• Tidak ada hasil yang ditemukan

TTTTTenaga Kerja Muda enaga Kerja Muda enaga Kerja Muda enaga Kerja Muda enaga Kerja Muda

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Muda

Secara umum, dalam 30 tahun terakhir, partisipasi angkatan kerja muda di Indonesia semakin meningkat, baik di pedesaan maupun perkotaan, dan peningkatan partisipasi ini terjadi pada semua kelompok usia muda. Seperti dapat kita lihat pada Figur 1.6, untuk setiap kurun waktu, lebih dari 40 persen kaum muda di pedesaan berpartisipasi secara aktif di dalam perekonomian. Hal ini juga dapat dilihat di daerah perkotaan, kecuali kelompok usia remaja (15-19 tahun) – yang jumlahnya 30 persen dari seluruh angkatan kerja (Figur 1.7). Kenyataan ini sungguh memprihatinkan karena mereka seharusnya berada di bangku sekolah, dan bukannya sudah bekerja atau sedang mencari pekerjaan.

Perbedaan tingkat partisipasi dalam angkatan kerja antara remaja pedesaan dan perkotaan seharusnya terkait dengan perbedaan rasio kaum muda yang terdaftar di sekolah di daerah pedesaan dan perkotaan. Hal itu menjelaskan bahwa tingkat partisipasi remaja perkotaan di dalam angkatan kerja lebih rendah dibandingkan pedesaan karena status mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Tingkat partisipasi kelompok usia yang lebih tua (25-29 tahun) seperti terlihat dalam Figur 1.6 dan 1.7 lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda (baik untuk daerah pedesaan maupun perkotaan), sedangkan kelompok usia 15-24 berada di antara keduanya. Pada tahun 2000, partisipasi kelompok-kelompok usia ini dalam perekonomian mencapai titik tertinggi, yakni 70 persen, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

Figur 1.6. Partisipasi dalam Angkatan Kerja di Pedesaan menurut Kelompok Usia, 1971-2002

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % 15-19 20-24 15-24

Figur 1.7. Partisipasi dalam Angkatan Kerja di Perkotaan menurut Kelompok Usia, 1971-2002

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % 15-19 20-24 15-24

Dilihat dari perspektif jender, tampak jelas bahwa laki-laki muda terus-menerus mendominasi angkatan kerja muda. Figur 1.8 menunjukkan bahwa laki-laki muda yang telah bekerja atau mencari pekerjaan mencapai 60 persen angkatan kerja dalam kurun waktu 1971-2002, sedangkan perempuan hanya sekitar 30-40 persen. Tetapi, jurang pemisah ini semakin mengecil untuk setiap periode sebagai akibat dari meningkatnya partisipasi perempuan dalam perekonomian. Jumlah perempuan yang mencari pekerjaan semakin meningkat, meninggalkan kegiatan-kegiatan tradisional seperti mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Salah satu penjelasan atas fenomena ini adalah meningkatnya pendidikan.

Figur 1.8. Tingkat Partisipasi Kaum Muda (15-24 tahun) dalam Angkatan Kerja menurut Jender, 1971-2000

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % Male Female Rasio T Rasio T Rasio T Rasio T

Rasio Tenaga Kerja terhadap Penaga Kerja terhadap Penaga Kerja terhadap Penaga Kerja terhadap Penaga Kerja terhadap Populasiopulasiopulasiopulasiopulasi

Rasio tenaga kerja terhadap populasi dapat mengindikasikan seberapa besar populasi yang produktif dapat didayagunakan. Untuk kaum muda, rasio ini dibuat melalui perbandingan antara kaum muda yang telah bekerja dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Seperti disebutkan dalam Puguh et al. (2000), rasio dapat menunjukkan sejauh mana penduduk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pasar tenaga kerja. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa 50 persen dari laki-laki muda telah memiliki pekerjaan pada saat studi ini dilaksanakan, dan sebaliknya hanya sekitar 30 persen perempuan muda yang telah bekerja.

Kesenjangan antara rasio kesempatan kerja laki-laki dan perempuan muda terhadap jumlah penduduk dalam lima tahun terakhir cenderung menyempit. Seperti dapat kita lihat dalam Figur 1.9, rasio untuk kelompok laki-laki maupun perempuan relatif konstan dan tidak mengalami perubahan drastis selama dua dekade terakhir. Rasio tenaga kerja terhadap populasi pada kelompok usia muda yang konstan ini mencerminkan adanya permintaan tenaga kerja muda di pasar. Namun demikian, semakin tingginya partisipasi angkatan kerja muda di dunia kerja menunjukkan bahwa jumlah orang yang mencari pekerjaan juga semakin banyak. Kurangnya pendidikan dan pengalaman merupakan penyebab terjadinya kondisi seperti itu. Pada tahun 2000, jurang antara laki-laki dan perempuan sudah begitu dekat,tapi pada tahun 2001 dan 2002 jarak antara keduanya semakin membesar.

Figur 1.9. Rasio Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) terhadap Populasi menurut Jender, 1971-2002

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % Male Female

Rasio tenaga kerja terhadap total populasi berdasarkan lokasi, seperti dapat dilihat pada Figur 1.10, menunjukkan suatu kecenderungan yang relatif stabil selama dua puluh tahun terakhir. Rasio tenaga kerja terhadap jumlah penduduk di daerah pedesaan yang berkisar 50 persen, lebih tinggi 10-20 persen dibandingkan di daerah perkotaan. Pada tahun 2001 dan 2002, perbedaan antara pedesaan dan perkotaan semakin kecil.

Figur 1.10. Rasio Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) terhadap Populasi menurut Lokasi, 1971-2002

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % Rural Urban

TTTTTenaga Kerja menurut Statusenaga Kerja menurut Statusenaga Kerja menurut Statusenaga Kerja menurut Statusenaga Kerja menurut Status

Jumlah kaum muda yang bekerja di sektor informal selama 30 tahun terakhir jelas lebih dominan dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal. Karakteristik umum dari pekerjaan sektor formal adalah adanya prasyarat pendidikan, keterampilan, pelatihan dan pengalaman yang jauh lebih tinggi: hal-hal yang kurang dimiliki kaum muda dibandingkan dengan mereka dari kelompok usia yang lebih tua. Menurut definisi Badan Pusat Statistik, tenaga kerja di sektor informal meliputi: bekerja untuk diri sendiri, bekerja untuk diri sendiri dengan dibantu anggota keluarga, pekerja lepas (freelance) dan bekerja untuk keluarga. Sedangkan tenaga kerja di sektor formal terdiri dari pegawai dan pegawai honorer.

Meskipun jumlah kaum muda yang bekerja di sektor informal lebih besar ketimbang mereka yang bekerja di sektor formal, jarak di antara mereka semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kesempatan bagi kaum muda bekerja di sektor formal. Pada tahun 1971, lebih dari 80 persen pekerja muda berada di sektor informal, sedangkan pada tahun 2002 angka tersebut tinggal 62,52 persen. Sementara itu, terdapat 16 persen pekerja muda di sektor informal pada tahun 1971, dan jumlahnya meningkat menjadi 37,48 persen pada tahun 2002. (Figur 1.11).

Figur 1.11. Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) menurut Status, 1971-2002

Sumber: Badan Pusat Statistik: 1971, 1980, 1990 Population Census;

Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2000, 2002.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 1971 1985 1990 1995 2000 2002 Year % Informal Formal

Kondisi yang sama juga terjadi pada pekerja dewasa di mana jumlah pekerja informal lebih banyak daripada pekerja formal. Seperti dapat dilihat dalam Figur 1.12, jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor informal cenderung meningkat pada periode 1971-1976, namun mulai menurun pada periode selanjutnya. Selama periode 1976-1995, jarak antara pekerja formal dan informal untuk orang dewasa juga semakin mengecil. Pola ini kemudian berbalik setelah terjadinya krisis pada tahun 2000, di mana pekerja sektor informal kembali meningkat dan sektor formal menurun.

Figur 1.12. Persentase Tenaga Kerja Dewasa (> 25 tahun) menurut Status, 1971-2002

Pada tahun 2000, persentase orang muda yang bekerja di sektor informal menurun, sebaliknya jumlah mereka yang bekerja di sektor formal meningkat. Akan tetapi pada tahun 2002, persentase orang muda yang bekerja di sektor informal meningkat (Figur 1.11). Pola tersebut sedikit berbeda dengan kondisi tenaga kerja dewasa (> 25 tahun). Seperti dapat dilihat pada Figur 1.12, terjadi peningkatan jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor informal dan penurunan di sektor formal dalam periode 1995-2000. Ini dapat dianggap sebagai suatu indikasi terjadinya pergeseran status tenaga kerja dewasa dari sektor formal ke sektor informal akibat krisis 1997-1998. Namun, pergeseran selama periode tersebut tidak terjadi pada kelompok pekerja muda.

Selama periode krisis tersebut, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, namun pekerja dewasa yang di-PHK bisa dengan cepat bergeser ke sektor informal karena mereka memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Namun, kondisi berbeda dihadapi para pekerja muda yang di-PHK. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk bergeser ke sektor informal. TTTTTenaga Kerja menurut Jenis Penaga Kerja menurut Jenis Penaga Kerja menurut Jenis Penaga Kerja menurut Jenis Penaga Kerja menurut Jenis Pekekekekekerjaanerjaanerjaanerjaanerjaan

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kaum muda bekerja di sektor pertanian. Tapi, seiring dengan terjadinya transformasi ekonomi, jumlah orang muda yang bekerja di bidang pertanian semakin berkurang, dari 52 persen pada tahun 1985 menjadi 42 persen di tahun 2000 (Tabel 1.12). Sebaliknya, jumlah tenaga kerja muda yang bekerja di sektor industri —sebagai penyerap tenaga kerja muda terbesar kedua—terus meningkat selama penelitian ini dilakukan. Bidang perdagangan, serta jasa-jasa sosial dan individual, dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda, menjadi lahan lain bagi para pekerja muda.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2002 Year % Informal Formal

Sumber: Badan Pusat Statistik: 1971, 1980, 1990 Population Census;

Tabel 1.12. Persentase Tenaga Kerja Muda (15-24 tahun) menurut Bidang Pekerjaan, 1985-2002

Bidang Pekerjaan 1985 1990 1995 2000 2002

Pertanian 52.5 46.4 44.7 41.9 40.92

Industri/Kerajinan Tangan 13.4 18.8 17.5 20.3 21.10

Konstruksi/Pembangunan 3.5 3.9 4.9 4.3 4.80

Perdagangan, Hotel, Restoran 12.4 11.8 14.4 19.4 17.05

Transportasi, penyimpanan, dan komunikasi 3.2 3.2 3.1 4.4 4.94 Keuangan, Asuransi, Penyewaan, Pelayanan 0.4 0.9 0.5 0.8 0.86 Jasa masyarakat, sosial, individu 13.8 13.9 12.9 8.3 9.44 Lain-lain (pertambangan, listrik, gas, dan air) 0.8 1.2 1.8 0.7 0.90 Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000;

Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2002.

Tabel 1.13. Persentase Penyebaran Tenaga Kerja Dewasa (>24 tahun) menurut Bidang Pekerjaan, 1985-2002

Education 1985 1990 1995 2000 2002

Agrikultur 54.5 50.4 47.9 45.3 45.0

Industri/Kerajinan Tangan 8.1 10 8.9 13.0 11.7

Konstruksi/Pembangunan 3.4 3.6 4.4 3.9 4.6

Perdagangan, Hotel, Restoran 15.9 17 17.2 20.6 19.9

Transportasi, Penyimpanan dan Komunikasi 3.2 3.8 3.9 5.1 5.1 Keuangan, Asuransi, Penyewaan, Pelayanan 0.4 0.6 0.7 1.0 1.1 Jasa masyarakat, sosial, individu 13.6 13.4 14.9 10.7 11.7 Lain-lain (Pertambangan, Listrik, gas dan air) 0.8 1.2 2 0.6 0.9 Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000;

Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2002.

Pengangguran Pengangguran Pengangguran Pengangguran Pengangguran

Sebagaimana dialami negara berkembang lain, kondisi demografis kaum muda Indonesia menunjukkan ketidakseimbangan dalam soal-soal tenaga kerja perkotaan-pedesaan, tenaga kerja muda dan dewasa, serta tingkat pendidikan. Data mengenai pengangguran yang dipaparkan di sini bersumber pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengadopsi konsep Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengenai pengangguran3. Menurut BPS, pengangguran didefinisikan sebagai: (i) seseorang yang tidak memiliki pekerjaan namun sedang mencari pekerjaan, (ii) seseorang yang tidak bekerja namun telah membangun bisnis baru/firma baru, (iii) seseorang tanpa pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena tidak berharap akan mendapatkannya, (iv) seseorang yang telah membuat kesepakatan untuk memulai bekerja pada tanggal yang ditentukan di kemudian hari.

3 BPS juga mendefinisikan orang yang bekerja sebagai seseorang yang bekerja paling sedikit satu jam per minggu. Dengan definisi luas seperti ini, tingkat pengangguran di Indonesia menjadi sangat rendah. Angka pengangguran di Indonesia dapat dihitung menggunakan definisi ILO dan BPS. Saat ini BPS juga menerapkan definisi ILO yang lebih ‘lugas ’ dalam menghitung tingkat pengangguran di Indonesia.

Peningkatan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam angkatan kerja yang tidak diikuti peningkatan kesempatan bekerja telah menciptakan masalah pengangguran kaum muda yang serius di Indonesia. Fenomena ini dapat dilihat dalam Figur 1.13. Dalam Figur 1.13 ini terlihat bahwa tingkat pengangguran kaum muda terus meningkat dalam 20 tahun terakhir, baik di pedesaan maupun perkotaan. Perbedaan tingkat pengangguran di pedesaan dan perkotaan sekitar 10 persen namun selisih tersebut cenderung mengecil karena tingkat pengangguran di perkotaan semakin turun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2002, tingkat pengangguran kaum muda naik secara signifikan. Tingkat pengangguran di daerah perkotaan mencapai 33 persen sedangkan di daerah pedesaan sekitar 23 persen. Situasi seperti ini juga telah diteliti oleh Manning (1998), yang mendeteksi tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan muda perkotaan, yang mencapai 15 sampai 20 persen —sebagian besar berusia 15-24 dan lulus SMP pada tahun 1990-an.

Setelah krisis ekonomi, tingkat pengangguran kaum muda sedikit berkurang pada tahun 2000, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sepertinya tenaga kerja muda tidak terlalu terpengaruh oleh dampak negatif krisis. Akan tetapi, sejak 2001, tingkat pengangguran kaum muda cenderung meningkat. Diasumsikan, ada suatu jeda waktu tertentu antara puncak periode krisis dan dampaknya pada tingkat pengangguran kaum muda.

Figur 1.13. Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Tempat Tinggal, 1971-2002

Pengangguran menurut Jender Pengangguran menurut Jender Pengangguran menurut Jender Pengangguran menurut Jender Pengangguran menurut Jender

Berdasarkan jender, tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan muda hampir sama dalam kurun waktu 1971-1985. Sejak 1990 tingkat pengangguran perempuan muda meningkat dan lebih tinggi dibandingkan laki-laki muda, tapi sejak tahun 2000 angkanya kembali hampir sama, yakni di kisaran 20 persen (Figur 1.14). Pada tahun 2002, tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan muda naik drastis dibandingkan tahun 2000. Hasil-hasil ini memperkuat pernyataan Manning (1998) bahwa tingkat pengangguran muda meningkat pada pertengahan 1990-an, terutama perempuan dan lulusan sekolah lanjutan atas. 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % Rural Urban

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % Male Female

Situasi ini sesuai dengan data mengenai meningkatnya angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja (Figur 1.14), yang menjelaskan fenomena di mana naiknya pasokan tenaga kerja perempuan muda tidak diikuti kesempatan kerja —hal yang tidak terjadi di kalangan tenaga kerja laki-laki. O’Higgins (2001) mengkonfirmasikan tingkat pengangguran perempuan muda yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, terutama di negara-negara OECD, yang menggambarkan bahwa peluang kerja perempuan lebih terbatas daripada laki-laki.

Pada tahun 2000, tingkat pengangguran menurun dari 25% menjadi 20% sejak 1995, tapi kemudian cenderung meningkat kembali pada tahun 2001 dan 2002. Pada saat krisis ekonomi, banyak pekerja perempuan yang sebelumnya tidak bekerja, terjun ke pasar kerja untuk membantu perekonomian keluarga.

Figur 1.14 Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Jender, 1971-2002

Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, kelompok pengangguran kaum muda yang paling banyak adalah mereka yang tamat SMA dan yang tamat perguruan tinggi (lihat Tabel 1.14). Pada tahun 2002, tingkat pengangguran kaum muda yang sudah menamatkan SMA sebesar 41,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi sekitar 39,4 persen. Tabel 1.14 menunjukkan tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan secara lebih rinci.

Tabel 1.14 Persentase Tingkat Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) menurut Tingkat Pendidikan, 1985-2002

Pendidikan 1985 1990 1995 2000 2002

Tidak Sekolah 1.2 2.2 - 3.9 15.1

Tidak tamat SD 1.9 2.5 7.6 7.4 18.7

Sekolah Dasar 3.3 3.1 9.6 12.4 21.9

Sekolah Menengah Pertama 9.8 7.8 16.6 18.2 28.0

Sekolah Menengah Atas 31.1 27.3 33.6 33.9 41.1

Perguruan tinggi 20.5 31.4 40.8 35.8 39.4

Total per-kelompok usia 6.9 8.7 20.0 16.2 29.0

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000; 1985, 1995

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

Tabel 1.15 Persentase Tingkat Pengangguran Orang Dewasa (>24 tahun) menurut Tingkat Pendidikan, 1985-2002

Education 1985 1990 1995 2000 2002

Tidak Sekolah 0.5 0.8 - 0.4 3.8

Tidak tamat SD 0.9 0.8 2.3 1.8 4.0

Sekolah Dasar 1.1 0.9 2.8 2.4 3.7

Sekolah Menengah Pertama 4.3 3.3 5.5 8.6 5.0

Sekolah Menengah Atas 7 7.8 12.3 12.4 7.6

Perguruan tinggi 11.3 17.2 23.1 20.9 8.0

Total per-kelompok usia 2.2 3.3 7.1 7.6 4.9

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk tahun 1990, 2000;

Survei Antarsensus Penduduk tahun 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2000, 2002.

Tingkat pengangguran kaum muda dengan latar belakang pendidikan tinggi tetap tinggi dan cenderung naik terus. Situasi ini mengindikasikan bahwa terdapat semakin banyak pencari kerja yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pengangguran kaum muda dengan pendidikan tinggi dapat dilihat dari jumlah lulusan baru yang mencari pekerjaan untuk pertama kali (Tirtosudarmo 1994). Tingkat pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di antara para lulusan SMP berada pada tingkat 9,8 persen pada tahun 1985 dan meningkat menjadi 18,2 persen pada tahun 2000. (Tabel 1.14). Penggangguran lulusan SMA dan perguruan tinggi berfluktuasi, masing-masing dari 31,9 sampai 33,9 persen dan 20,5 persen sampai 35,8 persen.

Angka-angka ini menunjukkan adanya tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan muda terdidik, namun sebagaimana dikemukakan oleh O’Higgins (2001), bahwa meskipun terdapat tingkat pengangguran yang tinggi yang terkonsentrasi di kalangan orang muda terdidik, ada beberapa hal yang tetap konsisten:

• Tingkat Partisipasi dalam Angkatan Kerja cenderung meningkat seiring meningkatnya pendidikan dan juga persaingan menjadi semakin ketat di antara mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi.

• Tingkat pendidikan penduduk Indonesia di perkotaan dan pedesaan mengalami peningkatan yang pesat selama 30 tahun terakhir.

• Meskipun tingkat pengangguran terlihat lebih tinggi di antara kalangan muda dengan pendidikan tinggi, jumlah mereka sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan dengan pengangguran di kalangan mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Penelitian yang dilakukan Departemen Tenaga Kerja RI (1999) mengumpulkan data dari lulusan sekolah menengah kejuruan dan umum. Hasilnya menunjukkan bahwa para lulusan ini menghadapi tiga macam kesulitan ketika mencari pekerjaan. Di antaranya: persaingan di antara para pencari kerja (41,4 persen), pendidikan yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang dikehendaki (16,6 persen), dan keterampilan yang terbatas (12,8 persen). Adanya halangan-halangan seperti ini menyebabkan banyak orang muda yang mencari jalan pintas di luar sistem untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikuatkan oleh temuan bahwa sebagian lulusan sekolah menengah mendapatkan pekerjaan tanpa melalui tes (40 persen dari jumlah pekerja).

Lebih jauh lagi, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa sumber-sumber informasi mengenai adanya suatu kesempatan kerja berasal dari anggota keluarga (47 persen), karyawan perusahaan (20 persen), dan perusahaan itu sendiri (14,9 persen). Surat lamaran kerja diperoleh langsung dari perusahaan (67,7 persen) atau melalui anggota keluarga (16,6 persen).

Persentase Pengangguran Muda terhadap Pengangguran Secara Keseluruhan Persentase Pengangguran Muda terhadap Pengangguran Secara Keseluruhan Persentase Pengangguran Muda terhadap Pengangguran Secara Keseluruhan Persentase Pengangguran Muda terhadap Pengangguran Secara Keseluruhan Persentase Pengangguran Muda terhadap Pengangguran Secara Keseluruhan Meningkatnya permintaan tenaga kerja di kalangan kaum muda tampaknya lebih tinggi dibandingkan kelompok umur lain. Figur 1.15 menunjukkan meningkatnya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan total pengangguran di antara mereka yang berusia di atas 15 tahun. Di daerah pedesaan, peningkatan angka pengangguran di kalangan orang muda dibandingkan dengan jumlah pengangguran secara keseluruhan relatif tinggi, yakni dari 30 persen menjadi 70 persen selama 30 tahun. Di lain pihak, pada periode yang sama, angka untuk daerah perkotaan meningkat dari 40 persen menjadi 60 persen.

Tingginya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan jumlah pengangguran secara keseluruhan mencerminkan betapa sulitnya para pencari kerja muda mendapatkan pekerjaan. Lebih lanjut lagi, O’Higgins (2001) mengemukakan bahwa tenaga kerja muda lebih mudah dipengaruhi oleh benturan-benturan yang terjadi di pasar tenaga kerja dibandingkan pekerja dewasa. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1.14 dan Tabel 1.15, berdasarkan persentase di setiap kelompok usia, pada tahun 2002, persentase pengangguran di kalangan orang muda secara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan persentase pengangguran di kalangan orang dewasa, yakni masing-masing 29 persen dan 4,9 persen.

Orang muda dengan kualifikasi yang rendah memiliki kesulitan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang tetap. Selain itu, tidak ada kontak yang bagus antara sekolah dengan dunia usaha, dan akibatnya persyaratan (kualifikasi) dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri tidak dipelajari oleh kaum muda yang sedang duduk di bangku sekolah.

Figur 1.15. Persentase Kaum Muda Pengangguran (15-24 tahun) dari Total Pengangguran (>15 tahun), 1971-2002

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 1971 1976 1980 1985 1990 1995 2000 2001 2002 Year % Rural Urban

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000; Survei Antarsensus Penduduk tahun 1976, 1985, 1995; dan Sakernas tahun 2001, 2002.

Setengah Pengangguran Setengah Pengangguran Setengah Pengangguran Setengah Pengangguran Setengah Pengangguran

Seringkali niat kaum muda berpartisipasi aktif dalam perekonomian terbentur oleh hambatan-hambatan seperti ketersediaan pekerjaan yang cocok dengan kualifikasi yang mereka miliki. Mereka yang tidak memiliki banyak pilihan dan terpaksa menerima pekerjaan apapun yang tersedia akan menghadapi permasalahan yang lebih banyak di masa yang akan datang. Data yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 30 persen dari mereka yang bekerja, hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Penelitian ini menggunakan batas kurang dari 35 jam untuk mendefinisikan setengah pengangguran. Pada tahun 1985, lebih dari 60 persen kaum muda (15-19 tahun) dan 35 persen dari mereka yang berusia 20-24 tahun bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Angka ini berkurang dalam dua dekade terakhir dan pada tahun 2002 menjadi 44 persen untuk kelompok usia 15-19 tahun dan 31 persen untuk kelompok usia 20-24 tahun (Figur 1.16).

Figur 1.16. Persentase Setengah Pengangguran Muda dibandingkan Total Pekerja menurut Kelompok Umur, 1985-2002

Dua kelompok usia yang lebih tua memiliki kecenderungan yang sama, tapi dengan jumlah yang kurang signifikan. Tingkat setengah pengangguran dan pengangguran di kalangan anak muda yang tinggi merupakan masalah besar. Pada periode 1985-2000, kaum muda yang bekerja pada keluarganya menempati proporsi tertinggi (di atas 60 persen) yang masuk kategori setengah pengangguran.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 1985 1990 1995 2000 2002 Year % 15-19 20-24 15-24

Sumber: Badan Pusat Statistik: Sensus Penduduk 1990, 2000;

Figur 1.17. Persentase Setengah Pengangguran Muda dibandingkan Total Pekerja menurut Status, 1985-2002

Meskipun jumlah kaum muda yang masuk kategori status pekerja selama 15 tahun pengamatan menurun, tapi selama periode 1995-2002 jumlah mereka yang berstatus majikan meningkat. Kendati demikian, jumlah orang muda dengan status pegawai yang merupakan bagian terkecil dari kelompok setengah pengangguran menurun dari 20 persen pada tahun 1985 menjadi 13 persen pada tahun 2002.

Tabel 1.16 menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh, makin rendah proporsi setengah pengangguran di kalangan kaum muda. Dalam masa pengamatan setiap tahunnya, kecuali tahun 1985, mereka yang tidak pernah duduk di bangku sekolah merupakan bagian terbesar dari kelompok setengah pengangguran ini. Pada tahun 1985, sekitar 41 persen pekerja muda berpendidikan akademi dan universitas perguruan tinggi menjadi setengah pengangguran, dan pada tahun 2000 angkanya masih sekitar 20 persen.

Tabel 1.16. Persentase Setengah Pengangguran Kaum Muda (15-24 tahun) dibandingkan Jumlah Keseluruhan Mereka yang Bekerja berdasarkan Tingkat Pendidikan, 1985-2002

Pendidikan 1985 1990 1995 2000 2002

Tidak Sekolah 57,4 42,5 - 58.6 55,96

Tidak Tamat SD 44,9 38,6 48,8 44.7 46,30

Sekolah Dasar 53,3 35,6 46,1 43.2 36,61

Sekolah Menengah Pertama 60,9 28,3 43,7 39.0 27,95

Sekolah Menengah 43,2 27,9 27,8 24.6 18,62

Perguruan Tinggi 41,1 35,8 30,6 19.7 22,52