• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 9-91)

Penguji III : Dra. Sabarijah WittoEng, SKM (

BAB 1 PENDAHULUAN

1.2 Tujuan

Tujuan pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. SOHO Industri Farmasi dan PT. Ethica Industri Farmasi, SOHO Group adalah:

1. Mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab apoteker dalam industri farmasi.

2. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang segala aspek industri farmasi yang berhubungan dengan CPOB serta mengetahui penerapan CPOB di PT. SOHO Industri Pharmasi dan PT. Ethica Industri Farmasi.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industri Farmasi

2.1.1. Pengertian Industri Farmasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/MEN KES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan/atau bahan obat untuk semua tahapan dan/atau sebagian tahapan. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. Dalam proses pembuatan obat, setiap industri farmasi harus memenuhi persyaratan CPOB (Kementerian Kesehatan, 2010).

2.2. Regulasi Pemerintah Mengenai Usaha Industri Farmasi

2.2.1. Persyaratan Usaha Industri Farmasi (Kementerian Kesehatan, 2010) Industri Farmasi merupakan badan usaha yang dipantau secara ketat oleh pemerintah, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Setiap industri farmasi wajib memiliki izin usaha dari Menteri Kesehatan. Wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada BPOM. Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap berproduksi sesuai persyaratan CPOB, berikut adalah persyaratan usaha industri farmasi yang tertuang dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi:

a. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

b. Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi terdiri atas : a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.

b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu.

e. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian. f. Memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sesuai

ketentuan Pedoman CPOB 2006 (current GMP).

Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip yang berlaku selama 3 (tiga) tahun. Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala BPOM. Jika permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan dan instalasi peralatan termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Izin ini berlaku seterusnya selama perusahaan industri farmasi tersebut berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri Farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap pemenuhan persyaratan CPOB, baik untuk perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi wajib melapor dan mendapat persetujuan sesuai ketentuan perundang-undangan.

2.2.2. Pengawasan Industri Farmasi

Dalam melaksanakan pengawasan, tenaga pengawas dapat melakukan pemeriksaan dan memasuki setiap tempat yang digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan obat dan bahan obat untuk memeriksa, meneliti dan mengambil contoh, membuka dan meneliti kemasan obat, serta memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat

keterangan mengenai kegiatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan obat dan bahan obat.

Pelanggaran terhadap ketentuan yang tercantum dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi dapat dikenakan sanksi administratif berupa :

a. Peringatan secara tertulis (diberikan oleh Kepala BPOM);

b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat, atau mutu (diberikan oleh Kepala BPOM);

c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat atau mutu (diberikan oleh Kepala BPOM); d. Penghentian sementara kegiatan (diberikan oleh Kepala BPOM);

e. Pembekuan izin industri farmasi (diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan atas rekomendasi Kepala BPOM);

f. Pencabutan izin industri farmasi (diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan atas rekomendasi Kepala BPOM).

Namun, pencabutan izin usaha industri farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri Farmasi dapat langsung dilakukan, jika terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam hal berikut:

1. melakukan pemindahtanganan hak milik Izin Usaha Industri Farmasi dan perluasan tanpa memiliki izin sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan ini;

2. tidak menyampaikan informasi industri farmasi secara berturut-turut 3 (tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar;

3. melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari menteri;

4. dengan sengaja memproduksi Obat Jadi atau Bahan Baku Obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, obat palsu;

5. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Izin Usaha Industri Farmasi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan.

2.3. Cara Pembuatan Obat yang Baik (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2006)

CPOB merupakan suatu pedoman untuk menjamin agar mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya, bila perlu dapat dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah ditentukan tetap dicapai. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Ada 12 aspek yang dibahas dalam CPOB 2006, yaitu manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi.

2.3.1. Manajemen Mutu

Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan penggunaan obat melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok, dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar. Manajemen mutu (pemastian mutu) merupakan suatu konsep luas yang mencakup semua hal, baik secara tersendiri maupun secara kolektif, yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan. Pemastian mutu bertujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

2.3.2. Personalia

Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu, industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personel yang terkualifikasi dan berpengalaman dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Seluruh personil terutama seluruh personil dalam area produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium (termasuk personil teknik,

perawatan dan petugas kebersihan), dan bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk hendaknya memahami prinsip CPOB, memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaan serta memahami tanggung jawab masing-masing.

Berdasarkan CPOB, Industri farmasi harus memiliki tiga personil kunci mencakup kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian Pemastian Mutu. Kepala bagian Produksi dan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) atau kepala bagian Pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain. Selain itu, industri farmasi juga harus memiliki struktur organisasi yang jelas secara tertulis mengenai tugas dan kewenangan dari masing-masing personel pada posisi penanggung jawab sehingga seluruh aspek-aspek penerapan CPOB tidak ada yang terlewatkan ataupun tumpang tindih.

2.3.3. Bangunan dan Fasilitas

Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaknya memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai dan disesuaikan kondisinya serta dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasional yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadinya kekeliruan, pencemaran silang, memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif, menghindari penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Letak bangunan diatur sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, seperti bangunan tidak sesuai, hendaknya diambil tindakan pencegahan yang efektif terhadap pencemaran tersebut.pencemaran dari udara, tanah, air, serta dari kegiatan industri lain yang berdekatan. Bangunan dan fasilitas hendaknya dikontruksi, dilengkapi dan dirawat dengan tepat dan cermat, dibersihkan dan didesinfeksi sesuai prosedur tertulis secara rinci agar memperoleh perlindungan maksimal dari pengaruh cuaca, banjir, rembesan air tanah dan gangguan hewan. Kondisi bangunan hendaknya ditinjau secara teratur dan diperbaiki bila perlu. Tindakan perbaikan dan perawatan terhadap bangunan dan fasilitas dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut tidak mempengaruhi mutu obat.

2.3.4. Peralatan

Peralatan untuk pembuatan obat hendaknya memiliki desain dan konstruksi yang sesuai dengan tujuan, ukuran yang memadai, ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain dan seragam. Peralatan hendaknya didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan dan dirawat, baik bagian dalam maupun bagian luar, serta tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, memeriksa dan mencatat hendaknya diperiksa ketepatannya dan dikalibrasi sesuai program dan prosedur yang ditetapkan. Pemasangan dan penempatan peralatan diatur sedemikian rupa sehingga proses produksi dapat berjalan secara efektif dan efisien.

2.3.5. Sanitasi dan Higiene

Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaknya diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi dan wadahnya, serta segala sesuatu yang dapat menjadi sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial harus dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Prosedur sanitasi dan higiene hendaknya divalidasi dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas peosedur dan selalu memenuhi persyaratan.

2.3.6. Produksi

Produksi obat membutuhkan berbagai faktor pendukung, seperti sarana gedung produksi-pengemasan-penyimpanan, material yang memenuhi persyaratan, peralatan yang terkualifikasi dan terkalibrasi, personalia yang terlatih dan berkualitas, proses produksi yang tervalidasi dan dokumen produksi yang sah yang dapat ditelusuri. Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisis terhadap produk akhir, tetapi juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi (built in quality) sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi personalia, bangunan, peralatan kebersihan, dan higiene sampai dengan pengemasan.

Prosedur produksi dibuat oleh penanggung jawab produksi bersama dengan penanggung jawab pengawasan mutu yang dapat menjamin obat yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Prosedur kerja standar hendaknya tertulis, mudah dipahami dan dipatuhi oleh karyawan produksi, serta didokumentasikan. Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas.

2.3.7. Pengawasan Mutu

Pengawasan mutu merupakan bagian yang penting dari Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Pengawasan mutu mencakup semua kegiatan analisis yang dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan, dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan dan produk serta metode pengujiannya. Tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, pengawasan mutu juga berperan dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu hendaknya menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan.

Bagian pengawasan mutu harus independen dari bagian lain. Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.

2.3.8. Inspeksi Diri dan Audit Mutu

Inspeksi diri bertujuan untuk mengevaluasi semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi dalam pemenuhan ketentuan CPOB.

Program inspeksi diri hendaknya dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaknya dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan atau auditor dari luar yang independen. Inspeksi diri hendaknya dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaknya didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Inspeksi diri dapat dilakukan per bagian sesuai dengan kebutuhan perusahaan, namun inspeksi diri yang menyeluruh hendaknya dilakukan minimal satu kali dalam setahun dan tertulis dalam prosedur tetap inspeksi.

Inspeksi diri hendaknya mencakup seluruh aspek dalam CPOB, yaitu personalia, bangunan termasuk fasilitas untuk personil, perawatan bangunan dan peralatan, penyimpanan bahan awal,bahan pengemas dan obat jadi, peralatan, pengolahan dan pengawasan selama proses, pengawasan mutu, dokumentasi, sanitasi dan higienis, program validasi dan revalidasi, kalibrasi alat atau sistem pengukuran, prosedur penarikan kembali obat jadi, penanganan keluhan, pengawasan label, hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindakan perbaikan. Inspeksi diri juga hendaknya dilakukan oleh tim yang terdiri dari paling sedikit 3 anggota yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan memahami CPOB yang dapat berasal dari dalam atau luar perusahaan. Setelah inspeksi diri selesai dilaksanakan, dibuat laporan inspeksi diri yang mencakup hasil inspeksi diri, evaluasi, kesimpulan inspeksi dan saran tindakan perbaikan.

Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri, yang meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan.

2.3.9. Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian

Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat hendaknya dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Keluhan terhadap obat dan laporan keluhan dapat menyangkut mutu yang berupa kerusakan fisik, kimiawi atau biologis, efek samping yang merugikan, dan masalah efek terapetik seperti obat tidak berkhasiat atau respon klinis yang rendah. Semua keluhan dan laporan keluhan hendaknya diteliti dan dievaluasi dengan cermat, kemudian diambil tindak lanjut yang sesuai dan dibuatkan laporan. Selain itu, perlu ditunjuk personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan. Personil tersebut harus memahami cara penanganan seluruh keluhan, penyelidikan atau penarikan kembali.

Penarikan kembali produk merupakan proses penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh bets tertentu dari semua mata rantai distribusi. Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu atau atas dasar pertimbangan adanya reaksi yang tidak diperhitungkan yang merugikan dan beresiko serius terhadap kesehatan. Dalam penanganan penarikan kembali produk hendaknya tersedia prosedur tertulis, yang diperiksa secara berkala dan dimutakhirkan untuk mengatur segala tindakan penarikan kembali. Keputusan penarikan kembali dapat diprakarsai atas perintah otoritas Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau oleh pihak internal yaitu industri farmasi itu sendiri. Perkembangan dari proses penarikan kembali harus dicatat dan dibuat laporan akhir, termasuk rekonsiliasi antara jumlah produk yang dikirim dan yang ditemukan kembali.

Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke pabrik karena adanya keluhan, kerusakan, daluwarsa, masalah keabsahan atau sebab lain mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga menimbulkan keraguan akan keamanan, identitas, mutu dan jumlah obat yang bersangkutan. Industri farmasi hendaknya memiliki prosedur untuk penanganan, penyelidikan dan pengujian produk kembalian serta pengambilan keputusan tentang produk kembalian tersebut dapat diproses ulang atau harus dimusnahkan

setelah dilakukan evaluasi secara kritis. Berdasarkan hasil evaluasi, produk kembalian dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Produk kembalian yang masih memenuhi spesifikasi dan karena itu dapat dikembalikan ke dalam persediaan;

b. Produk kembalian yang dapat diproses ulang;

c. Produk kembalian yang tidak memenuhi spesifikasi dan tidak dapat diproses ulang.

Produk kembalian yang tidak dapat diolah ulang hendaknya dimusnahkan. Pemusnahan produk harus didokumentasikan, mencakup berita acara pemusnahan yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh personil yang melaksanakan dan personil yang menyaksikan pemusnahan.

2.3.10. Dokumentasi

Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik, termasuk bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas merupakan hal fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.

Berdasarkan CPOB, dokumen yang dibutuhkan oleh industri farmasi antara lain;

1. Spesifikasi mencakup bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan serta produk obat jadi. Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi produk atau bahan yang dapat digunakan atau diperoleh selama proses produksi. Spesifikasi ini merupakan dokumen dasar untuk menentukan dan mengevaluasi mutu produk.

2. Dokumen Produksi Induk yang berisi formula induk dan mencantumkan informasi nama, bentuk sediaan, kekuatan, deskripsi produk, spesifikasi bahan pengemas primer yang harus digunakan, stabilitas produk, tindakan pengamanan selama penyimpanan, komposisi tiap satuan dosis, daftar lengkap

bahan awal, spesifikasi bahan awal, daftar lengkap bahan pengemas, prosedur pengolahan dan pengemasan, pengawasan selama proses pengolahan dan pengemasan serta masa edar atau masa simpan produk.

3. Prosedur Produksi Induk, terdiri dari dua dokumen, yaitu Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur Pengemasan Induk. Masing-masing prosedur tersebut berisi prosedur pengolahan dan prosedur pengemasan yang rinci untuk suatu produk dengan bentuk sediaan, kekuatan dan ukuran bets spesifik. 4. Catatan Produksi Bets, terdiri dari dua dokumen, yaitu Catatan Pengolahan

Bets dan Catatan Pengemasan Bets, yang merupakan reproduksi dari masing masing Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur Pengemasan Induk dan berisi semua data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan produksi dari suatu bets produk.

5. Prosedur dan Catatan, Industri farmasi membutuhkan prosedur tertulis dan catatan untuk tiap kegiatan seperti penerimaan, pengambilan sampel, pengujian bahan dan produk yang menguraikan metode dan alat yang harus digunakan, dan kegiatan lainnya seperti proses validasi, perakitan peralatan, kualifikasi, kalibrasi, perawatan, pembersihan, sanitasi dan personil hygiene, pemantauan lingkungan, pengendalian hama, keluhan, penarikan obat jadi dan produk kembalian.

2.3.11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak

Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak dilakukan jika suatu perusahan membuat produk ataupun hendak melakukan analisis di perusahaan lain atau sebaliknya. Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima kontrak harus dibuat secara jelas dalam hal tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pengawasan Mutu).

2.3.12. Kualifikasi dan Validasi

CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaknya divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaknya digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi. Kualifikasi mencakup kualifikasi desain, kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional dan kualifikasi kinerja, sedangkan validasi proses mencakup validasi prospektif, validasi konkuren, validasi retrospektif, validasi pembersihan, validasi ulang, dan validasi metode analisis.

BAB 3

TINJAUAN KHUSUS SOHO GROUP

3.1. Sejarah SOHO Group

Berdasarkan keputusan pemilik perusahaan tanggal 26 Januari 2000, PT. Ethica Industri Farmasi, PT. Soho Industri Farmasi dan PT. Parit Padang Global digabung secara resmi menjadi SOHO Group. Seiring dengan perkembangan zaman, telah terjadi perubahan struktur organisasi di dalam perusahaan SOHO Group. Sebelum restrukturisasi SOHO Group memiliki lima perusahaan, yaitu PT. Ethica Industri Farmasi, PT. Soho Industri Farmasi, PT. Parit Padang Global, PT. Global Harmony Retailindo dan PT. Universal Health Network. Sejak tahun 2011, kelima perusahaan tersebut diintegrasikan menjadi tiga divisi utama, yaitu SOHO Group Pharma, SOHO Group Consumer Health, dan SOHO Group Distribution. SOHO Group Pharma terdiri dari PT. Ethica Industri Farmasi dan PT. Soho

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 9-91)

Dokumen terkait