• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis.Tuberkulosis paru disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa. Karakteristik kuman Mycobacterium tuberculosa adalah berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6/Um, tidak bergerak, gram negatif, dinding sel mengandung: lipid, fosfatida, polisakarida, pertumbuhan kuman lambat, tidak berspora, tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 derajad celcius, sifat Basil Tahan Asam (BTA) karena mengandung asam lemak (lipid). Kuman tersebut berkembang biak dengan melakukan pembelahan diri, dari satu basil membelah menjadi dua dibutuhkan waktu 14-20 jam. Spesies lain kuman ini yang dapat memberikan infeksi pada manusia adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium kansasi, Mycobacterium intracellulare (WHO, 2003).

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi juga mengenai organ lain. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).Kuman TB ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab.Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

2.4.2 Cara Penularan

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Depkes RI, 2002).

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Depkes RI, 2006).

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk

sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebabkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat berinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Selama kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh yang lainnya.

Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dalam paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan sputum, makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan sputum negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh kosentrasi droplet per volume udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penularan lebih mudah terjadi pada kondisi seperti: Hunian padat (overcrowding), misalnya di tempat-tempat pengungsian, penjara dan rumah sakit. Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan (social deprivation), misalnya keadaan malnutrisi, pelayanan kesehatan yang buruk, dan tuna-wisma. Resiko pekerjaan misalnya petugas laboratorium dan pertambangan (Gerdunas TBC, 2002).

2.4.3 Gejala-gejala Tuberkulosis (TB)

Gejala umum TB adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, dan rasa nyeri didada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Utama, 2002).

2.4.4 Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB)

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan penderita tersangka dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding. Selain itu, semua kontak penderita TB BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat TB adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa tiga spesimen dahak dalam dua hari berturut-turut, yakni sewaktu/pagi/sewaktu (SPS) (WHO, 2006).

2.4.5 Diagnosa Tuberkulosis (TB)

Diagnosa TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Diagnosa TB pada

anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin (Crofton, 2002).

2.4.6 Imunisasi

Pengontrolan TB yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TB. Vaksin TB, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M. Tuberkulosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TB pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri Mycobacterium Tuberkulosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak didalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh, oleh sebab itu vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0 – 2 bulan karena hasilnya memuaskan menjelang umur 2 bulan(WHO, 2006).

Imunisasi TB ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TB. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70 – 80 %. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TB ini. Seandainya bayi yang telah mendapat imunisasi terjangkit penyakit TB, maka seseorang tersebut akan mendapat penyakit TB dalam kondisi ringan. Seseorang pun terhindar dari kemungkinan mendapat TB yang berat, seperti TB paru yang parah, TB tulang, atau TB selaput otak yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan membahayakan jiwa (WHO, 2006).

2.4.7 Epidemiologi Infeksi Tuberkulosis (TB)

Disamping transmisi oleh susu dari sapi terinfeksi, yang sekarang sebagian besar dikendalikan dibanyak negara dengan pasteurisasi dan pemusnahan besar-besaran binatang terinfeksi. TB manusia juga menyebar dari orang ke orang melalui droplet. Ada banyak faktor yang menentukan prevalensi penyakit, seperti keluarga besar, malnutrisi dan sebagainya (Dick, 1995).

Migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TB. Di Amerika serikat, hampir 40 % dari penderita TB adalah orang yang lahir diluar negeri. Mereka imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TB. Begitu juga dengan meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak sehat sehingga memudahkan penyebaran TB. Diperkirakan sebanyak 50 % dari pengungsi di Dunia berpeluang terinfeksi TB (Utama, 2002).

Lebih dari 900 juta wanita di seluruh Dunia tertular oleh kuman TB. Satu juta diantaranya meninggal dunia dan 2,5 juta akan segera menderita penyakit tersebut pada tahun ini, perempuan yang menderita TB ini berusia antara 15 – 44 tahun. TB merupakan penyakit pembunuh yang paling mematikan bagi perempuan usia muda. TB memiliki andil sekitar 9 % dari kematian berusia antara 15 – 44 tahun, dibandingkan penyebab kematian lainnya (akibat perang : 4 %, HIV : 3 % dan penyakit jantung : 3 %). Perempuan dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TB dan lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TB dibandingkan pria dari kelompok usia yang sama. Wanita pada kelompok usia reproduksi juga berisiko lebih tinggi terhadap penularan HIV. Di bagian negara Afrika, jumlah perempuan yang terjangkit TB lebih besar dibandingkan jumlah penderita pria

sehingga TB menyebabkan jumlah kematian lebih besar bagi wanita dibandingkan kematian akibat melahirkan Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 % dari kasus TB di Dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Dua diantara tiga negara dengan jumlah penderita TB terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia. Indonesia berada di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina diperingkat ketiga. Kita harus sadari kembali bahwa TB adalah penyakit yang sangat perlu mendapatkan perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri Mycobacterium Tuberkulosis sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TB batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara. Satu penderita bisa menyebabkan bakteri TB ke 10 – 15 orang dalam satu tahun (Utama, 2002).

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of TB Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 atau 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1.000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi akan menjadi penderita TB. Dari keterang diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 % maka diantara 100.000 penduduk rata–rata menjadi 100 penderita Tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.

2.4.8 Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002)

Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short-course(DOTS) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyambuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006)

Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu: (WHO, 2000), (a) komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c),

kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaanOAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO, 2003).

Dokumen terkait