BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Promosi Kesehatan 2.1.1 Definisi
Upaya promosi kesehatan merupakan salah satu strategi atau langkah yang
ditempuh untuk meningkatkan kemampuan masyarakat khususnya pengetahuan,
sikap dan praktek untuk berperilaku sehat melalui proses pembelajaran
dari-oleh-untuk dan bersama masyarakat. Selain itu tujuan promosi kesehatan dimaksudkan
supaya masyarakat dapat dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan
kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Menolong diri sendiri tersebut artinya bahwa masyarakat mampu berperilaku
mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan serta mampu pula berperilaku mengatasi apabila
masalah gangguan kesehatan tersebut terlanjur terjadi di tengah-tengah kehidupan
masyarakat (Natoadmodjo, 2007).
Definisi lain menurut Depkes RI (2008) menyatakan bahwa promosi
kesehatan adalah serangkaian proses pemberdayaan masyarakat agar mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatan. Proses pemberdayaan dilakukan dari
oleh masyarakat yang artinya proses pemberdayaan tersebut dilakukan melalui
kelompok-kelompok potensial di masyarakat bahkan semua komponen
Sebagaimana diketahui bahwa disparitas masalah kesehatan masih
menjadi permasalahan dalam upaya pembangunan kesehatan di Indonesia yang
diindikasikan dari masih tingginya angka kesakitan akibat penyakit menular dan
tidak menular, kejadian luar biasa (KLB) akibat penyakit menular, serta masih
rendahnya perilaku sehat masyarakat. Upaya promosi kesehatan yang dilakukan
diharapkan dapat mereduksi masalah kesehatan tersebut.
Depkes RI (2008) menitiberatkan bahwa promosi kesehatan bukan hanya
sekedar proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi juga disertai upaya-upaya
menfasilitasi perubahan perilaku.
Secara teknis, promosi kesehatan dapat dijabarkan dalam berbagai
program dan kegiatan yang diformulasikan untuk mewujudkan perubahan
perilaku masyarakat juga mengupayakan perubahan secara sosial dan lingkungan
fisik yang mengarah pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip
oleh McKenzie (2007) mendefenisikan promosi kesehatan sebagai kombinasi
terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan, peraturan,
maupun mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan kondisi kehidupan
yang kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Pada
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan (Depkes RI, 2006) disebutkan bahwa
promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka
daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan
publik yang berwawasan kesehatan.
Dalam melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku
tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma,
melainkan juga dimensi ekonomi. Sistem nilai dan norma merupakan
rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem
nilai dan norma “dibuat” oleh masyarakat untuk dianut oleh individu-individu
anggota masyarakat tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai
sistem sosial, adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu
masyarakat akan berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari
masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2006).
Hasil Konferensi Internasional ke-4 tentang promosi kesehatan, yang
dikutip oleh Liliweri (2007), menyatakan bahwa prioritas promosi kesehatan
dalam abad 21 adalah: (1) Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan;
(2) Meningkatkan modal untuk pengembangan kesehatan ; (3) Konsolidasi dan
perluasan kemitraan untuk kesehatan; (4) Meningkatkan kapasitas komunitas dan
memperkuat individu dan ; (5) Melindungi keamanan infrastruktur promosi
kesehatan.
2.1.2 Strategi Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat
paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru.
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar
advokasi, yang diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi
yang tepat (Depkes RI, 2006).
Menuru Notoadmodjo (2003) yang mengutip pendapat Hopkins, defenisi
advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui
bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya atau
proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan
dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Berbeda dengan bina suasana,
advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang berupa kebijakan
(misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana, dan
lain-lain sejenis.
Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang
umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan penyandang
dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti
tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai
penentu “kebijakan” (tidak tertulis) di bidangnya. Tidak boleh dilupakan pula
tokoh-tokoh dunia usaha, yang diharapkan dapat berperan sebagai penyandang
dana non-pemerintah (Puspromkes Depkes RI, 2006).
Strategi advokasi dilakukan dengan melalui pengembangan kebijakan
yang mendukung pembangunan kesehatan melalui konsultasi
pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan lain kepada para pengambil keputusan baik
kalangan pemerintah, swasta maupun pemuka masyarakat (Notoatmodjo, 2005).
Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila
lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang
menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan
bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut.
Oleh karena itu, untuk mendukung proses Pemberdayaan Masyarakat, khususnya
dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu
dilakukan Bina Suasana (Depkes RI, 2006).
Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam Bina Suasana, yaitu
(1) Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan
Masyarakat Umum (Depkes RI, 2006), dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Bina Suasana Individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat.
Melalui pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang
positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan
dapat menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang
diperkenalkan dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang
diperkenalkan tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin
melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah
munculnya wabah demam berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan
agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi
guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu.
2. Bina Suasana Kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam
masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga
Organisasi Wanita, Organisasi Siswa/Mahasiswa, Organisasi Pemuda, dan
lain-lain. Pendekatan ini dapat dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan
pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok
tersebut menjadi peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan
menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini dapat berupa kelompok
tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang
diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan atau melakukan
kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.
3. Bina Suasana Masyarakat Umum, dilakukan terhadap masyarakat umum
dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio,
televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta
pendapat umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa
tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan.
Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai
pendukung atau “penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota
masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang
sedang diperkenalkan. Strategi bina suasana dilakukan melalui: (1)
Pengembangan potensi budaya masyarakat dengan mengembangkan kerja
sama lintas sektor termasuk organisasi kemasyarakatan, keagamaan, pemuda,
wanita serta kelompok media massa; dan (2) Pengembangan penyelenggaraan
penyuluhan, mengembangkan media dan sarana, mengembangkan metode dan
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus
dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu
sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar
(aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice)
(Natoadmodjo, 2003).
Sasaran utama dari Pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta
kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar,
kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa
sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya.
Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa
sesuatu itu merupakan masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia
menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah
yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut
tentang masalah yang bersangkutan (Depkes RI, 2006)
Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan
fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan
mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini
dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai
panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya
tak pernah terserang diare karena perilaku yang dipraktikkannya). Bilamana
sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan
diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan
mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat (community
organization) atau pembangunan masyarakat (community development).
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan
serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai
Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya,
baik di antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya
pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna (Puspromkes
Depkes RI, 2006).
2.1.3 Media Promosi Kesehatan
Media promosi kesehatan (Lunandi, 2003)dapat dibagi berdasarkan jenis
perlakuan yang diberikan:
1. Ceramah
Ceramah adalah suatu penyampaian informasi yang sifatnya searah, yakni
dari penceramah kepada hadirin. Pada metode ini penceramah lebih banyak
memegang peran untuk menyampaikan dan menjelaskan materi penyuluhannya
dengan sedikit memberikan kesempatan kepada sasaran untuk menyampaikan
tanggapannya.
Beberapa keuntungan menggunakan metode ceramah adalah murah dari
segi biaya, mudah mengulang kembali jika ada materi yang kurang jelas
ditangkap peserta daripada proses membaca sendiri, lebih dapat dipastikan
waktu yang tersedia sangat minim, maka ceramah inilah yang dapat
menyampaikan banyak pesan dalam waktu singkat. Selain keuntungan ada juga
kelemahan menggunakan metode ceramah, salah satunya adalah pesan terinci
mudah dilupakan setelah beberapa lama.
2. Diskusi
Diskusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam
proses pendidikan. Harus ada partisipasi yang baik dari pesera yang hadir.
Diskuasi diarahkan pada keterampilan berdialog, peningkatan pengetahuan,
peningaktan pemecahan masalah secara efisien, dan untuk mempengaruhi para
peserta agar mau mengubah sikap. Dalam suatu diskusi para pesertanya berpikir
bersama dan mengungkapkan pikirannya, sehingga menimbulkan pengertian pada
diri sendiri, pada pandangan peserta diskusi dan juga pada masalah yang
didiskusikan.
Diskusi dipakai sebagai forum untuk bertukar informasi, pendapat dan
pengalaman dalam bentuk tanya- jawab yang teratur dengan tujuan mendapatkan
pengertian yang lebih luas, kejelasan tentang suatu permasalahan dan untuk
menentukan kebijakan dalam pengambilan keputusan. Diskusi merupakan
saluran yang paling baik untuk menjaga kredibilitas pesan-pesan, menyediakan
informasi, dan mengajarkan keterampilan yang kompleks yang membutuhkan
komunikasi dua arah antara individu dengan seseorang sebagai sumber informasi
yang terpercaya.
Diskusi membutuhkan perencanaan dan persiapan, serta terdapat banyak
orang untuk berpartisipasi. Diskusi dapat dipicu dengan menyajikan suatu pokok
masalah, sebaiknya hal yang berkontrversial (Ewless, 1994).
Menurut Liliweri (2007) penyuluhan kesehatan merupakan suatu proses
yang berlangsung secara terus menerus, yang kemajuannya harus terus diamati
terutama kepada mereka yang memberi penyuluhan. Pada umumnya kebutuhan
akan penyuluhan kesehatan dideteksi oleh petugas kesehatan, untuk selanjutnya
ditumbuhkan rasa membutuhkan pada orang yang menerima pesan. Tujuan
pendidikan kesehatan dengan metode penyuluhan adalah meningkatkan
pengetahuan.
Pengetahuan akan menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup
mereka. Pada akhirnya yang menjadi tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku
pasien dan meningkatnya kepatuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas
hidup. Untuk meningkatkan pengetahuan dapat dilakukan perubahan dengan
memberikan pendidikan kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan hasil dari tahu,
dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek
tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tahapan yaitu: tahu, memahami, aplikasi, analisis,
sintesis dan penilaian kembali. Untuk dapat menjalani perilaku yang diinginkan
seseorang harus melampui semua tahap tersebut. Enam tahap tersebut merupakan
suatu proses yang memerlukan waktu, dan lama proses tersebut tidak sama untuk
Untuk tercapainya proses tersebut harus terjadi perubahan sikap mengenai
materi yang disuluhkan pada mereka. Mengubah sikap pekerja bukanlah
pekerjaan mudah, bahkan lebih sulit dari pada meningkatkan pengetahuan. Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus objek. Sikap sebenarnya merupakan bagian dari kepribadian. Berbeda
dengan perangai yang juga merupakan bagian kepribadian, sikap adalah
kecenderungan yang tertata untuk berpikir, merasa dan berperilaku terhadap suatu
referen atau objek kognitif.
Suatu sikap belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk suatu tindakan.
Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan yang nyata, diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai pengetahuan dan
sikap yang baik terhadap keteraturan berolahraga, mungkin tidak dapat dijalankan
perilaku tersebut karena keterbatasan waktu. Seorang pasien yang telah berniat
untuk makan sesuai dengan rencana makan yang telah dibuatnya sendiri,
kadang-kadang keluar dari jalur tersebut karena situasi dirumah atau dikantor yang kurang
mendukung. Bila semua perilaku positif telah dilaksanakan semuanya, tentunya
orang tersebut dapat dimasukkan kedalam kelompok penerima pesan dengan
kepatuhan tinggi, sehingga sebagai dampak kepatuhannya dapat terkendali.
Apabila penerima pesan telah menjalankan perilaku yang diinginkan dan
telah digolongkan didalam kelompok dengan kepatuhan tinggi, perilaku-perilaku
tersebut harus dipertahankan. Tatap muka dengan penyuluhan tetap harus
Dalam penyuluhan sebelum kegiatan dilakukan terlebih dahulu harus
ditetapkan apa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penyuluhan tersebut, jadi disini
harus jelas mengenai tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Pada
tujuan umum biasanya yang menyangkut seluruh prioritas masalah yang akan
dilakukan penyuluhan kesehatan. Sedangkan pada tujuan khusus disini merupakan
uraian dari tujuan umum, ialah tujuan yang terkandung dalam setiap penyuluhan
dan setiap masalah.
Perumusan tujuan tersebut haruslah dalam bentuk tujuan perilaku atau
behavioral objectives, yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (Notoatmodjo,
2003), yaitu : (1) tujuan tersebut harus dapat diukur (measurable), (2) tujuan
tersebut harus dapat diamati (observable), dan (3) tujuan tersebut harus dapat
dicapai (reachable) yang dimaksud adalah tujuan tersebut harus dapat dicapai
dalam kurun waktu tertentu.
Pada penyuluhan yang menjadi target penyuluhan atau sasaran adalah
selain penderita, juga keluarga maupun orang-orang disekitar penderita yang
sering atau hampir setiap hari berhubungan dengan penderita. Dalam
penyampaian penyuluhan perlu dilakukan dalam beberapa tahapan, misalnya
dapat dibagi dalam beberapa kegiatan yang berkesinambungan, misalnya:
a. Lokakarya mini: untuk menyiapkan tenaga penyuluh.
b. Uji coba lapangan : mencoba ( try out) untuk metoda penyuluhannya.
c. Pelaksanaan kegiatan : yang dapat meliputi pembuatan dan pemasangan
poster, pembuatan leaflet/booklet serta siap dibagikan, wawancara, ceramah
Sasaran langsung penyuluhan adalah masyarakat yang membutuhkan
informasi tentang objek penyuluhan tetapi untuk mencapai program yang berdaya
guna dan sekaligus berhasil guna, kita perlu menentukan sasaran tidak langsung
yang terdiri dari petugas kesehatan dan berbagai komunitas dimana pasien berada
di dalam melakukan kegiatannya sehari-hari.
Menurut Mardikanto (2002), peran penyuluh diutamakan pada kewajiban
menyampaikan inovasi dan mempengaruhi sasaran penyuluhan melalui metoda
dan teknik tertentu sehingga mereka sadar dan mampu mengadopsi inovasi yang
disampaikan.
Liliweri (2002) menguraikan peran penyuluh sebagai berikut: menjadi
penyampai inovasi, mempengaruhi keputusan sasaran, menjadi jembatan
penghubung pemerintah dan lembaga penyuluhan dengan masyarakat, serta
menggerakkan masyarakat untuk mau berubah.
Mosher (2006) menguraikan peran penyuluh, yaitu: sebagai guru,
penganalisa, penasehat, dan sebagai organisator sebagai pengembang kebutuhan
perubahan, penggerak perubahan, dan pemantab hubungan dengan masyarakat.
Kartasapoetra (2004) menjelaskan peran penyuluh yang sangat penting
bagi terwujudnya pembangunan mental pekerja secara modern. Pembangunan
modern yaitu pembangunan berbasis rakyat. Peran penyuluh tersebut adalah: (1)
sebagai peneliti, mencari masukan terkait dengan ilmu dan teknologi, penyuluh
menyampaikan, mendorong, mengarahkan, dan membimbing petani mengubah
kegiatan usaha tani dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi. (2) sebagai
penyuluh harus menimbulkan semangat dan kegairahan kerjaagar dapat mengelola
usahanya secara lebih efektif, efisien, dan ekonomis. (3) sebagai penyuluh,
menimbulkan sikap keterbukaan bukan paksaan, penyuluh berperan serta dalam
meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup para pekerja beserta keluarganya.
Dapat dilihat bahwa peran penyuluh sangat berat yang mengharuskannya
memiliki kemampuan tinggi, oleh karena itu, kualitas diri penyuluh harus terus
ditingkatkan sehingga selalu mampu berperan dalam memberikan penyuluhan dan
mewujudkan pembangunan.
Jarmie (2000) menjelaskan tentang peran penyuluh yang bervariasi dengan
kadar penekanan yang berbeda, yaitu mulai dari motivator, edukator, penghubung,
dinamisator, organisator, komunikator, sampai dengan penasehat. Kadar
penerapan peran-peran tersebut tergantung pada ciri wilayah setempat, yaitu
wilayah mulai menerima ide baru, wilayah sedang berkembang maju dan wilayah
maju.
Peran-peran tersebut selanjutnya akan dikaji dalam penelitian ini, dan
digunakan sebagai variabel untuk mengetahui peran penyuluh saat ini. Sesuai
dengan perubahan situasi, maka peran-peran tersebut ada yang mengalami
pengurangan tetapi ada yang makin menguat, sesuai dengan paradigma
pembangunan pertanian yang sesuai dengan sistem otonomi daerah.
2.2Perilaku 2.2.1 Definisi
Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons
tiap-tiap orang berbeda (Niven, 2009).
Perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus
yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif
(tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan
tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan
sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya,
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku
aktif dapat dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif tidaklah tampak, seperti
misalnya pengetahuan, persepsi atau motivasi. Beberapa ahli membedakan
bentuk-bentuk perilaku kedalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan
tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice
(Sarwono, 2004).
2.2.2 Domain Perilaku
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi
dua, yakni: (1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang
bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. (2) Determinan atau faktor
eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan
totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau
resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai
bentangan yang sangat luas. Bloom yang dikutip dalam Niven (2009) seorang
ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia dalam 3 (tiga) domain,
ranah, atau kawasan, yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan
psikomotor (psychomotor).
Perilaku manusia dibagi atas Pengetahuan, Sikap dan Praktek/Tindakan.
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap sutu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni melalui mata dan telinga. Ada 6
tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam ranah kognitif ini, yaitu: (1) Tahu
(know), diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu; (2) Memahami (comprehension), artinya
seseorang itu telah dapat mengenterpretasikan secara benar tentang objek yang
diketahui tersebut; (3) Aplikasi (application), diartikan apabila orang yang telah
memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan
prinsip yang diketahuinya pada situasi yang lain; (4) Analisis (analysis),adalah
kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/ atau memisahkan , kemudian
mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu
kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan
yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki; (6) Evaluasi
(evaluation), berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).
2. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dengan kata
lain sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005).
Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah
kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial.
Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta
bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu
terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan: (1) Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek)
mau dam memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). (2) Merespon
(responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugasyang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. (3)
Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Menurut Walgito (2002) yang dikutip oleh Sunaryo (2004) menyatakan
sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorangmengenai objek atau
situasi yang relatif, yang disertai adanya perasaantertentu, dan memberikan dasar
pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu
yang dipilihnya.
Menurut Gerungan dalam Sunaryo (2004) menyatakan attitude diartikan
dengan sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandanganatau
sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan objek. Jenis sikap, yaitu: (a) Sikap positif, yang menunjukkan atau
memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku
dimana individu itu beda; (b) Sikap negatif, menunjukkan penolakan atau tidak
menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda
(Notoatmodjo, 2003). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek
kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang
diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau
mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya /dinilai baik.
Menurut Green (1980) dalam Noto Atmodjo (2010), kualitas hidup yang
baik (quality of life) dapat dicapai melalui peningkatan derajat kesehatan, faktor
perilaku dan gaya hidup (behaviour and lifestyle) serta lingkungan atau
environment. Faktor paling besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah
adalah suatu faktor yang timbul karena adanya aksi dan reaksi seseorang atau
organisme terhadap lingkungan nya. Faktor perilaku akan terjadi apabila ada
rangsangan, sedangkan pola kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang
dilakukan untuk mengikuti trend (Green, 1980).
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain: (a) Faktor
pemungkin (predisposing factor), adalah faktor pemicu terhadap perilaku yang
memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalamnya
ketrampilan petugas kesehatan, ketersediaan sumber daya dan komitmen
pemerintah dan masyarakat terhadap masyarakat, (b) Faktor-faktor pemudah
(reinforcing factor), adalah faktor pemicu yang menjadi dasar atau motivasi bagi
perilaku, misalnya pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai yang dimiliki
seseorang, dan (c) Faktor penguat (enabling factor), yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang dipercaya oleh
masyarakat. Ketiga faktor ini dipengaruhi oleh faktor penyuluhan (health
education) dan faktor kebijakan (policy), peraturan (regulation) serta organisasi
(organization). Semua faktor-faktor tersebut merupakan ruang lingkup promosi
kesehatan (Green, 1980) dalam Noto Atmodjo (2010).
Anggota masyarakat yang memiliki potensi besar untuk mengubah sistem
nilai dan norma adalah mereka yang disebut dengan pemuka masyarakat atau
tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini terdiri atas dua kategori, yaitu tokoh
masyarakat yang formal dan tokoh masyarakat yang informal. Tokoh masyarakat
formal adalah orang yang memiliki posisi menentukan dalam sistem pemerintahan
dewan perwakilan rakyat, dan lain-lain. Adapun tokoh masyarakat informal ada
berbagai jenis, misalnya tokoh atau pemuka adat, tokoh atau pemuka agama,
tokoh politik, tokoh pertanian, dan lain-lain. Pemuka atau tokoh adalah seseorang
yang memiliki kelebihan di antara kelompoknya. Ia akan menjadi panutan bagi
kelompoknya atau bagi masyarakat karena ia merupakan figur yang menonjol. Di
samping itu, ia dapat mengubah sistem nilai dan norma masyarakat secara
bertahap, dengan terlebih dulu mengubah sistem nilai dan norma yang berlaku
dalam kelompoknya (Depkes RI, 2006).
Kemampuan penting yang harus dikuasai dalam upaya mengatasi
persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat, adalah: ketrampilan untuk
mengatur suatu masyarakat dan ketrampilan untuk merencanakan sebuah program
promosi kesehatan (McKenzie, 2007).
3. Tindakan (praktek)
Praktik mempunyai beberapa tingkatan: (1) Persepsi (perception),
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. (2) Respons terpimpin (guided
response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indicator praktik tingkat dua. (3) Mekanisme
(mecanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktik tingkat tiga. (4) Adopsi (adoption), adaptasi adalah suatu praktik atau
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai
pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus
yang berupa materi atau objek di luarnya. Sehingga menimbulkan pengetahuan
baru pada subjek tersebut dan selanjutnya menimbulkan respons batin dalam
bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan
yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan
menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau
sehubungan dengan stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007).
Namun demikian didalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh
subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak
atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang
diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari
oleh pengetahuan atau sikap. Tingkatan praktek yaitu (a) Persepsi, yaitu
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil merupakan praktek tingkat pertama, (b) Respon Terpimpin (Guided
Respons), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai
dengan contoh merupakan indikator praktek tingkat kedua, (c) Mekanisme
(Mecanism), yaitu Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga, (d) Adaptasi (Adaptation), yaitu suatu praktek atau
tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah
dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Sementara secara
lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang
terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon berbentuk dua
macam, yakni: (1) Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam
diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, (2) bentuk
aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung
(Nasution, 2005).
2.3 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur
pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi
manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat
aktif (tindakan yang nyata atau practice) (Notoatmodjo, 2007).
Sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok, yakni
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Dengan
demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup, perilaku seseorang
terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif
(mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit atau rasa sakit yang ada pada
dengan penyakit atau sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini
dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :
perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health
promotion behaviour), perilaku pencegahan penyakit (health preevention
behaviour) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, perilaku
sehubungan dengan pencarian penngobatan (health seeking behaviour), yaitu
perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha
mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas
kesehatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktek, dan sebagainya), maupun
ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya), perilaku
sehubungan dengan pemulihan kessehatan (health rehabilitation behaviour)
(Notoatmodjo, 2007).
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern
maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan,
cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang terwujud dalam
pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.
Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur
yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya
(enviromental health behaviour) adalah respons seseorang terhadap lingkungan
sebagai determinan kesehatan manusia (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau
reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru
terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni
yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Kwick dalam Hoog (2004) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan
atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan
adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut.
Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. Didalam suatu pembentukan dan
atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari
dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain susunan
saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya.
Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia karena
merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi
perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan saraf pusat
dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan
energi-energi didalam impuls-impuls saraf. Impuls-impuls saraf indera pendengaran,
penglihatan, pembauan, pengecapan dan perabaan disalurkan dari tempat
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui
melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca
indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati
objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak
dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku.
Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang mempengaruhi
emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakekatnya
merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan
semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan hukum
perkembangan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang
dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu
perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan
menjadi 2, (Nasution, 2005) yakni: (1) Faktor intern mencakup pengetahuan,
kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk
mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan
sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi,
kebudayaan dan sebagainya. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku
merupakan konsepsi yang tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu
pengorganisasian proses-proses psikologis oleh seseorang yang memberikan
objek. (2) Faktor Ekstern Becker (1979) dalam Niven (2009) mengajukan
klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior)
sebagai berikut : (a) Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya. (b) Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala
tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk
merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. (c) Perilaku peran
sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan
individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.
Sadli (2002) menggambarkan individu dengan lingkungan sosial yang
saling mempengaruhi yaitu perilaku kesehatan individu dipengaruhi sikap dan
kebiasaan individu yang erat kaitannya dengan lingkungan. Di dalam Lingkungan
keluarga akan mencerminkan kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga
mengenai kesehatan. Lingkungan terbatas akan mencerminkan tradisi,
adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat sehubungan dengan kesehatan dan
lingkungan umum akan mencerminkan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang
kesehatan, undang-undang kesehatan, program-program kesehatan, dan
sebagainya.
Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama
kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka
kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok
lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan atau
berlangsung didalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu
tersebut terhadap masalah-masalah kesehatan (Niven, 2009).
Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau
mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam
ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan
dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini menggambarkan
berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai gangguan yang dialami
dan merupakan bagian integral interaksi sosial pada umumnya. Proses ini
mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian,
Nursalam (2006) yakni : (1) Adanya suatu penilaian dari orang yang
bersangkutan terhadap suatu gangguan atau ancaman kesehatan. Selanjutnya
gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga) dan mereka
yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif. (2) Timbulnya
kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut. Disadari bahwa
setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Dari ancaman-ancaman ini
akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku. (3) Penerapan
pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang dialaminya.
Berbagai cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam
gangguan maupun cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari
berbagai bentuk perilaku. (4) Dilakukannya tindakan manipulatif untuk
ini baik orang awam maupun tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu
dalam arti melakukan sesuatu untuk mengaatasi gangguan kesehatan.
Kepatuhan telah diteliti sejak tahun 1950. Kepatuhan merupakan isu yang
penting dalam dunia kesehatan karena regimen layanan kesehatan tidak bernilai
tanpa kepatuhan klien (Dracup & Meleis, 1982 dalam Kyngas, et al, 2000).
Rendahnya tingkat kepatuhan akan berkontribusi terhadap penurunan efektifitas
dan kemanfaatan regimen pengobatan serta peningkatan biaya pengobatan akibat
implementasi regimen yang tidak sesuai atau tidak tepat. Ketidakpatuhan juga
berpengaruh terhadap kesehatan dimasyarakat, misalnya jika pasien tuberculosis
tidak mengikuti pengobatan yang harus diterima maka akan terjadi penularan
kepada orang lain (Kyngas, et al, 2000).
Banyak model teoriyang dapat digunakan untuk memahami, memprediksi
dan memperbaiki tingkat kepatuhan seperti teori Health Belief Model, Teori
Planned Behavior, dan Transteoritical Model. Komponen yang terkandung
dalam model teori yang terkait dengan kepatuhan tersebut meliputi komunikasi
profesi kesehatan-pasien, kognitif pasien dan prososial (kepercayaan, norma),
dan sumber daya pasien (finansial, psikologis dan dukungan sosial)
(Robin, 2004).
Pender (1996) menyatakan selain teori tersebut diatas terdapat model
teori yaitu interaksi model bagi perilaku sehat klien ( The Interaction Model of
Client Health Behavior/IMCHB) oleh Cox (1985). Model ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi pengaruh factor intrinsic dan factor yang lain yang saling
motivasi. Faktor intrinsic tersebut yaitu karakteristik demografi, pengaruh
keadaansosial, pengalaman kesehata yang terdahulu, dan sumber daya
lingkungan. Dari elemen diri klien tersebut terdapat kategori sikap individu yang
meliputi motivasi intrinsik, evaluasi kognitif, dan respon afektif. Kemudian
faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan elemen interaksi klien-profesi seperti
dukungan afektif, informasi kesehatan, kontrol terhadap keputusan, dan
kompetensi teknik/profesi. Hasil yang diharapkan dalam interaksi tersebut adalah
pemanfaatan layanan kesehatan yang ada, indikasi klinis status kesehatan klien,
tingkat keparahan masalah kesehatan yang terjadi, kepatuhan terhadap
rekomendasi sesuai regimen yeng sedang dijalanka dan kepuasan dengan
pelayanan yang ada.
Thorne (1990) dalam Shay (2008) melakukanan alisis kepatuhan
berdasarkan pandangan pasien dan ditemukan bahwa pasien menganggap ketidak
patuhan sebagai kebingungan untuk mengikuti saran dari profesi kesehatan.
Sementara Schaffer dan Yoon (2001) dalam Shay (2008) menggambarkan
ketaatan sebagai interaksi hubungan pasien-klinisi kesehatan dan kepatuhan
sebagai respon pasif akibat hubungan otoritatif pasien-klinisi kesehatan. Istilah
pemeliharaan (maintenance) sering digunakan untuk mendeskripsikan ketaatan
(adherence) terhadap perilaku sehat seperti tujuan menurunkan berat badan dan
2.4 Tuberkulosis 2.4.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis.Tuberkulosis paru
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa. Karakteristik kuman
Mycobacterium tuberculosa adalah berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4
mikron dan tebal 0,3-0,6/Um, tidak bergerak, gram negatif, dinding sel
mengandung: lipid, fosfatida, polisakarida, pertumbuhan kuman lambat, tidak
berspora, tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 derajad celcius, sifat Basil
Tahan Asam (BTA) karena mengandung asam lemak (lipid). Kuman tersebut
berkembang biak dengan melakukan pembelahan diri, dari satu basil membelah
menjadi dua dibutuhkan waktu 14-20 jam. Spesies lain kuman ini yang dapat
memberikan infeksi pada manusia adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium
kansasi, Mycobacterium intracellulare (WHO, 2003).
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh basil Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi juga mengenai organ lain. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan.Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).Kuman TB ini
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam di tempat gelap dan lembab.Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,
2.4.2 Cara Penularan
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan
bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC
batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh
yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena
yaitu paru-paru (Depkes RI, 2002).
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka
dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat).
Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha
dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi
jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk
dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto
rontgen (Depkes RI, 2006).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan
sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber
produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat
diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi TBC.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebabkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak).Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat berinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup kedalam saluran pernafasan. Selama kuman TB masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh yang lainnya.
Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dalam paru. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan sputum, makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan sputum
negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang
terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh kosentrasi droplet per volume udara dan
lamanya menghirup udara tersebut. Penularan lebih mudah terjadi pada kondisi
seperti: Hunian padat (overcrowding), misalnya di tempat-tempat pengungsian,
penjara dan rumah sakit. Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan
(social deprivation), misalnya keadaan malnutrisi, pelayanan kesehatan yang
buruk, dan tuna-wisma. Resiko pekerjaan misalnya petugas laboratorium dan
2.4.3 Gejala-gejala Tuberkulosis (TB)
Gejala umum TB adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga
minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, dan rasa nyeri didada, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Utama, 2002).
2.4.4 Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB)
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
penderita tersangka dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan.Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.Cara ini biasa dikenal
dengan sebutan passive promotive case finding. Selain itu, semua kontak
penderita TB BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang
petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin,
mengingat TB adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.
Semua tersangka penderita harus diperiksa tiga spesimen dahak dalam dua hari
berturut-turut, yakni sewaktu/pagi/sewaktu (SPS) (WHO, 2006).
2.4.5 Diagnosa Tuberkulosis (TB)
Diagnosa TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Penemuan
anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin
(Crofton, 2002).
2.4.6 Imunisasi
Pengontrolan TB yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TB. Vaksin TB, yang dikenal
dengan nama BCG terbuat dari bakteri M. Tuberkulosis strain Bacillus
Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TB pada sapi, tapi tidak pada manusia.
Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri Mycobacterium
Tuberkulosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak didalam
tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Pemberian dua atau
tiga kali tidak berpengaruh, oleh sebab itu vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali
seumur hidup. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru
lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0 – 2 bulan karena
hasilnya memuaskan menjelang umur 2 bulan(WHO, 2006).
Imunisasi TB ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TB.
Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70 – 80 %. Karena itu, walaupun
telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TB ini.
Seandainya bayi yang telah mendapat imunisasi terjangkit penyakit TB, maka
seseorang tersebut akan mendapat penyakit TB dalam kondisi ringan. Seseorang
pun terhindar dari kemungkinan mendapat TB yang berat, seperti TB paru yang
parah, TB tulang, atau TB selaput otak yang dapat mengakibatkan cacat seumur
2.4.7 Epidemiologi Infeksi Tuberkulosis (TB)
Disamping transmisi oleh susu dari sapi terinfeksi, yang sekarang sebagian
besar dikendalikan dibanyak negara dengan pasteurisasi dan pemusnahan
besar-besaran binatang terinfeksi. TB manusia juga menyebar dari orang ke orang
melalui droplet. Ada banyak faktor yang menentukan prevalensi penyakit, seperti
keluarga besar, malnutrisi dan sebagainya (Dick, 1995).
Migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TB. Di Amerika serikat,
hampir 40 % dari penderita TB adalah orang yang lahir diluar negeri. Mereka
imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TB. Begitu juga dengan
meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak
sehat sehingga memudahkan penyebaran TB. Diperkirakan sebanyak 50 % dari
pengungsi di Dunia berpeluang terinfeksi TB (Utama, 2002).
Lebih dari 900 juta wanita di seluruh Dunia tertular oleh kuman TB. Satu
juta diantaranya meninggal dunia dan 2,5 juta akan segera menderita penyakit
tersebut pada tahun ini, perempuan yang menderita TB ini berusia antara 15 – 44
tahun. TB merupakan penyakit pembunuh yang paling mematikan bagi
perempuan usia muda. TB memiliki andil sekitar 9 % dari kematian berusia antara
15 – 44 tahun, dibandingkan penyebab kematian lainnya (akibat perang : 4 %,
HIV : 3 % dan penyakit jantung : 3 %). Perempuan dalam usia reproduksi lebih
rentan terhadap TB dan lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TB dibandingkan
pria dari kelompok usia yang sama. Wanita pada kelompok usia reproduksi juga
berisiko lebih tinggi terhadap penularan HIV. Di bagian negara Afrika, jumlah
sehingga TB menyebabkan jumlah kematian lebih besar bagi wanita dibandingkan
kematian akibat melahirkan Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan
bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 % dari kasus
TB di Dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Dua diantara tiga negara dengan
jumlah penderita TB terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia. Indonesia
berada di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina
diperingkat ketiga. Kita harus sadari kembali bahwa TB adalah penyakit yang
sangat perlu mendapatkan perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri
Mycobacterium Tuberkulosis sangat mudah menular melalui udara pada saat
pasien TB batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara. Satu
penderita bisa menyebabkan bakteri TB ke 10 – 15 orang dalam satu tahun
(Utama, 2002).
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of TB Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 atau 2 %. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1.000 penduduk, 10 orang
akan terinfeksi. Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi akan menjadi penderita TB. Dari
keterang diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 % maka
diantara 100.000 penduduk rata–rata menjadi 100 penderita Tuberkulosis setiap
tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang
2.4.8 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal
(intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung
berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur
sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali
pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan,
yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan
pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002)
Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat
kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak
menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi
negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi Directly Observed
Treatment Short-course(DOTS) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek
dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka
proses penyambuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya
pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai
ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006)
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai
95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk
menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu: (WHO, 2000),
(a) komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b)
kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek untuk
penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek,
diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan
yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia.
Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan
menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat
memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi
penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan
kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk
mengembangkan OAT-fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT
dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing
komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan
penggunaanOAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan,
meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO,
2003).
2.5 Prinsip Penanggulangan TB Paru di Tempat Kerja
Beberapa keuntungan penanggulangan TB di tempat kerja adalah pekerja
berkumpul secara reguler pada waktu yang pasti, system komunikasi relatif
mudah dan pada beberapa tempat kerja memiliki sistem pelayanan dan fasilitas
kesehatan kerja, sehingga dapat digunakan untuk keperluan pencegahan,
Perusahaan memiliki kemampuan manajemen untuk menyukseskan
kegiatan Penanggulangan TB, karena perusahaan mempunyai kemampuan dalam
proses analisa dan manajemen proyek, kemampuan di bidang pengadaan dan
hal-hal yang terkait dengan masalah kebutuhan dan suplai (supply and demand), serta
dalam mencapai hasil (target). Pendekatan yang sama dalam menjalankan inisiatif
usaha akan memungkinkan untuk menjalankan program DOTS di tempat kerja,
yang diharapkan juga akan mendapatkan hasil yang optimal, melalui kapasitas
ketenagaan yang tepat, pendanaan, dan dukungan manajerial. Monitoring program
juga akan dapat dilaksanakan, sejalan dengan praktik perusahaan seperti review
triwulan kemajuan usaha.
Dalam penerapan TB di tempat kerja, penting untuk memperhatikan
prinsip-prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh stakeholder pada
penanggulangan TB di tempat kerja, khususnya tenaga kesehatan yang akan
terlibat langsung. Selalu berpihak pada hak pasien Menjaga kerahasiaan kondisi
medis dan catatan medik sangat krusial untuk menjamin kepercayaan diri tenaga
kerja percaya diri untuk mengobati penyakitnya. Lemahnya kepercayaan dapat
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosa dan pengobatan pasien TB
Kerahasiaan artinya bahwa hanya staf medis yang langsung yang menangani
pasien tersebut mengetahui status medis pasien dan dapat
mengakses/berhubungan dengan catatan medik tersebut.
Staf medis tidak boleh menyebarluaskan status medis pasien kepada
pekerja lainnya atau ke pihak manajemen yang 'belum paham DOTS'. Dia hanya
memerlukan waktu istirahat dan juga apabila memerlukan perubahan beban kerja
dan tanggungjawab akibat perubahan status kesehatannya.
Pilihan-pilihan harus ditawarkan dalam rangka pengawasan langsung
pengobatan/DOT (baik pada pasien yang dirawat maupun rawat jalan) karena
merupakan hak pasien. Memberikan manfaat kesejahteraan sosial bagi pasien dan
keluarganya jaminan kesejahteraan sosial bagi pasien dan keluarga akan
membantu pasien menyelesaikan pengobatan. Keuntungan kesejahteraan dapat
berupa pemberian OAT dan pelayanan cuma-cuma, pemberian gaji tetap selama
pengobatan (bila mungkin pemberian konpensasi atas hilangnya pendapatan),
bebas biaya transport ke UPK, dan pemberian makanan tambahan. Yang paling
penting dalam memotivasi pasien untuk berobat teratur dan tuntas, adalah adanya
dukungan sosial yang disesuaikan dengan pemberian pelayanan dan lama
pengobatan.
Membantu pasien TB menyesuaikan beban kerja/tugas dengan kondisi
kesehatannya, terutama untuk kurang lebih 2-4 minggu awal pengobatan. Pada
umumnya pasien TB setelah menjalani pengobatan yang tepat dan teratur selama
2-4 minggu pertama pesien tersebut sudah tidak menularkan lagi ke orang lain
walaupun masih dalam masa pengobatan. Melalui observasi medis perkembangan
pasien, jika diperlukan dapat dilakukan penyesuaian beban kerja dan perubahan
tugas-tugas sampai kesegarannya pulih. Untuk menjamin keberhasilan
pengobatan diperlukan seorang pengawas menelan OAT (PMO). Memberikan
oleh pasien TB di tempat kerja. Sedangkan penyebaran TB Paru di dalam maupun
di luar penjara dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Penyebaran Tuberkulosis Paru di dalam dan luar Penjara
Sejalan dengan prinsip perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3), maka setiap orang yang berada di tempat kerja mempunyai hak untuk tidak
selain tenaga kerja dan pihak manajemen yang berada di tempat kerja untuk
kepentingan tertentu, seperti supplier, tenaga magang, tamu, dan sebagainya.
Menggunakan kampanye penyuluhan untuk mengurangi stigma.
Kampanye penyuluhan kesehatan yang efektif ditujukan untuk mengatasi
sikap dan pengetahuan yang salah terhadap pasien TB. TB secara tradisional
dipandang sebagai penyakit mematikan untuk orang miskin dan stigma social
yang kuat yang diakibatkan akan menyulitkan pasien TB untuk memeriksakan
dan mencari pengobatan. Sebagai contoh penyuluhan kesehatan harus diarahkan
bahwa TB bukan penyakit kutukan atau keturunan tetapi disebabkan karena
kuman yang dapat menyerang semua golongan masyarakat. dan sebagian besar
pasien TB tidak menular lagi setelah berobat selama 2-4 minggu (Depkes RI,
2003).
Mengembangkan dan menerapkan kebijakan manajemen yang jelas.
Kebijakan kerahasiaan bagi para pekerja, diskriminasi, jangka waktu istirahat
pada awal masa pengobatan, penyesuaian pekerjaan apabila dianggap perlu harus
dijelaskan secara rinci dan dibuat mudah dalam penerapannya. Kebijakan tersebut
di atas harus dijelaskan kepada pekerja yang sakit TB segera setelah pekerja
terdiagnosa sebagai pasien TB. Untuk menjamin terlaksananya kebijakan tersebut,
ada baiknya dimuat dalam perjanjian kerja bersama (PKB) yang akan mengikat
kedua pihak. Menerapkan pengawasan lingkungan fisik.
Pengawasan lingkungan fisik berkaitan dengan TB ditujukan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya penularan TB melalui udara dari pasien