Sedangkan rata-rata pertumbuhan SiLPA yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 58,4%, Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebesar 47,9%, dan Provinsi Banten yaitu sebesar 31,5%. Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis dalam estimasi atas dana yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan akan tetapi tidak berani mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan publik di APBD-nya.
Di sisi lain, pinjaman daerah belum terlalu mempunyai peran yang kuat dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA daerah relatif masih cukup tinggi sehingga daerah cenderung akan menutup defisit mereka dari dana internal yang tidak memberikan beban antar generasi. Selain itu, kompleksitas pengajuan dan administrasi pinjaman daerah juga merupakan salah satu faktor belum terlalu berkembangnya pinjaman daerah.
1. Pendapatan Daerah
Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun Anggaran 2013 pada kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.8
Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2013 (Diolah)
Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan Pendapatan Daerah. Rasio PAD dibandingkan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa Bali yaitu sebesar 33,6% sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua yang hanya sebesar 5,9%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Fakta tersebut juga diperkuat dengan tingginya rasio dana perimbangan dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan rasio tersebut secara agregat daerah di wilayah Jawa Bali hanya memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer sebesar 53,5%. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap dana perimbangan adalah di wilayah Sulawesi di mana rasio dana perimbangan terhadap total pendapatannya mencapai angka sekitar 77,4% persen. Sedangkan untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap
total pendapatan maka terlihat bahwa wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 17,8%, sedangkan wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,0%. Di sisi lain terlihat bahwa wilayah Kalimantan hanya memiliki rasio yang paling rendah yaitu sebesar 5,5%. Salah satu penyebab utama dua wilayah yaitu Nusa Tenggara Maluku Papua serta Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah yang relatif tinggi adalah karena di dalam kedua wilayah tersebut terdapat daerah yang menerima dana otonomi khusus, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh.
2. Belanja Daerah
Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun Anggaran 2013 pada kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.9
Rasio Belanja Daerah Per Wilayah
Bila dilihat besaran Belanja Daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2013 antar wilayah maka dapat diketahui bahwa Belanja Pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh Belanja Modal serta Belanja Barang dan Jasa.
Belanja Pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 47,4% sedangkan wilayah Kalimantan Belanja Pegawainya yang terendah yaitu hanya sekitar 31,3%. Sedangkan rasio jumlah pegawai terhadap jumlah total penduduk di Sulawesi dan Kalimantan secara berturut-turut adalah 1:36 dan 1:40. Hal ini menunjukkan bahwa 1 orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 40 orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan satu orang PNSD memberikan layanan publik kepada 36 orang penduduk.
Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa Bali adalah 1:87. Bisa diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak sehingga rasio Belanja Pegawai terhadap total belanja juga besar yaitu sekitar 42,7%. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal di wilayah Jawa Bali sangat kecil yaitu hanya sekitar 20,2%. Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa-Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal atau memang karena APBD di semua daerah di Jawa-Bali sudah terlalu berat untuk memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per total belanjanya.
Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling signifikan tercermin dari rasio Belanja Modalnya yang mencapai sekitar 33,9% dan Belanja Barang dan Jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 19,8%.
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah
Potret beberapa rasio yang terkait Pembiayaan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun Anggaran 2013 pada kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara aggregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.10 Pembiayaan Per Wilayah
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2013 (Diolah)
Secara agregat besarnya defisit APBD TA 2013 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang mencapai 18,4%. Untuk menutup defisit APBD TA 2013, secara agregat seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu karena persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun demikian, bila dilihat rasio pinjaman daerah sekitar 0,37% maka bisa ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar untuk menutup defisit anggarannya. Bisa jadi sebagian daerah tersebut sangat mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk menutup defisit anggaran daerahnya.
Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup dengan SiLPA tahun lalu juga terlihat di wilayah Sumatera, Jawa Bali, dan Nusa
Tenggara Maluku Papua. Sedangkan di wilayah Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya sebesar -3,89% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,12% sehingga secara agregat pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 1,91%. Hal ini ditengarai bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk meminjam sebagai bentuk upaya antisipasi bila proyeksi pendapatan daerahnya tidak tercapai, namun disisi lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman daerah.
Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta besarnya resiko fiskal yang ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus memasukkan berbagai resiko fiskal yang terkait dalam proyeksi pendapatan maupun belanja daerahnya. Porsi Belanja Pegawai yang tinggi menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Upaya optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 lebih mengedepankan pada perluasan obyek pajak, penambahan jenis pajak baru secara limitatif, serta optimalisasi tarif pajak yang akan dipungut berdasarkan diskresi masing-masing daerah.
Perkembangan anggaran pajak daerah dan retribusi daerah setiap tahun hingga 2013 menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Bila pada tahun 2009 total pajak daerah secara nasional hanya sebesar Rp42,88 triliun maka sejak diberlakukannya UU tersebut maka seluruh pemerintah daerah pada tahun 2013 telah menganggarkan penerimaan dari pajak daerah sebesar Rp102,52 triliun atau meningkat sebesar 58,17 persen. Begitu juga dengan retribusi daerah di mana pada tahun 2009 hanya sebesar Rp7,76 triliun lalu mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2013 menjadi sebesar Rp10,51 triliun atau meningkat sebesar 26,12%.
bAb II
ANAlIsIs PENDAPATAN DAERAH
Desentralisasi fiskal pada dasarnya menekankan pada expenditure assignment yang ditandai dengan pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN.
Di samping itu, pemerintah pusat juga memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah yang mencerminkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Untuk meningkatkan kemandirian daerah, pemerintah pusat terus berupaya melakukan penguatan kewenangan perpajakan daerah (local taxing power). Dalam UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Namun demikian, pada kenyataannya banyak daerah yang masih tergantung pada dana transfer dari pusat karena minimalnya PAD. Data APBD Tahun 2013 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah mencapai 82%. Hal ini menggambarkan porsi bantuan dari pemerintah pusat masih mendominasi penerimaan daerah. Fenomena ini perlu dikaji, karena
untuk mengembangkan PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat digali dengan baik.
Analisis pendapatan daerah berikut ini mencoba untuk memberikan gambaran kondisi pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap perhitungan rasio akan dibagi ke dalam 5 jenis yaitu perhitungan rasio secara nasional (agregat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota), rasio seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi, rasio pemerintah provinsi, dan rasio per wilayah (pembagian 5 wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Maluku Papua). Untuk rasio per wilayah tidak mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta di dalam perhitungan. Pada bagian terakhir analisis ini, juga akan dibahas mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.