• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Hasil Penelitian Kota Semarang

4.3.1. Tujuan

Evaluasi bertujuan untuk menilai efektivitas intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini dalam memperkuat pelaksanaan (pengobatan) dalam LKB.

4.3.2. Disain Evaluasi

Untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas intervensi yang dikenalkan melalui penelitian operasional ini untuk memperkuat pelaksanaan LKB di Kota Semarang dan Kota Yogyakarta maka disain evaluasi yang digunakan adalah evaluasi pre-post intervention dimana aspek- aspek tertentu dari layanan pengobatan sebelum dan sesudah intervensi akan diperbandingkan. Meski tidak bisa sepenuhnya mengisolasikan atau mendeteksi faktor- faktor di luar intervensi yang mungkin berpengaruh terhadap hasil akhir dari intervensi ini, evaluasi ini mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi sebagian dikontribusikan oleh intervensi ini. Evaluasi yang telah dilakukan berfokus pada isu-isu strategi sebagai-berikut: 2 2 2,5 3 3 3 4 4 4 5 6 6 6 8 4 7 3,5 5 5 7 5 6 5 7 6 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pre test Post Test

a. Perubahan cakupan

Fokus evaluasi dari sisi kinerja layanan adalah untuk menilai sejauh mana intervensi yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap cakupan layanan dengan cara membandingkan antara situasi 3 bulan sebelum intervensi dilakukan (Mei – Juli 2014) dengan cakupan selama intervensi dilaksanakan (Agustus – Oktober 2014) untuk Kota Yogyakarta. Kota Semarang dilaksanakan pada bulan September – November 2014.

b. Tata kelola layanan

Intervensi yang dilakukan pada dasarnya merupakan upaya memperkuat tata kelola layanan yang strategis melalui koordinasi antar pihak dan peningkatan kapasitas teknis dari penyedia layanan sehingga fokus dari evaluasi ini adalah melihat seberapa jauh intervensi ini telah mampu mewujudkan layanan yang komprehensif dan berkelanjutan. Hal-hal yang dilihat dalam aspek tata kelola adalah:

a. Koordinasi

• Manfaat dari pertemuan koordinasi para pemangku kepentingan LKB yang

telah dilakukan;

• Persepsi tentang perubahan jam layanan terhadap layanan yang diberikan;

• Persepsi tentang pemanfaatan data sharing;

• Persepsi mekanisme rujukan yang disepakati

b. Kapasitas penyedia layanan

• Pemahaman tentang materi

• Persepsi tentang metode pelatihan

• Persepsi tentang perubahan layanan sebagai bentuk pemanfaatan hasil

pelatihan

c. Kepuasan Pasien

Evaluasi ini juga mencoba untuk melihat dampak intervensi terhadap kepuasan pasien setelah dilakukannya intervensi. Aspek kepuasan pasien yang dilihat adalah prosedur

layanan, kemudahan mengakses layanan, sikap penyedia layanan, kenyamanan dan kerahasian pasien ketika memanfaatkan layanan saat ini.

4.3.3. Pengumpulan Data

Perubahan cakupan, dilihat dari data sekunder yang bersumber dari puskesmas dan rumah sakit. Data yang berasal dari puskesmas mengenai cakupan VCT, PITC dan IMS. Sedangkan data sekunder dari rumah sakit melingkupi data VCT, PITC dan CST.

a. Tata kelola layanan dilihat dari data yang diperoleh melalui wawancara mendalam

dengan penanggung jawab unit layanan dan peserta yang mengikuti pelatihan. Yang menjadi informan dari Kota Yogyakarta adalah

• Penanggung jawab unit layanan : Kepala Puskesmas Gedong Tengen, 2 direktur

rumah sakit (RS PKU Muhammadiyah dan RSUD Kota Yogyakarta).

• Peserta pelatihan : laboran RS PKU Muhammadiyah, konselor dan bidan

Puskesmas Gedong Tengen, perawat RSUD Kota Yogyakarta. Sedangkan yang menjadi informan dari Kota Semarang adalah

• Penanggung jawab unit layanan : Dokter Penanggung Jawab Layanan HIV

Puskesmas Poncol, Dokter Penanggung Jawab Layanan HIV RS Daerah Tugu Rejo, penanggung jawab Klinik TB BKPM.

• Peserta pelatihan : dokter umum Puskesmas Poncol, paramedis Puskesmas

Poncol, LSM Kalandara, dan paramedis Puskesmas Ngaliyan.

b. Kepuasan pasien diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh informan untuk

mengetahui kepuasan pelayanan. Untuk Kota Yogyakarta, lokasi pengambilan data ini dilakukan di CD Bethesda pada tanggal 5 Januari 2015 (18.00 -20.00 WIB) dengan informan sebanyak 7 orang pasien HIV positif, dan 1 orang pasien HIV positiv yang ditemui di rumahnya. Sedangkan untuk Kota Semarang, pengambilan data dilakukan di warung kopi Hans Kopi pada tanggal 15 Januari 2015 (14.00–19.00 WIB) dengan informan yang terdiri dari 6 orang pasien HIV positif.

4.3.4. Hasil Evaluasi

Sesuai dengan disain intervensi yang telah disebutkan di atas, aspek-aspek yang dilihat dari evaluasi ini adalah

4.3.4.1.Perubahan cakupan

1) Cakupan layanan VCT pada fasyankes Primer

Grafik 38: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta

Grafik 39: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta 291 73 99 48 54 565 157 124 80 43 67 471 PKM Gedong Tengen PKM Tegalrejo PKM Umbulharjo I PKM Mergangsan PKM Mantrijeron Total

Sebelum Intervensi (Mei - Juli) Sesudah Intervensi (Agustus - Oktober)

83 89

172

PKM Halmahera PKM Poncol Total

Jika dilihat dari cakupan layanan VCT di puskesmas periode selama intervensi (Agustus- Oktober) dibandingkan sebelum intervensi tidak menunjukkan perbaikan. Hanya Puskesmas Tegalrejo yang menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, karena disumbang oleh layanan

mobile VCT. Kondisi serupa juga terjadi di Kota Semarang, dimana terjadi lonjakan pada bulan pertama periode selama intervensi (September) karena disumbang oleh layanan

mobile VCT. Hal ini terjadi kemungkinan karena membaiknya kerjasama dengan LSM dan KDS.

2) Cakupan layanan PITC pada fasyankes primer

Grafik 40: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Yogyakarta

Dari grafik di atas, kecenderungan layanan PITC di hampir semua puskesmas di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang selama intervensi, menunjukkan kenaikan pada bulan ke

59 138 163 161 65 586 105 196 109 148 146 704 PKM Gedong tengen

PKM Tegal Rejo PKM Umbul Harjo I

PKM Mergangsan

PKM Mantrijeron Total

Sebelum Intervensi (Mei-Juli) Sebelum Intervensi (Agustus-Oktober)

37 6 0 43 43 61 3 107

PKM Halmahera PKM Lebdosari PKM Bandarharjo Total

Sebelum Intervensi (Juni-Agustus) Selama Intervensi (September-November)

dua, tetapi kemudian menurun pada bulan ke 3, hanya Puskesmas Tegalrejo dan Puskesmas Lebdosari yang menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi. Ada kemungkinan bahwa intervensi yang dilakukan ikut menyumbang kenaikan cakupan PITC karena pemahaman tentang PITC semakin baik. Angka kenaikan cakupan layanan PITC tersebut, disumbang oleh jumlah ibu hamil dan pasien IMS.

3) Cakupan layanan IMS pada fasyankes primer

Kota Yogyakarta 74 62 119 71 26 352 45 63 142 96 23 369 PKM Gedong Tengen

PKM Tegal Rejo PKM Umbul Harjo I

PKM Mergangsan PKM Mantrijeron Total

Sebelum Intervensi (Mei - Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober)

3 6 445 8 462 0 36 477 14 527

PKM Halmahera PKM Poncol PKM Lebdosari PKM Bandarharjo Total

Sebelum Intervensi (Juni-Agustus) Selama Intervensi (September-November) Grafik 42: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Yogyakarta

Gambaran layanan IMS di seluruh puskesmas Kota Yogyakarta tampak tidak stabil, masih pasang surut pada periode selama intervensi, tetapi 4 Puskesmas di Kota Semarang menunjukan sedikit peningkatan. Hal ini kemungkinan karena layanan IMS sangat tergantung pada kunjungan aktif pasien maupun dukungan dari LSM dan KDS. Layanan IMS juga sangat tergantung pada kemampuan petugas laboratorium, dimana pada intervensi kali ini belum semua tenaga analis di puskesmas diikutkan, dan materi khusus untuk pemeriksaan laboratorium IMS belum diberikan.

4) Cakupan layanan PITC pada fasyankes sekunder

Grafik 44: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta

Grafik 45: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang 474 40 35 549 446 77 30 553

RS Panti rapih RS PKU Muhammadiyah RSUD Kota Yogyakarta Total Sebelum Intervensi (Mei-Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober)

7

90 97

6

218 224

RS Elisabeth RS BKPM Total

Pada cakupan layanan PITC, ada 3 rumah sakit di Kota Yogyakarta yang secara umum menunjukkan konsistensinya dalam layanan PITC, bahkan RSUD Kota Yogyakarta sudah menunjukkan peningkatan. Untuk Kota Semarang, 3 rumah sakit yaitu RSUD Kota Semarang, RS Tugurejo dan RS Panti Wiloso Citarum sama sekali tidak menunjukkan aktivitas layanan PITC meskipun sudah dilakukan intervensi. Dalam hal layanan PITC, memang sangat dibutuhkan komitmen dari pihak penentu kebijakan untuk mau melaksanakan PITC sebagai bagian dari layanan rutin di semua layanan spesialistik. Sebagai gambaran bahwa RS Panti Rapih dan RS Elisabeth menunjukkan cakupan yang cenderung tinggi karena ada kebijakan dari direktur rumah sakit, bahwa seluruh layanan harus menjalankan PITC, bukan sekedar untuk mengejar target, tetapi sebagai kewaspadaan untuk keamanan pasien maupun keamanan penyedia layanan.

5) Cakupan layanan VCT pada fasyankes sekunder

29

78

107

24 24

48

RS Panti Rapih RS PKU Muhammadiyah Total Sebelum Intervensi (Mei-Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober)

7 18 177 165 22 389 39 16 251 209 14 529

RS Elisabeth RSUD Kota Semarang

RS Tugurejo RS Panti Wiloso Citarum

RS BKPM Total

Sebelum Intervensi (Juni-Agustus) Selama Intervensi (September - November) Grafik 47: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta

Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan Kota Yogyakarta hanya diperoleh dari RS Panti Rapih dan RS PKU Muhammadiyah, karena 2 rumah sakit yang lain, yaitu RS Bethesda dan RSUD Kota Yogyakarta tidak memiliki data layanan VCT. Di RS Bethesda memiliki kecenderungan fokus pada layanan CST, sedangkan RSUD Kota Yogyakarta belum cukup lama melaksanakan layanan HIV, sehingga belum tampak kerjasama dengan pihak LSM maupun KDS. Tetapi untuk Kota Semarang, seluruh rumah sakit rujukan CST telah memiliki laporan layanan VCT. Dari gambar tampak bahwa layanan VCT di RS Kota Yogyakarta dan Kota Semarang mengalami penurunan baik sebelum maupun selama periode intervensi, terutama RS PKU Muhammadiyah yang sebenarnya merupakan rumah sakit rujukan LKB Kota Yogyakarta. Sedangkan Kota Semarang, RSUD Kota Semarang sebagai rumah sakit rujukan LKB Kota Semarang justru cenderung meningkat selama periode intervensi, meskipun masih sangat sedikit. Kemungkinan bahwa intervensi yang dilakukan mampu meningkatkan kerjasama antara RSUD Kota Semarang dengan pihak LSM sebagai partner dalam layanan LKB HIV-IMS.

6) Cakupan layanan CST pada fasyankes sekunder

1000 280 3 1283 1033 295 14 1342

RS Panti Rapih RS PKU Muhammadiyah RSUD Kota Yogyakarta Total

Sebelum Intervensi (Mei - Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober

Dilihat dari cakupan CST di seluruh rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta maupun Kota Semarang, menunjukkan kecenderungan peningkatan sejak 3 bulan sebelum intervensi sampai 3 bulan selama intervensi. Peningkatan ini mungkin karena adanya intervensi atau karena setiap bulan selalu ada pasien HIV yang masuk dalam kondisi harus diobati, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit rujukan.

4.3.4.2.Koordinasi

(1) Manfaat pertemuan koordinasi pemangku kepentingan LKB

Pertemuan koordinasi merupakan hal penting, karena menjadi media untuk transfer informasi dan memperkuat komitmen antar tim LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Manfaat pertemuan koordinasi ini, menurut salah satu pemangku kepentingan di Kota Yogyakarta, untuk membangkitkan kepemilikan dan komitmen bahwa LKB ini penting bagi para pelaku di unit-unit layanan.

“Koordinasi ini membangkitkan rasa bahwa LKB ini penting. Ini harus diulang terus untuk membangkitkan komitmen, permasalahannya selama ini bersifat internal. Yang dikirim berangkat orangnya ganti-ganti. Kesalahan kita juga pemilihan orang yang ditugaskan tidak tepat. Orang yang ditugaskan hanya mendengar tetapi tidak mendengarkan. Ada juga orang tahu tentang LKB tetapi

73 32 444 699 144 1392 86 39 444 704 244 1517

RS Elisabeth RSUD Kota Semarang

RS Tugurejo RS Panti Wiloso Citarum

RS BKPM Total Sebelum Intervensi (Juni - Agustus) Selama Intervensi (September - November)

tidak mau berkomentar…. Tidak semua kepala Puskesmas kalau ada undangan (koordinasi) bisa hadir…” (TK, PKM GT, YK).

Koordinasi yang dilakukan selama intervensi ini juga bermanfaat sebagai sosialisasi LKB sehingga informasi dapat terdiseminasi di kalangan yang lebih luas. Melalui forum koordinasi, sharing pengalaman serta capaian yang dimiliki oleh masing-masing layanan, memberikan motivasi untuk melakukan perbaikan layanan di masa mendatang. Lebih jauh manfaat dari pertemuan koordinasi adalah memungkinkan untuk melacak dan mengetahui kemajuan pasien yang dirujuk atau berpindah layanan.

“...BKPM selama ini melakukan kolaborasi dengan Dinas Kesehatan Kota, berkolaborasi dengan KPA, itu sudah kita lakukan, kemudian berkolaborasi dengan rumah sakit rujukan, misalnya dalam hal ini rumah sakit Kariadi, dan juga kolaborasi dengan temen-temen yang ada di layanan yang lain...karena apa? Kepentingan kita adalah melaksanakan laporan kasus...” (U, RS BKPM).

Hasil nyata yang tampak dari pertemuan koordinasi di kedua kota ini adalah munculnya kesepakatan mekanisme rujukan antar fasyankes yang dikuatkan dengan surat kesepakatan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota dan rumah sakit rujukan. Sistem rujukan sudah dilakukan secara berjenjang dari fasyanakes primer, fasyankes sekunder dan tersier. Perjanjian kerja sama ini dapat mendorong pelaksanaan rujukan balik yang belum berjalan secara optimal. Perjanjian kerjasama ini menjadi dokumen yang mengikat dalam waktu 5 tahun untuk Kota Semarang dan Kota Yogyakarta dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

(2) Persepsi tentang perubahan jam operasional layanan

Menindaklanjuti salah satu kesepakatan yang diperoleh pada saat pertemuan koordinasi mengenai penambahan jam operasional layanan untuk HIV, maka RS PKU Muhammadiyah kemudian melakukan perubahan mendasar dalam jam layanan dari sebelumnya 2 kali seminggu menjadi 6 kali dalam 1 minggu. Perubahan ini berdampak pada akses layanan yang lebih luas bagi ODHA yang mengakses layanan di RS PKU Muhammadiyah. Untuk Kota Semarang, hampir semua fasyankes sekunder sudah memberikan pelayanan HIV dan IMS setiap hari kerja seperti pada jenis penyakit-penyakit umum lainnya, maka hal ini tidak menjadi bagian dari surat perjanjian kerjasama antara fasyankes sekunder dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang.

(3) Persepsi tentang pemanfaatan sharing data

Terkait dengan sharing data, karena hal ini menyangkut aspek kerahasiaan (konfidensialitas)

yang harus tetap terjaga, maka asalkan sharing data tersebut dilakukan untuk

mengembangkan kebijakan atau menunjang layanan pasien ODHA, maka sharing data boleh

dilakukan. Sharing data yang selama ini sudah berjalan adalah pelaporan data cakupan

layanan dari puskesmas atau rumah sakit kepada Dinas Kesehatan, baik di Kota Yogyakarta

maupun Kota Semarang. Persepsi tentang pemanfaatan sharing data ini memang menjadi

diskusi yang cukup menarik, khususnya dalam menjaga hak konfidensialitas pasien. Karena ada beberapa persepsi tentang apa yang dimaksud data/informasi, apakah informasi data pasien atau data terkait dengan cakupan layanan ODHA, data trends dan prevalensi HIV dan AIDS. Namun demikian yang terjadi selama ini adalah sharing data cakupan layanan dalam bentuk laporan. Mekanisme ini sudah diatur terkait dengan penjadwalan dan teknis pengiriman laporan.

(4) Persepsi mekanisme rujukan yang disepakati

Sistem rujukan sudah dilakukan secara berjenjang dari fasyankes primer, fasyankes sekunder dan tersier. Sebenarnya mekanisme rujukan ini sudah berjalan tetapi belum optimal seperti proses rujukan balik yang tidak pernah dilakukan. Proses rujukan selama ini lebih bersifat searah dan berjenjang dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder atau tersier. Mekanisme rujukan sudah berjalan sebelum proses intervensi seperti yang terjadi di Kota Semarang. RS Tugu mendapatkan rujukan untuk melakukan CST ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) dari RS Elizabeth. Pengalaman di fasyankes primer di Yogyakarta ada yang memahami bahwa rujukan itu ada juga yang bersifat internal antar unit.

“Rujukan internal terjadi seperti ketika kami dari tenaga medis bukan dokter menemukan kasus HIV dan AIDS. Maka untuk proses pengobatan harus dirujuk ke Dokter. Karena perawat atau bidan tidak mempunyai wewenang untuk memberikan CST seperti diatur dalam prosedur dan etik profesi “ (Y, PKM GT, YK).

Lebih lanjut pengertian rujukan ini juga dapat terjadi antara fasyankes primer secara horisontal ketika menemukan kasus HIV dan AIDS tetapi tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan layanan VCT. Mekanisme rujukan ini dipandang dapat mempermudah akses

dimana pasien memang mau dilayani seperti ditegaskan oleh Kapus Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta.

4.3.4.3.Kapasitas penyedia layanan

(1) Pemahaman tentang materi

Pemahaman materi pelatihan peningkatan kapasitas para pelaku LKB di kedua kota mengalami peningkatan seperti tampak dalam hasil pre dan post test di kedua kota yang dilakukan secara langsung pada saat pelatihan. Manfaat pengetahuan ini dirasakan oleh para tenaga medis dan non medis di kedua kota dalam pelayanan keseharian kepada pasien, karena materi yang diberikan berkaitan erat dengan tugas-tugas keseharian yang mereka lakukan. Dari peserta yang diwawancarai di Kota Yogyakarta dapat mengingat materi yang diberikan dan merasakan pentingnya peningkatan pengetahuan untuk kepercayaan diri dalam menghadapi pasien dengan pendidikan yang cukup tinggi seperti pernyatan berikut:

“Pelatihan yang dilakukan memberikan pengetahuan terkait dengan mekanisme jejaring LKB dan penyakit yang bermanfaat untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dalam memberikan layanan khususnya ketika menghadapi pasien yang berpendidikan tinggi. ” (P, PKM GT, YK).

Secara lebih khusus manfaat pengetahuan HIV/AIDS secara komprehensif ini terkait langsung dalam meningkatkan kepekaan dan mengurangi diskriminasi pada para tenaga kesehatan seperti yang diungkapkan oleh seorang tenaga kesehatan berikut:

“Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi kami. Pengetahuan HIV dan AIDS ternyata belum semua tenaga medis memiliki, seperti yang kami temui baru saja. Ada pasien kami yang ditolak oleh Rumah Sakit untuk memberikan layanan setelah mengetahui setatusnya dan kemudian mengembalikan ke kami. Perlakuan ini sangat diskriminatif. Sebagian dari tenaga kesehatan sendiri masih berperilaku yang diskriminatif kepada ODHA.” (Y, PKM GT, YK).

Materi tentang PITC dan Infeksi Oportunistik, semakin meningkatkan pengetahuan bagi peserta untuk lebih jeli dalam mengidentifikasi pasien dengan keluhan tertentu sehingga memiliki dasar yang kuat untuk merujuk pasien melakukan tes HIV.

“Materi yang dijelaskan oleh Pak Muchlis tentang PITC , yaitu dorongan test HIV dari petugas itu ya?.. sangat berpengaruh sekali.... ada tambahan pengetahuan

dan membantu untuk mendorong pasien melakukan test HIV ..” ( S, PKM P, SMG).

Peserta yang lain juga menjelaskan bahwa pelatihan yang dilakukan memberikan pemahaman tentang LKB :

“...sebetulnya kalau yang saya tangkap juga LKB sendiri kan sebetulnya itu bisa mendukung program HIV khususnya di kota Semarang. Karena dengan adanya LKB kita yang pelaksana program HIV itu juga terbantu yang sebelumnya nggak ada layanan tapi karena sudah terbentuk LKB jadi tersistem layanannya...” (P, LSM, SMG)

(2) Persepsi tentang metode pelatihan

Permasalah yang paling disoroti terkait metode pelatihan adalah soal waktu yang sangat singkat seperti pelatihan di Kota Yogyakarta, hanya dilakukan selama 2 hari, sementara di Kota Semarang hanya 1 hari saja. Peserta melihat waktu untuk pelatihan terlalu singkat dengan bobot materi yang diberikan, metode lebih banyak menggunakan model ceramah dan diskusi. Tidak banyak menggunakan simulasi. Waktu yang singkat ini memang tidak terlepas dari kesepakatan antara tim peneliti dengan ketersediaan waktu para pemangku kepentingan, baik di Kota Semarang maupun di Kota Yogyakarta. Meski waktu yang disepakati singkat, berbeda dengan pelatihan LKB dari Dinas Kesehatan Provinsi yang lebih panjang, akan tetapi cukup efektif memberikan ‘penyegaran’ pengetahuan bagi pada nakes maupun non nakes yang menjadi peserta. Sebagian besar peserta adalah mereka yang sudah mengetahui LKB, meskipun ada juga yang baru pertama mendapatkan pelatihan. Singkatnya waktu pelatihan menjadikan beberapa peserta merasa bosan dan kurang memahami materi yang disampaikan, apalagi jika hanya paparan saja.

(3) Persepsi tentang perubahan layanan sebagai bentuk pemanfaatan hasil pelatihan

Pengalaman perubahan yang dirasakan setelah mengikuti pelatihan berupa pemanfaatan pengetahuan bagi pelayanan, seperti ketrampilan melakukan pemeriksaan VCT secara mandiri di Puskesmas Poncol dan Lebdosari di Kota Semarang. Awalnya kedua puskesmas ini belum dapat melakukan pemberian layanan VCT. Perubahan tersebut terjadi pada awal Bulan Oktober dan November 2014 setelah proses pelatihan pada bulan September 2014.

Selama ini jika ada pasien yang memerlukan VCT, maka kemudian dirujuk ke fasyankes lain atau memangil SDM dari jejaring kerja.

“sekitar Bulan Oktober atau Nopember an,kami di Puskesmas Ngaliyan sudah dapat melakukan pemeriksaan VCT, dengan menggunakan reagen yang diperoleh dari dinas kesehatan. Sebelumnya kami melakukan VCT dengan bekerjasama dengan Lapas Kedung Pane dan Rumah Sakit Tugurejo.” (S, PKM NG, SMG)

Penjaringan terhadap pasien HIV menjadi lebih terbantu karena adanya penjelasan terkait dengan infeksi oportunistik. Pengetahuan penyakit yang mengiringi setelah orang terkena HIV menjadi materi yang penting bagi peserta sehingga kemampuan melakukan penjaringan dan penjangkauan lebih baik. Meskipun demikan, terdapat peserta yang memandang bahwa ada kesenjangan antara teori dengan implementasinya.

“Secara teori materi yang disampaikan sangat berguna, namun dalam implementasi belum tentu sesuai dengan teori yang disampaikan, disesuaikan dengan situasi di layanan maupun pasien. Semisal pasien dengan anamnesis berperilaku beresiko, belum tentu mau untuk dirujuk melakukan VCT.“ (S, PKM NG, SMG).

Sementara untuk Kota Yogyakarta, bentuk perubahan pemanfaatan hasil pelatihan adalah pengetahuan dasar HIV/AIDS sebagai konselor untuk mendorong dan menyakinkan klien untuk mau melakukan tes VCT dengan lebih percaya diri.

”Yang berubah dalam cara memberikan layanan adalah lebih berhati-hati terhadap penanganan sampel dan pasien IMS yang potensial terkena HIV dideteksi lebih awal” (L, PKM MG, YK)

4.3.4.4.Perubahan pada kualitas layanan

Kesan yang ditangkap oleh pemanfaat layanan khususnya di Kota Semarang, tidak menunjukkan adanya perubahan yang cukup berarti. Layanan yang selama ini diakses oleh pasien dirasakan sangat membantu dan ramah. Dari sejumlah pasien yang ditemui sebagian menyatakan mayoritas mengatakan bahwa mereka mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan serta kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan. Hal ini didukung dengan kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan HIV. Akses terhadap obat jauh lebih dipermudah dengan adanya kegiatan kelompok dukungan yang difasilitasi oleh rumah sakit setiap bulannya. Tidak cukup banyak waktu yang diluangkan oleh pasien

untuk mengakses layanan obat. Terkait dengan isu diskriminasi, informan menyatakan belum pernah ada perbedaan perlakuan dari fasyankes maupun dari tenaga kesehatan dalam pemberian layanan.

Terkait dengan pembiayaan, obat HIV dapat diperoleh secara gratis, namun demikian untuk pengobatan tertentu yang berhubungan dengan HIV, masih berbayar tapi harganya masih terjangkau oleh pasien. Secara umum kesan terhadap kualitas layanan cukup berbeda meskipun tidak cukup signifikan di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Di Kota Yogyakarta

Dokumen terkait