• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Perilaku Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 dan Rumah Tahanan Kelas 1 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Perilaku Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 dan Rumah Tahanan Kelas 1 Medan"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Promosi Kesehatan 2.1.1 Definisi

Upaya promosi kesehatan merupakan salah satu strategi atau langkah yang

ditempuh untuk meningkatkan kemampuan masyarakat khususnya pengetahuan,

sikap dan praktek untuk berperilaku sehat melalui proses pembelajaran

dari-oleh-untuk dan bersama masyarakat. Selain itu tujuan promosi kesehatan dimaksudkan

supaya masyarakat dapat dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan

kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya

setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

Menolong diri sendiri tersebut artinya bahwa masyarakat mampu berperilaku

mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan serta mampu pula berperilaku mengatasi apabila

masalah gangguan kesehatan tersebut terlanjur terjadi di tengah-tengah kehidupan

masyarakat (Natoadmodjo, 2007).

Definisi lain menurut Depkes RI (2008) menyatakan bahwa promosi

kesehatan adalah serangkaian proses pemberdayaan masyarakat agar mampu

memelihara dan meningkatkan kesehatan. Proses pemberdayaan dilakukan dari

oleh masyarakat yang artinya proses pemberdayaan tersebut dilakukan melalui

kelompok-kelompok potensial di masyarakat bahkan semua komponen

(2)

Sebagaimana diketahui bahwa disparitas masalah kesehatan masih

menjadi permasalahan dalam upaya pembangunan kesehatan di Indonesia yang

diindikasikan dari masih tingginya angka kesakitan akibat penyakit menular dan

tidak menular, kejadian luar biasa (KLB) akibat penyakit menular, serta masih

rendahnya perilaku sehat masyarakat. Upaya promosi kesehatan yang dilakukan

diharapkan dapat mereduksi masalah kesehatan tersebut.

Depkes RI (2008) menitiberatkan bahwa promosi kesehatan bukan hanya

sekedar proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan

pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi juga disertai upaya-upaya

menfasilitasi perubahan perilaku.

Secara teknis, promosi kesehatan dapat dijabarkan dalam berbagai

program dan kegiatan yang diformulasikan untuk mewujudkan perubahan

perilaku masyarakat juga mengupayakan perubahan secara sosial dan lingkungan

fisik yang mengarah pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip

oleh McKenzie (2007) mendefenisikan promosi kesehatan sebagai kombinasi

terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan, peraturan,

maupun mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan kondisi kehidupan

yang kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Pada

Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan (Depkes RI, 2006) disebutkan bahwa

promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka

(3)

daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan

publik yang berwawasan kesehatan.

Dalam melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku

tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma,

melainkan juga dimensi ekonomi. Sistem nilai dan norma merupakan

rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem

nilai dan norma “dibuat” oleh masyarakat untuk dianut oleh individu-individu

anggota masyarakat tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai

sistem sosial, adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu

masyarakat akan berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari

masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2006).

Hasil Konferensi Internasional ke-4 tentang promosi kesehatan, yang

dikutip oleh Liliweri (2007), menyatakan bahwa prioritas promosi kesehatan

dalam abad 21 adalah: (1) Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan;

(2) Meningkatkan modal untuk pengembangan kesehatan ; (3) Konsolidasi dan

perluasan kemitraan untuk kesehatan; (4) Meningkatkan kapasitas komunitas dan

memperkuat individu dan ; (5) Melindungi keamanan infrastruktur promosi

kesehatan.

2.1.2 Strategi Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat

paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru.

Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar

(4)

advokasi, yang diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi

yang tepat (Depkes RI, 2006).

Menuru Notoadmodjo (2003) yang mengutip pendapat Hopkins, defenisi

advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui

bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya atau

proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan

dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Berbeda dengan bina suasana,

advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang berupa kebijakan

(misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana, dan

lain-lain sejenis.

Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang

umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan penyandang

dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti

tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai

penentu “kebijakan” (tidak tertulis) di bidangnya. Tidak boleh dilupakan pula

tokoh-tokoh dunia usaha, yang diharapkan dapat berperan sebagai penyandang

dana non-pemerintah (Puspromkes Depkes RI, 2006).

Strategi advokasi dilakukan dengan melalui pengembangan kebijakan

yang mendukung pembangunan kesehatan melalui konsultasi

pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan lain kepada para pengambil keputusan baik

kalangan pemerintah, swasta maupun pemuka masyarakat (Notoatmodjo, 2005).

Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang

(5)

diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila

lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang

menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan

bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut.

Oleh karena itu, untuk mendukung proses Pemberdayaan Masyarakat, khususnya

dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu

dilakukan Bina Suasana (Depkes RI, 2006).

Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam Bina Suasana, yaitu

(1) Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan

Masyarakat Umum (Depkes RI, 2006), dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Bina Suasana Individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat.

Melalui pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang

positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan

dapat menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang

diperkenalkan dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang

diperkenalkan tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin

melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah

munculnya wabah demam berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan

agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi

guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu.

2. Bina Suasana Kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam

masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga

(6)

Organisasi Wanita, Organisasi Siswa/Mahasiswa, Organisasi Pemuda, dan

lain-lain. Pendekatan ini dapat dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan

pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok

tersebut menjadi peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan

menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini dapat berupa kelompok

tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang

diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan atau melakukan

kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.

3. Bina Suasana Masyarakat Umum, dilakukan terhadap masyarakat umum

dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio,

televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta

pendapat umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa

tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan.

Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai

pendukung atau “penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota

masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang

sedang diperkenalkan. Strategi bina suasana dilakukan melalui: (1)

Pengembangan potensi budaya masyarakat dengan mengembangkan kerja

sama lintas sektor termasuk organisasi kemasyarakatan, keagamaan, pemuda,

wanita serta kelompok media massa; dan (2) Pengembangan penyelenggaraan

penyuluhan, mengembangkan media dan sarana, mengembangkan metode dan

(7)

Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus

dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu

sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar

(aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi

mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice)

(Natoadmodjo, 2003).

Sasaran utama dari Pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta

kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar,

kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa

sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya.

Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa

sesuatu itu merupakan masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia

menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah

yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut

tentang masalah yang bersangkutan (Depkes RI, 2006)

Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan

fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan

mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini

dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai

panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya

tak pernah terserang diare karena perilaku yang dipraktikkannya). Bilamana

sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan

(8)

diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan

mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat (community

organization) atau pembangunan masyarakat (community development).

Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan

serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai

Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang

kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya,

baik di antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya

pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna (Puspromkes

Depkes RI, 2006).

2.1.3 Media Promosi Kesehatan

Media promosi kesehatan (Lunandi, 2003)dapat dibagi berdasarkan jenis

perlakuan yang diberikan:

1. Ceramah

Ceramah adalah suatu penyampaian informasi yang sifatnya searah, yakni

dari penceramah kepada hadirin. Pada metode ini penceramah lebih banyak

memegang peran untuk menyampaikan dan menjelaskan materi penyuluhannya

dengan sedikit memberikan kesempatan kepada sasaran untuk menyampaikan

tanggapannya.

Beberapa keuntungan menggunakan metode ceramah adalah murah dari

segi biaya, mudah mengulang kembali jika ada materi yang kurang jelas

ditangkap peserta daripada proses membaca sendiri, lebih dapat dipastikan

(9)

waktu yang tersedia sangat minim, maka ceramah inilah yang dapat

menyampaikan banyak pesan dalam waktu singkat. Selain keuntungan ada juga

kelemahan menggunakan metode ceramah, salah satunya adalah pesan terinci

mudah dilupakan setelah beberapa lama.

2. Diskusi

Diskusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam

proses pendidikan. Harus ada partisipasi yang baik dari pesera yang hadir.

Diskuasi diarahkan pada keterampilan berdialog, peningkatan pengetahuan,

peningaktan pemecahan masalah secara efisien, dan untuk mempengaruhi para

peserta agar mau mengubah sikap. Dalam suatu diskusi para pesertanya berpikir

bersama dan mengungkapkan pikirannya, sehingga menimbulkan pengertian pada

diri sendiri, pada pandangan peserta diskusi dan juga pada masalah yang

didiskusikan.

Diskusi dipakai sebagai forum untuk bertukar informasi, pendapat dan

pengalaman dalam bentuk tanya- jawab yang teratur dengan tujuan mendapatkan

pengertian yang lebih luas, kejelasan tentang suatu permasalahan dan untuk

menentukan kebijakan dalam pengambilan keputusan. Diskusi merupakan

saluran yang paling baik untuk menjaga kredibilitas pesan-pesan, menyediakan

informasi, dan mengajarkan keterampilan yang kompleks yang membutuhkan

komunikasi dua arah antara individu dengan seseorang sebagai sumber informasi

yang terpercaya.

Diskusi membutuhkan perencanaan dan persiapan, serta terdapat banyak

(10)

orang untuk berpartisipasi. Diskusi dapat dipicu dengan menyajikan suatu pokok

masalah, sebaiknya hal yang berkontrversial (Ewless, 1994).

Menurut Liliweri (2007) penyuluhan kesehatan merupakan suatu proses

yang berlangsung secara terus menerus, yang kemajuannya harus terus diamati

terutama kepada mereka yang memberi penyuluhan. Pada umumnya kebutuhan

akan penyuluhan kesehatan dideteksi oleh petugas kesehatan, untuk selanjutnya

ditumbuhkan rasa membutuhkan pada orang yang menerima pesan. Tujuan

pendidikan kesehatan dengan metode penyuluhan adalah meningkatkan

pengetahuan.

Pengetahuan akan menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup

mereka. Pada akhirnya yang menjadi tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku

pasien dan meningkatnya kepatuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas

hidup. Untuk meningkatkan pengetahuan dapat dilakukan perubahan dengan

memberikan pendidikan kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan hasil dari tahu,

dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek

tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang dicakup dalam domain

kognitif mempunyai enam tahapan yaitu: tahu, memahami, aplikasi, analisis,

sintesis dan penilaian kembali. Untuk dapat menjalani perilaku yang diinginkan

seseorang harus melampui semua tahap tersebut. Enam tahap tersebut merupakan

suatu proses yang memerlukan waktu, dan lama proses tersebut tidak sama untuk

(11)

Untuk tercapainya proses tersebut harus terjadi perubahan sikap mengenai

materi yang disuluhkan pada mereka. Mengubah sikap pekerja bukanlah

pekerjaan mudah, bahkan lebih sulit dari pada meningkatkan pengetahuan. Sikap

merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

stimulus objek. Sikap sebenarnya merupakan bagian dari kepribadian. Berbeda

dengan perangai yang juga merupakan bagian kepribadian, sikap adalah

kecenderungan yang tertata untuk berpikir, merasa dan berperilaku terhadap suatu

referen atau objek kognitif.

Suatu sikap belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk suatu tindakan.

Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan yang nyata, diperlukan

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah

fasilitas. Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai pengetahuan dan

sikap yang baik terhadap keteraturan berolahraga, mungkin tidak dapat dijalankan

perilaku tersebut karena keterbatasan waktu. Seorang pasien yang telah berniat

untuk makan sesuai dengan rencana makan yang telah dibuatnya sendiri,

kadang-kadang keluar dari jalur tersebut karena situasi dirumah atau dikantor yang kurang

mendukung. Bila semua perilaku positif telah dilaksanakan semuanya, tentunya

orang tersebut dapat dimasukkan kedalam kelompok penerima pesan dengan

kepatuhan tinggi, sehingga sebagai dampak kepatuhannya dapat terkendali.

Apabila penerima pesan telah menjalankan perilaku yang diinginkan dan

telah digolongkan didalam kelompok dengan kepatuhan tinggi, perilaku-perilaku

tersebut harus dipertahankan. Tatap muka dengan penyuluhan tetap harus

(12)

Dalam penyuluhan sebelum kegiatan dilakukan terlebih dahulu harus

ditetapkan apa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penyuluhan tersebut, jadi disini

harus jelas mengenai tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Pada

tujuan umum biasanya yang menyangkut seluruh prioritas masalah yang akan

dilakukan penyuluhan kesehatan. Sedangkan pada tujuan khusus disini merupakan

uraian dari tujuan umum, ialah tujuan yang terkandung dalam setiap penyuluhan

dan setiap masalah.

Perumusan tujuan tersebut haruslah dalam bentuk tujuan perilaku atau

behavioral objectives, yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (Notoatmodjo,

2003), yaitu : (1) tujuan tersebut harus dapat diukur (measurable), (2) tujuan

tersebut harus dapat diamati (observable), dan (3) tujuan tersebut harus dapat

dicapai (reachable) yang dimaksud adalah tujuan tersebut harus dapat dicapai

dalam kurun waktu tertentu.

Pada penyuluhan yang menjadi target penyuluhan atau sasaran adalah

selain penderita, juga keluarga maupun orang-orang disekitar penderita yang

sering atau hampir setiap hari berhubungan dengan penderita. Dalam

penyampaian penyuluhan perlu dilakukan dalam beberapa tahapan, misalnya

dapat dibagi dalam beberapa kegiatan yang berkesinambungan, misalnya:

a. Lokakarya mini: untuk menyiapkan tenaga penyuluh.

b. Uji coba lapangan : mencoba ( try out) untuk metoda penyuluhannya.

c. Pelaksanaan kegiatan : yang dapat meliputi pembuatan dan pemasangan

poster, pembuatan leaflet/booklet serta siap dibagikan, wawancara, ceramah

(13)

Sasaran langsung penyuluhan adalah masyarakat yang membutuhkan

informasi tentang objek penyuluhan tetapi untuk mencapai program yang berdaya

guna dan sekaligus berhasil guna, kita perlu menentukan sasaran tidak langsung

yang terdiri dari petugas kesehatan dan berbagai komunitas dimana pasien berada

di dalam melakukan kegiatannya sehari-hari.

Menurut Mardikanto (2002), peran penyuluh diutamakan pada kewajiban

menyampaikan inovasi dan mempengaruhi sasaran penyuluhan melalui metoda

dan teknik tertentu sehingga mereka sadar dan mampu mengadopsi inovasi yang

disampaikan.

Liliweri (2002) menguraikan peran penyuluh sebagai berikut: menjadi

penyampai inovasi, mempengaruhi keputusan sasaran, menjadi jembatan

penghubung pemerintah dan lembaga penyuluhan dengan masyarakat, serta

menggerakkan masyarakat untuk mau berubah.

Mosher (2006) menguraikan peran penyuluh, yaitu: sebagai guru,

penganalisa, penasehat, dan sebagai organisator sebagai pengembang kebutuhan

perubahan, penggerak perubahan, dan pemantab hubungan dengan masyarakat.

Kartasapoetra (2004) menjelaskan peran penyuluh yang sangat penting

bagi terwujudnya pembangunan mental pekerja secara modern. Pembangunan

modern yaitu pembangunan berbasis rakyat. Peran penyuluh tersebut adalah: (1)

sebagai peneliti, mencari masukan terkait dengan ilmu dan teknologi, penyuluh

menyampaikan, mendorong, mengarahkan, dan membimbing petani mengubah

kegiatan usaha tani dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi. (2) sebagai

(14)

penyuluh harus menimbulkan semangat dan kegairahan kerjaagar dapat mengelola

usahanya secara lebih efektif, efisien, dan ekonomis. (3) sebagai penyuluh,

menimbulkan sikap keterbukaan bukan paksaan, penyuluh berperan serta dalam

meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup para pekerja beserta keluarganya.

Dapat dilihat bahwa peran penyuluh sangat berat yang mengharuskannya

memiliki kemampuan tinggi, oleh karena itu, kualitas diri penyuluh harus terus

ditingkatkan sehingga selalu mampu berperan dalam memberikan penyuluhan dan

mewujudkan pembangunan.

Jarmie (2000) menjelaskan tentang peran penyuluh yang bervariasi dengan

kadar penekanan yang berbeda, yaitu mulai dari motivator, edukator, penghubung,

dinamisator, organisator, komunikator, sampai dengan penasehat. Kadar

penerapan peran-peran tersebut tergantung pada ciri wilayah setempat, yaitu

wilayah mulai menerima ide baru, wilayah sedang berkembang maju dan wilayah

maju.

Peran-peran tersebut selanjutnya akan dikaji dalam penelitian ini, dan

digunakan sebagai variabel untuk mengetahui peran penyuluh saat ini. Sesuai

dengan perubahan situasi, maka peran-peran tersebut ada yang mengalami

pengurangan tetapi ada yang makin menguat, sesuai dengan paradigma

pembangunan pertanian yang sesuai dengan sistem otonomi daerah.

2.2Perilaku 2.2.1 Definisi

Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau

(15)

tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.

Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons

tiap-tiap orang berbeda (Niven, 2009).

Perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus

yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif

(tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan

tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan

sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya,

khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku

aktif dapat dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif tidaklah tampak, seperti

misalnya pengetahuan, persepsi atau motivasi. Beberapa ahli membedakan

bentuk-bentuk perilaku kedalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan

tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice

(Sarwono, 2004).

2.2.2 Domain Perilaku

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda

disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi

dua, yakni: (1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan,

tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. (2) Determinan atau faktor

eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,

politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang

(16)

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan

totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau

resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai

bentangan yang sangat luas. Bloom yang dikutip dalam Niven (2009) seorang

ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia dalam 3 (tiga) domain,

ranah, atau kawasan, yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan

psikomotor (psychomotor).

Perilaku manusia dibagi atas Pengetahuan, Sikap dan Praktek/Tindakan.

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap sutu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni melalui mata dan telinga. Ada 6

tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam ranah kognitif ini, yaitu: (1) Tahu

(know), diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu; (2) Memahami (comprehension), artinya

seseorang itu telah dapat mengenterpretasikan secara benar tentang objek yang

diketahui tersebut; (3) Aplikasi (application), diartikan apabila orang yang telah

memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan

prinsip yang diketahuinya pada situasi yang lain; (4) Analisis (analysis),adalah

kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/ atau memisahkan , kemudian

mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu

(17)

kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan

yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki; (6) Evaluasi

(evaluation), berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian

terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).

2. Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seorang terhadap

suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi

hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dengan kata

lain sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005).

Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah

kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial.

Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta

bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu

terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004).

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai

tingkatan: (1) Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek)

mau dam memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). (2) Merespon

(responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugasyang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. (3)

Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

(18)

jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Menurut Walgito (2002) yang dikutip oleh Sunaryo (2004) menyatakan

sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorangmengenai objek atau

situasi yang relatif, yang disertai adanya perasaantertentu, dan memberikan dasar

pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu

yang dipilihnya.

Menurut Gerungan dalam Sunaryo (2004) menyatakan attitude diartikan

dengan sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandanganatau

sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak

sesuai dengan objek. Jenis sikap, yaitu: (a) Sikap positif, yang menunjukkan atau

memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku

dimana individu itu beda; (b) Sikap negatif, menunjukkan penolakan atau tidak

menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda

(Notoatmodjo, 2003). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek

kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang

diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau

mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya /dinilai baik.

Menurut Green (1980) dalam Noto Atmodjo (2010), kualitas hidup yang

baik (quality of life) dapat dicapai melalui peningkatan derajat kesehatan, faktor

perilaku dan gaya hidup (behaviour and lifestyle) serta lingkungan atau

environment. Faktor paling besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah

(19)

adalah suatu faktor yang timbul karena adanya aksi dan reaksi seseorang atau

organisme terhadap lingkungan nya. Faktor perilaku akan terjadi apabila ada

rangsangan, sedangkan pola kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang

dilakukan untuk mengikuti trend (Green, 1980).

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain: (a) Faktor

pemungkin (predisposing factor), adalah faktor pemicu terhadap perilaku yang

memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalamnya

ketrampilan petugas kesehatan, ketersediaan sumber daya dan komitmen

pemerintah dan masyarakat terhadap masyarakat, (b) Faktor-faktor pemudah

(reinforcing factor), adalah faktor pemicu yang menjadi dasar atau motivasi bagi

perilaku, misalnya pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai yang dimiliki

seseorang, dan (c) Faktor penguat (enabling factor), yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang dipercaya oleh

masyarakat. Ketiga faktor ini dipengaruhi oleh faktor penyuluhan (health

education) dan faktor kebijakan (policy), peraturan (regulation) serta organisasi

(organization). Semua faktor-faktor tersebut merupakan ruang lingkup promosi

kesehatan (Green, 1980) dalam Noto Atmodjo (2010).

Anggota masyarakat yang memiliki potensi besar untuk mengubah sistem

nilai dan norma adalah mereka yang disebut dengan pemuka masyarakat atau

tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini terdiri atas dua kategori, yaitu tokoh

masyarakat yang formal dan tokoh masyarakat yang informal. Tokoh masyarakat

formal adalah orang yang memiliki posisi menentukan dalam sistem pemerintahan

(20)

dewan perwakilan rakyat, dan lain-lain. Adapun tokoh masyarakat informal ada

berbagai jenis, misalnya tokoh atau pemuka adat, tokoh atau pemuka agama,

tokoh politik, tokoh pertanian, dan lain-lain. Pemuka atau tokoh adalah seseorang

yang memiliki kelebihan di antara kelompoknya. Ia akan menjadi panutan bagi

kelompoknya atau bagi masyarakat karena ia merupakan figur yang menonjol. Di

samping itu, ia dapat mengubah sistem nilai dan norma masyarakat secara

bertahap, dengan terlebih dulu mengubah sistem nilai dan norma yang berlaku

dalam kelompoknya (Depkes RI, 2006).

Kemampuan penting yang harus dikuasai dalam upaya mengatasi

persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat, adalah: ketrampilan untuk

mengatur suatu masyarakat dan ketrampilan untuk merencanakan sebuah program

promosi kesehatan (McKenzie, 2007).

3. Tindakan (praktek)

Praktik mempunyai beberapa tingkatan: (1) Persepsi (perception),

mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan

diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. (2) Respons terpimpin (guided

response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah merupakan indicator praktik tingkat dua. (3) Mekanisme

(mecanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai

praktik tingkat tiga. (4) Adopsi (adoption), adaptasi adalah suatu praktik atau

(21)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai

pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus

yang berupa materi atau objek di luarnya. Sehingga menimbulkan pengetahuan

baru pada subjek tersebut dan selanjutnya menimbulkan respons batin dalam

bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan

yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan

menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau

sehubungan dengan stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007).

Namun demikian didalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh

subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak

atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang

diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari

oleh pengetahuan atau sikap. Tingkatan praktek yaitu (a) Persepsi, yaitu

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan

diambil merupakan praktek tingkat pertama, (b) Respon Terpimpin (Guided

Respons), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai

dengan contoh merupakan indikator praktek tingkat kedua, (c) Mekanisme

(Mecanism), yaitu Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah

mencapai praktek tingkat tiga, (d) Adaptasi (Adaptation), yaitu suatu praktek atau

tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah

dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut

(22)

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari

atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung

yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Sementara secara

lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang

terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon berbentuk dua

macam, yakni: (1) Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam

diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, (2) bentuk

aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung

(Nasution, 2005).

2.3 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang

(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system

pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur

pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi

manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat

aktif (tindakan yang nyata atau practice) (Notoatmodjo, 2007).

Sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok, yakni

sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Dengan

demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup, perilaku seseorang

terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif

(mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit atau rasa sakit yang ada pada

(23)

dengan penyakit atau sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini

dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :

perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behaviour), perilaku pencegahan penyakit (health preevention

behaviour) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, perilaku

sehubungan dengan pencarian penngobatan (health seeking behaviour), yaitu

perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha

mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas

kesehatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktek, dan sebagainya), maupun

ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya), perilaku

sehubungan dengan pemulihan kessehatan (health rehabilitation behaviour)

(Notoatmodjo, 2007).

Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang

terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern

maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan,

cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang terwujud dalam

pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.

Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respons seseorang

terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi

pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur

yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya

(24)

(enviromental health behaviour) adalah respons seseorang terhadap lingkungan

sebagai determinan kesehatan manusia (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau

reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru

terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni

yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan

menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

Kwick dalam Hoog (2004) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan

atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.

Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk

mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan

adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut.

Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. Didalam suatu pembentukan dan

atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari

dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain susunan

saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya.

Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia karena

merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi

perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan saraf pusat

dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan

energi-energi didalam impuls-impuls saraf. Impuls-impuls saraf indera pendengaran,

penglihatan, pembauan, pengecapan dan perabaan disalurkan dari tempat

(25)

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui

melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca

indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati

objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak

dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku.

Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang mempengaruhi

emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakekatnya

merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan

semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan hukum

perkembangan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang

dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu

perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan

berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan

menjadi 2, (Nasution, 2005) yakni: (1) Faktor intern mencakup pengetahuan,

kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk

mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan

sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi,

kebudayaan dan sebagainya. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku

merupakan konsepsi yang tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu

pengorganisasian proses-proses psikologis oleh seseorang yang memberikan

(26)

objek. (2) Faktor Ekstern Becker (1979) dalam Niven (2009) mengajukan

klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior)

sebagai berikut : (a) Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang

berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatannya. (b) Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala

tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk

merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. (c) Perilaku peran

sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan

individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.

Sadli (2002) menggambarkan individu dengan lingkungan sosial yang

saling mempengaruhi yaitu perilaku kesehatan individu dipengaruhi sikap dan

kebiasaan individu yang erat kaitannya dengan lingkungan. Di dalam Lingkungan

keluarga akan mencerminkan kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga

mengenai kesehatan. Lingkungan terbatas akan mencerminkan tradisi,

adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat sehubungan dengan kesehatan dan

lingkungan umum akan mencerminkan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang

kesehatan, undang-undang kesehatan, program-program kesehatan, dan

sebagainya.

Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama

kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka

kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok

lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan atau

(27)

berlangsung didalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu

tersebut terhadap masalah-masalah kesehatan (Niven, 2009).

Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau

mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam

ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan

dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini menggambarkan

berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai gangguan yang dialami

dan merupakan bagian integral interaksi sosial pada umumnya. Proses ini

mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian,

Nursalam (2006) yakni : (1) Adanya suatu penilaian dari orang yang

bersangkutan terhadap suatu gangguan atau ancaman kesehatan. Selanjutnya

gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga) dan mereka

yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif. (2) Timbulnya

kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut. Disadari bahwa

setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik bagi yang

bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Dari ancaman-ancaman ini

akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku. (3) Penerapan

pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang dialaminya.

Berbagai cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam

gangguan maupun cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari

berbagai bentuk perilaku. (4) Dilakukannya tindakan manipulatif untuk

(28)

ini baik orang awam maupun tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu

dalam arti melakukan sesuatu untuk mengaatasi gangguan kesehatan.

Kepatuhan telah diteliti sejak tahun 1950. Kepatuhan merupakan isu yang

penting dalam dunia kesehatan karena regimen layanan kesehatan tidak bernilai

tanpa kepatuhan klien (Dracup & Meleis, 1982 dalam Kyngas, et al, 2000).

Rendahnya tingkat kepatuhan akan berkontribusi terhadap penurunan efektifitas

dan kemanfaatan regimen pengobatan serta peningkatan biaya pengobatan akibat

implementasi regimen yang tidak sesuai atau tidak tepat. Ketidakpatuhan juga

berpengaruh terhadap kesehatan dimasyarakat, misalnya jika pasien tuberculosis

tidak mengikuti pengobatan yang harus diterima maka akan terjadi penularan

kepada orang lain (Kyngas, et al, 2000).

Banyak model teoriyang dapat digunakan untuk memahami, memprediksi

dan memperbaiki tingkat kepatuhan seperti teori Health Belief Model, Teori

Planned Behavior, dan Transteoritical Model. Komponen yang terkandung

dalam model teori yang terkait dengan kepatuhan tersebut meliputi komunikasi

profesi kesehatan-pasien, kognitif pasien dan prososial (kepercayaan, norma),

dan sumber daya pasien (finansial, psikologis dan dukungan sosial)

(Robin, 2004).

Pender (1996) menyatakan selain teori tersebut diatas terdapat model

teori yaitu interaksi model bagi perilaku sehat klien ( The Interaction Model of

Client Health Behavior/IMCHB) oleh Cox (1985). Model ini dapat digunakan

untuk mengidentifikasi pengaruh factor intrinsic dan factor yang lain yang saling

(29)

motivasi. Faktor intrinsic tersebut yaitu karakteristik demografi, pengaruh

keadaansosial, pengalaman kesehata yang terdahulu, dan sumber daya

lingkungan. Dari elemen diri klien tersebut terdapat kategori sikap individu yang

meliputi motivasi intrinsik, evaluasi kognitif, dan respon afektif. Kemudian

faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan elemen interaksi klien-profesi seperti

dukungan afektif, informasi kesehatan, kontrol terhadap keputusan, dan

kompetensi teknik/profesi. Hasil yang diharapkan dalam interaksi tersebut adalah

pemanfaatan layanan kesehatan yang ada, indikasi klinis status kesehatan klien,

tingkat keparahan masalah kesehatan yang terjadi, kepatuhan terhadap

rekomendasi sesuai regimen yeng sedang dijalanka dan kepuasan dengan

pelayanan yang ada.

Thorne (1990) dalam Shay (2008) melakukanan alisis kepatuhan

berdasarkan pandangan pasien dan ditemukan bahwa pasien menganggap ketidak

patuhan sebagai kebingungan untuk mengikuti saran dari profesi kesehatan.

Sementara Schaffer dan Yoon (2001) dalam Shay (2008) menggambarkan

ketaatan sebagai interaksi hubungan pasien-klinisi kesehatan dan kepatuhan

sebagai respon pasif akibat hubungan otoritatif pasien-klinisi kesehatan. Istilah

pemeliharaan (maintenance) sering digunakan untuk mendeskripsikan ketaatan

(adherence) terhadap perilaku sehat seperti tujuan menurunkan berat badan dan

(30)

2.4 Tuberkulosis 2.4.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

basil Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis.Tuberkulosis paru

disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa. Karakteristik kuman

Mycobacterium tuberculosa adalah berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4

mikron dan tebal 0,3-0,6/Um, tidak bergerak, gram negatif, dinding sel

mengandung: lipid, fosfatida, polisakarida, pertumbuhan kuman lambat, tidak

berspora, tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 derajad celcius, sifat Basil

Tahan Asam (BTA) karena mengandung asam lemak (lipid). Kuman tersebut

berkembang biak dengan melakukan pembelahan diri, dari satu basil membelah

menjadi dua dibutuhkan waktu 14-20 jam. Spesies lain kuman ini yang dapat

memberikan infeksi pada manusia adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium

kansasi, Mycobacterium intracellulare (WHO, 2003).

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh basil Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar

kuman TB menyerang paru, tetapi juga mengenai organ lain. Kuman ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan.Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).Kuman TB ini

cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa

jam di tempat gelap dan lembab.Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,

(31)

2.4.2 Cara Penularan

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan

bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC

batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC

dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan

berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh

yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah

bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ

tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah

bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena

yaitu paru-paru (Depkes RI, 2002).

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka

dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat).

Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha

dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.

Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi

jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk

dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto

rontgen (Depkes RI, 2006).

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap

dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem

kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan

(32)

sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber

produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat

diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif

terinfeksi TBC.

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk

atau bersin, penderita menyebabkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak).Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada

suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat berinfeksi kalau droplet tersebut

terhirup kedalam saluran pernafasan. Selama kuman TB masuk ke dalam tubuh

manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru

kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,

saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh yang lainnya.

Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dalam paru. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan sputum, makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan sputum

negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang

terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh kosentrasi droplet per volume udara dan

lamanya menghirup udara tersebut. Penularan lebih mudah terjadi pada kondisi

seperti: Hunian padat (overcrowding), misalnya di tempat-tempat pengungsian,

penjara dan rumah sakit. Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan

(social deprivation), misalnya keadaan malnutrisi, pelayanan kesehatan yang

buruk, dan tuna-wisma. Resiko pekerjaan misalnya petugas laboratorium dan

(33)

2.4.3 Gejala-gejala Tuberkulosis (TB)

Gejala umum TB adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga

minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai dahak bercampur darah,

batuk darah, sesak nafas, dan rasa nyeri didada, badan lemah, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam

walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Utama, 2002).

2.4.4 Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB)

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan

penderita tersangka dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit

pelayanan kesehatan.Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan

penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.Cara ini biasa dikenal

dengan sebutan passive promotive case finding. Selain itu, semua kontak

penderita TB BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang

petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin,

mengingat TB adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.

Semua tersangka penderita harus diperiksa tiga spesimen dahak dalam dua hari

berturut-turut, yakni sewaktu/pagi/sewaktu (SPS) (WHO, 2006).

2.4.5 Diagnosa Tuberkulosis (TB)

Diagnosa TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Penemuan

(34)

anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin

(Crofton, 2002).

2.4.6 Imunisasi

Pengontrolan TB yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan

memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TB. Vaksin TB, yang dikenal

dengan nama BCG terbuat dari bakteri M. Tuberkulosis strain Bacillus

Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TB pada sapi, tapi tidak pada manusia.

Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri Mycobacterium

Tuberkulosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak didalam

tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Pemberian dua atau

tiga kali tidak berpengaruh, oleh sebab itu vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali

seumur hidup. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru

lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0 – 2 bulan karena

hasilnya memuaskan menjelang umur 2 bulan(WHO, 2006).

Imunisasi TB ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TB.

Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70 – 80 %. Karena itu, walaupun

telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TB ini.

Seandainya bayi yang telah mendapat imunisasi terjangkit penyakit TB, maka

seseorang tersebut akan mendapat penyakit TB dalam kondisi ringan. Seseorang

pun terhindar dari kemungkinan mendapat TB yang berat, seperti TB paru yang

parah, TB tulang, atau TB selaput otak yang dapat mengakibatkan cacat seumur

(35)

2.4.7 Epidemiologi Infeksi Tuberkulosis (TB)

Disamping transmisi oleh susu dari sapi terinfeksi, yang sekarang sebagian

besar dikendalikan dibanyak negara dengan pasteurisasi dan pemusnahan

besar-besaran binatang terinfeksi. TB manusia juga menyebar dari orang ke orang

melalui droplet. Ada banyak faktor yang menentukan prevalensi penyakit, seperti

keluarga besar, malnutrisi dan sebagainya (Dick, 1995).

Migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TB. Di Amerika serikat,

hampir 40 % dari penderita TB adalah orang yang lahir diluar negeri. Mereka

imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TB. Begitu juga dengan

meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak

sehat sehingga memudahkan penyebaran TB. Diperkirakan sebanyak 50 % dari

pengungsi di Dunia berpeluang terinfeksi TB (Utama, 2002).

Lebih dari 900 juta wanita di seluruh Dunia tertular oleh kuman TB. Satu

juta diantaranya meninggal dunia dan 2,5 juta akan segera menderita penyakit

tersebut pada tahun ini, perempuan yang menderita TB ini berusia antara 15 – 44

tahun. TB merupakan penyakit pembunuh yang paling mematikan bagi

perempuan usia muda. TB memiliki andil sekitar 9 % dari kematian berusia antara

15 – 44 tahun, dibandingkan penyebab kematian lainnya (akibat perang : 4 %,

HIV : 3 % dan penyakit jantung : 3 %). Perempuan dalam usia reproduksi lebih

rentan terhadap TB dan lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TB dibandingkan

pria dari kelompok usia yang sama. Wanita pada kelompok usia reproduksi juga

berisiko lebih tinggi terhadap penularan HIV. Di bagian negara Afrika, jumlah

(36)

sehingga TB menyebabkan jumlah kematian lebih besar bagi wanita dibandingkan

kematian akibat melahirkan Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan

bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 % dari kasus

TB di Dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Dua diantara tiga negara dengan

jumlah penderita TB terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia. Indonesia

berada di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina

diperingkat ketiga. Kita harus sadari kembali bahwa TB adalah penyakit yang

sangat perlu mendapatkan perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri

Mycobacterium Tuberkulosis sangat mudah menular melalui udara pada saat

pasien TB batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara. Satu

penderita bisa menyebabkan bakteri TB ke 10 – 15 orang dalam satu tahun

(Utama, 2002).

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of TB Infection = ARTI) di

Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 atau 2 %. Pada daerah

dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1.000 penduduk, 10 orang

akan terinfeksi. Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi tidak akan menjadi

penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi akan menjadi penderita TB. Dari

keterang diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 % maka

diantara 100.000 penduduk rata–rata menjadi 100 penderita Tuberkulosis setiap

tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi

kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang

(37)

2.4.8 Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal

(intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung

berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur

sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali

pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan,

yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan

pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002)

Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat

kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak

menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi

negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi Directly Observed

Treatment Short-course(DOTS) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek

dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka

proses penyambuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya

pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai

ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006)

Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai

95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk

menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu: (WHO, 2000),

(a) komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b)

(38)

kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek untuk

penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek,

diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan

yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia.

Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan

menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat

memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi

penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan

kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk

mengembangkan OAT-fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT

dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing

komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan

penggunaanOAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan,

meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO,

2003).

2.5 Prinsip Penanggulangan TB Paru di Tempat Kerja

Beberapa keuntungan penanggulangan TB di tempat kerja adalah pekerja

berkumpul secara reguler pada waktu yang pasti, system komunikasi relatif

mudah dan pada beberapa tempat kerja memiliki sistem pelayanan dan fasilitas

kesehatan kerja, sehingga dapat digunakan untuk keperluan pencegahan,

(39)

Perusahaan memiliki kemampuan manajemen untuk menyukseskan

kegiatan Penanggulangan TB, karena perusahaan mempunyai kemampuan dalam

proses analisa dan manajemen proyek, kemampuan di bidang pengadaan dan

hal-hal yang terkait dengan masalah kebutuhan dan suplai (supply and demand), serta

dalam mencapai hasil (target). Pendekatan yang sama dalam menjalankan inisiatif

usaha akan memungkinkan untuk menjalankan program DOTS di tempat kerja,

yang diharapkan juga akan mendapatkan hasil yang optimal, melalui kapasitas

ketenagaan yang tepat, pendanaan, dan dukungan manajerial. Monitoring program

juga akan dapat dilaksanakan, sejalan dengan praktik perusahaan seperti review

triwulan kemajuan usaha.

Dalam penerapan TB di tempat kerja, penting untuk memperhatikan

prinsip-prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh stakeholder pada

penanggulangan TB di tempat kerja, khususnya tenaga kesehatan yang akan

terlibat langsung. Selalu berpihak pada hak pasien Menjaga kerahasiaan kondisi

medis dan catatan medik sangat krusial untuk menjamin kepercayaan diri tenaga

kerja percaya diri untuk mengobati penyakitnya. Lemahnya kepercayaan dapat

menyebabkan keterlambatan dalam diagnosa dan pengobatan pasien TB

Kerahasiaan artinya bahwa hanya staf medis yang langsung yang menangani

pasien tersebut mengetahui status medis pasien dan dapat

mengakses/berhubungan dengan catatan medik tersebut.

Staf medis tidak boleh menyebarluaskan status medis pasien kepada

pekerja lainnya atau ke pihak manajemen yang 'belum paham DOTS'. Dia hanya

(40)

memerlukan waktu istirahat dan juga apabila memerlukan perubahan beban kerja

dan tanggungjawab akibat perubahan status kesehatannya.

Pilihan-pilihan harus ditawarkan dalam rangka pengawasan langsung

pengobatan/DOT (baik pada pasien yang dirawat maupun rawat jalan) karena

merupakan hak pasien. Memberikan manfaat kesejahteraan sosial bagi pasien dan

keluarganya jaminan kesejahteraan sosial bagi pasien dan keluarga akan

membantu pasien menyelesaikan pengobatan. Keuntungan kesejahteraan dapat

berupa pemberian OAT dan pelayanan cuma-cuma, pemberian gaji tetap selama

pengobatan (bila mungkin pemberian konpensasi atas hilangnya pendapatan),

bebas biaya transport ke UPK, dan pemberian makanan tambahan. Yang paling

penting dalam memotivasi pasien untuk berobat teratur dan tuntas, adalah adanya

dukungan sosial yang disesuaikan dengan pemberian pelayanan dan lama

pengobatan.

Membantu pasien TB menyesuaikan beban kerja/tugas dengan kondisi

kesehatannya, terutama untuk kurang lebih 2-4 minggu awal pengobatan. Pada

umumnya pasien TB setelah menjalani pengobatan yang tepat dan teratur selama

2-4 minggu pertama pesien tersebut sudah tidak menularkan lagi ke orang lain

walaupun masih dalam masa pengobatan. Melalui observasi medis perkembangan

pasien, jika diperlukan dapat dilakukan penyesuaian beban kerja dan perubahan

tugas-tugas sampai kesegarannya pulih. Untuk menjamin keberhasilan

pengobatan diperlukan seorang pengawas menelan OAT (PMO). Memberikan

(41)

oleh pasien TB di tempat kerja. Sedangkan penyebaran TB Paru di dalam maupun

di luar penjara dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Penyebaran Tuberkulosis Paru di dalam dan luar Penjara

Sejalan dengan prinsip perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja

(K3), maka setiap orang yang berada di tempat kerja mempunyai hak untuk tidak

(42)

selain tenaga kerja dan pihak manajemen yang berada di tempat kerja untuk

kepentingan tertentu, seperti supplier, tenaga magang, tamu, dan sebagainya.

Menggunakan kampanye penyuluhan untuk mengurangi stigma.

Kampanye penyuluhan kesehatan yang efektif ditujukan untuk mengatasi

sikap dan pengetahuan yang salah terhadap pasien TB. TB secara tradisional

dipandang sebagai penyakit mematikan untuk orang miskin dan stigma social

yang kuat yang diakibatkan akan menyulitkan pasien TB untuk memeriksakan

dan mencari pengobatan. Sebagai contoh penyuluhan kesehatan harus diarahkan

bahwa TB bukan penyakit kutukan atau keturunan tetapi disebabkan karena

kuman yang dapat menyerang semua golongan masyarakat. dan sebagian besar

pasien TB tidak menular lagi setelah berobat selama 2-4 minggu (Depkes RI,

2003).

Mengembangkan dan menerapkan kebijakan manajemen yang jelas.

Kebijakan kerahasiaan bagi para pekerja, diskriminasi, jangka waktu istirahat

pada awal masa pengobatan, penyesuaian pekerjaan apabila dianggap perlu harus

dijelaskan secara rinci dan dibuat mudah dalam penerapannya. Kebijakan tersebut

di atas harus dijelaskan kepada pekerja yang sakit TB segera setelah pekerja

terdiagnosa sebagai pasien TB. Untuk menjamin terlaksananya kebijakan tersebut,

ada baiknya dimuat dalam perjanjian kerja bersama (PKB) yang akan mengikat

kedua pihak. Menerapkan pengawasan lingkungan fisik.

Pengawasan lingkungan fisik berkaitan dengan TB ditujukan untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya penularan TB melalui udara dari pasien

Gambar

Gambar 2.1. Penyebaran Tuberkulosis Paru di dalam dan luar Penjara
Gambar 2.2. Struktur Organisasi Program Penanggulangan TB Paru  di
Gambar 2.4 Kerangka  Teori  Perubahan Perilaku
Gambar 2.5. Alur Konsep Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum 1 Januari 2015, suatu pengendalian atas entitas anak dianggap ada bilamana Perusahaan menguasai secara langsung atau tidak langsung lebih dari 50% (lima puluh persen) hak

Secara sederhana pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dimana proses ini sangat sangat melibatkan mental dalam berpikir untuk

Fokus penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui distribusi usia berdasar temuan mammografi pada pasien dengan overekspresi HER- 2/neu dan tanpa overekspresi

Prosedur pelaksanaan asuhan keperawatan metode team Memahami pelaksanaan asuhan keperawatan metode primer (modifikasi) Setelah mengikuti perkuliahan diharapkan

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah penetian pada pengkajian penerapan pendekatan saintifik menggunakan media audio visual untuk mengetahui kualitas proses

Tahapan penelitian dari Gambar 2, dapat dijelaskan sebagai berikut : Tahap pertama : Identifikasi masalah, yaitu mencari dan melihat kekurangan dari segi

Sebagaimana persetujuan-persetujuan yang telah dibahas sebelumnya, hal-hal yang dianggap penting dan pada umumnya yang diatur dalam perjanjian pemanfaatan sumber daya hayati

Kelemahan pembelajaran konvensional dibanding pembelajaran dengan strategi POE adalah tidak adanya kegiatan penggalian prakonsepsi dan koreksi konsep sehingga rata-rata