• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dan Risiko Outsourcing 1. Tujuan Outsourcing

Bagian Keempat

B. Tujuan dan Risiko Outsourcing 1. Tujuan Outsourcing

Outsourcing memiliki tujuan strategis dan tujuan berjangka panjang.22 Tujuan strategis dari suatu outsourcing, yaitu bahwa outsourcing digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kemam-puan dan keunggulan kompetitif perusahaan agar dapat memper-tahankan hidup dan berkembang. Mempermemper-tahankan hidup berarti tetap dapat mempertahankan pangsa pasar, sementara berkembang berarti dapat meningkatkan pangsa pasar. Oleh karena itu, pekerjaan harus diarahkan pada pihak yang lebih profesional dan lebih ber-pengalaman dari pada perusahaan sendiri dalam melaksanakan jenis pekerjaan yang diserahkan tidak sekedar penyerahan pada pihak ketiga saja.

Maksud dari tujuan strategis outsourcing adalah bahwa dengan melakukan outsourcing, perusahaan ingin meningkatkan kemam-puannya berkompetensi, atau ingin meningkatkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan keunggulan kompetitifnya.

Kompetensi antara perusahaan umumnya menyangkut tiga hal, yaitu harga produk, mutu produk, dan layanan. Hal-hal inilah yang menjadi maksud dan harapan utama dari suatu perusahaan dalam melakukan outsourcing. Diharapkan pemberi jasa memberikan kontri-busi kepada perusahaan dalam menjaga dan memperoleh keunggulan kompetitif dalam hal harga produk, mutu produk, dan layanan.

Tujuan berjangka dari outsourcing dimaksudkan bahwa tujuan strategis selalu berjangka panjang, bukan untuk keperluan sesaat. Karena menjaga kehidupan organisasi dan mengusahakan

pengem-22 Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 37-38

bangan perusahaan adalah tujuan yang terus menerus dan berjangka panjang, bahkan sangat panjang. Dalam hal inilah diperlukan pula rencana jangka panjang, dan rencana jangka panjang selalu perlu dilengkapi dengan rencana jangka menengah dan rencana jangka pendek, yang semuanya diperlukan dalam outsourcing.23

Dari segi pengusaha melakukan outsourcing di samping karena tujuan strategis dan berjangka panjang tersebut, oleh Mochtar Pakpahan dan Ruth Damaihati Pakpahan,24 dalam kaitan mem-bedakan pekerja kontrak dengan outsourcing dikatakan bahwa tujuan outsourcing adalah untuk mengefisienkan biaya produksi dan risiko pekerjaan. Efisien biaya produksi artinya pengusaha juga telah me-ngurangi biaya produksi dari labour cost, di samping pengurangan pesangon. Sedangkan risiko pekerjaan, artinya sebagian risiko pekerjaan yang terkait misalnya dengan keselamatan kerja, kesehatan kerja beralih kepada pemberi jasa pekerja. Termasuk kesalahan kerja karena pekerja di perusahaannya sendiri kurang professional.

Menurut Ketua Komite Regional Federasi Serikat Pekerja Mandiri Bali I Wayan Sudarsa,25 mengatakan:

“Sebagian besar perusahaan diberbagai sektor mengontrak perusahaan outsource dengan pertimbangan atau bertujuan untuk efisien dan produktivitas. Bagi kalangan pengusaha outsourcing merupakan dewa penyelamat karena dianggap bisa menekan anggaran perusahaan”.

Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengatakan “memang aturan outsourcing yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian saat ini, sehingga perlu dibuat aturan yang lebih lengkap terutama untuk penempatan para pekerja dengan lebih baik”. Hal ini dapat dikatakan bahwa outsourcing sebagai instrument hukum, bertujuan untuk mengatur penempatan para pekerja agar kondisi statusnya menjadi lebih baik.26

23 Ibid, hlm. 42

24 Mochtar Pakpahan dan Ruth Damaihati Pakpahan, Konflik Kepentingan Outsourcing dan Kontrak dalam UU No. 13 Tahun 2003, (Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera, 2010), hlm. 116-118

25 I Wayan Sudarsa, “Outsourcing Merugikan Pekerja”, (Denpasar: Tokoh, 17-23 Oktober 2010), hlm. 5

Dari beberapa tujuan outsourcing tersebut di atas, maka pada dasarnya ada beberapa tujuan program outsourcing, antara lain:27 1) Untuk mengembangkan kemitraan usaha, sehingga satu

per-usahaan tidak akan menguasai suatu kegiatan industri dari hulu ke hilir. Dengan kemitraan tersebut diharapkan akan terjadi peme-rataan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah urban. 2) Mendorong terjadinya pendidikan dan alih teknologi dalam bidang

industri dan manajemen pengelolaan pabrik. Dalam jangka panjang hal ini diharapkan mampu mengurangi pemusatan kegiatan industri di perkataan menjadi lebih merata ke daerah-daerah.

2. Risiko Outsourcing

Pembicaraan mengenai outsourcing, di samping memiliki manfaat atau keuntungan-keuntungan sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat juga beberapa risiko yang dihadapi perusahaan dalam melakukan outsourcing. Perlu disadari bahwa betapapun baiknya konsep outsourcing sebagai alternatif untuk merespon perkembangan dunia usaha, serta baiknya persiapan suatu perusahaan dalam pene-rapan outsourcing tersebut tidak selamanya berhasil dan tetap mengan-dung sejumlah risiko. Secara umum risiko outsourcing dapat berupa:28 1. Tidak tercapainya secara maksimal tujuan yang diinginkan. 2. Tidak tercapainya sebagian dari tujuan yang diinginkan. 3. Lambatnya pencapaian tujuan yang diinginkan.

Adapun risiko tersebut sangat berhubungan dengan tujuan outsourcing, karena itu kemungkinan risiko dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Keuntungan tidak diperoleh secara cepat dalam jumlah yang cukup signifikan.

Hal ini dapat saja terjadi karena permasalahan internal perusahaan penyedia jasa yang berakibat menurunnya kinerja, atau tidak kompeten dan bukan ahli di bidang pekerjaan yang di-outsource. 2. Akses tidak diperoleh karena pemberi jasa tidak menunjukkan

kinerja perusahaan kelas dunia.

27 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Sebagai Penuntun Untuk Merencanakan, Melaksanakan Bisnis Outsourcing dan Perjanjian Kerja, (Jakarta: DSS Publishing, 2006), hlm. 46

3. Suntikan kas ternyata seret atau tidak diperoleh sama sekali, karena perusahaan pemberi jasa mengalami kesulitan keuangan. 4. Sumber daya mungkin harus ditransfer ke atau diperlukan oleh perusahaan pemberi jasa, sehingga tetap kekurangan sumber daya. 5. Perusahaan mungkin tidak dapat bebas seluruhnya dari kesulitan

yang sebetulnya ingin dihindari.

6. Karena berbagai tujuan atau keuntungan yang ingin dicapai tidak pada sepenuhnya didapat, maka fokus core business mungkin tidak dicapai.

7. Karena perusahaan pemberi jasa mengalami kesulitan keuangan, maka kemungkinan memperoleh dana kapital tambahan tidak dicapai.

8. Biaya sesudah outsourcing mungkin tidak berkurang, tetapi tetap bahkan bertambah.

9. Karena berbagai tujuan yang ingin dicapai tidak sepenuhnya diperoleh, mungkin risiko usaha tetap saja besar.

10. Karena perusahaan pemberi jasa juga tidak memiliki sumber daya yang diperlukan, maka tujuan outsourcing tidak tercapai.29 Amin Widjaja Tunggal, menyatakan bahwa risiko yang mungkin timbul dari outsourcing, adalah:30

1. Produktivitas justru menurun jika perusahaan outsourcing yang dipilih tidak kompeten.

2. Wrong men on the wrong place, jika proses seleksi, pelatihan dan penempatan tidak dilakukan secara cermat oleh perusahaan outsourcing.

3. Terkena kewajiban ketenagakerjaan, jika perjanjian kerja sama (PKS) dengan perusahaan outsourcing tidak dilakukan dengan tegas dan jelas diawal kerjasama.

4. Regulasi yang belum kondusif akan membuat care dan non-care business yang belum jelas.

5. Pemilihan perusahaan jasa outsourcing yang salah bisa berakibat beralihnya status hubungan kerja dari pemberi jasa pekerja ke perusahaan penerima jasa pekerja.

29 Ibid, hlm. 105-106

Mencermati risiko outsourcing sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya risiko outsourcing me-liputi risiko ekonomi dan risiko hukum. Risiko ekonomi outsourcing antara lain: 1) tidak tercapainya tujuan outsourcing karena tidak adanya efisiensi dan penurunan produktivitas; 2) tidak mendapat tenaga yang kompeten karena seleksi pekerja outsourcing dilakukan dengan tidak selektif dan kurang terlatih; 3) tidak ada transfer teknologi, karena sarana dan prasarana pekerja dari perusahaan outsourcing tidak canggih dan kurang memadai; 4) tidak dapat men-dorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, karena masalah ketenagakerjaan dan masalah perusahaan yang kurang kompetitif dan produktivitas.

Risiko hukum dari pelaksanaan outsourcing dilihat dari hukum ketenagakerjaan adalah sebagai berikut. Dari segi pengusaha/ perusahaan, risiko pelaksanaan outsourcing dapat terjadi antara lain: 1. Peralihan status pekerja outsourcing yang berdasar PKWT berubah menjadi pekerja tetap (PKWTT) pada perusahaan outsourcing. Hal ini dapat terjadi dalam hal perusahaan outsourcing memperkerjakan pekerja outsourcing lebih dari tiga tahun berturut-turut tanpa pernah diselingi jeda sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4), (5) dan (6) UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal 15 Kepmenakertrans No. Kep. 100/MEN/VI/2004 seperti perjanjian kerja tidak berbahasa Indonesia tidak melewati tenggang 30 hari.

2. Peralihan status pekerja outsourcing demi hukum menjadi pekerja tetap pada perusahaan pemberi kerja, bilamana melakukan pekerjaan inti (core business) pada perusahaan pemberi kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) yang dipertegas oleh Pasal 65 ayat (4) dan (8) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam hal seperti ini hak-hak pekerja harus dipulihkan dan disamakan dengan pekerja tetap termasuk dalam hal jangka waktu kerja.31

3. Peralihan hubungan kerja dari perusahaan outsourcing kepada perusahaan pemberi kerja dalam hal:

1) Perusahaan penyedia jasa pekerja tidak berbadan hukum dan tidak memiliki izin operasional dari instansi yang berwenang sebagaimana diatur Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.

31 Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak Outsourcing, (Yogyakarta: ANDI Offset, 2006), hlm. 16

2) Perusahaan pemborongan pekerja tidak berstatus badan hukum (Pasal 65 ayat (8) UU No. 13 Tahun 2003).

Dari segi pekerja, secara hukum ketenagakerjaan risiko outsourcing dapat terjadi antara lain sebagai berikut:

1. Tanpa jenjang karier/ketidakpastian kelangsungan kerja karena sangat mudah untuk di PHK berkenan dengan pekerja outsourcing dengan sistem kontrak (PKWT), perjanjian hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun (Pasal 59 ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003).

2. Uang pesangon tidak sama dengan pekerja tetap, karena masa kerja selalu dihitung dari perpanjangan kontrak dua tahun sebagaimana Pasal 59 ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003.

C. Tahapan dan Pembatasan Outsourcing