• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1 TUJUAN UMUM

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan HbA1C dengan kadar glukosa darah puasa pasien penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP H. Adam Malik.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui gambaran distribusi kadar HbA1C pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik.

2. Untuk mengetahuigambaran distribusi KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya secara berturut-turut pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik.

3. Untukmenganalisis hubungan antara kadar HbA1C dengan KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya secara berturut-turut pada pasien penderita DM tipe 2.

4. Untuk menganalisis pola hubungan dan kekuatan hubunganantara kadar HbA1C dengan KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya pada pasien penderita DM tipe 2.

5. Untuk menganalisis besar pengaruh antara kadar HbA1C dengan KGD puasa pada pasien penderita DM tipe 2.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1 MANFAAT BAGI PENELITI

Penelitian ini dilaksanakan sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu serta untuk meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan tentang hubungan HbA1C terhadap KGD puasa pasien penderita DM tipe 2 serta menjadi gambaran atau referensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fokus yang sama.

1.4.3 MANFAAT BAGI MASYARAKAT

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengontrol KGD melalui pemeriksaan HbA1C untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi akibat DM dan dapat meningkatkan kepedulian untuk menjaga pola hidup yang sehat serta memberi informasi yang bermanfaat pada penyelenggara kesehatan dalam penggunaan pemeriksaan HbA1C untuk meningkatkan pencapaian status kesehatan pada penderita DM tipe 2.

1.4.5 MANFAAT BAGI INSTITUSI PENDIDIKAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat untuk penelitian lanjut mengenai fokus yang sama, seperti HbA1C dan DM tipe 2.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DIABETES MELITUS

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel beta pankreas untuk mensekresi insulin, gangguan pada efek kerja insulin atau keduanya. Kondisi hiperglikemia yang bersifat kronis pada diabetes melitus dapat diasosiasikan dengan kerusakan jangka panjang, seperti disfungsi berbagai organ terutama mata, ginjal, hati dan pembuluh darah. Penurunan efek kerja insulin dapat disebabkan oleh karena sekresi insulin yang tidak adekuat dan/atau berkurangnya respon tubuh terhadap insulin. Kedua hal ini sering kali muncul pada satu pasien dan sulit untuk menentukan kelainan mana yang merupakan penyebab yang mendasari timbulnya kondisi hiperglikemia.

ADA mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi empat tipe, yaitu : 1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan pada sel beta pankreas yang mengganggu fungsinya untuk mensekresikan insulin dan berakhir pada defisiensi insulin. Berdasarkan etiologinya DM tipe 1 dapat dibedakan menjadi :

a. Immune-mediated diabetes

Bentuk diabetes ini hanya didapati sekitar 5-10% dari seluruh kasus diabetes. Dalam kasus immune-mediated diabetes, kerusakan sel beta pankreas dimediasi oleh aktivitas autoimun seluler. Marker yang menyebabkan destruksi sel bet pankreas dapat berupa autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin dan lain-lain. Destrusksi sel beta pankreas biasanya muncul pada usia anak-anak, remaja, tapi bisa juga muncul pada dekade kedelapan/sembilan.

b. Diabetes idiopatik

Beberapa penderita DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang jelas.

Pasien akan menunjukkan gejala insulinopenia kronis tanpa adanya

tanda autoimunitas. Hanya sebahagian pasien DM tipe 1 yang masuk pada kategori diabetes idiopatik.

2. Diabetes melitus tipe 2

DM tipe 2 merupakan tipe diabetes dengan prevalensi terbanyak, yaitu 90-95% dari seluruh kasus diabetes melitus. DM tipe 2 juga disebut non-insulin-dependent diabetes disebabkan oleh keadaan tubuh yang resisten terhadap insulin dan biasanya disertai defisiensi insulin yang relatif.

3. Diabetes tipe lain

Berdasarkan etiologinya, diabetes tipe lain dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Kelainan genetik pada sel beta pankreas.

b. Kelainan genetik pada aksi kerja insulin.

c. Gangguan pada pankreas, misalnya akibat trauma, pancreatectomy dan karsinoma pankreas.

d. Endokrinopati, kondisi dimana terdapat jumlah berlebih pada hormon yang cara kerjanya antagonis terhadap insulin. Seperti kortisol,glukagon dan epinefrin.

e. Diabetes yang diinduksi obat-obatan dan zat tertentu.

f. Infeksi, beberapa virus yang sering diasosiasikan dengan kondisi DM karena menyebabkan kerusakan sel beta pankreas adalah rubella, coxsackievirus-B, cytomegalovirus dan mumps.

4. Diabetes gestasional

Merupakan keadaan DM yang muncul selama masa kehamilan akibat perubahan hormonal yang mengganggu aktivitas insulin. Wanita yang pernah menderita diabetes gestasional, selanjutnyaakan cenderung mengalami DM tipe 2 (ADA, 2014).

2.2 DIABETES MELITUS TIPE 2 2.2.1 DEFINISI

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia kronis akibat insensitivitas/resistensi sel terhadap insulin.

Kadar insulin yang dihasilkan mungkin relatif menurun atau normal. Karena hal dasar yang memicu kondisi ini bukanlah gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, diabets melitus tipe 2 disebut juga sebagai non-insulin-dependent diabetes melitus (Kohei, 2010).

2.2.2 ETIOLOGI

Etiologi pada kasus DM tipe 2 adalah resistensi insulin. Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan jaringan perifer dalam pengambilan glukosa akibat keadaan insensitif terhadap rangsangan kerja dari insulin. Oleh karena sel beta pankreas tidak mampu mengimbangi keadaan resisten terhadap insulin, maka kegagalan sel beta pankreas menyebabkan defisiensi relatif insulin. Etiologi DM tipe 2 juga berkaitan dengan faktor lainnya seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, stres dan proses degeneratif. Dengan kata lain, etiologi DM tipe 2 biasanya bersifat multifaktorial (Kohei, 2010).

2.2.3 FAKTOR RISIKO 1. Faktor demografik a. Umur

Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES), prevalensi kejadian diabetes meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Di kebanyakan populasi dunia, angka kejadian diabetes tipe 2 adalah rendah pada individu berumur kurang dari 30 tahun tapi meningkat dengan cepat dan kontinu setelah itu.

b. Jenis kelamin

European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC) menyatakan bahwa angka kejadia DM lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan berdasarkan observasi konsisten di negara-negara Eropa. Namun hal ini tidak sepenuhnya sesuai dengan data dari populasi di US yang menunjukkan angka kejadian DM yang lebih tinggi pada laki-laki di tahun 2010, namun menjadi lebih rendah dibandingkan angka kejadian DM pada perempuan di tahun 2013.

c. Ras

Data dari survei nasional tahun 2007-2009 menunjukkan bahwa risiko DM tipe 2 adalah dua kali lebih besar pada ras kulit hitam dan Latin dibandingkan dengan ras kulit putih. Data nasional tahun 2011-2012 juga menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada ras Asia-Amerikadibandingkan dengan ras kulit putih. Hal ini diduga terkait kebiasaan yang menimbulkan perbedaan dalam prevalensi obesitas dan gaya hidup.

2. Faktor genetik

Riwayat keluarga dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko DM tipe 2. Hasil studi menunjukkan tingkat kejadian DM tipe 2 pada kembar monozigot adalah 34-58% dan 12-20% pada kembar dizigot.Genome-wide Association Studies (GWAS) menyatakan bahwa ada banyak sekali variasi genetik yang dapat menjadi faktor predisposisi kejadian DM tipe 2 dan biasanya terkait gen yang berhubungan dengan fungsi sel beta pankreas. Selain itu, orangtua dengan riwayat DM tipe 2 akan menurunkan kebiasaan gaya hidup yang serupa pada keluarganya sehingga cenderung meningkatkan faktor resiko terjadinya DM tipe 2.

3. Faktor kebiasaan dan gaya hidup a. Nutrisi

Pola makan dan asupan nutrisi yang tidak sesuai dapat meningkatkan risiko terjadinya DM tipe 2. Seperti banyak mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi ditambah dengan pola makan yang tidak

teratur, dapat menimbulkan kondisi resisten pada reseptor insulin.

Sedangkan untuk lemak, peningkatan resiko bergantung pada jenis lemak yang dikonsumsi. Konsumsi makanan tinggi Poly-Unsaturated Fatty Acid (PUFA) secara rutin ternyata dapat menurunkan resiko DM tipe 2.

b. Aktivitas fisik

Berdasarkan studi kohort yang dilakukan melipiti US dan Jerman, keadaan inaktivitas fisik diestimasikan akan berkontribusi sebanyak 7%

dari resiko kejadian DM di seluruh dunia. Aktivitas fisik intensitas sedang dapat menurunkan risiko terjadinya DM tipe 2, misalnya aktivitas aerobik selama ≥ 150 menit per minggu secara independen dapat diasosiasikan dengan penurunan resiko DM tipe 2 sebanyak 34-52%. Aktivitas fisik yang rutin dilakukan meningkatkan densitas mitokondria dan aktivitas enzim oksidatif, serta meningkatkan ambilan glukosa otot secara insulin-independent dan insulin-independent.

c. Obesitas

Obesitas merupakan salah satu pemicu timbulnya DM tipe 2, obesitas dapat diasosiasikan dengan gangguan pengaturan kontrol nafsu makan akibat insensitivitas hormonal dan gangguan efek kerja insulin.

d. Merokok

Studi menunjukkan prevalensi DM tipe 2 pada perokok berat meningkat jika dibandingkan perokok ringan dan bukan perokok. Mekanisme hubungan keduanya masih belum jelas, beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan dengan resistensi insulin

4. Paparan faktor risiko dini

Bayi yang dikandung oleh ibu penderita DM atau hiperglikemia dan bayi dengan berat lahir < 2500 g atau > 4000 gram(Leyet al, 2015).

2.2.4 MANIFESTASI KLINIS 1. Poliuria

Poliuria adalah keadaan dimana volume urin 24 jam melebihi batas normal. Pada penderita DM tipe 2 hal ini terjadi oleh karena peningkatan konsentrasi glukosa darah yang mengakibatkan difusi cairan intraseluler ke ekstraseluler.

2. Polidipsia

Polidipsia adalah rasa haus berlebih, disebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah yang memicu difusi cairan intraseluler ke ekstraseluler.

3. Polifagia

Penderita DM akan merasa cepat lapar karena ambilan glukosa darah yang terganggu dan proses pemecahan glikogen.

4. Penurunan berat badan

Akibat resistensi insulin dan terganggunya ambilan glukosa darah, tubuh merespon dengan lipolisis dan glukoneogenesis.

5. Mudah lelah, malaise (Campbell, 2000).

2.2.5 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi terjadinya DM tipe 2 diawali dengan keadaan hiperglikemia yang kronis yang dapat disebabkan berbagai faktor. Saat terjadi peningkatan konsentrasi glukosa darah, secara fisiologis glukosa akan menduduki reseptor Glucose Transporter-2 (GLUT-2), mengalami proses glikolisis dan menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP) sehingga terjadi penutupan kanal K dan kanal Ca terbuka. Jumlah Ca intrasel yang meningkat akan menstimulasi proses eksositosisuntuk sekresi insulin. Namun pada penderita DM tipe 2, keadaan hiperglikemia kronis menyebabkan tubuh menjadi resisten terhadap efek kerja insulin (PAPDI,2014). Menurut teori Ominous Octet, terdapat delapan hal yang berkontribusi di dalam patofisiologi DM tipe 2, yaitu :

1. Sel beta pancreas

Pada penderita DM tipe 2, kegagalan kerja sel beta pankreas untuk memenuhi kebutuhan insulin adalah bersifat relatif terhadap keadaan resistensi insulin penderita. Dalam keadaan dimana sel beta pankreas secara terus-menerus dipaksa untuk bekerja, hal ini dapat berdampak pada penurunan fungsi dan jumlah sel beta pankreas.

2. Hati

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa oleh hati atau disebut juga Hepatic Glucose Production (HGP) meningkat disertai dengan peningkatan sekresi glukagon.

3. Otot

Otot dalam keadaan normal berkontribusi dalam penyimpanan glukosa melalui mekanisme ambilan glukosa insulin-dependent dan non-independent. Hasil studi menunjukkan bahwa pada penderita DM tipe 2 biasanya terdapat kegagalan efek kerja insulin pada intramioseluler oleh karena resistensi reseptor insulin pada otot. Kondisi ini berkaitan dengan gangguan proses ambilan glukosa insulin-dependentoleh otot (berkurang hingga 50% dibandingkan individu normal), penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

4. Sel adiposa

Penderita DM tipe 2, oleh karena kondisi resisten terhadap insulin, akan menyebabkan menurunnya efek antilipolisis dari insulin terhadap sel-sel adiposa. Hal ini akan menyebabkan peningkatan proses lipolisis sehingga kadar Free Fatty Acid (FFA) dalam plasma akan meningkat. Peningkatan konsentrasi FFA plasma akan merangsang proses glukoneogenesis, menstimulasi HGP dan menghambat ambilan glukosa hati. Selain itu peningkatan konsentrasi FFA juga akan mengganggu kerja reseptor insulin-dependent untuk ambilan glukosa otot dan inhibisi sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.

5. Usus

Saluran pencernaan berperan penting dapam pengaturan KGD melalui efek inkretin yang disekresikan di ususyang distimulasi oleh penyerapan nutrisi. Inkretin akan merangsang sekresi hormonGlucagon-like Polypeptide-1 (GLP-1) oleh sel L (terutama di duodenum dan jejunum) dan sekresiGlucose-dependent Insulinotrophic Polypeptide atau disebut juga Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP) oleh sel K (terutama di ileum dan kolon). Dalam keadaan normal, efek inkretin akan menstimulasi sekresi insulin dan menginhibisi sekresi glukagon. Namun, pada penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten GIP.

6. Sel alfa pankreas

Kondisi resistensi insulin pada penderita DM tipe 2 akan menimbulkan peningkatan sekresi glukagon oleh sel alfa pankreas. Peningkatan kadar glukagon akan menstimulasi pemecahan glikogen hati atau peningkatan HGP.

7. Ginjal

Ginjal mampu memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per hari. 90% dari glukosa terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter-2) pada bagian convulated tubulus proksimal.

Sedangkan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin.

Pada penderita DM tipe 2, umumnya fungsi reabsorbsi ginjal menjadi kurang adaptif terhadap kebutuhan sehingga ginjal tetap mereabsorbsi glukosa walau dalam keadaan berlebih. Hal ini diperburuk dengan respon ginjal terhadap keadaan hiperglikemia kronis yaitu peningkatan kapasitas reabsorbsi renal terhadap glukosa.

8. Otak

Pada penderita DM tipe 2, terdapat gangguan dalam pengaturan nafsu makan terkait insulin. Dalam keadaan normal, pusat kontrol nafsu makan berada pada lower posterior hypothalamus (nukleus ventromedial) dan

upper posterior hypothalamus (nukleus paraventrikuler). Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Kondisi resisten terhadap insulin pada otak akan cenderung mengakibatkan meningkatnya asupan kalori penderita DM tipe 2, disertai dengan peningkatan HGP dan menurunnya ambilan glukosa otot (DeFronzo, 2009).

Gambar 2.1 The Ominous Octet, Delapan Organ yang Berperan dalam Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (DeFronzo, 2009)

2.2.6 DIAGNOSIS

Kriteria pemeriksaan penunjang untuk diagnosis diabetes melitus tipe 2 menurut ADA adalah sebagai berikut :

a. Fasting Plasma Glucose (FGP) atau kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Dimana puasa diartikan sebagai tanpa asupan kalori selama setidaknya 8 jam.

b. 2-Hour Plasma Glucose (2-hPG) atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L). Tes harus dilakukan sesuai dengan yang telah dideskripsikan oleh WHO, menggunakan cairan glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa dilarutkan dengan air.

c. HbA1C ≥ 6.5% (48 mmol/mol). Tes harus dilakukan sesuai dengan metode yang distandardisasi oleh NationalGlycohaemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complication Trial (DCCT).

d. Random Plasma Glucose (RPG) atau kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L).

Hasil tes tanpa adanya gejala hiperglikemia yang jelas harus dikonfirmasi dengan pengulangan tes tersebut (ADA, 2017).

2.2.7 TATALAKSANA

a. Edukasi

Edukasi pada penerita DM tipe 2 meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan kadar glukosa darah secara berkelanjutan, penyulit DM dan risikonya, intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

b. Terapi nutrisi

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori.

c. Latihan fisik

Latihan fisik sehari-hari dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total sekitar 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.

d. Terapi farmakologis

 Pemacu sekresi insulin, seperti Sulfonilurea dan Glinid.

 Peningkat sensitvitas terhadap insulin dengan memperbaiki ambilan glukosa, seperti Metformin dan Thiazolidindion.

 Penghambat absorbsi glukosa di saluran pencernaan, seperti Acarbose yang menghambat Alfa Glukosidase.

Penghambat Dipeptidyl Peptidase-IV (DPP-IV) untuk mencegah inaktivasi GLP-1. Seperti Sitagliptin dan Linagliptin.

 Penghambat SGLT-2 untuk mengurangi reabsorbsi glukosa di tubulus distal ginjal. Seperti Dapagliflozin (Soelistijoet al, 2015).

2.2.8 KOMPLIKASI

a. Kerusakan saraf (neuropati)

Bila dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi hiperglikemia dapat menyebabkan melemahnya dinding pembuluh darah kapiler yang mendarahi sistem saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik dapat mengakibatkan ketidakmampuan saraf untuk menghantarkan rangsangan impuls saraf.

Prevalensi neuropati diabetik pada penderita DM tipe 2 pada populasi penderita berkisar 13.1-45.0%.

b. Kerusakan ginjal (nefropati)

Kerusakan pada kapiler glomerulus yang berfungsi untuk memfiltrasi darah akan mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal. Prevalensi kejadian nefropati pada populasi penderita DM tipe 2 berkisar 9.2-32.9%.

c. Kerusakan mata (retinopati)

Retinopati diabetik dapat terjadi melalui jalur poliol. Prevalensi kejadian retinopati pada pasien DM tipe 2 berkisar 10.1-55.0%.

d. Hipertensi

Kerusakan endotel pembuluh darah akibat keadaan hiperglikemia yang kronis dapat menyebabkan pengerasan dan penebalan pembuluh darah

yang akan meningkatkan tekanan pembuluh darah. Keadaan hipertensi akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung dan stroke.

e. Stroke

Prevalensi kejadian stroke berkisar 2.8-12.5% dalam penelitian pada populasi penderita DM tipe 2.

f. Penyakit jantung koroner

Kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan penyempitkan pembuluh darah akan berakibat menurunnya suplai darah ke otot jantung. Hal ini merupakan dasar meningkatnya risiko kejadiannya pada penderita DM.

Prevalensi kejadian penyakit jantung koronerpada populasi penderita DM tipe 2 berkisar 1.8-43.4% (Ndraha, 2014).

2.3 HEMOGLOBIN A1C (HbA1C)

Hemoglobin A1C pertama kali ditemukan pada tahun 1960-an melalui suatu proses elektroforesis hemoglobin. Pada tahun 1962, Huisman dan Dozy melaporkan peningkatan salah satu fraksi yang dikarakterisasikan sebagai suatu reaksi antara glukosa dan hemoglobin pada beberapa pasien DM. Pada tahun 1969, Rahbar kembali menemukan fraksi tersebut pada dua orang penderita diabetes yang sedang menjalani skrining. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi fraksi ini, jugadiikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah pada penderita DM.

Pada tahun 1976, HbA1C mulai dianggap sebagai indikator terkontrolnya kadar glukosa darah penderita DM dimana dengan penurunan konsentrasi HbA1C, menunjukkan berkurangnya angka kejadian komplikasi DM dan peningkatan pada kualitas hidup penderita.Pemeriksaan HbA1C kemudiandiadopsi ke dalam praktek klinik pada tahun 1990-an olehDCCT dan The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) sebagai alat monitoring derajat kontrol DM. HbA1C dijadikan salah satu kriteria diagnostik pada tahun 2009 oleh NGSP, yang kemudian diakui oleh ADA pada tahun 2010 dan WHO pada tahun 2011 (Karnchanasorn, 2016; WHO, 2011).

2.3.1 DEFINISI HbA1C

HbA1C adalah substraksi dari hemoglobin A (HbA). HbA paling umum ditemukan pada orang dewasa sebanyak 91-95% dari total hemoglobin. HbA memiliki dua rantai alfa dan dua rantai beta. Sekitar 6% dari bentuk HbA adalah HbA1. HbA1 memiliki tiga bentuk fraksi : HbA1A, HbA1B dan HbA1C (English dan Garry, 2012).

HbA1C merupakan bentuk fraksi hemoglobin yang mengalami proses glikosilasi (penambahan gugus glukosa) yang berikatan kovalen dengan valin N-terminal rantai beta molekul hemoglobin secara spontan akibat paparan glukosa terhadap hemoglobin, dan tanpa bantuan enzim. Jumlah hemoglobin terglikasi bergantung pada konsentrasi glukosa darah, dimana semakin tinggi kadar glukosa darah makan konsentrasi hemoglobin terglikasi juga akan meningkat (WHO, 2011; English dan Garry, 2012).

2.3.2 PEMBENTUKAN HbA1C

Pembentukan HbA1C melibatkan suatu proses glikosilasi non-enzimatik (glikasi) antara gugus amino protein dengan glukosa, reaksi ini disebut dengan Maillard reaction. Proses ini diawali difusi terfasilitasi glukosa melalui GLUT-1 transporter eritrosit sehingga glukosa terpapar dengan hemoglobin. Glukosa kemudian berikatan dengan N-terminal valin rantai beta hemoglobin membentuk senyawa aldimine (Schiff base) yang tidak stabil. Selanjutnya schiff base menjalani suatu penyusunan molekul yang disebut dengan Amadori rearrangement, menghasilkan produk Amadori dengan ketoamin yang lebih stabil, yaitu HbAIC.

Oleh karena masa hidup eritrosit yang berlangsung sekitar 120 hari, HbA1C dianggap dapat mencerminkan kadar glukosa darah sampai 3 bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi perubahan keadaan glukosa darah harian yang sangat fluktuatif. Pada tahap akhir proses glikasi, karena paparan glukosa yang berlangsung lama, dapat terbentuk Advanced Glycation End-product (AGE) yang merupakan bentuk ireversibel dari Maillard reaction. Akumulasi dari protein

AGE juga dapat menjadi pemicu dari berbagai komplikasi DM seperti retinopati, nefropati dan neuropati (Guptaet al, 2017; Paputungan dan Harsinen, 2014;

Nagaiet al, 2012; English dan Garry, 2012; Hareet al, 2012).

2.3.3 METODE PEMERIKSAAN HbA1C

Metode pemeriksaan HbA1C dapat dibedakan berdasarkan cara pemisahan komponen hemoglobin glikosilasi dan non-glikosilasi, seperti :

a. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan muatan b. Metode pemeriksaan berdasarkan reaktivitas kimia c. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan struktural

Pada umumnya, hasil antar metode yang menggunakan prinsip berbeda akan menunjukkan korelasi sangat baik dan belum ada data pasti mengenai metode yang lebih unggul. Hasil HbA1C dapat bervariasi. Kurangnya standardisasi internasional terkait pemeriksaan HbA1C mendorong beberapa negara mengembangkan program harmonisasi sendiri. NGSP menetapkan High

Gambar 2.2 Reaksi Kimia Terkait dengan Proses Glikasi Hemoglobin (Gupta et al, 2017)

Performance Liquid Chromatography (HPLC) sebagai metode utama dengan prinsip dasar pertukaran molekul kation (Guptaet al, 2017). Metode lain yang sering digunakan untuk pemeriksaan HbA1C adalah Turbidimetric Inhibition Immunoassay (TINIA) dengan prinsip dasar terbentuknya struktur khas antara antigen dengan antibodi HbA1C. Keduanya memiliki konkordasi hasil pemeriksaan yang baik (Genset al, 2012).

Tidak ada persiapan khusus yang perlu dilakukan untuk pengambilan sampel darah dalam pemeriksaan HbA1C. Jenis sampel darah yang digunakan adalah whole blood. Diambil sebanyak 5.0 mL atau minimum 2.5 mL. Sampel whole blood dimasukkan ke dalam tube denganpenggunaan Ethylenediaminetetraacetic Acid (EDTA) sebagai antikoagulan. Kemudian tube berisi sampel dibolak-balik hingga 8-10 kali sebelum dimasukkan ke alat penghitung HbA1C (Jeppsson et al, 2002).

2.3.4 INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN HbA1C

Peningkatan atau penurunan konsentrasi HbA1C dianggap berkorelasi positif dengan konsentrasi glukosa darah. Berikut merupakan perkiraan hubungan konsentrasi HbA1C dengan rata-rata glukosa darah oleh ADA :

HbA1C (%) Glukosa Darah (mg/dL) Glukosa Darah (mmol/L)

6 126 7,0

7 154 8,6

8 183 10,2

9 212 11,8

10 240 13,4

11 269 14,9

Tabel 2.1 Hubungan antara HbA1C dengan Rata-Rata Glukosa Darah.sumber. ADA, 2011

WHO menentukan cut-off point diagnosis diabetes melitus dengan kadar HbA1C ≥ 6.5% atau setara 48mmol/mol (WHO, 2011). Sedangkan seseorang dengan kadar HbA1C 5.7-6.4% dianggap memiliki resiko tinggi untuk menderita

WHO menentukan cut-off point diagnosis diabetes melitus dengan kadar HbA1C ≥ 6.5% atau setara 48mmol/mol (WHO, 2011). Sedangkan seseorang dengan kadar HbA1C 5.7-6.4% dianggap memiliki resiko tinggi untuk menderita

Dokumen terkait