• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan memiliki tujuan dan manfaatnya. Berikut tujuan dan manfaat penelitian antara lain :

1. Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian yaitu :

a) Mengetahui pengaruh variasi jenis pengental pada hasil pencapan zat warna alam daun kenikir terhadap nilai ketahanan luntur warna dari gosokan dan pencucian.

b) Mengetahui pengaruh metode mordan pada hasil pencapan zat warna alam daun kenikir terhadap nilai ketahanan luntur warna dari gosokan dan pencucian.

2. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini yaitu : a) Bagi Institusi

(1) Menambah pengetahuan dalam proses pencapan kain kapas dengan zat warna alam.

(2) Sebagai kajian referensi mengenai pemanfaatan daun kenikir pada pencapan kain kapas.

b) Bagi Industri/UMKM

(1) Menjadi informasi teknis pencapan kain kapas dengan zat warna alam daun kenikir untuk digunakan dalam proses industri, batik dan kerajinan tekstil.

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian Natasha (2018) menjelaskan “Zat warna alam adalah zat warna yang diperoleh dari alam/tumbuh-tumbuhan. Setiap tumbuhan mengandung zat warna yang ditentukan oleh intensitas warna yang dihasilkan oleh pigmen yang sangat bergantung pada colouring matter (senyawa organik) yang menentukan arah warna alam dalam setiap tumbuhan kadang terkandung lebih dari satu jenis warna”. Dalam penelitian Vivin (2017) juga menjelaskan “Sebagian besar zat warna alam berwarna kecoklatan tanpa adanya variasi arah warna primer”.

Menurut penelitian Wicaksono (2020) menyebutkan daun kenikir merupakan salah satu sumber pewarna kuning alami. Menurut Sahid (2016) menyatakan daun kenikir mengandung flavonoid, flavon dan flavanon, polifenol, saponin, tanin, alkaloid dan minyak astiri serta kandungan flavonoid yang paling banyak terdapat dalam daun kenikir. Flavonoid merupakan pigmen kuning (Mulyani, 2006). Melalui sebuah penelitian Zahratun (2017)

“Kandungan flavonoid pada daun kenikir merupakan zat antioksidan paling efektif penangkal radikal bebas. Radikal bebas yang dipercaya memicu banyak penyakit seperti kanker. Dalam kandungan senyawa antioksidan daun kenikir menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat”. Berdasarkan hasil penelitian Safita (2015) menyebutkan juga bahwa ekstrak daun kenikir memiliki fungsi sebagai antibakteri dan mengandung agen anti jamur.

Biotransformasi senyawa azo oleh berbagai bakteri kulit dapat melepaskan amina aromatik yang dapat diserap oleh kulit sampai batas tertentu.

Amina aromatik tertentu diketahui memiliki sifat genotoksik dan karsinogenik (SNI 7617:2013). Spesifik Amina aromatik yang berasal dari pewarna azo saat ini diklasifikasikan sebagai karsinogenik atau berpotensi karsinogenik bagi manusia sebagai berikut :

Tabel 2.1 Spesifik Amina Aromatik (EU Directive 2002/61/EC)

Menurut penelitian Rosyida (2013) alternatif untuk mengatasi beban pencemaran akibat limbah tekstil salah satunya dengan penggunaan pewarnaan alami. Indonesia kaya akan sumber daya alam terutama tumbuh – tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna sehingga potensial untuk dikembangkan.

Fakriyah (2015) menyatakan bahwa zat warna alam dengan sifat yang non alergi (tidak beracun), mudah terdegradasi secara biologis, murah, ketersediannya melimpah dan dapat diperoleh warna yang unik dan natural.

Warna alami untuk pewarnaan kain banyak diminati oleh konsumen dari mancanegara karena bahan yang menggunakan warna alam akan membuat penggunanya lebih nyaman dan dijamin tidak menimbulkan alergi. Timbulnya gerakan kembali ke alam, ketakutan akan pengaruh pencemaran oleh zat pewarna sintetis yang menyebabkan kanker dan adanya keinginan menghasilkan produk yang unik mendorong bangkitnya penggunaan zat pewarna alami (Alamsyah, 2018).

Wicaksono (2020) menyatakan “Proses pewarnaan pada zat warna alam daun kenikir memungkinkan untuk tidak berinteraksi langsung dengan bahan yang diwarnai. Pewarna alami bersifat substantif dan membutuhkan mordan sekaligus fiksator untuk terikat dengan kain, dan mencegah warnanya memudar dengan paparan cahaya atau mencuci. Senyawa ini mengikat pewarna alami pada kain dan membantu reaksi kimia yang terjadi antara pewarna dan serat, sehingga pewarna dapat diserap dengan mudah”.

Fitriah (2013) menyatakan “Salah satu proses yang menentukan dalam pewarnaan pada kain adalah proses mordanting, khusus untuk golongan zat warna mordan. Mordanting adalah perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan dan zat warna dapat langsung diserap oleh kain.

Mordanting juga berguna untuk menghasilkan kerataan dan ketajaman warna yang baik”. Bahan mordan yang biasa digunakan pada proses pewarnaan antara lain kapur, tawas, dan tunjung (Sunarya, 2014). Penelitian Astuti (2019) menjelaskan tawas merupakan zat penguat pada proses mordanting kain kapas sehinggga warna yang dihasilkan tidak mudah luntur, dan tawas berfungsi juga sebagai zat fiksasi yaitu terjadinya proses ikatan antara zat warna dengan serat.

Keberhasilan pewarnaan pada kain salah satunya ditentukan oleh ketepatan jenis mordan yang digunakan dan proses mordanting yang dipilih.

Yi Ding (2013) menyatakan proses mordanting untuk golongan zat warna mordan dapat dilakukan sebelum, setelah atau bersamaan dengan pencelupan, atau dikenal sebagai pre mordan (pre-mordanting), pasca–mordan (post-mordanting) dan mordan simultan (simultaneous/meta-mordanting).

Penambahan mordan (mordanting) diperlukan untuk mendorong zat warna agar terjadi difusi zat warna dari permukaan ke dalam serat kain (Azizah, 2018).

Dalam penelitian Sutrisni (2019) menjelaskan “Mordan berfungsi sebagai jembatan antara zat warna alam dan serat kain supaya dapat berikatan dengan baik, sehingga meningkatkan sifat tahan luntur warnanya, pada prosesnya menggunakan konsentrasi tawas 10, 20, 30 dan 40 gr/l”.

Penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al., (2014) menunjukkan hasil bahwa kain dengan bahan fiksator tawas menghasilkan warna kain yang lebih muda dan warna yang dihasilkan hampir sama dengan warna aslinya. Hal ini disebabkan karena tawas adalah garam lengkap alumunium sulfat yang bersifat menjernihkan dan bersifat menguatkan warna.

Menurut penelitian Sinurat (2007) menyatakan bahwa penggunaan pengental berdampak pada mutu ketajaman motif, ketuaan warna, kekakuan kain, ketahanan luntur warna terhadap pencucian dan gosokan. Pada penelitian Astuti (2019) pada pasta pencapan zat warna alam yaitu pengental dicampur dengan zat warna alam dan bagian terbesar dari pasta pencapan adalah pengental yang berfungsi sebagai media dan berperan sebagai pengantar zat warna masuk ke dalam serat dan mencegah terjadinya migrasi agar motif warna tetap tajam.

B. Dasar Teori 1. Serat kapas

Serat kapas dihasilkan dari perpanjangan sel epidermis pada kulit biji tanaman jenis Gossypium. Sebelum ditanam sebagai tanaman industri, kapas merupakan tumbuhan semak daerah tropis yang berbentuk piramida dengan tinggi sekitar 1-2 meter. Diameter batang sekitar 5-7,5 sentimeter sepanjang cabang-cabangnya.

a) Morfologi serat kapas

(1) Bentuk penampang membujur

Bentuk penampang membujur dari serat kapas adalah berbentuk pipih seperti pita yang terpuntir ke arah memanjang.

Gambar 2.1 Bentuk penampang membujur serat kapas (Noerati,2013)

(2) Bentuk penampang melintang

Bentuk penampang melintang serat kapas sangat bervariasi tergantung kedewasaan serat, secara umum penampang melintang serat kapas berbentuk hampir bulat tetapi pada umumnya berbentuk seperti ginjal. Pada serat kapas muda penampang melintangnya berbentuk U sedang pada serat kapas dewasa berbentuk hampir bulat atau seperti ginjal.

Gambar 2.2 Penampang melintang kapas mentah dan kapas merser (Noerti, 2013)

b) Komposisi serat kapas

Penyusun serat kapas 90% adalah selulosa. Selulosa merupakan polimer linier yang tersusun dari kondensasi molekul-molekul glukosa.

Glukosa Derajat polimerisasi selulosa pada kapas kira-kira 10.000 dengan berat molekul sekitar 1.500.000 pada dinding sekunder terdiri

dari selulosa murni dan pada dinding primer juga banyak mengandung selulosa.

Gambar 2.3 Struktur molekul selulosa (Noerati, 2013)

Komposisi serat kapas adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Komposisi Serat Kapas

(Noerati, 2013)

c) Sifat-sifat fisika serat kapas

(1) Warna, warna kapas tidak sangat putih tetapi kecoklat-coklatan (krem)

(2) Kekuatan

Kekuatan serat kapas terutama dipengarui oleh kadar selulosa di dalam serat. Serat kapas dalam keadaan basah kekuatanya makin tinggi. Kekuatan serat kapas per bundel rata-rata 96.700 pon/inchi dengan kekuatan minimum 70.000 dan maksimum 116.000 pon inchi kuadrat.

(3) Mulur

Mulur serat kapas saat putus tergolong tinggi di antara serat-serat selulosa lainya. Serat alam mulurnya lebih tinggi dari kapas adalah

Susunan Prosentase

Selulosa 94 %

Pektat 1,2 %

Protein 1,3 %

Lilin 0,6 %

Debu 1,2 %

Pigmen dan zat lainnya 1,7 %

serat protein yaitu wol dan sutra mulur serat kapas berkisar antara 4-3% dengan rata-rata 7%

(4) Keliatan adalah ukuran yang menunjukan kemampuan suatu benda untuk menerima kerja Keliatan serat kapas relatif tinggi dibandingkan serat alam lainya.

(5) Kekakuan serat kapas relatif sedang (6) Moisture Regain

Moisture regain serat kapas bervariasi dengan perubahan kelembaban relatif udara sekelilingnya. Moisture regain serat kapas pada kondisi standart berkisar antara 7-8,5%.

(7) Berat Jeniskapas berkisar antara 1,5-1,56%.

(d) Sifat – sifat kimia serat kapas

Karena serat kapas sebagian besar terdiri dari selulosa, maka sifat-sifat kimia serat kapas adalah sifat-sifat-sifat-sifat kimia selulosa yaitu :

(1) Tahan terhadap penyimpanan, pengolahan dan pemakaian yang normal.

(2) Kekuatan menurun oleh zat pengoksidasi karena terjadi oksi-selulosa, biasanya dalam pemutihan berlebihan, penyinaran dalam keadaan lembab atau pemanasan yang lama pada suhu di atas 1400C.

(3) Tidak tahan terhadap asam. Asam-asam dapat menyebabkan terjadinya hidroselulosa sehingga dapat menurunkan kekuatan serat.

(4) Alkali berpengaruh sedikit terhadap kapas, kecuali alkali kuat dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan penggelembungan serat, dan dapat memperbaiki daya serap

2. Zat warna alam

Zat warna alam merupakan zat warna yang diperoleh dari alam atau tumbuhan. Menurut Hendy (2018) “Zat pewarna alam untuk bahan tekstil umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Pengrajin-pengrajin telah banyak mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil beberapa

diantaranya adalah : kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma domestic), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferrugium), kesumba (Bixa orelana), dau jambu biji (Psidium guajava)”.

Bagian tumbuhan yang dapat digunakan untuk pewarnaan alam adalah daun, bunga, batang/kulit batang, akar maupun kulitnya serta biji/buahnya. Dalam penelitian (Natasha, 2018) menjelaskan berdasarkan jenis colouring matternya zat warna alam dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

a) Zat warna asam/basa

Zat warna jenis ini mempunyai gugus kombinasi asam dan basa, tepat untuk diterapkan pada pewarnaan serat sutera atau wol, tetapi tidak memberikan warna yang permanen pada katun, misalnya Zat warna ini terdapat pada bunga palu (carthomus tinctorius). Bunga palu direndam semalam, setelah air rendaman dibuang bunga tersebut direbus. Air rebusan ini bila ditambah alkali akan menjadi merah, bila ditambahkan asam warna sesuai aslinya yaitu kecoklatan.

Teh juga termasuk zat warna dalam golongan ini, teh mampu memberikan warna coklat dan apabila ditambahkan alkali warna akan menjadi merah.

b) Zat warna bejana

Zat warna ini mewarnai serat melalui proses reduksi-oksidasi udara. Zat warna ini merupakan pewarna paling tua di dunia, dengan ketahanan paling unggul dibandingkan dengan ZWA lainnya.

Yang termasuk dalam golongan zat warna bejana adalah zat warna alam dari daun tom / nila (indigofera / tinctoria L). Daun tom atau tarum banyak mengandung indicant. Daun – daun ini difermentasikan.

Dalam larutan terjadi fermentasi karena ada enzim indimulase terjadi hidrolise indicant menjadi indoxyl dan gula. Indoxyl adalah glucosida yang tidak berwarna, larut dalam air dan dalam larutan mudah teroksidasi oleh udara menjadi pigmen indigo yang tidak larut dalam

air. Reduksi memerlukan suasana alkali, untuk mendapatkan suasana alkali ditambahkan kapur tohor. Gugus karbonil dalam zat warna bejana direduksi oleh garam menjadi senyawa leuko yang terdiri dari gugus enol dan larut dalam air sebagai enolat atau leuco natrium, leuko natrium dioksidasi dengan udara akan kembali ke bentuk indigo semula. Pada proses pencelupan menggunakan zat warna ini bahan tekstil (benang/kain sebelum dicelup tidak perlu di mordan.

c) Zat warna direk

Disebut zat warna direk karena zat warna ini bisa mewarnai bahan tekstil secara langsung. Hal ini disebabkan zat warna direk memiliki daya gabung (afinitas) yang besar terhadap serat selulosa.

Beberapa zat warna direk dapat mencelup/mewarnai serat binatang berdasarkan ikatan hidrogen, contoh golongan ini adalah kunyit/kunir (curcumin).

Pada proses pencelupan menggunakan zat warna ini bahan tekstil (benang/kain) sebelum dicelup tidak perlu dimordan. Dilihat dari ketahanan luntur warnanya maka golongan 2 baik sekali (tidak luntur) sedangkan golongan 1 dan 3 mudah luntur. Untuk itu proses pencelupan menggunakan zat warna alam golongan 1 dan 3 perlu diikuti dengan pekerjaan iring (after treatment) yaitu fiksasi.

d) Zat warna mordan

Zat warna mordan bergabung dengan oksida logam membentuk zat warna yang tidak larut. Pada mulanya zat warna alam seperti Alizarin, logwood, weld dan fustic dapat mencelup apabila bahannya dimordan terlebih dahulu dengan kromhidroksida, timbal atau aluminium. Namun dengan adanya perkembangan zat warna sintetik, maka diproduksi zat warna alizarin dengan penambahan gugus-gugus kromofor seperti antrakinon, sehingga pemakaian zat warna mordan dapat lebih luas lagi. Zat warna mordan dapat mencelup serat-serat binatang, seperti poliamida dan serat selulosa.

Proses mordan bergantung pada kenyataan bahwa sejumlah elemen logam dapat berfungsi sebagai penerima (aseptor) terhadap pemberi elektron (donor) untuk membentuk ikatan karbonat (semi polar). Didalam ikatan kovalen, setiap partisipan menghasilkan satu elektron, tetapi ikatan koordinat bergantung pada satu atom atau radikal dengan satu atom lebih pasangan elektron bebas yang memberikan satu atau lebih pasangan elektron bebas kepada aseptor yang mempunyai lintasan kosong. Didalam struktur molekul dinyatakan sebagai tanda panah dari donor ke aseptor untuk menyatakan adanya ikatan koordinat. Misalnya ikatan kompleks antara molekul azarin dengan atom krom oleh tiga ion dalam ikatan koordinat. Golongan ini paling banyak terdapat di alam, contohnya:

kayu nangka, mengkudu, secang, mahoni, jambal, tingi, tegeran, manga, jambu biji, jati. Bahan tekstil sebelum diwarnai dengan zat warna ini perlu di mordan agar warna yang dihasilkan tidak luntur (zat warna dapat berikatan dengan serat secara baik) karena adanya zat mordan.

Bagian tumbuhan yang dapat di ekstrak adalah bagian yang diindikasikan paling banyak memiliki pigmen warna misalnya bagian daun, bunga, batang, akar, kulit, buah dan biji. Zat warna yang di ekstrak dari bagian daunnya dan merupakan golongan zat warna mordan salah satunya adalah daun kenikir. Penelitian daun kenikir sebelumnya sudah diteliti melalui cara pencelupan oleh Wicaksono (2020) “Berdasarkan hasil pra-eksperimen pertama air rebusan kenikir bersifat netral, kemudian ditambahkan soda abu maupun asam asetat dapat digunakan sebagai zat pewarna alami namun warna yang dihasilkan tidak dapat terikat dengan baik pada kain kapas. Oleh sebab itu, dilanjutkan dengan pra-eksperimen kedua untuk menentukan fiksator yang dapat mengikat warna dengan baik (menghasilkan peningkatan warna stabil) menggunakan tawas, kapur dan tunjung.

Hasil pra-eksperimen kedua bahwa fiksator tawas menghasilkan

kerataan dan ketahanan luntur yang sangat baik dibanding kapur dan tunjung”.

(1) Tanaman kenikir

Kenikir mempunyai nama latin Cosmos caudatus, merupakan tumbuhan daerah tropis. Daun kenikir merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Amerika Latin, Amerika Tengah, tetapi tumbuh liar dan mudah didapati di Florida, Amerika Serikat serta di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kenikir dapat ditemui di pembatas sawah, tepi ladang dan semak belukar.

Kenikir tahan terhadap cuaca panas dan dapat tumbuh di tempat yang terkena sinar matahari langsung dengan tanah berpasir, berbatu, berlempung, dan liat bepasir dengan kelembapan sedang atau lebih (Wicaksono, 2020).

Gambar 2.4 Daun kenikir (Khairani, 2017)

Daun kenikir mengandung flavonoid, flavon dan flavanon, polifenol, saponin, tanin, alkaloid dan minyak astiri serta kandungan flavonoid yang paling banyak terdapat dalam daun kenikir (Sahid, 2016). Flavonoid merupakan pigmen kuning (Mulyani, 2006).

Flavonoid termasuk senyawa fenolik yang kaya akan gugus hidroksil (Wahyuni, 2018). Tanaman kenikir umumnya dimanfaatkan dengan cara direbus, energi panas pada saat perebusan akan mempercepat lepasnya zat warna yang terkandung dalam

tanaman kenikir sehingga menyebabkan air rebusan berubah warna menjadi kuning (Wicaksono, 2020).

3. Mordanting

Dalam penelitian Natasha (2018) mendefinisikan “Mordan sebagai senyawa logam polivalen yang dapat membentuk kompleks koordinat dan ikatan kovalen antara zat warna dengan serat. Atom logam membentuk ikatan kovalen dengan hidroksil, karboksil, oksigen pada zat warna atau serat dan ikatan koordinat antar satu elektron yang berdekatan dengan atom oksigen yang berikatan rangkap”. Dalam penelitian Natasha (2018) menyatakan bahwa Vanker (2009) mendefinisikan “Mordan sebagai garam logam yang menghasilkan afinitas antara bahan tekstil/serat dan zat warna”. Mordan dapat mengikat beberapa molekul zat warna bersama- sama membentuk senyawa kompleks dengan ukuran yang lebih besar dan berikatan dengan serat. Senyawa kompleks dengan ukuran yang besar ini dapat membantu serat menahan zat warna sehingga meningkatkan ketahanan luntur warna terhadap pencucian dan gosokan. Ikatan komplek yang terjadi antara serat, mordan dan molekul zat warna alam dapat dilihat pada gambar berikut :

kapas komplek kapas-mordan komplek kapas-mordan-zat warna Gambar 2.5 Ikatan komplek antara serat – mordan – zat warna

(Natasha, 2018)

Berikut beberapa tujuan proses mordanting,diantaranya:

a) Mordanting berperan penting untuk meningkatkan kemampuan menempelnya bahan pewarna pada kain.

b) Menghilangkan komponen dalam serat seperti minyak, lemak, lilin dan kotoran-kotoran lain yang dapat menghambat proses masuknya zat warna ke dalam serat.

c) Sebagai penguat warna agar kain lebih tahan terhadap luntur.

d) Meningkatkan daya tarik zat warna alam terhadap bahan tekstil agar menghasilkan kerataan dan ketajaman warna yang baik.

e) Membentuk jembatan kimia antara zat warna alam dengan serat kain sehingga afinitas (daya tarik) zat warna meningkat terhadap serat.

Penggunaan pewarna alam untuk tekstil memerlukan mordan.

Mordan berfungsi sebagai pembangkit warna dan sebagai penguat warna agar tahan luntur. Menurut Rasyid Djufri (2008), pencelupan dengan mordan dapat ilakukan dengan 3 cara, yaitu:

a) Mordan pendahuluan (pre mordanting)

Pencelupan bahan yang dilakukan dengan mencelup bahan dengan senyawa logam terlebih dahulu kemudian setelah dicuci bersih bahan dicelup dengan zat warna.

b) Mordan meta (meta-mordanting)

pencelupan bahan yang dilakukan dengan larutan celup harus terdiri dari zat warna dan zat mordan.

c) Mordan akhir (post mordanting)

Pencelupan bahan dalam larutan zat warna terlebih dahulu kemudian setelah zat warna terserap semua kedalam bahan dilanjutkan dengan pengerjaan mordan dengan senyawa logam.

Zat mordan yang digunakan salah satunya yaitu Tawas. Tawas adalah kelompok garam rangkap berhidrat berupa kristal dan bersifat isomorf. Tawas akan larut pada suhu lebih dari 80⁰ C. Berikut beberapa contoh tawas dan cara pembuatannya:

a) Natrium alumunium sulfat dodekahidrat (tawas natrium) dengan formula NaAl(SO4)2.I2H2O.

b) Kalium alumunium sulfat dodekahidrat (tawas kalium) dengan rumus KAI(SO4)2. I2H2O Tawas kalium dibuat dari logam alumunium dan kalium hidroksida. Logam alumunium bereaksi secara cepat dengan KOH panas menghasilkan larutan garam kalium aluminat.

c) Ammonium alumunium sulfat dodekahidrat (tawas ammonium) dengan formula NH4AI(SO4)2. I2H2O.

d) Kalium kromium (III) sulfat dodekahidrat (tawas kromium) dengan formula KCr(SO4)2. I2H2O.

e) Ammonium besi (II) menjadi ion besi (III) dengan formula NH4Fe(SO4)2. I2H2O. Tawas ini dibuat dengan mengoksidasi ion besi (II) menjadi ion besi (III) dengan asam nitrat dalam larutan ammonium sulfat.

4. Pencapan

Pencapan adalah suatu proses pemberian warna pada kain secara tidak merata sesuai dengan motif yang telah ditentukan dan hasilnya memiliki ketahanan luntur warna. Untuk mencapai hasil pencapan yang baik pada proses pencapan dibutuhkan kondisi yang spesifik, peralatan khusus dan desain yang sempurna, desain memiliki nilai seni yang tinggi dan biasanya diciptakan sebagai hasil karya seni. Teknik pencapan intinya merupakan cara pemindahan desain dengan suatu peralatan tertentu yang diharapkan dapat menjamin mutu dan kualitas hasil pencapan (Noerati, 2013).

Teknik pencapan intinya merupakan cara pemindahan desain dengan suatu peralatan tertentu yang diharapkan dapat menjamin mutu dan kualitas hasil pencapan.

Pada pencapan dapat digunakan bermacam-macam warna dan golongan zat warna dalam satu kain dan tidak saling mempengaruhi.

Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam proses pencapan adalah sebagai berikut :

a) Pencapan blok (block printing)

Cetakan terbuat dari kayu atau logam tembaga dengan bagian motif yang menonjol. Zat warna dituang ataupun dipoles pada bantalan, selanjutnya alat cetak ditekankan pada bantalan yang sudah mengandung zat warna, kemudian dicapkan kepermukaan kain yang telah dipasang di atas meja cap. Jalannya kain dan alat cetak dilakukansecara manual oleh tangan.

Pencapan blok (block printing) peralatannya sangat mudah dan sederhana, cara ini sudah sejak lama dipergunakan, pencapan blok sangat tidak efisien, tidak bisa untuk motif halus dan lembut, memerlukan biaya yang mahal, produksinya rendah + 10 m per jam, sehingga cara ini jarang dipergunakan.

b) Pencapan semprot (spray printing)

Pencapan semprot banyak dilakukan untuk desain kasar terutama untuk mengecap bahan-bahan yang tebuat dari kayu, logam, karung goni ataupun dari kain seperti untuk pembuatan spanduk. Cetakan terbuat dari kertas karton, lempengan logam, plastik, kayu, dan kasa, gambar dibuat pada kertas kemudian dipindahkan pada lempengan logam, plastik, kayu, ataupun kertas karton menggunakan kertas karbon, selanjutnya bahan-bahan tersebut dilubangi dengan cutter sesuai dengan gambar.

c) Pencapan rol (roller printing)

Mesin pencapan rol diciptakan pada tahun 1785 oleh Thomas Bell.

Penciptaan mesin ini sangat penting dalam perkembangan industri tekstil khususnya industri tekstil bidang pencapan. Pencapan rol adalah pencapan kontinyu, mesin pencapan ini menggunakan rol cetak beratur yang dipahat/diukur/digrafis pada permukaannya sesuai dengan pola.

Rol cetak membawa pasta cap yang disuplaikan oleh rol penyuap dan selanjutnya pasta cap dipindahkan pada kain yang dicap.

Dokumen terkait