• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENDEKATAN SISTEM

1. Pembentukan Kecamatan

2.6. Tugas dan Wewenang Camat

Tugas adalah suatu pekerjaan yang berkaitan dengan status yang harus ditunaikans, sedangkan kewenangan adalah kekuasaan yang sah (legitimate power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power). Kekuasaan itu sendiri adalah kemampuan yang membuat seseorang atau orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Menurut Ensiklopedi Administrasi (1977 : 28), yang dimaksud dengan wewenang adalah : “Hak seseorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan berhasil baik”. Pada sisi lain, tanggung jawab adalah : “keharusan pada seseorang pejabat untuk melaksanakan secara selayaknya segala sesuatu yang telah dibebankan kepadanya”. (Ensiklopedi Administrasi, 1977 : 28). Sedangkan kewajiban adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Antara tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat. Dalam kenyataannya, keempat hal tersebut dapat dibedakan tetapi sulit untuk dipisahkan.

Menurut Terry (1960: 294) bahwa : “authority is the power or the right

to act, to command, or to exact action by others”. Terry (1960 : 299) selanjutnya mengatakan bahwa : “delegation means conferring authority from one executive

or organizational unit to another in order to accomplish particular assignment”. Dengan demikian, kewenangan berkaitan dengan kekuasaan atau hak untuk melakukan atau memerintah, atau mengambil tindakan melalui orang lain. Sedangkan pendelegasian dimaksudkan sebagai pelimpahan kewenangan dari seorang eksekutif atau unit organisasi kepada yang lain untuk menyelesaikan sebagian tugas-tugas tertentu. Artinya, pendelegasian kewenangan dapat berasal dari seorang pejabat eksekutif ataupun dari satu unit organisasional. Pada bagian lain, Terry (1960 : 300) mengemukakan bahwa ada dua alasan penting perlunya pendelegasian kewenangan yakni :

1) Kemampuan seseorang menangani pekerjaan ada batasnya; 2) Perlu adanya pembagian tugas dan kaderisasi kepemimpinan.

Di dalam melaksanakan pendelegasian kewenangan perlu didasarkan pada berbagai prinsip. Koontz, O’ Donnell dan Weihrich (1980 : 425-428) mengemukakan ada 7 (tujuh) prinsip yang diperlukan dalam melakukan pendelegasian kewenangan yaitu :

1) Principle of delegation by results expected; 2) Principle of functional definition;

3) Scalar principle;

4) Authority level principle; 5) Principle of unity of command;

6) Principle of absoluteness of responsibility;

7) Principle of parity of authority and responsibility.

Prinsip pendelegasian berdasarkan hasil yang diperkirakan maksudnya adalah bahwa pendelegasian diberikan berdasarkan tujuan dan rencana yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan demikian, perlu tidaknya sebuah kewenangan didelegasikan akan bergantung apakah hasilnya diperkirakan akan menguntungkan bagi pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan pendelegasian berdasarkan prinsip definisi fungsional dimaksudkan melimpahkan kewenangan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan fungsional agar pekerjaan atau tugas tertentu dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.

Pada sisi lain, pendelegasian kewenangan dilakukan dengan menganut prinsip berurutan berdasarkan hierarkhi jabatan. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip keempat yakni prinsip jenjang kewenangan, artinya kewenangan didelegasikan secara satu tahap demi satu tahap berdasarkan tingkat kewenangan yang dimiliki pejabat atau satu unit organisasi tertentu.

Prinsip kelima menggambarkan bahwa meskipun telah ada pendelegasian kewenangan, tetapi dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan kesatuan komando, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih kegiatan dan tanggung jawab.

Prinsip keenam menggambarkan bahwa pendelegasian kewenangan perlu diimbangi dengan tanggung jawab yang penuh tanpa terlampau banyak

campur tangan dari pemberi delegasi. Termasuk kewenangan untuk mengambil keputusan dan menanggung resiko dari keputusan yang diambilnya.

Prinsip ketujuh yaitu keseimbangan antara kewenangan dan tanggung jawab, artinya bahwa kewenangan yang didelegasikan harus dibarengi dengan tanggung jawab yang seimbang. Semakin besar kewenangan yang diberikan berarti semakin besar tanggung jawab yang harus dipikulnya.

Telah dijelaskan bahwa kewenangan yang dijalankan oleh camat merupakan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota. Dengan demikian tugas camat adalah menjalankan sebagian tugas dan kewajiban Bupati/Walikota di wilayah kerjanya, berdasarkan pendelegasian kewenangan yang diberikan kepadanya.

Dengan demikian, kewajiban camat merupakan turunan atau derivasi dari kewajiban Kepala Daerah tersebut. Dari ketujuh kewajiban Kepala Daerah di atas, ada enam macam kewajiban yang dapat didelegasikan kepada camat dalam rangka membantu Kepala Daerah. Sedangkan kewajiban yang tidak dapat ditugaskan kepada camat hanyalah kewajiban nomor 7 yakni mengajukan Rancangan Peraturan Daerah. Kewajiban lainnya dapat ditugaskan kepada camat untuk dilaksanakan di wilayah kerjanya. Karena kewajiban yang dijalankan camat berasal dari derivasi kewajiban Kepala Daerah (dalam hal ini Bupati/Walikota), maka tanggung jawab terakhir mengenai pelaksanaan kewajiban tersebut tetap berada di tangan Kepala Daerah bersangkutan, sedangkan camat yang menjalankan kewajibannya berdasarkan perintah bertanggungjawab kepada yang memberi perintah (Bupati/Walikota).

Sesuai dengan paradigma Reinventing Government maupun Good Governance, pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota kepada Camat harus dapat memaksimalkan nilai 4E, yakni :

a) efektivitas; (G.R. Terry, 1961) b) efisiensi; (G.R. Terry, 1961).

c) equity/keadilan; (G. Frederickson, 1982) d) ekonomik (E.S. Savas, 1987).

Pendelegasian kewenangan bukan hanya sekedar memindahkan kewenangan yang dijalankan secara langsung oleh Bupati/Walikota kepada Camat, melainkan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian pelayanan kepada masyarakat serta penggunaan dana dan fasilitas publik untuk kepentingan publik. Selain itu, pendelegasian kewenangan tersebut harus dapat memenuhi dan meningkatkan rasa keadilan masyarakat, termasuk didalamnya memperoleh akses pada fasilitas dan akses yang setara – terutama untuk kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Pada sisi lain, pendelegasian kewenangan harus mampu menjadi pengungkit kegiatan ekonomi masyarakat sehingga menjadi lebih produktif. Dengan perkataan lain, pendelegasian kewenangan jangan sampai memperpanjang jenjang birokrasi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi yang membuat masyarakat menjadi tidak produktif dan kalah bersaing dengan mancanegara.

Tujuan pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/ Walikota kepada Camat yaitu :

a) untuk mempercepat pengambilan keputusan berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat.

b) untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat;

c) untuk mempersempit rentang kendali dari Bupati/Walikota kepada Kepala Desa/ Lurah;

d) untuk kaderisasi kepemimpinan pemerintahan.

Dilihat dari asal usul kewenangan yang dijalankan oleh camat, dapat dibedakan antara kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat pada seseorang pejabat karena diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pada masa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, camat sebagai kepala wilayah mempunyai kewenangan atributif sebagaimana diatur di dalam Pasal 80 dan 81 undang-undang tersebut. Kepada setiap orang yang telah dilantik sebagai kepala wilayah, maka pada dirinya secara otomatis telah melekat kewenangan yang diatur di dalam pasal tersebut. Sedangkan menurut Pasal 66 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan camat bersifat delegatif, artinya camat baru memiliki kewenangan

apabila ada tindakan aktif dari Bupati/Walikota mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintahan kepadanya.

Apabila Bupati/Walikota belum mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintahan kepada Camat, apakah Camat tidak mempunyai kewenangan apa-apa? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa Camat praktis tidak lagi mampu menjalankan fungsi dengan baik, karena Camat tidak dapat mengambil keputusan-keputusan strategis yang berkaitan kepentingan publik karena dapat menimbulkan implikasi hukum yang melemahkan bagi Camat. Pendapat kedua, menyebutkan bahwa di dalam pemerintahan tidak boleh ada kekosongan kekuasaan, dengan demikian apabila belum ada ketentuan yang seharusnya, maka ketentuan yang lama masih dapat digunakan, yang terpenting pelayanan kepada masyarakat tidak terlantar (prinsip mengutamakan kepentingan umum).

Dokumen terkait