LAPORAN PENELITIAN
KAJIAN PENYUSUNAN DATA BASE
PENATAAN DAERAH
DI KABUPATEN BANDUNG
Oleh:
Dr. A. Widanarto., Drs. M.Si
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
i
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Kajian Penyusunan Data Base Penataan Daerah di Kabupaten Bandung, dilatarbelakangi oleh pengkajian potensi daerah dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Kabupaten Bandung.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menentukan pilihan terbaik bagi Pengembangan dan Penataan Kewilayahan di Kabupaten Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kemampuan daerah dalam mengimplementasikan otonomi daerah, dan untuk mengetahui kemungkinan pengembangan dan penataan seluruh wilayah di Kabupaten Bandung untuk dilakukan pengembangan dan penataan di tingkat kecamatan. Penelitian ini merupakan aplikasi model pengukuran dan evaluasi terhadap kemampuan potensi yang akan mendiskripsikan dan mengeksplanasikan tingkat kekuatan atau pengaruh variabel yang diamati terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi.
Melalui pendekatan ini dapat diketahui secara obyektif dan mendalam tingkat kemampuan potensi yang dimiliki kecamatan dalam penyelanggaraan pemerintahan melalui pengukuran terhadap indikator dan sub indikator dari berbagai variabel yaitu: demografi, orbitasi, pendidikan kesehatan, prasarana ibadah, sarana olah raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, kesadaran politik, keamanan dan ketertiban masyarakat, pertanian, perikanan, peternakan, ketenagakerjaan, sosial budaya, ekonomi masyarakat, sosial masyarakat, dan aspek pemerintahan.
Data primer dan sekunder diambil dari 31 (tigapuluh satu) kecamatan di Kabupaten Bandung, berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Suatu kecamatan dapat dimekarkan jika kecamatan memiliki potensi dalam interval tinggi (1.008 ≤ TS < 1.680). Dapat dimekarkan dengan syarat jika potensinya dalam interval (644 ≤ TS < 1.008), dan dinyatakan tidak lulus atau ditolak untuk dimekarkan jika masing-masing kecamatan hanya mencapai total skor kurang dari 644.
ii ABSTRACT
The title of this research was A Study of the Creation of a Database for an Arrangement of Localities in Bandung District. Its background was a study of local potentials in attempt to measure and evaluate the variables or criteria of the local potentials required to know a possible arrangement of localities in Bandung District.
The research results were expectedly useful as a material in determining the best choice for the Regional Development and Arrangement in Bandung District. The objective of the research was to obtain a description on the capacity of localities in implementing regional autonomy, and to know the possibility of development and arranging the whole localities in Bandung District to perform development and arrangement in kecamatan (sub district) level. The research was an application of measurement and evaluation models to the capacity of the potentials that describe and explain the strength level or effect of the observed variables on the success of governmental implementation, in order to enhance the implementation of public services, development, and democratization.
By the approach, it could be found out objectively and deeply the capacity of the potensials that the sub-distric possess in implementing governance by measuring the indicators and sub-indicators of some variables, namely: demography,orbitation, health education, religious facility, sport facility, transportation, communication, public lighting, political awareness, security and social order, agriculture, fishoing, husbandry, labor, social-cultural, community economy, social community, and administrative aspects.
Both primary and secondary data were obtained from 31 (thirty one) sub- districs in Bandung District, in form of qualitative and quantitative data . A sub- district might be split if it owns potentials at a high interval (1.008< TS< 1.680). It might be split on condition that its potentials were at an interval of (644< TS< 1.008), and decided as fail or rejected to be split if a sub-district achieved a total score of less than 644.
The evaluation and measurement results of the potentials of sub-district in Bandung District could be explained as follows: The scoring of village monographic secondary data on the 31 sub-districs to be split produced a result that there were 14 (fourteen) sub-districts falling into a category of being feasible to split, namely: Rancabali, Pangalengan, Pacet, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, and Cilaunyi.
iii
KATA PENGANTAR
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah
diganti oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tujuan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam undang-undang
tersebut antara lain adalah untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu cara mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat
adalah dengan membuat pusat-pusat pelayanan di tingkat kecamatan yang di
dahului dengan pemecahan beberapa kecamatan, agar daya jangkau pelayanannya
menjadi optimal. Di Kabupaten Bandung ada keinginan untuk melakukan
pemekaran kecamatan dengan maksud meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Adapun Kajian Penyusunan Database Penataan Daerah yang
dilakukan di Kabupaten Bandung meliputi 31 (tiga puluh satu) kecamatan.
Penyusunan Database Penataan Daerah yang dilakukan dalam bentuk
pemekaran kecamatan dengan harapan rentang kendali pemerintahan akan menjadi
lebih optimal dan institusi pelayanan menjadi lebih dekat dengan masyarakat,
terjaminnya rasa ketenteraman dan ketertiban, dan mampu mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran kecamatan diharapkan akan
berdampak positif bagi peningkatan dan pemerataan pembangunan serta pelayanan
umum.
Hasil laporan akhir ini pada dasarnya masih sangat jauh dari harapan dan
kami mengharapkan masukan dari kawan-kawan. Oleh karena itu pada
iv
telah membantu kajian ini dari awal sampai akhir. Ucapan terima kasih dan
penghargaan saya sampaikan kepada :
1. Bupati Bandung beserta jajarannya yang telah memberikan kepercayaan untuk
menyelenggarakan penelitian ini;
2. Para Camat dan Perangkat Kecamatan se-KabupatenBandung.
3. Para surveyor.
Disadari bawah laporan akhir penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan
dan banyak kekurangan. Saran dan masukan yang bersifat membangun saya terima
untuk perbaikan.
Semoga rekomendasi hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi
Pemerintah Kabupaten Bandung dalam upaya peningkatan dan pemerataan
pembangunan dan pelayanan umum kepada masyarakat
Bandung, April 2014.
Peneliti,
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Manfaat danTujuan Penelitian ... 8
1.4 Kerangka Pemikiran ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 ... 14
2.1.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 22/1999 ... 14
2.1.2. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut UU No. 32/2004 ... 16
2.2. Teori tentang Rentang Kendali Dalam Organisasi ... 19
2.2.1. Definisi Azas Rentang Kendali Dalam Organisasi ... 19
2.2.2. Penerapan Rentang Kendali Dalam Manajemen ... 22
2.2.3. Memahami Hubungan Antara Rentang Kendali Dengan Efektivitas Manajemen Pemerintahan Kecamatan Melalui Pendekatan Sistem ... 23
2.3. Teori Tentang Pemberian Pelayanan Umum ... 26
vi
2.5. Organisasi Kecamatan ... 33
2.6. Tugas dan Wewenang Camat ... 38
2.7. Pendelegasian dan Penarikan Kewenangan ... 42
BAB III METODE PENELITIAN ... 50
3.1 Pendekatan Penelitian ... 50
3.2 Populasi dan Sampel ... 50
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 51
3.4 Operasionalisasi Variabel ... 51
3.5 Teknik Pengolahan Data ... 54
3.6 Waktu dan Tempat Penelitian ... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
4.1 Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung ... 60
4.1.1 Potensi Wilayah Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung 60 4.1.2 Potensi Wilayah Kecamatan Rancabali Kab. Bandung... 64
4.1.3Potensi Wilayah Kecamatan Pasirjambu K. Bandung.... 66
4.1.4 Potensi Wilayah Kecamatan Cimaung Kab. Bandung... 69
4.1.5 Potensi Wilayah Kecamatan Pangalengan Kb. Bandung 72
4.1.6 Potensi Wilayah Kecamatan Kertasari Kab. Bandung .. 75
4.1.7 Potensi Wilayah Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung 78
4.1.8 Potensi Wilayah Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung.. 81
4.1.9 Potensi Wilayah Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung 84
4.1.10 Potensi Wilayah Kecamatan Cikancung Kab. Bandung 87
4.1.11 Potensi Wilayah Kecamatan Cicalengka Kab.Bandung 90
4.1.12 Potensi Wilayah Kecamatan Nagreg Kab. Bandung ... 93
4.1.13 Potensi Wilayah Kecamatan Rancaekek K Bandung .. 96
4.1.14 Potensi Wilayah Kecamatan Majalaya Kb. Bandung... 98
4.1.15 Potensi Wilayah Kecamatan Solokanjeruk K Bandung 101
vii
4.1.17 Potensi Wilayah Kecamatan Baleendah Kab. Bandung... 107
4.1.18 Potensi Wilayah Kecamatan Arjasari Kab. Bandung ... 110
4.1.19 Potensi Wilayah Kecamatan Banjaran Kab. Bandung... 114
4.1.20 Potensi Wilayah Kecamatan Cangkuang Kab. Bandung... 117
4.1.21 Potensi Wilayah Kecamatan Pamengpeuk Kab. Bandung... 120
4.1.22 Potensi Wilayah Kecamatan Katapang Kab. Bandung... 123
4.1.23 Potensi Wilayah Kecamatan Soreang Kab. Bandung ... 126
4.1.24 Potensi Wilayah Kecamatan Kutawaringin Kab. Bandung... 128
4.1.25 Potensi Wilayah Kecamatan Margaasih Kab. Bandung... 131
4.1.26 Potensi Wilayah Kecamatan Margahayu Kab. Bandung... 135
4.1.27 Potensi Wilayah Kecamatan Dayeuhkolot Kab. Bandung ... 137
4.1.28 Potensi Wilayah Kecamatan Bojongsoang Kab. Bandung.... 140
4.1.29 Potensi Wilayah Kecamatan Cileunyi Kab. Bandung... 144
4.1.30 Potensi Wilayah Kecamatan Cilengkrang K Bandung... 146
4.1.31 Potensi Wilayah Kecamatan Cimenyan Kab Bandung... 149
4.2. Pemetaan Kecamatan di Kabupaten Bandung ... 154
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 158
5.1. Kesimpulan ... 158
5.2. Saran ... 158
DAFTAR PUSTAKA... 160
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Variabel/kriteria ... 56 Tabel 3.2. Variabel /Kriteria di atas rata-rata dengan skor 3,6 dengan
kategori potensi cukup ... 57 Tabel 3.3. Kategori dan PilihanTindakan ... 58 Tabel 4.1. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ciwidey
Kabupaten Bandung ... 60 Tabel 4.2. Prioritas Potensi Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung .. 63 Tabel 4.3. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Rancabali
Kabupaten Bandung ... 64 Tabel 4.4. Prioritas Potensi Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung 66 Tabel 4.5. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pasirjambu
Kabupaten Bandung ... 67
Tabel 4.6. Prioritas Potensi Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung 69 Tabel 4.7. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cimaung
Kabupaten Bandung ... 70 Tabel 4.8. Prioritas Potensi Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung . 72 Tabel 4.9. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung ... 73 Tabel 4.10. Prioritas Potensi Kecamatan Pangalengan Kabupaten
Bandung ... 75 Tabel 4.11. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Kertasari
Kabupaten Bandung ... 76 Tabel 4.12. Prioritas Potensi Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung . 78 Tabel 4.13. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pacet Kabupaten
Bandung ... 79 Tabel 4.14. Prioritas Potensi Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung ... 81 Tabel 4.15. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ibun Kabupaten
Bandung ... 82 Tabel 4.16. Prioritas Potensi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung ... 83 Tabel 4.17. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Paseh Kabupaten
Bandung ... 84 Tabel 4.18. Prioritas Potensi Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung ... 86 Tabel 4.19. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cikancung
Kabupaten Bandung ... 87
ix
Tabel 4.21. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung ... 90
Tabel 4.22. Prioritas Potensi Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung 92 Tabel 4.23. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Nagreg Kabupaten
Bandung ... 93 Tabel 4.24. Prioritas Potensi Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung .... 95 Tabel 4.25. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Rancaekek
Kabupaten Bandung ... 96
Tabel 4.26. Prioritas Potensi Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung 98 Tabel 4.27. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Majalaya
Kabupaten Bandung ... 99 Tabel 4.28. Prioritas Potensi Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung . 101 Tabel 4.29. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Solokanjeruk
Kabupaten Bandung ... 102 Tabel 4.30. Prioritas Potensi Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten
Bandung ... 104 Tabel 4.31. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Ciparay Kabupaten
Bandung ... 105 Tabel 4.32. Prioritas Potensi Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung ... 107 Tabel 4.33. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Baleendah
Kabupaten Bandung ... 108
Tabel 4.34. Prioritas Potensi Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung 109 Tabel 4.35. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Arjasari
Kabupaten Bandung ... 111 Tabel 4.36. Prioritas Potensi Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung ... 113 Tabel 4.37. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Banjaran
Kabupaten Bandung ... 114 Tabel 4.38. Prioritas Potensi Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung . 116 Tabel 4.39. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cangkuang
Kabupaten Bandung ... 117
Tabel 4.40. Prioritas Potensi Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung 119 Tabel 4.41. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Pamengpeuk
Kabupaten Bandung ... 120 Tabel 4.42. Prioritas Potensi Kecamatan Pamengpeuk Kabupaten
Bandung ... 122 Tabel 4.43. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Katapang
x
Tabel 4.45. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung ... 126 Tabel 4.46. Prioritas Potensi Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung... 128 Tabel 4.47. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Kutawaringin
Kabupaten Bandung ... 129 Tabel 4.48. Prioritas Potensi Kecamatan Kutawaringin Kabupaten
Bandung ... 131 Tabel 4.49. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Margaasih
Kabupaten Bandung ... 132
Tabel 4.50. Prioritas Potensi Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung 134 Tabel 4.51. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Margahayu
Kabupaten Bandung ... 135
Tabel 4.52. Prioritas Potensi Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung 137 Tabel 4.53. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Dayeuhkolot
Kabupaten Bandung ... 138 Tabel 4.54. Prioritas Potensi Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten
Bandung ... 140 Tabel 4.55. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Bojongsoang
Kabupaten Bandung ... 141 Tabel 4.56. Prioritas Potensi Kecamatan Bojongsoang Kabupaten
Bandung ... 143 Tabel 4.57. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cileunyi
Kabupaten Bandung ... 144 Tabel 4.58. Prioritas Potensi Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung .. 146 Tabel 4.59. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cilengkrang
Kabupaten Bandung ... 147 Tabel 4.60. Prioritas Potensi Kecamatan Cilengkrang Kabupaten
Bandung ... 149 Tabel 4.61. Potensi wilayah pemerintahan Kecamatan Cimenyan
Kabupaten Bandung ... 150 Tabel 4.62. Prioritas Potensi Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung 152 Tabel 4.63. Rangkuman Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten
Bandung ... 153 Tabel 4.64. Pemetaan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bandung ... 154 Tabel 4.65. Perbandingan Potensi Wilayah Kecamatan di Kabupaten
1
1.1. Latar Belakang Penelitian
Masyarakat memerlukan pemerintah karena banyak bagian penting dari
kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi oleh organisasi lain seperti organisasi
swasta profit maupun organisasi non profit. Organisasi swasta profit akan gagal
memenuhi kebutuhan masyarakat menyangkut eksternalitas dan barang publik.
Begitu pula halnya dengan organisasi swasta non profit hanya mampu
memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana, serta terbatas pada
lapisan masyarakat tertentu.
Organisasi pemerintah selain memiliki misi menyelenggarakan
pelayanan publik, juga memiliki misi lainnya, seperti fungsi pengaturan
kehidupan masyarakat, baik menyangkut pengaturan persaingan maupun
pengaturan terhadap perlindungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Rasyid (dalam Widodo, 2001:269) yang menyatakan bahwa :
Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Pandangan umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis. Dewasa ini dampak dari globalisasi telah merubah lingkungan kehidupan manusia dari berbagai aspek, masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap segala perubahan yang terjadi. Kondisi ini pada gilirannya menuntut pemerintah dapat menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat (Public Service) dapat dilaksanakan secara responsif dan aspiratif.
Pemerintah dimaksud adalah pemerintah daerah (local government) yang
daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai
badan eksekutif daerah”. Pemerintah daerah inilah yang diberi kewenangan untuk
melaksanakan otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Common, Flynn
and Melon (1992:139) yang menyatakan Bahwa “…… one of It’s main
recommendations was to give much greater autonomy to managers at the local
level”. Namun kedekatan posisi saja belumlah menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, karena yang lebih penting adanya hal dan kewenangan yang dimiliki
oleh pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakatnya.
Menurut Rasyid (1997), salah satu cara untuk mendekatkan pemerintah
kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi,
sedangkan Riwu Kaho (1988) menyatakan bahwa “sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi timbullah daerah otonom”
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa daerah otonom
adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ndraha (2001) menyebutkan bahwa ada lima posisi daerah yaitu : (1)
sebagai masyarakat hukum, (2) sebagai unit usaha ekonomi, (3) sebagai suatu
lingkungan budaya, (4) sebagai satuan lingkungan, dan (5) sebagai subsistem
politik.
Dengan demikian akan semakin tepat bila desentralisasi tersebut
diselenggarakan oleh daerah sehingga masyarakat akan lebih dekat dengan
pemerintah yang akan sering terjadi kontak baik secara fisik maupun psikologis.
Daerah yang wilayahnya terlalu luas akan menyulitkan jangkauan pemerintah
untuk melayani masyarakatnya, daerah yang demikianlah yang perlu ditata
(pemekaran) menjadi beberapa daerah sehingga rentang kendali menjadi semakin
dekat dan pelayanan kepada masyarakat menjadi terjangkau, karena rentang
kendali dan proporsi perlakuan dan tindakan pelayanan yang tidak seimbang
adalah embrio awal untuk pembentukan suatu daerah otonom baru bukanlah
Konsekuensi dari penataan (pemekaran) daerah secara praktis akan terjadi
perubahan struktur organisasi pemerintahan, perubahan luas wilayah yang diikuti
dengan perubahan batas-batas wilayah dan perubahan jumlah penduduk.
Perubahan ini akan berimplikasi terhadap perubahan-perubahan lain yang lebih
esensial, khususnya dalam upaya pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Penataan (Pemekaran dan Penggabungan) daerah dalam hal ini dapat
dipandang sebagai upaya pengembangan organisasi untuk menghadapi berbagai
tantangan perkembangan jaman dan tuntutan pelayanan dari masyarakat minimal
optimal terhadap pelayanan kebutuhan dasar manusia (basic Need) seperti
pendidikan dan kesehatan. Organisasinya diharapkan dapat menyesuaikan diri
dengan melakukan perubahan-perubahan berencana yang selanjutnya dapat
menjamin optimalisasi dan efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono (2001) bahwa tujuan organisasi
pemerintahan daerah dibentuk adalah (1) untuk melayani kepentingan masyarakat
sebagai warga yang berposisi sebagai konsumen (Customer) dan pemegang saham
(stakeholders) dan (2) adanya misi tertentu yang harus dijalankan dalam rangka
pencapaian tujuan, bukan hanya sekedar menjalankan perundang-undangan.
Perubahan struktur organisasi dan rentang wilayah provinsi yang diikuti
dengan pengurangan jumlah kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan akan
berimplikasi terhadap perubahan rentang kendali pimpinan organisasi. Rentang
pengawasan yang dilaksanakan aparat akan lebih sempit dibanding sebelum
penataan (pemekaran), sehingga aparat mempunyai kesempatan yang lebih
banyak untuk memberikan perhatian dan pengendalian terhadap sumber daya
manusia dan sumber daya alam diwilayahnya. Pada hakekatnya pelayanan kepada
masyarakat tidaklah semata-mata aktivitas pemerintah. Keberhasilan jalannya
pemerintahan dan pembangunan justru memerlukan keterlibatan masyarakat.
Begitu pula keberhasilan penataan (pemekaran) daerah juga perlu didukung oleh
mendekatkan dan mengoptimalkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat,
mempercepat pertumbuhan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut. Partisipasi masyarakat akan meningkat karena
akses yang lebih terbuka serta pengawasan yang lebih efektif karena wilayah pengawasan relatif lebih sempit”.
Perubahan luas wilayah atau batas-batas daerah membawa konsekuensi
terhadap jangkauan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat karena
peluang terjadinya gangguan pada saluran komunikasi dapat diperkecil. Dengan
semakin dekatnya jarak antara wilayah provinsi dengan kabupaten maupun
provinsi dengan kecamatan dan provinsi dengan kelurahan maka informasi dari
provinsi akan cepat sampai kepada masyarakat baik di kabupaten, kecamatan
maupun desa/kelurahan.
Struktur dan luas wilayah yang lebih sempit berimplikasi juga pada
aktifitas koordinasi struktur dengan unit organisasi yang ramping sesuai dengan prinsip “ramping struktur kaya fungsi” dengan demikian koordinasi yang dilakukan akan lebih mudah. Menurut Kristiadi (dalam Lotulung, 1994) bahwa
keuntungan organisasi ramping antara lain : (1) pelayanan kepada masyarakat
akan menjadi lebih baik karena prosedur lebih pendek dan pengambilan keputusan
lebih cepat, (2) komunikasi antar tingkatan manajemen menjadi lebih lancar, dan
(3) koordinasi akan menjadi lebih lancar.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dimensi utama yang
menjelaskan efektif tidaknya penataan (pemekaran) daerah adalah pengawasan,
komunikasi, dan koordinasi yang kesemuanya turut menentukan terhadap tingkat
pelayanan masyarakat. Semakin jauh penduduk dari pusat pemerintahan, semakin
kecil memperoleh sentuhan pelayanan. Permintaan terhadap pelayanan semakin
meningkat menuntut pusat-pusat pemerintahan memperluas daerah layanannya.
Akan tetapi pusat-pusat pelayanan memiliki keterbatasan (radius) jangkauan,
sehingga diperlukan pusat-pusat pelayanan lain yang dapat memenuhi kebutuhan
pelayanan masyarakat. Dengan demikian dengan adanya penataan (pemekaran)
menjangkau wilayah-wilayah pemukiman yang sebelumnya terpencil dan
pelayanan pemerintah dapat tersentuh secara merata ke seluruh masyarakat yang
pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab I Pasal 1 huruf 5 dikemukakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001, hingga saat ini
hampir 6 (enam) tahun (setelah dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 Tahun
2004), telah banyak ditetapkan berbagai undang-undang tentang penataan daerah
(baik pemekaran/pembentukan provinsi, kabupaten dan kota).
Dalam perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah sejak
dikelurakannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga digantinya
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, telah banyak dilakukan pembentukan
daerah otonom baru. Hal ini dapat dimaklumi karena pemekaran/pembentukan
daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan organisasi pemerintah kepada
masyarakat. Melalui pemekaran/pembentukan daerah diharapkan tujuan kebijakan
otonomi daerah seperti peningkatan pelayanan, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat dapat terwujud.
Adanya aspirasi yang berkembang yang menghendaki dilakukannya
pengembangan dan penataan daerah di Kabupaten Bandung perlu mendapat
respon dari berbagai pihak terutama dari jajaran DPRD Kabupaten sebagai wakil
rakyat dan pemerintah daerah. Hal ini seiring dengan penjelasan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat
satu kesatuan masyarakat hukum, unit usaha ekonomi, lingkungan budaya, satuan
lingkungan, dan sebagai subsistem politik dari Provinsi Jawa Barat.
Persoalannya apakah aspirasi yang muncul ini dapat menjamin
peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di
Kabupaten Bandung dan sekitarnya. Untuk kepentingan tersebut perlu terlebih
dahulu dilakukan pengkajian terhadap potensi dan masalah yang ada di Provinsi
Jawa Barat Khususnya di Kabupaten Bandung, sekaligus menggali aspirasi
masyarakat.
Pengkajian kemungkinan pengembangan dan penataan kewilayahan
(Daerah otonom) di Provinsi Jawa Barat khususnya pengembangan dan penataan
kewilayahan Kabupaten Bandung sejalan dengan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “pembentukan daerah
dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Salah satu prosedur pembentukan/pemekaran daerah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo. PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa ada
kemauan politik dari pemerintahan daerah dan masyarakat yang bersangkutan.
Di samping itu pengkajian ini juga dimaksudkan untuk memenuhi syarat
lainnya, seperti tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo
PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan berdasarkan
kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah
penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya Otonomi Daerah. Dalam penjelasan peraturan pemerintah
dimaksud disebutkan pula bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan
penggabungan daerah otonom memerlukan penilaian dengan menggunakan
indikator yang tersedia.
Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan pengkajian potensi daerah
dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah
yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Provinsi
1.2. Perumusan Masalah
Penataan/Pembentukan suatu daerah otonom setidaknya harus memenuhi
syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administrasi untuk
provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota
yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk
dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan syarat
administrasi untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/
kota dan bupati/walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan
Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Adapun syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan
daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan dan
faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, sedangkan
syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan
provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan
4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan
prasarana pemerintahan.
Selain itu, dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 disebutkan bahwa pemekaran suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah
atau lebih setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan,
untuk provinsi adalah 10 tahun, kabupaten/kota 7 tahun sedang kecamatan 5
tahun.
Dalam konteks upaya pengembangan dan penataan wilayah di Provinsi
Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung, permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah potensi wilayah kecamatan di Kabupaten Bandung dalam
mengimplementasikan otonomi daerah ?
2. Bagaimana pemetaan kecamatan di Kabupaten Bandung, sebagai peluang
untuk pemekaran kecamatan ?
Masalah penelitian dibatasi dengan fokus Peraturan Pemerintah Nomor
terhadap variabel yang merupakan persyaratan pembentukan dan kriteria
pemekaran daerah, meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk/kependudukan, luas wilayah dan pertimbangan
lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah seperti faktor
keamanan, ketersediaan sarana pemerintahan, dan rentang kendali.
1.3. Manfaat dan Tujuan Kegiatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan
bagi DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk menentukan
pilihan terbaik bagi Pengembangan dan Penataan Kewilayahan di Kabupaten
Bandung.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk Mengetahui gambaran tingkat kemampuan daerah Khususnya
Kabupaten Bandung dalam mengimplementasikan otonomi daerah;
2. Untuk Mengetahui kemungkinan pengembangan dan penataan seluruh
wilayah di Kabupaten Bandung untuk dilakukan pengembangan dan
penataan di tingkat Kecamatan (pemekaran Kecamatan);
1.4. Kerangka Pemikiran
Penelitian penataan dan pengembangan Kabupaten Bandung akan dibagi
secara bertahap sesuai kerangka pemikiran sebagai berikut :
1. Pengembangan dan penataan di tingkat Desa (Pemekaran Desa)
Tujuan Kebijakan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokratisasi,
keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat
dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Sejalan dengan itu, maka otonomi daerah ditempatkan secara utuh pada
daerah kabupaten/kota, dan pemberian kewenangan otonomi kepada daerah
kabupaten/kota didasarkan kepada asas desentralisasi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
Tercapainya tujuan kebijakan otonomi daerah, sangat ditentukan oleh
tingkat kemampuan desa/kelurahan sebagai unit pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan umum, penyelenggaraan
pembangunan dan peningkatan demokratisasi.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desa dapat
dibentuk di wilayah kecamatan dengan perda berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa lebih lanjut menetapkan
bahwa pembentukan desa baru wajib memperhatikan jumlah penduduk, luas
wilayah, sosial budaya, potensi kelurahan, sarana dan prasarana pemerintahan. PP
tersebut diperjelas dengan Permendagri yang mengatur tentang Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Desa.
Ketentuan tersebut membuka peluang untuk membentuk desa baru
dengan cara pemecahan desa sepanjang ada aspirasi masyarakat dan pembentukan
desa dapat memenuhi tujuan berupa terciptanya efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan umum, pembangunan dan demokratisasi pada unit
pemerintahan terkecil.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka diperlukan pengukuran dan
penilaian terhadap potensi desa yang dimiliki dan dapat digunakan untuk menjadi
dasar layak tidaknya pembentukan desa baru.
Hasil pengukuran memperhatikan faktor utama yang terdiri dari
akumulasi jumlah penduduk dan jumlah kepala keluarga dan faktor pendukung
yang merupakan jumlah skor tertentu dari tingkat kemampuan potensi yang
merupakan dasar penilaian apakah suatu desa layak atau tidak untuk dipecah.
Penilaian tingkat kemampuan potensi dalam rangka pemecahan Desa adalah
penilaian terhadap potensi desa induk dan rencana pembentukan desa. Hasil
lulus/layak, lulus bersyarat/cukup layak dan tidak lulus/tidak layak. Hasil
penilaian yang merupakan rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut :
1) Jika calon desa induk dan calon desa pemecahan memenuhi syarat menurut
faktor utama dan lulus/layak menurut faktor pendukung, maka pilihan
tindakan yang diambil adalah diusulkan pemecahan desa atau pembentukan
desa baru;
2) Jika calon desa induk dan calon desa pemecahan memenuhi syarat menurut
faktor utama dan lulus bersyarat/cukup layak atau tidak lulus/tidak layak
menurut faktor pendukung, maka pilihan tindakan yang diambil adalah
diusulkan pemecahan desa atau pembentukan desa baru, diikuti dengan
pengembangan potensinya menuju lulus/layak dalam jangka waktu
tertentu;
3) Jika salah satu calon desa induk dan calon desa pemecahan tidak
memenuhi syarat menurut faktor utama dan lulus/layak, lulus
bersyarat/cukup layak atau tidak lulus/tidak layak menurut faktor
pendukung, maka tidak dapat diusulkan pemecahan desa atau
pembentukan desa baru.
2. Pengembangan dan penataan di tingkat Kecamatan (Pemekaran
Kecamatan)
Tujuan Perbaikan otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan, dan pemerataan,
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004, tujuannya adalah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Sejalan dengan itu, maka otonomi daerah ditempatkan secara utuh pada
Kabupaten/Kota didasarkan kepada asas desentralisasi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
Tercapainya tujuan otonomi daerah, sangat ditentukan oleh tingkat
kemampuan wilayah kerja kecamatan sebagai salah satu unit pemerintahan
terdekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan umum, penyelenggaraan
pembangunan dan peningkatan demokratisasi. Pemekaran kecamatan bertujuan
untuk menciptakan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum,
pembangunan dan demokratisasi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka
diperlukan pengukuran dan penilaian terhadap potensi kecamatan yang dimiliki
dan dapat digunakan untuk menjadi dasar layak tidaknya pemekaran kecamatan.
Adapun potensi yang dianggap reliabel dalam rangka pemekaran
kecamatan dapat diukur dan dinilai pada 19 (sembilan belas) variabel penelitian
antara lain demografi, orbitrasi, pendidikan, kesehatan, keagamaan, sarana olah
raga, transportasi, komunikasi, penerangan umum, politik, kamtibmas, pertanian,
perikanan, peternakan, kehutanan, pertambangan, ketenagakerjaan, sosial budaya,
ekonomi masyarakat, kondisi sosial masyarakat dan aspek pemerintahan.
Hasil pengukuran adalah jumlah skor tertentu dari tingkat kemampuan
potensi yang merupakan dasar penilaian apakah suatu kecamatan layak atau tidak
untuk dimekarkan. Penilaian tingkat kemampuan potensi dalam rangka pemekaran
kecamatan adalah penilaian terhadap potensi kecamatan induk dan kecamatan
rencana pemekaran. Hasil penilaian potensi dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga)
tingkatan hasil penilaian, yaitu tinggi, cukup, dan rendah.
Hasil penilaian yang merupakan rekomendasi kebijakan adalah
sebagai berikut :
1. Jika kecamatan induk dan kecamatan yang akan dibentuk potensinya tinggi,
maka pilihan tindakan yang diambil adalah mengusulkan pemekaran
kecamatan;
2. Jika kecamatan induk dan kecamatan yang akan dibentuk potensinya Cukup,
maka pilihan tindakan yang diambil adalah melakukan pemekaran kemudian
minimal 3 atau 5 tahun untuk dievaluasi. Jika tidak memenuhi persyaratan
dalam waktu tersebut, maka dapat diusulkan untuk digabung kembali dengan
kecamatan induk;
3. Jika kedua unit pemerintahan atau salah satu unit pemerintahan dimaksud
potensinya rendah, maka pilihan tindakan yang diambil adalah menunda
pemekaran kecamatan. Bagi kecamatan yang potensinya rendah disarankan
untuk melakukan pembinaan potensi menuju kategori cukup, dan setelah
potensinya cukup diadakan pengembangan potensi hingga layak untuk
diadakan pemekaran kecamatan. Namun, bila potensi kecamatan sangat
rendah maka tidak dapat dilakukan pemekaran kecamatan.
Selain itu, pembentukan kecamatan juga harus memperhatikan aspirasi
masyarakat yang berkembang. Jika hasil survey menunjukkan lebih dari 50%
masyarakat menghendaki pembentukan kecamatan baru, maka pemekaran dapat
dilakukan. Demikian juga, bila hasil survey tentang pelayanan kepada masyarakat
menunjukkan lebih dari 50% menjawab bahwa pelayanan kepada masyarakat
buruk atau rendah, maka pemekaran kecamatan dapat dilakukan.
Jika dicermati pola pengembangan kewilayahan di atas, tampaknya untuk
mendukung terwujudnya good governance (kepemerintahan yang baik) perlu dilakukan kajian yang bersifat strategis yaitu Kajian Penyusunan Data Base
Kerangka Pemikiran
Tahap I
Pengembangan dan Penataan wilayah di Tingkat Desa/Kelurahan
Pemekaran Desa/Kelurahan
Aspiran Masyarakat
Potensi Wilayah
Tingkat pelayaanan
dan ketersediaan
layanan
Tahap II
Pengembangan dan Penataan wilayah di Tingkat Kecamatan
Pemekaran Kecamatan
Aspiran Masyarakat
Potensi Wilayah
Tingkat pelayaanan
dan ketersediaan
layanan
Peningkatan kesejahteraan
14
2.1 Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004
2.1.1. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut Undang –
undang Nomor 22 Tahun 1999
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menawarkan perubahan yang signifikan dalam
sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Dikatakan demikian karena undang-undang tersebut merupakan “kontra-konsep” terhadap undang-undang yang lama karena adanya perbedaan filosofi serta paradigma yang mendasarinya. Secara
garis besar menurut Sadu Wasistiono (2005:4) perubahan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Dari filosofi “keseragaman” berubah menjadi filosofi “keanekaragaman dalam
kesatuan. Berdasarkan filosofi ini, daerah diberi kebebasan yang luas untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
b. Dari paradigma administratif yang mengutamakan daya guna dan hasil guna
pemerintahan menjadi paradigma demokratisasi, partisipasi masyarakat serta
pelayanan.
c. Tugas utama pemerintah daerah yang semula sebagai promotor pembangunan
berubah menjadi pelayan masyarakat.
d. Dari dominasi eksekutif (executive heavy) berubah ke arah dominasi legislative (legislative heavy).
e. Pola otonomi yang digunakan adalah a-simetris, menggantikan pola otonomi
simetris.
f. Pengaturan terhadap desa yang terbatas, menggantikan pengaturan yang luas
g. Penggunaan pendekatan “besaran dan isi otonomi” (size and content approach) dalam pembagian daerah otonom, menggantikan pendekatan berjenjang (level approach).
Berbagai perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah sebagaimana dikemukakan di atas, mencakup pula perubahan mengenai
kedudukan kecamatan dan camat. Dalam Pasal 1 huruf (m) Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa : “Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota”. Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu sebagai berikut :
1) Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, melainkan wilayah kerja. Sebagai
wilayah kerja, kecamatan bukan lagi wilayah kekuasaan dari camat tetapi
areal tempat camat bekerja.
2) Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, bukan lagi
kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti masa Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974. Konsekuensi logisnya, camat bukan lagi penguasa
tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan.
Perubahan tersebut diatur lebih tegas di dalam pasal 66 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pada ayat (1) disebutkan bahwa : “Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan”. Pada ayat (2) dikemukakan pula bahwa : “Kepala Kecamatan disebut Camat”.
Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, diatur pula tentang Kecamatan. Pada Pasal 120 ayat (2) dikemukakan bahwa : “ Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan”.
Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat membawa
dampak pada kewenangan yang dijalankan oleh camat. Karena bukan lagi kepala
wilayah, camat tidak memiliki kewenangan atributif sebagaimana diatur pada
dalam peraturan perundang-undangan lainnya di luar undang-undang. Di dalam
Pasal 66 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa : “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/
Walikota”, artinya kewenangan yang dijalankan oleh camat merupakan
kewenangan delegatif yang diberikan oleh Bupati/Walikota. Delegasi kewenangan
tersebut dari pejabat (Bupati/Walikota) kepada pejabat (Camat). Luas atau
terbatasnya delegasi kewenangan dari Bupati/Walikota kepada camat sangat
bergantung pada keinginan politis dari Bupati/ Walikota bersangkutan.
2.1.2. Perubahan Paradigma tentang Kecamatan Menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak berusia panjang.
Setelah dijadikan hukum positif selama lima tahun, undang-undang tersebut
diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Secara esensi menurut
Sadu Wasistiono, perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 antara lain :
1. Menggunakan filosofi keanekaragaman dalam kesatuan.
2. Paradigma politik yang digunakan adalah dalam rangka demokratisasi,
pemerataan dan keadilan.
3. Penambahan paradigma ekonomi dengan menekankan pada daya saing daerah
dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat.
4. Penambahan paradigma administrasi dengan menekankan pada perlunya
efektivitas dan efisiensi.
5. Memberi tekanan pada pelayanan masyarakat sebagai fokus utama untuk
mencapai hasil berupa kesejahteraan rakyat.
6. Prinsip otonomi yang digunakan adalah otonomi yang seluas-luasnya, nyata
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar
7. Perubahan pendekatan kewenangan menjadi pendekatan urusan
pemerintahan dalam pengalokasian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Sedangkan esensi perubahan pada kecamatan, kelurahan dan desa dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengaturan Mengenai Kecamatan
Perubahan pengaturan mengenai kecamatan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun
2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kecamatan secara eksplisit dinyatakan sebagai perangkat daerah
Kabupaten/Kota.
b. Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah.
c. Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, meliputi :
1). mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
2). mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum;
3) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan;
4) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum;
5) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan;
6) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan.
7) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa
atau kelurahan.
d. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah
Kabupaten/Kota dari PNS yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kecamatan lebih
banyak menjalankan fungsi mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang ada di
kecamatan, selain menjalankan fungsi - fungsi operasional yang didelegasikan
oleh Bupati/Walikota kepada Camat.
2. Pengaturan Mengenai Kelurahan
Perubahan pengaturan mengenai kelurahan berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Lurah memperoleh pelimpahan wewenang dari Bupati/Walikota;
b. Lurah mempunyai tugas lainnya, selain yang berasal dari pelimpahan
wewenang Bupati/Walikota, meliputi :
1) pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan ;
2) pemberdayaan masyarakat ;
3) pelayanan masyarakat ;
4) penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum ; dan
5) pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
c. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS yang
menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/
Walikota melalui Camat.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Kelurahan lebih
banyak menjalankan fungsi pelaksanaan yang bersifat operasional, dengan
kewenangan yang didelegasikan secara langsung dari Bupati/Walikota tanpa
melalui Camat (seperti pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999).
3. Pengaturan Mengenai Desa
Perubahan pengaturan mengenai desa berdasarkan Undang-undang
a. Desa di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi Kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah Desa
bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
b. Sekretaris Desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan
Pengangkatannya dilakukan secara bertahap
c. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa, dengan
suara terbanyak (simple majority).
d. Pemilihan Kepala Desa dapat menggunakan hukum adat setempat,
sepanjang hukum adat tersebut masih berlaku.
e. Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
f. Badan Perwakilan Desa (BPD) diganti dengan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dengan fungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala
Desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
g. Pendapatan Desa yang penting adalah bagi hasil pajak daerah dan retribusi
daerah Kabupaten/Kota serta bagian dari dana perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota, bukan hanya
sekedar bantuan seperti yang diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999.
2.2. Teori tentang Rentang Kendali dalam Organisasi
2.2.1. Definisi Asas Rentang Kendali dalam Organisasi
Rentang kendali merupakan salah satu asas yang diperlukan untuk
menjalankan organisasi. Untuk memberikan kesamaan pandangan mengenai
pengertian rentang kendali, perlu terlebih dahulu dikemukakan beberapa definisi. Fred Luthhans (1981:452) mendefinisikan ”rentang kendali sebagai jumlah bawahan yang secara langsung melapor kepada atasan”. Luthans tidak
memberikan batasan mengenai berapa jumlah optimal dari bawahan yang melapor
Chris Argyris (1960:13) menulis bahwa prinsip pengendalian
menyatakan bahwa efisiensi administrasi dapat ditingkatkan dengan membatasi
rentang kendali dari seorang pimpinan dengan membatasi rentang kendali dari
seorang pimpinan dengan tidak lebih dari lima atau enam bawahan yang bekerja
secara berkait.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa rentang kendali atau rentang
manajemen adalah jumlah bawahan yang secara langsung bertanggungjawab
kepada seorang atasan tertentu.
Mengenai batasan luasnya rentang kendali dalam suatu organisasi
ternyata terdapat perbedaan pendapat para ahli. Barkdull (Stoner, 1986a:355)
tidak memberikan batasan yang pasti mengenai luasnya rentang kendali yang
optimal, tetapi menyebutkan adanya tujuh faktor yang dipandang mempengaruhi
rentang manajemen yaitu :
1. kesamaan fungsi yang disupervisi;
2. jarak geografis dan fungsi yang disupervisi;
3. kerumitan fungsi yang disupervisi;
4. arahan dan pengendalian yang diperlukan bawahan;
5. koordinasi yang diperlukan supervisor;
6. perencanaan yang diperlukan supervisor;
7. bantuan organisasi yang diterima supervisor.
Berbeda dengan pendapat di atas, Pfiffner dan Sherwood (1961:315)
secara jelas mengemukakan bahwa jumlah orang-orang yang diawasi berkembang
antara 12 sampai 20 orang. Tetapi kepemimpinan eksekutif akan berjalan lebih
baik dengan kelompok yang lebih kecil.
Sedangkan Pariata Westra dan kawan-kawan (1977:315) menyebutkan
bahwa rentang kontrol untuk satuan utama berkisar antara 3-10 orang bawahan
sedangkan untuk satuan lanjutan berkisar antara 10-20 orang bawahan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cukup sulit untuk
yang harus dijalankan oleh seorang manajer. Untuk itu Herbert A. Simon (Pfiffner
& Sherwood, 1961:154-155) mengungkapkan mengenai rentang kendali:
a. Pertama, tidak ada seorangpun yang secara nyata mengetahui dengan tepat
jumlah orang-orang yang dapat dikendalikan;
b. Kedua, kesemuanya bergantung pada beberapa faktor seperti kepribadian dari
eksekutifnya, rutinitas dari berbagai sifat pekerjaan, tingkatan penyebaran
geografis, perlunya segera suatu keputusan diambil dan tipe dari program yang
diadministrasikan, yang kesemuanya merupakan faktor-faktor utama yang
penting untuk mendefinisikan hubungan pengendalian.
Untuk mempermudah menentukan luasnya rentang kendali yang dapat
dijalankan oleh manajer, Karen dan Levhari (Stoner; 1986a:357-358) juga
memberikan pedoman. Pedoman tersebut mencakup faktor-faktor yang berkaitan
dengan situasi, bawahan dan manajer yaitu sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi, rentang manajemen yang sesuai
relatif dapat luas apabila :
- pekerjaan cukup rutin;
- operasi cukup stabil;
- pekerjaan bawahan sama;
- pada umumnya bawahan dapat bekerja secara mandiri;
- prosedur dan metoda telah ditetapkan dengan baik dan telah diformalkan;
- pekerjaan tidak membutuhkan pengendalian atau supervisi yang tinggi. 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan bawahan, rentang yang sesuai dapat luas
apabila :
- bawahan cukup terlatih baik dalam melaksanakan pekerjaan;
- bawahan tidak menyukai supervisi yang ketat dalam melaksanakan
3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan manajer, rentang manajemen yang sesuai
relatif dapat luas apabila :
- manajer cukup terlatih dengan baik dan sangat mampu;
- manajer menerima bantuan dalam melaksanakan aktivitas supervisinya;
- manajer tidak banyak memiliki aktivitas tambahan yang non-supervisi;
- manajer lebih menyukai gaya supervisi yang cukup longgar daripada
supervisi yang ketat.
Melihat hubungan kerja antara Camat dengan pemerintahan Desa/
Kelurahan yang ada diwilayahnya maka rentang kendali yang dilaksanakan oleh
Camat adalah rentang kendali ke luar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi luasnya rentang kendali keluar
yaitu :
a. kepribadian pemimpinnya;
b. jenis pekerjaan organisasi bawahan;
c. keadaan geografis;
d. jarak antara kecamatan dengan desa-desa yang dibina;
e. Sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi.
2.2.2. Penerapan Rentang Kendali di Dalam Manajemen
Meskipun merupakan asas yang diperlukan untuk menjalankan
organisasi, dalam kegiatan manajemen rentang kendali kurang memperoleh
perhatian yang memadai. Padahal menurut Stoner (1986 : 350), ada dua alasan
utama mengenai pemilihan rentang manajemen merupakan hal yang penting :
Pertama, rentang manajemen mempengaruhi pendayagunaan manajer secara
efisien dan prestasi yang efektif dari bawahan mereka. Rentang yang terlalu luas
dapat berarti bahwa manajer yang bersangkutan terlalu memaksakan diri mereka
sendiri dan karenanya bawahan mereka menerima pedoman dan kontrol yang
terlalu sedikit. Rentang kendali yang terlalu sempit dapat berarti bahwa manajer
kurang didayagunakan. Kedua, ada hubungan antara rentang manajemen dengan
Selain pendapat di atas, ada berbagai alasan lain yang menunjukkan
bahwa asas rentang kendali semakin diperlukan, terlebih lagi pada manajemen
wilayah seperti yang dijalankan oleh para Camat. Alasan-alasan tersebut antara
lain :
a. Bahwa organisasi ibarat organisme yang hidup dan berkembang. Pertumbuhan
dapat bersifat horizontal yaitu melebar dengan cara menambah bagian-bagian
ataupun berkembang secara vertikal yaitu dengan menambah jenjang atau
adanya cabang-cabang diluar organisasi inti.
b. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi diperlukan lebih
banyak orang yang dipercaya untuk mengawasi bagian – bagian ataupun
cabang-cabang organisasi yang ada, sebab kemampuan seorang manajer untuk
mengawasi bawahannya relatif terbatas.
c. Adanya kecenderungan untuk mengadakan desentralisasi di dalam organisasi.
Hal ini disebabkan oleh semakin kompleksnya tujuan yang harus dicapai
ataupun semakin besarnya ukuran organisasi. John Naisbitt (1982) dalam
bukunya ”Megatrends” juga menyebutkan adanya kecenderungan perubahan
orientasi dari sentralisasi ke arah desentralisasi.
d. Dihubungkan dengan pokok pembahasan, maka terdapat kecenderungan
perkembangan jumlah organisasi pemerintah Desa sebagai subsistem
organisasi pemerintah Kecamatan akibatnya adanya pemecahan Desa ataupun
pembentukan Desa baru. Pemecahan Desa terutama disebabkan oleh
bertambahnya jumlah penduduk serta semakin kompleksnya tugas-tugas-tugas
yang harus ditangani oleh pemerintah Desa.
Rentang kendali Camat terhadap desa-desa/kelurahan yang ada
dibawahnya apabila bisa dioptimalkan maka dapat meningkatkan efektivitas
manajemen pemerintahan Kecamatan.
2.2.3. Memahami Hubungan antara Rentang Kendali dengan Efektivitas Manajemen Pemerintahan Kecamatan Melalui Pendekatan Sistem
Dari berbagai uraian sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
berbicara mengenai hubungan antara sasaran yang telah ditetapkan dengan hasil
dicapai. Cara berpikir yang paling tepat untuk memahami hubungan tersebut
adalah memalui pendekatan sistem.
Berbagai pendapat mengenai sistem dan model berpikir sistem telah
dikembangkan para ahli. Bertalanffy (Suriasumantri; 1981:10) misalnya
mengemukakan bahwa sistem terbuka dapat ditandai dengan beberapa sifat
sebagai berikut :
1. Sistem itu mempunyai tujuan;
2. Suatu sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh;
3. Sistem itu memiliki sifat terbuka;
4. Satu sistem mempunyai atau melakukan kegiatan transformasi;
5. Dalam sistem terdapat saling kaitan;
6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol.
Untuk menyederhanakan uraian mengenai pengertian sistem sehingga
lebih mudah dipahami, maka sistem dapat digambarkan dalam berbagai model.
Dihubungkan dengan pokok pembahasan mengenai pemahaman hubungan antara
rentang kendali dengan efektivitas manajemen pemerintahan kecamatan, maka
model sistem tersebut dapat digambarkan kembali secara lengkap sebagai berikut
GAMBAR 2.1
MODEL PENDEKATAN SISTEM
Pendekatan sistem di atas sejalan dengan hakekat pengendalian. Menurut
Anthony, Dearden dan Bedford (1985:4) bahwa pengendalian adalah
mengarahkan seperangkat variabel (mesin, manusia, peralatan) kearah tercapainya
sasaran atau tujuan. Dalam suatu sistem, variabel tersebut menrupakan unsur
masukan dan sasaran merupakan untuk keluaran, sedangkan pengendalian
termasuk kedalam unsur proses. Oleh Anthony dan kawan-kawan (1985:4) juga
ditegaskan bahwa pengendalian adalah cara-cara untuk memastikan bahwa
anggota organisasi akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Dalam memahami hubungan antara rentang kendali dengan efektivitas
manajemen pemerintahan kecamatan diperlukan pendekatan sistem, sebab
menurut Winardi (1987:63) di dalam manajemen modern, pendekatan sistem
merupakan suatu ”conditio sine quanon”. Kecamatan dan Desa adalah salah satu
bentuk organisasi pemerintahan dengan manajemen modern sehingga memerlukan
pendekatan dan cara berpikir sistem.
Dari diagram di atas, secara teoritis dapat diketahui bahwa keluaran
suatu organisasi pemerintahan baik berupa pelayanan kepada masyarakat ataupun
pencapaian sasaran kegiatan akan ditentukan oleh unsur masukan dan proses.
Melalui penelitian, secara faktual akan dilihat mengenai seberapa jauh hubungan
Balikan : Tanggapan dari masyarakat
antara perubahan proses terhadap keluaran. Perubahan proses berupa optimalisasi
rentang kendali camat terhadap desa bawahan.
Agar dapat diperoleh gambaran yang nyata mengenai hubungan tersebut,
maka untuk unsur masukan, unsur umpan balik maupun unsur lingkungan
digunakan asumsi bahwa kualitas dan kuantitas unsur-unsur tersebut relatif sama.
Oleh karena itu diperlukan lokasi penelitian sama yang memenuhi asumsi
tersebut.
Dengan lokasi penelitian yang sama diharapkan tersedianya lingkungan
politik dan ekonomi yang sama pula baik di lingkungan regional maupun di
tingkat lokal.
Umpan balik berupa tanggapan dari masyarakat menurut pendapat
Anthony dan Herzlinger (1980), kurang berpengaruh terhadap proses organisasi
nirlaba, terlebih lagi jika sumber dananya tidak langsung berasal dari masyarakat.
2.3. Teori Tentang Pemberian Pelayanan Umum
Wujud yang paling nyata dari tugas, kegiatan atau fungsi yang
dialaksanakan oleh suatu sistem pemerintahan adalah pelayanan masyarakat.
Keseluruhan aspek pemerintahan negara yang meliputi aspek kelembagaan,
ketatalaksanaan dan sumber daya manusia, senantiasa mengarah kepada upaya
peningkatan efisiensi dan profesionalisme fungsi pelayanan. Tugas umum
pemerintahan dan pembangunan memiliki pengertian yang saling memperkuat
karena pelayanan kepada masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya merupakan
hakekat dati tugas umum pemerintahan itu sendiri.
Menelusuri lebih jauh makna pelayanan, sebenarnya secara umum istilah
ini sering dipergunakan oleh berbagai pihak dengan istilah-istilah lain, misalnya
pelayanan publik, pelayanan masyarakat, pelayanan pemerintah, pelayanan
umum, pelayanan sipil dan lain sebagainya. Paham demokrasi yang sekarang ini
dianut pemerintah mempunyai konsekuensi bahwa pemerintah itu milik
masyarakat, sehingga lebih banyak memberi wewenang kepada masyarakat
pemerintah (melayani) terkait langsung dengan pelayanan kepada masyarakat
sebagai unsur-unsur yang terlibat dalam kegiatan pelayanan.
Pengertian pelayanan umum menurut Sadu Wasistiono (2001:51), mengemukakan bahwa: ”Pelayanan umum adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta, atas nama pemerintah maupun pihak swasta kepada
masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat.” Seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai
pemenuhan tuntutan dan kebutuhan akan barang dan jasa publik semata, tetapi
juga harus memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan. Sebab masyarakat
akan mempertanyakan apakah barang dan jasa publik yang diberikan pemerintah
dapat memberikan rasa puas atau hanya memenuhi kewajiban pemerintah semata,
lebih dari itu pemberian pelayanan yang berkualitas dan dapat memuaskan
masyarakat. Oleh karenanya fungsi pelayanan pemerintah selalu berkaitan dengan
kepentingan umum dan bukan dikonsepsikan untuk orang perorangan.
Ndraha (2000:21a), menunjukkan hubungan pemerintah (governance relations), yaitu hubungan yang terjadi antara yang diperintah dengan pemerintah satu terhadap yang lain pada satu posisi dan peran. Dalam kaitan itu, kualitas
pelayanan menjadi gejala atau masalah yang sering mewarnai interaksi tersebut.
Untuk itu pemerintah bukan lagi penentu kualitas pelayanan, akan tetapi
masyarakat sebagai pelanggan kebutuhan dan kepentingan yang ditawarkan
pemerintah. Pelangganlah yang paling tahu mana yang baik untuk kehidupannya.
Seperti dikemukakan Couper (dalam Osborne dan Gaebler, 1992:166), bahwa “Quality is determined only by costumers”. Dalam kaitan itu, Couper (dalam Osborne dan Gaebler, 1992: 169,172), dikatakan pemerintah perlu: Getting close to the costumer, because the costumer are the most important people for an
organization”.
Dengan demikian baik buruknya produk layanan masyarakat yang
diberikan, lebih banyak bergantung pada sejauh mana tanggapan atau kepuasan
penerima pelayanan.
Kecamatan dan juga organisasi perangkat daerah lainnya, diarahkan
untuk menjadi organisasi yang memberikan pelayanan langsung kepada