• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRICHURIS TRICHIURA

Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang  banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang  pernah terinfeksi dengan cacing ini juga cacing tambang dan hanya sedikit di bawah askariasis. Cacing jantan panjangnya 30 sampai 45 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura  berukuran lebih kurang 50 kali 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi ovum kemudian berkembang menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari.

Kelembaban tanah dan kelembaban udara juga dapat mempengaruhi  perkembangan dan kelangsungan hidup dari telur dan larva. Kelembaban yang lebih tinggi dapat mempercepat perkembangan telur dan pada kelembaban yang rendah sebagian telur T. trichiuratidak akan membentuk embrio.

Penyebaran T. trichiura  melalui transmisi faeco-oral. Telur yang dibuahi akan menjadi infektif di tanah selama 10 sampai 14 hari. Tertelannya telur yang dibuahi akan menyebabkan terjadinya infeksi. Kemudian di duodenum larva akan menetas, menembus dan  berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum. Siklus ini berlangsung selama lebih kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan cacing betina dewasa akan menghasilkan 20 000 telur setiap harinya. Cacing dewasa jarang ditemukan di dalam tinja karena melekat pada dinding usus besar (Garcia & Bruckner, 1996). Bagian kepala cacing ini terbenam dalam mukosa dinding usus sedangkan ujung posteriornya lebih tebal dan terletak bebas di lumen usus besar (Eisenberg, 1983; Faust & Russel, 1965; Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1976; Schmidt et al., 2005).

1. Epidemiologi

Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam  proses transmisi, iklim tropis Indonesia sangat menguntungkan

terhadap perkembangan T. trichiura. Indonesia mempunyai empat area ekologi utama terhadap transmisi T. trichiura  yaitu dataran tinggi, dataran rendah, kering, dan hujan. Data dari berbagai survei di  berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi T. trichiura

merupakan masalah di semua daerah di Indonesia dengan prevalensi 35% sampai 75%. Infeksi T. trichiura  didasari dengan sanitasi yang inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh dengan tingkat sosioekonomi yang rendah. Perbedaan

menggambarkan perbedaan sanitasi atau densitas populasi, tingkat  pendidikan, serta perbedaan sosioekonomi yang juga berperan penting. Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi T. trichiura. Berdasarkan data epidemiologi, anak dengan tempat tinggal dan sanitasi yang buruk dan higienitas yang rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi. Pendidikan higienitas yang rendah juga mendukung tingginya infeksi tersebut. Tumpukan sampah dan penyediaan makanan jajanan di lingkungan sekolah juga menjelaskan tingginya prevalensi.

2. Morfologi

Gambar 129

.

Bagan cacing

Trichuris tri chiura

(a)cacing betina (b) cacing jantan (c) telur

a. anus e. esofagus h. kepala i. usus o. ovarium  p. penutup s. spikulum t. testis u. uterus v. vulva

Bentuk seperti cambuk berwarna merah muda. Bagian anteriortubuh adalah langsing panjangnya 3/5 dari panjang seluruh tubuhberisi esophagus yang sempit dan bagian posterior tebal gemukdengan

 panjang 2/5 panjang seluruh tubuh berisi usus dan seperangkatalat reproduksi.

Cacing jantan berukuran 300-45 mm denganbagian ekor kaudal melingkar dan satu spikulum. Cacing betinaberukuran 35-50 mm dan ujung posteriornya lurus berujung tumpul. Telur berukuran 50-54 mikron x 32mikron bentuk seperti tempayan dengan penonjolan yang  jernih padakedua kutub, berdinding tebal dan berisi larva. Kulit telur

telur bagianluar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih.

3. Daur Hidup

Cacing dewasa hidup di usus besar. Di rongga usus ini cacingjantan dan betina kopulasi sehingga cacing betina bertelur kemudiantelur keluar bersama tinja. Cacing betina bisa menghasilkan telurantara 3000-10.000 butir setiap hari. Telur ini berisi sel telur dalamtinja segar/berisi larva dalam tinja 3-6 minggu untuk menjadi telurmatang. Telur ini berkembang baik pada tanah liat kelembaban yang

sesuai pada suhu optimum 30◦C, Cara infeksinya langsung bila secara kebetulan hospes menelantelur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke usus

halus. Di dalam usus dapat menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa cacing turun ke usus bagiandistal dan masuk ke daerah kolon terutama sekum. Cacing ini tidak

 punya siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampaicacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.

4. Gejala Klinis

Bagaimana mekanisme pasti bagaimana T. trichiura menimbulkan kelainan pada manusia belum diketahui, tetapi paling tidak ada dua  proses yang berperan yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus terjadi oleh karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus. Cacing ini  biasanya menetap di daerah sekum. Pada infeksi yang ringan,

kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit tetapi dengan masuknya  bagian kepala cacing dewasa ke mukosa usus dan menghisap darah,

terjadi iritasi dan peradangan mukosa usus, sehingga dapat menimbulkan anemia, dan mudah terinfeksi bakteri atau parasit lain seperti Entamoeba histolytica dan Eschericia coli. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang ditunjukkan dengan adanya reaksi anafilaksis lokal, akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat. Gejala ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, pada infeksi berat bisa dijumpai nyeri perut, disentri sampai prolapsus rekti.

Infeksi STH diketahui dapat menyebabkan malnutrisi dan anemia defisiensi besi. Penelitian di Zanzibar menunjukkan hubungan antara infeksi cacing dengan pertumbuhan yaitu didapati peningkatan berat  badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak

terinfeksi. Kurangnya nutrisi dan infeksi parasit umum mempunyai ritme yang berhubungan dengan usia. Kekurangan nutrisi biasanya lebih berat pada anak yang lebih kecil, dan suplementasi makanan lebih berhasil pada anak usia kurang dari 2 tahun.

5. Diagnosis

Infeksi T. trichiura  ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses ataupun cacing dewasa pada feses. Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram feses.

Infeksi dapat tidak terdeteksi jika menggunakan metode diagnosis yang kurang sensitif, seperti hapusan tipis tinja direk, dan jika konsentrasi telur di feses terlalu rendah. Pada suatu studi di Bangladesh, terdapat 8% infeksi T. trichiura  yang tidak terdeteksi ketika didiagnosis menggunakan metode sedimentasi eter dibandingkan dengan diagnosis dengan memberikan obat antihelmintik yang efektif.

6. Penatalaksanaan

WHO memberikan empat daftar anthelmintik yang esensial dan aman dalam penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole, dan pyrantel pamoate. Jika diberikan secara reguler pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemik. Berdasarkan meta analisis dari sembilan uji plasebo-kontrol,  pemberian albendazole dalam penanganan infeksi T. trichiura didapati

angka penurunan telur sebesar 0% sampai 89,7%.5

Cara pencegahan penyakit trichuriasis tidak beda jauh dengan  pencegahan penyakit ascariasis caranya seperti berikut :

1. Individu

Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan

Mencuci sayuran yang di makan mentah

Memasak sayuran di dalam air mendidih

2. lingkungan

Menggunakan jamban ketika buang air besar

Tidak menyiram jalanan dengan air got

Dalam membeli makanan, kita harus memastikan bahwa penjual makanan memperhatikan aspek kebersihan dalam mengolah makanan

2. Muntah dan Konstipasi A. Muntah

Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun  beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf  –   saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf  –  saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema

Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah)

 Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang  berhubungan dengan cedera fisik)

 Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia.

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan s entral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ.

Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang  berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan  parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran

cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui  pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular

telinga tengah.

Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai

muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah.

B. Konstipasi

Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali. Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda  pada setiap anak tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air  besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya  buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan  bukan disebut konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari dengan a yang keras dan sulit keluar, sebaiknya dianggap konstipasi. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) konstipasi adalah defekasi keras (52%), tinja seperti pil/ butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang  jarang (33%) (Devanarayana dkk., 2010). Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi adalah kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Van den Berg dkk., 2007), sedangkan menurut Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal 2 gejala sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia frekuensi tinja lebih besar dari satu kali per minggu, masa tinja yang keras, masa tinja teraba diabdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi (Drossman dan Dumitrascu, 2006; Voskuijl dkk., 2004). 1) Epidemiologi

Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Penelitian Loening-Baucke (2007) didapatkan prevalensi

konstipasi pada anak usia 4-17 tahun adalah 22,6%, sedangkan  prevalensi konstipasi pada anak usia di bawah 4 tahun hanya sebesar 16%. Penelitian Rasquin dkk. (2006) didapatkan bahwa 16% anak usia 9-11 tahun menderita konstipasi. Sebanyak 90-97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu konstipasi fungsional (Van Den Berg dkk., 2006) dan kejadiannya sama antara laki-laki dan perempuan (Loening-Baucke, 2004). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Borowitz dkk. (2003), konstipasi lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1. Penelitian di Indonesia pernah dilakukan  pada anak sekolah taman kanak-kanak di wilayah Senen, Jakarta. Prevalensi konstipasi didapatkan sebesar 4,4% (Firmansyah, 2007). 2) Etiologi

Penyebab tersering konstipasi pada anak yaitu fungsional, fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet dan obat. Konstipasi  pada anak 95% akibat konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional  pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasan diet, kurangnya makanan mengandung serat, kurangnya asupan cairan, psikologis, takut atau malu ke toilet (Van Dijk dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk., 2003; Devanarayana dan Rajindrajith 2011).

3) Patofisiologi

Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Pada anak umur 0-3 bulan dengan mengkonsumsi ASI frekuensi defekasi 3 kali/hari, anak umur 0-3 bulan dengan mengkonsumsi susu formula frekuensi defekasi 2 kali/hari, dan anak umur ≥ 1 tahun frekuensi normal defekasi yaitu 1 kali/hari. (Iacono dkk., 2005).

Proses defekasi normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani (Gambar 2.1). Rektum adalah organ sensitif yang mengawali  proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang

ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna dibantu otot  puborektal akan berkontraksi secara refleks dan refleks sfingter

interna akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang (Van Der Plas dkk., 2000; Degen dkk., 2005; Bu LN dkk., 2007).

Gejala dan tanda klinis konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri saat defekasi, anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan untuk menghindari rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi dan terus menahan defekasi maka keinginan defekasi akan berangsur hilang oleh karena kerusakan sensorik di kolon dan rektum sehingga akan terjadi penumpukan tinja (Degen dkk., 2005). Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan feses mengeras yang kemudian dapatberakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang mengakibatkan kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang semakin  banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi (Van Der Plas dkk., 2000).

Gejala klinis konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu, nyeri saat defekasi, tinja keras, sering mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi. (Uguralp dkk., 2003; Rajindrajith dkk., 2010)Keluhanlain yang biasa timbul adalah nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja yang keluar keras dan kehitaman). Keluhan tersebut makin  bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal (Van der Plas dkk., 2010). Berikut beberapa gejala dan

tanda yang timbul pada anak dengan konstipasi yaitu berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

4) Diagnosis

Diagnosis konstipasi sesuai dengan kriteria Rome III adalah sebagai berikut:

Frekuensi defekasi dua kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian laksatif,

Terdapat minimal satu kali episode soiling/enkopresis dalam seminggu,

Riwayat retensi tinja yang berlebihan,

Riwayat nyeri atau susah defekasi,

Riwayat pengeluaran feses yang besar sampai dapat menyumbat toilet,

Teraba masa fekal yang besar di rektum.

Diagnosis ditegakkan bila terdapat minimal dua dari enam gejala selama dua bulan. Soiling didefinisikan sebagai pengeluaran feses secara tidak disadari dalam jumlah sedikit sehingga sering

 pengeluaran feses dalam jumlah besar secara tidak disadari (Van Der Plas dkk., 2000).

3. Pemeriksaan

A. Teknik langsung lugol dan iodine Alat dan Bahan

• Umum

 –  Meja kerja

 –  Tempat sampah biohazard  –  Tempat sampah biasa  –  Sabun cuci tangan

 –  Wastafel  –  Sarung tangan

 –  Marker

• Apusan tinja dan pewarnaan sediaan langsung  –  Sampel tinja

 –  Objek gelas dan kaca penutup

 –  Larutan saline solution & larutan Lugol's iodine (1% solution)  –  Kayu aplikator

• Pengawetan tinja

 –  Dua buah pot dengan volume 20 ml yang mempunyai tutup yang rapat

 –  Kayu aplikator  –  Marker

 –  Pengawet Poly Vinil (PV)  –  Selotip

• Identifikasi parasit pada apusan tinja dengan mikroskop  –  Mikroskop

 –  Apusan tinja pada objek gelas

Kegiatan

A. Persiapan pasien dan cara mengambil sampel

Cara kerja:

1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan, meminta persetujuan dan hak untuk menolak serta menjamin kerahasiaan data pasien.

2. Memperlihatkan sikap empati dan profesionalisme pada pasien 3. Meminta contoh tinja dari pasien dengan memberikan pot ukuran diameter 3 cm dan tinggi 4 cm yang sudah dilabel denganidentitas  pasien diseratai dengan sendoknya

4. Menerangkan kepada pasien bahwa tinja yang diambil: - Harus dalam keadaan segar

- Tidak terkontaminasi oleh air kencing atau bahan lain - Tiba di tempat pemeriksaan 1-2 jam setelah dikeluarkan

B. Membuat pewarnaan sediaan langsung

1. Dengan spidol tulis identitas pasien pada objek gelas 2. Pasang sarung tangan

4. Teteskan 1 tetes saline solution pada kaca tengah kiri dan 1 tetes larutan lugol iodine pada tengah kanan dari objek gelas

5. Ambil sedikit faeces (bagian yang berlendir) dengan menggunakan kayu aplikator, letakkan pada tetesan larutan saline, campurkan sampai rata

Catatan :

•Feses tidak boleh tercampur dengan air kloset (karena dapat mengandung organisme bentuk bebas yang menyerupai parasit manusia) atau urin (karena urin dapat menghancurkan organisme  –   organisme yang bergerak). Bila memungkinkan, dianjurkan pada pasien agar pada saat buang air besar, feses langsung ditampung dalam wadah.

• Feses keras: ambil bagian yang terletak diluar dan didalam specimen.

• Feses bercampur atau darah : ambil didaerah yang berlendir atau berdarah

•Feses encer: ambil dibagian mana saja.

6. Tutup kedua tetesan itu masing masing dengan kaca penutup 7. Isaplah dengan kertas isap cairan yang berlebih dan terdapat diluar kaca penutup

8. Lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat sampah biologis 9. Cucilah tangan dengan sabun antiseptik

C. Pengawetan spesimen tinja Prosedur :

1. Pasang sarung tangan

3. Beri tanda “F” pada bagian atas pot untuk pot yang tinjanya akan diawetkan dengan formalin dan beri tanda “PV” untuk pot yang tinjanya akan diawetkan dengan Poly Vinil

4. Isi pot "F" dengan formalin 10% sampai pertengahan pot dan pot “PV‟ dengan pengawet PV sampai pertengahan pot.

5. Dengan kayu aplikator ambil tinja kira kira sebanyak 1 sendok teh, masukkan kemasing masing pot yang sudah diisi dengan  pengawet. Perbandingan antara pengawet dan tinja adalah kira kira 1:1. Aduk sehingga tinja dan pengawetnya tercampur dengan baik. 6. Tutup pot dengan rapat, gunakan selotip untuk mencegah kebocoran pada mulut pot

7. Tuliskan pengantar dari specimen ini meliputi: - Nama, umur, dan jenis kelamin pasien - Keluhan utama

- Tanggal pengiriman

8. Lepaskan sarung tangan buang ke tempat sampah biologis 9. Cuci tangan dengan sabun antiseptik

D. Identifikasi parasit dengan mikroskop

• Letakkan objek gelas pada meja obyektif dibawah mikroskop • Turunkan kondensor dan aturlah cahaya melalui diafragma.

• Lihatlah obyek dengan menggunakan lensa obyektif 10 kali,  putarlah makrometer sampai obyek terlihat..

• Tajamkan fokus dengan memutarmikrometer perlahan-lahan • Tingkatkan pembesaran sampai 45 kali jika dibutuhkan • Lakukanlah pemeriksaan sistematis dengan metode sigzag.

 –  Telur dan larva cacing

 –  Protozoa: bentuk trophozoites dan kista dari amuba dan flagellate Telur dan larva cacing pada larutan saline dan lugol iodine

 –  Telur dan larva cacing dapat diidentifikasi dengan mudah dalam larutan saline.

 –   Mereka tampak tidak berwarna dan mudah dilihat dengan  pembesaran 10x

Protozoa pada larutan saline

• Bentuk trophozoites and kista dari amuba dan flagellate mungkin bisa terlihat

• Kista akan tampak bulat atau oval dengan dinding yang jelas • Trofozoit akan tampak bulat atau oval dengan dinding irreguler.

• Pada faeces segar (faeces yang tidak lebih dari 2 jam setelah dikeluarkan),

 pergerakan trofozoit dapat terlihat terutama pada flagella.

• Mula-mula lihat objek dengan pembesaran 10x, untuk melihat lebih jelas  bagian- bagian dari parasit seperti nucleus, chromatoid bodies, sucking discs, spiral grooves, atau filaments dari parasit, tingkatkan pembesaran secara bertahap.

Protozoa pada Lugol Iodine

• Sitoplasma dari trofozoit atau kista akan tampak kuning atau coklat muda dan nucleus akan tampak coklat tua.

• Pada kista Entamoeba peripheral chromatin dan posisi karyosome dapat terlihat (jika tidak terlihat, bukan Entamoeba). Peripheral chromatin akan tampak kuning muda. Kadang kadang pada kista muda yang masih mengandung glikogen, glikogen akan tampak coklat tua.

• Kista flagella dan filamennya juga terlihat jelas dengan pewarnaan lugol iodine. Interpretasi

• Laporkan semua jenis parasit yang ditemukan

•Sediaan dinyatakan negatif jika tidak ditemukan parasit dalam 100 lapangan pandang dan sampel tinja diperiksa sebanyak 3x berturut turut dalam hari pemeriksaan yang berbeda

B. Teknik Kato Katz

Teknik Kato sering pula disebut dengan teknik sediaan tebal, karena teknik ini dibuat tidak menggunakan kaca penutup. Teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk specimen feses yang memiliki konsistensi minimal lembek hingga agak keras. Apabila specimen berupa feses cair, teknik kato tidak tepat dijadikan pilihan. Kelebihan teknik kato adalah dapat melakukan penghitungan  jumlah telur cacing dari specimen feses yang diperiksa sehingga dapat diketahui

derajat infeksi penderita.

Prinsip pemeriksaan ini adalah feses direndem pada larutan malachite  green, dikeringkan dengan kertas saring dan didiamkan selama 20  –   30 menit  pada incubator dengan suhu40°C untuk mendapatkan telur cacing dan larva.

Metode kato katz

WHO merekomendasikan dua jenis pemeriksaan yang dapat mendeteksi adanya telur cacing dalam tinja yaitu Direct Thin Smear  ( pemeriksaan langsung apus tipis ) dan Cellophan Thick Smear ( pemeriksaan apus tebal menggunakan selofan ) atau yang lebih dikenal dengan metode Kato Katz. Metode ini diyakini sangat berguna dan efisien untuk mendiagnosa adanya kasus infeksi cacing usus.

Dokumen terkait