• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KADAR HBA1C DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA PASIEN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KADAR HBA1C DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA PASIEN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK SKRIPSI"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR HBA1C DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA

PASIEN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

SKRIPSI

Oleh : NABILA

150100013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

HUBUNGAN KADAR HBA1C DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA

PASIEN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh : NABILA

150100013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat-Nya, yang hanya atas kehendak-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Hubungan Kadar HbA1C terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa pada Pasien Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik” ini sebagai salah satu syarat kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapatkan begitu banyak bantuan dalam bentuk ilmu, fasilitas dan dukungan moral yang terus membangkitkan motivasi penulis sehingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Untuk itu, dengan hati penuh rasa syukur penulis mengucapkan terimakasih terkhusus kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Bambang Prabowo, M. Kes. selaku Direktur RSUP H. Adam Malik Medan.

4. dr. Milahayati Daulay, M. Biomed., selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan ilmu serta atas kesabaran beliau untuk membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

5. dr. Mutiara Indah Sari, M. Kes. selaku ketua dosen penguji dan dr. Dian Dwi Wahyuni, Sp. MK selaku anggota dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang konstruksif sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

(5)

6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membagikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

7. Seluruh pegawai administrasi, rekam medis dan Laboratorium Patologi Klinik terlibat di RSUP H. Adam Malik Medan yang dengan ikhlas telah memudahkan serta meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk membantu terlaksananya penelitian ini dengan baik.

8. Ayahanda dan ibunda tercinta, drs. Indra Maas Nasution dan Dr. Ir.

Zuraidah Nasution, M. Kes., yang selalu menjadi penyemangat, dimana doa, kasih sayang, waktu dan kerja keras mereka senantiasa didedikasikan hanya untuk kebahagiaan penulis.

9. Abangda Irfan Nasution, S.E., yang selalu menjadi kebanggaan dan panutan bagi penulis.

10. Teman-teman sejawat Fakultas Kedokteran USU angkatan 2015, yang telah memberi dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini

masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan saran maupun kritik dari pembaca untuk dapat membangun skripsi ini menjadi lebih baik.

Akhir kata, penulis berharap informasi yang ada dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.

Medan, Desember 2018 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...

KATA PENGANTAR...

i ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN……….... ix

DAFTAR SINGKATAN... ABSTRAK... xi xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 1.3.1 Tujuan Umum... 1.3.2 Tujuan Khusus... 4 4 4 1.4 Manfaat Penelitian... 1.4.1 Manfaat untuk Peneliti... 1.4.3 Manfaat untuk Masyarakat... 1.4.5 Manfaat untuk Institusi Pendidikan... 5 5 5 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Diabetes Melitus... 6 2.2 Diabetes Melitus Tipe 2...

2.2.1 Definisi...

2.2.2 Etiologi...

2.2.3 Faktor Risiko...

2.2.4 Manifestasi Klinis...

2.2.5 Patofisiologi...

2.2.6 Diagnosis...

2.2.7 Tatalaksana...

2.2.8 Komplikasi...

8 8 8 8 11 11 14 15 16

(7)

2.3 Hemoglobin A1C (HbA1C)...

2.3.1 Definisi HbA1C...

2.3.2 Pembentukan HbA1C...

2.3.3 Metode Pemeriksaan HbA1C...

2.3.4 Interpretasi Hasil Pemeriksaan HbA1C...

2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Pemeriksaan

HbA1C...

17 18 18 19 20

21 2.4 Kadar Glukosa Darah Puasa...

2.5 Peran HbA1C dalam Menggambarkan KGD Puasa…….

22 22

2.6 Kerangka Teori... 24

2.7 Kerangka Konsep... 25

2.8 Variabel Penelitian... 2.8.1 Variabel Independen... 2.8.2 Variabel Dependen... 26 26 26 2.9 Hipotesis... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 27

3.1 Jenis dan Desain Penelitian... 27

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 27

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 3.3.1 Populasi Penelitian... 3.3.2 Sampel Penelitian... 3.3.2.1 Kriterian Inklusi... 3.3.2.2 Kriterian Eksklusi... 3.4 Besar Sampel Penelitian... 27 27 27 27 28 28 3.5 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data... 3.5.1 Jenis Data... 3.5.2 Teknik Pengumpulan Data... 29 29 29 3.6 Definisi Operasional... 30

3.7 Teknik Analisis Data... 3.8 Alur Penelitian... 31 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

(8)

4.1 Karakteristik Sampel Penelitian...

4.1 Analisis Korelasi Kadar HbA1C terhadap KGD

Puasa...

4.1 Analisis Regresi Linear Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa...

33

36

37 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...

5.1 Kesimpulan...

5.2 Saran...

41 41 42 DAFTAR PUSTAKA... 43 DAFTAR RIWAYAT HIDUP...

LAMPIRAN...

47 49

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan antara HbA1C dengan Rata-Rata Glukosa Darah... 20

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel yang Diteliti... 29

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian... 33

Tabel 4.2 Hasil Analisis Korelasi Spearman... 37

Tabel 4.3 Hasil Analisis Regresi Linier... 38

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 The Ominous Octet, Delapan Organ yang Berperan dalam

Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2... 14 Gambar 2.2 Reaksi Kimia Terkait dengan Proses Glikasi Hemoglobin... 19 Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian... 24 Gambar 2.4

Gambar 3.1

Kerangka Konsep Penelitian...

Alur Penelitian...

25 32

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Pernyataan Orisinalitas... 49

Lampiran B Ethical Clearance... 50

Lampiran C Surat Izin Penelitian RSUP H. Adam Malik... 51

Lampiran D Normalitas Data... 52

Lampiran E Distribusi Jenis Kelamin Sampel Penelitian... 52

Lampiran F Analisis Univariat Karekteristik Sampel Penelitian... 53

Lampiran G Analisis Korelasi HbA1C terhadap KGD Puasa Terakhir.. 53

Lampiran H Analisis Korelasi HbA1C terhadap KGD Puasa 1 Bulan Sebelumnya... 54

Lampiran I Analisis Korelasi HbA1C terhadap KGD Puasa 2 Bulan Sebelumnya... 54

Lampiran J Analisis Korelasi HbA1C terhadap KGD Puasa 3 Bulan Sebelumnya... 54

Lampiran K Uji Asumsi Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa Terakhir... 55

Lampiran L Uji Asumsi Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa 1 Bulan Sebelumnya... 55

Lampiran M Uji Asumsi Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa 2 Bulan Sebelumnya... 56

Lampiran N Uji Asumsi Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa 3 Bulan Sebelumnya... 56

Lampiran O Analisis Regresi Linier Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa Terakhir... 57

Lampiran P Analisis Regresi Linier Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa 1 Bulan Sebelumnya... 57

Lampiran Q Analisis Regresi Linier Kadar HbA1C terhadap KGD Puasa 2 Bulan Sebelumnya... 57

(12)

Lampiran R Analisis Regresi Linier Kadar HbA1C terhadap KGD

Puasa 3 Bulan Sebelumnya... 58

(13)

DAFTAR SINGKATAN

2hPG : 2-hour Plasma Glucose

ADA : American Diabetic Association AGE : Advanced Glycation End-product ATP : Adenosine Triphospate

BMI : Body Mass Index

DCCT : Diabetes Control and Complication Trial DM : Diabetes Melitus

DPP-IV : Dipeptyl Peptidase-IV

EDTA : Ethylenediaminetetraacetic Acid

EPIC : European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition FFA : Free Fatty Acid

FGP : Fasting Plasma Glucose GIP : Gastic Inhibitory Polypeptide GLP-1 : Glucagon-like Polypeptide-1 GLUT-2 : Glucose Transporter-2

GWAS : Genome-wide Association Studies HbA1C : Hemoglobin A1C

HGP : Hepatic Glucose Production

HPLC : High Performance Liquid Chromatography IDF : International Diabetes Federation

(14)

KGD : Kadar Glukosa Darah

NGSP : National Glycohaemoglobin Standardization Program NHANES : National Health and Nutritional Examination Surveys PUFA : Poly-unsaturated Fatty Acid

RPG : Random Plasma Glucose RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SGLT : Sodium Glucose co-Transporter

SPSS : Statistical Product and Service Solution TINIA : Turbidimetric Inhibition Immunoassay

UKPDS : The United Kingdom Propective Diabetes Study WHO : World Health Organization

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang. Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah penyakit tidak menular kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (KGD) di atas batas normal akibat resistensi insulin.

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Keadaan hiperglikemia kronis pada penderita DM akan berkontribusi terhadap terjadinya komplikasi yang melibatkan berbagai organ tubuh. Karena itu diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat menggambarkan terkontrolnya KGD jangka panjang, yaitu pemeriksaan hemoglobin terglikasi atau HbA1C. Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antara kadar HbA1C dengan KGD puasa pada penderita DM tipe 2. Metode. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik dengan pendekatan cross-sectional menggunakan data sekunder, meliputi data pemeriksaan HbA1C terakhir dan kadar KGD puasa berturut-turut selama 3 bulan sebelumnya.

Sampel penelitian merupakan seluruh data rekam medis penderita DM tipe 2 yang berkunjung sejak Januari 2017 hingga September 2018 serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisa korelasi dan regresi. Hasil. Dari 123 sampel, diperoleh hubungan yang signifikan (p=0,001). Koefisien korelasi (r) secara berturut-turut:0,354;0,366;0,402 dan 0,398. Koefisien determinan (r2) secara berturut- turut:0,122;0,114;0,129;0,139. Kesimpulan. Hubungan HbA1C dengan KGD puasa jangka panjang adalah signifikan. Kekuatan korelasi lemah pada KGD puasa terakhir, 1 bulan dan 3 bulan sebelumnya. Kekatan korelasi sedang terhadap KGD puasa 2 bulan sebelumnya. Koefisien determinan tertinggi adalah 0,139.

Kata kunci : diabetes melitus, DM tipe 2, HbA1C, KGD puasa

(16)

ABSTRACT

Background. Diabetes mellitus (DM) type 2 is a chronic non-contagious disease that shows hyperglycemic condition caused by insulis resistence. International Diabetes Federation (IDF) predicted a rapid increase of DM patients in Indonesia from 9,1 million in 2014 to 14,1 million in 2035. Chronic hyperglycemic condition can lead into complication of multiple organs. Therefore, a measurement that indicates long period of plasma glucose level is needed, such as glycated haemoglobin or HbA1C measurement. Aim. This study aimed to show the strength of relation between HbA1C level and Fasting Plasma Glucose (FPG) of DM type 2 patients. Method. This study is going to be held at Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik with cross- sectional approach using secondary data, includes the last HbA1C level measurement and FPG level from 3 months ago respectively. The samples are all medical records of DM type 2 patients from January 2017 until September 2018 that meet the inclusion and exclution categories. The data was analysed using correlation and regression analysis. Result. A significant relation (p=0,001) obtained from 123 samples. The correlation coeffition (r) respectively are 0,354;0,366;0,402;0,398. The determinant correlation (r2) respectively are 0,122;0,114;0,129;0,13. Conclusion. There is a significant relation between HbA1C with long- term FPG. The correlation value is low with FPG from the latest month, 1 month before and 3 months before. But it shows a moderate correlation value with FPG from 2 months before. The highest determinant correlation value is 0,139.

Keywords : diabetes mellitus, DM type 2, HbA1C, FPG

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular yang bersifat kronis, yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal atau disebut hiperglikemia. Jumlah penderita diabetes melitus yang terus mengalami peningkatan dianggap menjadi salah satu ancaman kesehatan global dengan proporsi terbanyak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Soelistijo et al, 2015).Penelitian lain memprediksi akan terjadinya kenaikan jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (Guariguataet al, 2013).

Berdasarkan etiologinya, diabetes melitus dapat dibedakan menjadi empat tipe: DM tipe 1 yaitu DM yang disebabkan oleh karena kerusakan sel pankreas yang mengkibatkan defisiensi insulin, DM tipe 2 yaitu tipe DM yang disebabkan resistensi tubuh terhadap insulin, diabetes gestasional yaitu keadaan diabetes yang timbul selama kehamilan dan DM tipe lain seperti pengaruh obat dan zat kimia, infeksi, malnutrisi dan defek genetik pada kerja insulin (PAPDI, 2014).

DM tipe 2merupakan tipe yang disebabkan oleh resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas. Pola makan tidak teratur, konsumsi lemak berlebih, kegemukan, kurangnya aktifitas fisik dan hal lain yang berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat seringkali menjadi dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Anies, 2018). Riset menunjukkan bahwa 95%

dari 371 juta jiwa yang menderita DM di dunia adalah penderita DM tipe 2 (Guariguata et al, 2013).

Terganggunya keseimbangan kadar glukosa darah tentunya akan mempengaruhi fungsi organ-organ tubuh lain. Jika tidak dikontrol dengan baik,

(18)

keadaan hiperglikemia kronis pada penderita DM akan berkontribusi terhadap terjadinya komplikasi berupa kerusakan dan disfungsi dari berbagai organ seperti ginjal, jantung, mata dan saraf. Hal ini didasarkan oleh pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial ginjal. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang baik serta identifikasi dini bagi penderita DM yang berisiko tinggi untuk terjadinya komplikasi (PAPDI, 2014).

Untuk memantau kadar glukosa darah pada pasien DM, KGD yang tergolong baik pada saat pemeriksaan belum dapat menggambarkan bahwa regulasi glukosa darah pasien juga sudah baik. Pemantauan status glikemik dapat dilakukan dengan beberapa metode pemeriksaan seperti pemeriksaan KGD sewaktu, KGD puasa, KGD dua jam post prandial dan hemoglobin terglikasi atau disebut hemoglobin A1C (HbA1C). Pemeriksaan yang diharapkan dapat merepresentasikanstatus glikemik jangka panjang pada penderita DM adalah dengan mengukur kadar HbA1C (Suprihartini, 2017).

HbA1C merupakan glukosa stabil yang terikat pada sel darah merah (hemoglobin) melalui suatu proses nonenzimatis. American Diabetic Association (ADA) memasukkan kadar HbA1C dalam kriteria diagnosis diabetes pada tahun 2010. Berkaitan dengan masa hidup eritrosit, HbA1C dianggap dapat merepresentasikan kualitas kadar glukosa darah jangka panjang pasien yaitu sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Dengan kontribusi bulanan rata-rata kadar glukosa darah terhadap HbA1C adalah : 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari 30-60 hari sebelumnya dan 25% dari 60-120 hari sebelumnya.Pada keadaan normal, kadar HbA1C berkisar 3-6%. Kadar HbA1C yang meningkat pada penderita diabetes melitus dianggap sebagai tanda bahwa KGD pasien cenderung tidak terkontrol dan hal itu tentu meningkatkan risiko terjadinya komplikasi dari DM. Selain itu, pemeriksaan HbA1C juga memiliki beberapa keunggulan seperti dapat dilakukan kapan saja tanpa puasa atau persiapan khusus, serta hasil tes yang relatif tidak terpengaruh dengan keadaan akut. Namun, hasil tes tetap dapat dipengaruhi kondisi tertentu seperti anemia, paska transfusi darah, konsumsi alkohol dan penyakit ginjal (Paputungan dan Harsinen, 2014).

(19)

Berdasarkan sebuah penelitian mengenai HbA1C dinyatakan bahwa kenaikan konsentrasi HbA1C akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi penyakit kardiovaskular dimana kejadian lebih besar (11%) terdapat pada penderita DM dengan konsentrasi HbAIC ≥ 6,5 % dibandingkan penderita DM dengan konsentrasi HbA1C < 6,5 %, yaitu sekitar 3% kejadian penyakit kardiovaskular (Hong et al, 2014). Dimana kenaikan 1% dari konsentrasi HbA1C dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular sebanyak 40% dan risiko kematian akibat penyakit lainnya sebanyak 30%.

Sedangkan dengan menurunkan konsentrasi HbA1C sebanyak 0,2% dapat diasosiasikan dengan penurunan risiko kematian sebanyak 10% pada penderita diabetes melitus (Sherwaniet al, 2016; Khawet al, 2001).

Penelitian sebelumnya yang membandingkan kadar HbA1C pada penderita DM tipe 2 dengan kadar glukosa darah puasa terkait terapi anitidiabetik, menunjukkan bahwa konsentrasi HbA1C memiliki korelasi yang baik (r2=0,8) untuk menginterpretasikan kadar gula darah puasa pada penderita DM tipe 2 terkontrol, namun peneliti beranggapan bahwa diperlukan penentuan rentang waktu yang lebih spesifik untuk pemeriksaan HbA1C (Barua, 2014). Selain itu, pada suatu penelitian kualitatif yang menghubungkan HbA1C dengan kadar gula darah sewaktu dan puasa, menunjukkan korelasi yang baik walaupun penelitian tersebut tidak menunjukkan keeratan hubungan kadar HbA1C sebagai indikator terkontrolnya kadar glukosa darah penderita DM tipe 2 (Suprihartini, 2017).

RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit pusat rujukan di Sumatera Utara yang melakukan pemeriksaan HbA1C dan KGD secara rutin di bagian Laboratorium Patologi Klinik. Pengendalian KGD pada penderita DM penting untuk meminimalisir risiko terjadinya komplikasi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti hubungan HbA1C terhadap terkontrolnya kadar glukosa darah puasa pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik, yang diharapkan dapat menyediakan data yang melengkapi kebutuhan penulis untuk melangsungkan penelitian ini.

(20)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah : “Apakah ada hubungan HbA1C terhadap kadar glukosa darah puasa pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik?”

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1 TUJUAN UMUM

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan HbA1C dengan kadar glukosa darah puasa pasien penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP H. Adam Malik.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui gambaran distribusi kadar HbA1C pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik.

2. Untuk mengetahuigambaran distribusi KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya secara berturut- turut pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik.

3. Untukmenganalisis hubungan antara kadar HbA1C dengan KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya secara berturut-turut pada pasien penderita DM tipe 2.

4. Untuk menganalisis pola hubungan dan kekuatan hubunganantara kadar HbA1C dengan KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya pada pasien penderita DM tipe 2.

5. Untuk menganalisis besar pengaruh antara kadar HbA1C dengan KGD puasa pada pasien penderita DM tipe 2.

(21)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1 MANFAAT BAGI PENELITI

Penelitian ini dilaksanakan sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu serta untuk meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan tentang hubungan HbA1C terhadap KGD puasa pasien penderita DM tipe 2 serta menjadi gambaran atau referensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fokus yang sama.

1.4.3 MANFAAT BAGI MASYARAKAT

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengontrol KGD melalui pemeriksaan HbA1C untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi akibat DM dan dapat meningkatkan kepedulian untuk menjaga pola hidup yang sehat serta memberi informasi yang bermanfaat pada penyelenggara kesehatan dalam penggunaan pemeriksaan HbA1C untuk meningkatkan pencapaian status kesehatan pada penderita DM tipe 2.

1.4.5 MANFAAT BAGI INSTITUSI PENDIDIKAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat untuk penelitian lanjut mengenai fokus yang sama, seperti HbA1C dan DM tipe 2.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DIABETES MELITUS

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel beta pankreas untuk mensekresi insulin, gangguan pada efek kerja insulin atau keduanya. Kondisi hiperglikemia yang bersifat kronis pada diabetes melitus dapat diasosiasikan dengan kerusakan jangka panjang, seperti disfungsi berbagai organ terutama mata, ginjal, hati dan pembuluh darah. Penurunan efek kerja insulin dapat disebabkan oleh karena sekresi insulin yang tidak adekuat dan/atau berkurangnya respon tubuh terhadap insulin. Kedua hal ini sering kali muncul pada satu pasien dan sulit untuk menentukan kelainan mana yang merupakan penyebab yang mendasari timbulnya kondisi hiperglikemia.

ADA mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi empat tipe, yaitu : 1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan pada sel beta pankreas yang mengganggu fungsinya untuk mensekresikan insulin dan berakhir pada defisiensi insulin. Berdasarkan etiologinya DM tipe 1 dapat dibedakan menjadi :

a. Immune-mediated diabetes

Bentuk diabetes ini hanya didapati sekitar 5-10% dari seluruh kasus diabetes. Dalam kasus immune-mediated diabetes, kerusakan sel beta pankreas dimediasi oleh aktivitas autoimun seluler. Marker yang menyebabkan destruksi sel bet pankreas dapat berupa autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin dan lain-lain. Destrusksi sel beta pankreas biasanya muncul pada usia anak-anak, remaja, tapi bisa juga muncul pada dekade kedelapan/sembilan.

b. Diabetes idiopatik

Beberapa penderita DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang jelas.

Pasien akan menunjukkan gejala insulinopenia kronis tanpa adanya

(23)

tanda autoimunitas. Hanya sebahagian pasien DM tipe 1 yang masuk pada kategori diabetes idiopatik.

2. Diabetes melitus tipe 2

DM tipe 2 merupakan tipe diabetes dengan prevalensi terbanyak, yaitu 90- 95% dari seluruh kasus diabetes melitus. DM tipe 2 juga disebut non- insulin-dependent diabetes disebabkan oleh keadaan tubuh yang resisten terhadap insulin dan biasanya disertai defisiensi insulin yang relatif.

3. Diabetes tipe lain

Berdasarkan etiologinya, diabetes tipe lain dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Kelainan genetik pada sel beta pankreas.

b. Kelainan genetik pada aksi kerja insulin.

c. Gangguan pada pankreas, misalnya akibat trauma, pancreatectomy dan karsinoma pankreas.

d. Endokrinopati, kondisi dimana terdapat jumlah berlebih pada hormon yang cara kerjanya antagonis terhadap insulin. Seperti kortisol,glukagon dan epinefrin.

e. Diabetes yang diinduksi obat-obatan dan zat tertentu.

f. Infeksi, beberapa virus yang sering diasosiasikan dengan kondisi DM karena menyebabkan kerusakan sel beta pankreas adalah rubella, coxsackievirus-B, cytomegalovirus dan mumps.

4. Diabetes gestasional

Merupakan keadaan DM yang muncul selama masa kehamilan akibat perubahan hormonal yang mengganggu aktivitas insulin. Wanita yang pernah menderita diabetes gestasional, selanjutnyaakan cenderung mengalami DM tipe 2 (ADA, 2014).

(24)

2.2 DIABETES MELITUS TIPE 2 2.2.1 DEFINISI

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia kronis akibat insensitivitas/resistensi sel terhadap insulin.

Kadar insulin yang dihasilkan mungkin relatif menurun atau normal. Karena hal dasar yang memicu kondisi ini bukanlah gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, diabets melitus tipe 2 disebut juga sebagai non-insulin-dependent diabetes melitus (Kohei, 2010).

2.2.2 ETIOLOGI

Etiologi pada kasus DM tipe 2 adalah resistensi insulin. Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan jaringan perifer dalam pengambilan glukosa akibat keadaan insensitif terhadap rangsangan kerja dari insulin. Oleh karena sel beta pankreas tidak mampu mengimbangi keadaan resisten terhadap insulin, maka kegagalan sel beta pankreas menyebabkan defisiensi relatif insulin. Etiologi DM tipe 2 juga berkaitan dengan faktor lainnya seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, stres dan proses degeneratif. Dengan kata lain, etiologi DM tipe 2 biasanya bersifat multifaktorial (Kohei, 2010).

2.2.3 FAKTOR RISIKO 1. Faktor demografik a. Umur

Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES), prevalensi kejadian diabetes meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Di kebanyakan populasi dunia, angka kejadian diabetes tipe 2 adalah rendah pada individu berumur kurang dari 30 tahun tapi meningkat dengan cepat dan kontinu setelah itu.

(25)

b. Jenis kelamin

European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC) menyatakan bahwa angka kejadia DM lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan berdasarkan observasi konsisten di negara-negara Eropa. Namun hal ini tidak sepenuhnya sesuai dengan data dari populasi di US yang menunjukkan angka kejadian DM yang lebih tinggi pada laki-laki di tahun 2010, namun menjadi lebih rendah dibandingkan angka kejadian DM pada perempuan di tahun 2013.

c. Ras

Data dari survei nasional tahun 2007-2009 menunjukkan bahwa risiko DM tipe 2 adalah dua kali lebih besar pada ras kulit hitam dan Latin dibandingkan dengan ras kulit putih. Data nasional tahun 2011-2012 juga menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada ras Asia- Amerikadibandingkan dengan ras kulit putih. Hal ini diduga terkait kebiasaan yang menimbulkan perbedaan dalam prevalensi obesitas dan gaya hidup.

2. Faktor genetik

Riwayat keluarga dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko DM tipe 2. Hasil studi menunjukkan tingkat kejadian DM tipe 2 pada kembar monozigot adalah 34-58% dan 12-20% pada kembar dizigot.Genome- wide Association Studies (GWAS) menyatakan bahwa ada banyak sekali variasi genetik yang dapat menjadi faktor predisposisi kejadian DM tipe 2 dan biasanya terkait gen yang berhubungan dengan fungsi sel beta pankreas. Selain itu, orangtua dengan riwayat DM tipe 2 akan menurunkan kebiasaan gaya hidup yang serupa pada keluarganya sehingga cenderung meningkatkan faktor resiko terjadinya DM tipe 2.

3. Faktor kebiasaan dan gaya hidup a. Nutrisi

Pola makan dan asupan nutrisi yang tidak sesuai dapat meningkatkan risiko terjadinya DM tipe 2. Seperti banyak mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi ditambah dengan pola makan yang tidak

(26)

teratur, dapat menimbulkan kondisi resisten pada reseptor insulin.

Sedangkan untuk lemak, peningkatan resiko bergantung pada jenis lemak yang dikonsumsi. Konsumsi makanan tinggi Poly-Unsaturated Fatty Acid (PUFA) secara rutin ternyata dapat menurunkan resiko DM tipe 2.

b. Aktivitas fisik

Berdasarkan studi kohort yang dilakukan melipiti US dan Jerman, keadaan inaktivitas fisik diestimasikan akan berkontribusi sebanyak 7%

dari resiko kejadian DM di seluruh dunia. Aktivitas fisik intensitas sedang dapat menurunkan risiko terjadinya DM tipe 2, misalnya aktivitas aerobik selama ≥ 150 menit per minggu secara independen dapat diasosiasikan dengan penurunan resiko DM tipe 2 sebanyak 34- 52%. Aktivitas fisik yang rutin dilakukan meningkatkan densitas mitokondria dan aktivitas enzim oksidatif, serta meningkatkan ambilan glukosa otot secara insulin-independent dan insulin-independent.

c. Obesitas

Obesitas merupakan salah satu pemicu timbulnya DM tipe 2, obesitas dapat diasosiasikan dengan gangguan pengaturan kontrol nafsu makan akibat insensitivitas hormonal dan gangguan efek kerja insulin.

d. Merokok

Studi menunjukkan prevalensi DM tipe 2 pada perokok berat meningkat jika dibandingkan perokok ringan dan bukan perokok. Mekanisme hubungan keduanya masih belum jelas, beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan dengan resistensi insulin

4. Paparan faktor risiko dini

Bayi yang dikandung oleh ibu penderita DM atau hiperglikemia dan bayi dengan berat lahir < 2500 g atau > 4000 gram(Leyet al, 2015).

(27)

2.2.4 MANIFESTASI KLINIS 1. Poliuria

Poliuria adalah keadaan dimana volume urin 24 jam melebihi batas normal. Pada penderita DM tipe 2 hal ini terjadi oleh karena peningkatan konsentrasi glukosa darah yang mengakibatkan difusi cairan intraseluler ke ekstraseluler.

2. Polidipsia

Polidipsia adalah rasa haus berlebih, disebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah yang memicu difusi cairan intraseluler ke ekstraseluler.

3. Polifagia

Penderita DM akan merasa cepat lapar karena ambilan glukosa darah yang terganggu dan proses pemecahan glikogen.

4. Penurunan berat badan

Akibat resistensi insulin dan terganggunya ambilan glukosa darah, tubuh merespon dengan lipolisis dan glukoneogenesis.

5. Mudah lelah, malaise (Campbell, 2000).

2.2.5 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi terjadinya DM tipe 2 diawali dengan keadaan hiperglikemia yang kronis yang dapat disebabkan berbagai faktor. Saat terjadi peningkatan konsentrasi glukosa darah, secara fisiologis glukosa akan menduduki reseptor Glucose Transporter-2 (GLUT-2), mengalami proses glikolisis dan menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP) sehingga terjadi penutupan kanal K dan kanal Ca terbuka. Jumlah Ca intrasel yang meningkat akan menstimulasi proses eksositosisuntuk sekresi insulin. Namun pada penderita DM tipe 2, keadaan hiperglikemia kronis menyebabkan tubuh menjadi resisten terhadap efek kerja insulin (PAPDI,2014). Menurut teori Ominous Octet, terdapat delapan hal yang berkontribusi di dalam patofisiologi DM tipe 2, yaitu :

(28)

1. Sel beta pancreas

Pada penderita DM tipe 2, kegagalan kerja sel beta pankreas untuk memenuhi kebutuhan insulin adalah bersifat relatif terhadap keadaan resistensi insulin penderita. Dalam keadaan dimana sel beta pankreas secara terus-menerus dipaksa untuk bekerja, hal ini dapat berdampak pada penurunan fungsi dan jumlah sel beta pankreas.

2. Hati

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa oleh hati atau disebut juga Hepatic Glucose Production (HGP) meningkat disertai dengan peningkatan sekresi glukagon.

3. Otot

Otot dalam keadaan normal berkontribusi dalam penyimpanan glukosa melalui mekanisme ambilan glukosa insulin-dependent dan non- independent. Hasil studi menunjukkan bahwa pada penderita DM tipe 2 biasanya terdapat kegagalan efek kerja insulin pada intramioseluler oleh karena resistensi reseptor insulin pada otot. Kondisi ini berkaitan dengan gangguan proses ambilan glukosa insulin-dependentoleh otot (berkurang hingga 50% dibandingkan individu normal), penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

4. Sel adiposa

Penderita DM tipe 2, oleh karena kondisi resisten terhadap insulin, akan menyebabkan menurunnya efek antilipolisis dari insulin terhadap sel-sel adiposa. Hal ini akan menyebabkan peningkatan proses lipolisis sehingga kadar Free Fatty Acid (FFA) dalam plasma akan meningkat. Peningkatan konsentrasi FFA plasma akan merangsang proses glukoneogenesis, menstimulasi HGP dan menghambat ambilan glukosa hati. Selain itu peningkatan konsentrasi FFA juga akan mengganggu kerja reseptor insulin-dependent untuk ambilan glukosa otot dan inhibisi sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.

(29)

5. Usus

Saluran pencernaan berperan penting dapam pengaturan KGD melalui efek inkretin yang disekresikan di ususyang distimulasi oleh penyerapan nutrisi. Inkretin akan merangsang sekresi hormonGlucagon-like Polypeptide-1 (GLP-1) oleh sel L (terutama di duodenum dan jejunum) dan sekresiGlucose-dependent Insulinotrophic Polypeptide atau disebut juga Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP) oleh sel K (terutama di ileum dan kolon). Dalam keadaan normal, efek inkretin akan menstimulasi sekresi insulin dan menginhibisi sekresi glukagon. Namun, pada penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten GIP.

6. Sel alfa pankreas

Kondisi resistensi insulin pada penderita DM tipe 2 akan menimbulkan peningkatan sekresi glukagon oleh sel alfa pankreas. Peningkatan kadar glukagon akan menstimulasi pemecahan glikogen hati atau peningkatan HGP.

7. Ginjal

Ginjal mampu memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per hari. 90% dari glukosa terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter-2) pada bagian convulated tubulus proksimal.

Sedangkan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin.

Pada penderita DM tipe 2, umumnya fungsi reabsorbsi ginjal menjadi kurang adaptif terhadap kebutuhan sehingga ginjal tetap mereabsorbsi glukosa walau dalam keadaan berlebih. Hal ini diperburuk dengan respon ginjal terhadap keadaan hiperglikemia kronis yaitu peningkatan kapasitas reabsorbsi renal terhadap glukosa.

8. Otak

Pada penderita DM tipe 2, terdapat gangguan dalam pengaturan nafsu makan terkait insulin. Dalam keadaan normal, pusat kontrol nafsu makan berada pada lower posterior hypothalamus (nukleus ventromedial) dan

(30)

upper posterior hypothalamus (nukleus paraventrikuler). Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Kondisi resisten terhadap insulin pada otak akan cenderung mengakibatkan meningkatnya asupan kalori penderita DM tipe 2, disertai dengan peningkatan HGP dan menurunnya ambilan glukosa otot (DeFronzo, 2009).

Gambar 2.1 The Ominous Octet, Delapan Organ yang Berperan dalam Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (DeFronzo, 2009)

2.2.6 DIAGNOSIS

Kriteria pemeriksaan penunjang untuk diagnosis diabetes melitus tipe 2 menurut ADA adalah sebagai berikut :

a. Fasting Plasma Glucose (FGP) atau kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Dimana puasa diartikan sebagai tanpa asupan kalori selama setidaknya 8 jam.

b. 2-Hour Plasma Glucose (2-hPG) atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L). Tes harus dilakukan sesuai dengan yang telah dideskripsikan oleh WHO, menggunakan cairan glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa dilarutkan dengan air.

(31)

c. HbA1C ≥ 6.5% (48 mmol/mol). Tes harus dilakukan sesuai dengan metode yang distandardisasi oleh NationalGlycohaemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complication Trial (DCCT).

d. Random Plasma Glucose (RPG) atau kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L).

Hasil tes tanpa adanya gejala hiperglikemia yang jelas harus dikonfirmasi dengan pengulangan tes tersebut (ADA, 2017).

2.2.7 TATALAKSANA

a. Edukasi

Edukasi pada penerita DM tipe 2 meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan kadar glukosa darah secara berkelanjutan, penyulit DM dan risikonya, intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

b. Terapi nutrisi

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing- masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori.

c. Latihan fisik

Latihan fisik sehari-hari dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total sekitar 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.

d. Terapi farmakologis

 Pemacu sekresi insulin, seperti Sulfonilurea dan Glinid.

(32)

 Peningkat sensitvitas terhadap insulin dengan memperbaiki ambilan glukosa, seperti Metformin dan Thiazolidindion.

 Penghambat absorbsi glukosa di saluran pencernaan, seperti Acarbose yang menghambat Alfa Glukosidase.

Penghambat Dipeptidyl Peptidase-IV (DPP-IV) untuk mencegah inaktivasi GLP-1. Seperti Sitagliptin dan Linagliptin.

 Penghambat SGLT-2 untuk mengurangi reabsorbsi glukosa di tubulus distal ginjal. Seperti Dapagliflozin (Soelistijoet al, 2015).

2.2.8 KOMPLIKASI

a. Kerusakan saraf (neuropati)

Bila dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi hiperglikemia dapat menyebabkan melemahnya dinding pembuluh darah kapiler yang mendarahi sistem saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik dapat mengakibatkan ketidakmampuan saraf untuk menghantarkan rangsangan impuls saraf.

Prevalensi neuropati diabetik pada penderita DM tipe 2 pada populasi penderita berkisar 13.1-45.0%.

b. Kerusakan ginjal (nefropati)

Kerusakan pada kapiler glomerulus yang berfungsi untuk memfiltrasi darah akan mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal. Prevalensi kejadian nefropati pada populasi penderita DM tipe 2 berkisar 9.2-32.9%.

c. Kerusakan mata (retinopati)

Retinopati diabetik dapat terjadi melalui jalur poliol. Prevalensi kejadian retinopati pada pasien DM tipe 2 berkisar 10.1-55.0%.

d. Hipertensi

Kerusakan endotel pembuluh darah akibat keadaan hiperglikemia yang kronis dapat menyebabkan pengerasan dan penebalan pembuluh darah

(33)

yang akan meningkatkan tekanan pembuluh darah. Keadaan hipertensi akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung dan stroke.

e. Stroke

Prevalensi kejadian stroke berkisar 2.8-12.5% dalam penelitian pada populasi penderita DM tipe 2.

f. Penyakit jantung koroner

Kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan penyempitkan pembuluh darah akan berakibat menurunnya suplai darah ke otot jantung. Hal ini merupakan dasar meningkatnya risiko kejadiannya pada penderita DM.

Prevalensi kejadian penyakit jantung koronerpada populasi penderita DM tipe 2 berkisar 1.8-43.4% (Ndraha, 2014).

2.3 HEMOGLOBIN A1C (HbA1C)

Hemoglobin A1C pertama kali ditemukan pada tahun 1960-an melalui suatu proses elektroforesis hemoglobin. Pada tahun 1962, Huisman dan Dozy melaporkan peningkatan salah satu fraksi yang dikarakterisasikan sebagai suatu reaksi antara glukosa dan hemoglobin pada beberapa pasien DM. Pada tahun 1969, Rahbar kembali menemukan fraksi tersebut pada dua orang penderita diabetes yang sedang menjalani skrining. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi fraksi ini, jugadiikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah pada penderita DM.

Pada tahun 1976, HbA1C mulai dianggap sebagai indikator terkontrolnya kadar glukosa darah penderita DM dimana dengan penurunan konsentrasi HbA1C, menunjukkan berkurangnya angka kejadian komplikasi DM dan peningkatan pada kualitas hidup penderita.Pemeriksaan HbA1C kemudiandiadopsi ke dalam praktek klinik pada tahun 1990-an olehDCCT dan The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) sebagai alat monitoring derajat kontrol DM. HbA1C dijadikan salah satu kriteria diagnostik pada tahun 2009 oleh NGSP, yang kemudian diakui oleh ADA pada tahun 2010 dan WHO pada tahun 2011 (Karnchanasorn, 2016; WHO, 2011).

(34)

2.3.1 DEFINISI HbA1C

HbA1C adalah substraksi dari hemoglobin A (HbA). HbA paling umum ditemukan pada orang dewasa sebanyak 91-95% dari total hemoglobin. HbA memiliki dua rantai alfa dan dua rantai beta. Sekitar 6% dari bentuk HbA adalah HbA1. HbA1 memiliki tiga bentuk fraksi : HbA1A, HbA1B dan HbA1C (English dan Garry, 2012).

HbA1C merupakan bentuk fraksi hemoglobin yang mengalami proses glikosilasi (penambahan gugus glukosa) yang berikatan kovalen dengan valin N- terminal rantai beta molekul hemoglobin secara spontan akibat paparan glukosa terhadap hemoglobin, dan tanpa bantuan enzim. Jumlah hemoglobin terglikasi bergantung pada konsentrasi glukosa darah, dimana semakin tinggi kadar glukosa darah makan konsentrasi hemoglobin terglikasi juga akan meningkat (WHO, 2011; English dan Garry, 2012).

2.3.2 PEMBENTUKAN HbA1C

Pembentukan HbA1C melibatkan suatu proses glikosilasi non-enzimatik (glikasi) antara gugus amino protein dengan glukosa, reaksi ini disebut dengan Maillard reaction. Proses ini diawali difusi terfasilitasi glukosa melalui GLUT-1 transporter eritrosit sehingga glukosa terpapar dengan hemoglobin. Glukosa kemudian berikatan dengan N-terminal valin rantai beta hemoglobin membentuk senyawa aldimine (Schiff base) yang tidak stabil. Selanjutnya schiff base menjalani suatu penyusunan molekul yang disebut dengan Amadori rearrangement, menghasilkan produk Amadori dengan ketoamin yang lebih stabil, yaitu HbAIC.

Oleh karena masa hidup eritrosit yang berlangsung sekitar 120 hari, HbA1C dianggap dapat mencerminkan kadar glukosa darah sampai 3 bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi perubahan keadaan glukosa darah harian yang sangat fluktuatif. Pada tahap akhir proses glikasi, karena paparan glukosa yang berlangsung lama, dapat terbentuk Advanced Glycation End-product (AGE) yang merupakan bentuk ireversibel dari Maillard reaction. Akumulasi dari protein

(35)

AGE juga dapat menjadi pemicu dari berbagai komplikasi DM seperti retinopati, nefropati dan neuropati (Guptaet al, 2017; Paputungan dan Harsinen, 2014;

Nagaiet al, 2012; English dan Garry, 2012; Hareet al, 2012).

2.3.3 METODE PEMERIKSAAN HbA1C

Metode pemeriksaan HbA1C dapat dibedakan berdasarkan cara pemisahan komponen hemoglobin glikosilasi dan non-glikosilasi, seperti :

a. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan muatan b. Metode pemeriksaan berdasarkan reaktivitas kimia c. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan struktural

Pada umumnya, hasil antar metode yang menggunakan prinsip berbeda akan menunjukkan korelasi sangat baik dan belum ada data pasti mengenai metode yang lebih unggul. Hasil HbA1C dapat bervariasi. Kurangnya standardisasi internasional terkait pemeriksaan HbA1C mendorong beberapa negara mengembangkan program harmonisasi sendiri. NGSP menetapkan High

Gambar 2.2 Reaksi Kimia Terkait dengan Proses Glikasi Hemoglobin (Gupta et al, 2017)

(36)

Performance Liquid Chromatography (HPLC) sebagai metode utama dengan prinsip dasar pertukaran molekul kation (Guptaet al, 2017). Metode lain yang sering digunakan untuk pemeriksaan HbA1C adalah Turbidimetric Inhibition Immunoassay (TINIA) dengan prinsip dasar terbentuknya struktur khas antara antigen dengan antibodi HbA1C. Keduanya memiliki konkordasi hasil pemeriksaan yang baik (Genset al, 2012).

Tidak ada persiapan khusus yang perlu dilakukan untuk pengambilan sampel darah dalam pemeriksaan HbA1C. Jenis sampel darah yang digunakan adalah whole blood. Diambil sebanyak 5.0 mL atau minimum 2.5 mL. Sampel whole blood dimasukkan ke dalam tube denganpenggunaan Ethylenediaminetetraacetic Acid (EDTA) sebagai antikoagulan. Kemudian tube berisi sampel dibolak-balik hingga 8-10 kali sebelum dimasukkan ke alat penghitung HbA1C (Jeppsson et al, 2002).

2.3.4 INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN HbA1C

Peningkatan atau penurunan konsentrasi HbA1C dianggap berkorelasi positif dengan konsentrasi glukosa darah. Berikut merupakan perkiraan hubungan konsentrasi HbA1C dengan rata-rata glukosa darah oleh ADA :

HbA1C (%) Glukosa Darah (mg/dL) Glukosa Darah (mmol/L)

6 126 7,0

7 154 8,6

8 183 10,2

9 212 11,8

10 240 13,4

11 269 14,9

Tabel 2.1 Hubungan antara HbA1C dengan Rata-Rata Glukosa Darah.sumber. ADA, 2011

(37)

WHO menentukan cut-off point diagnosis diabetes melitus dengan kadar HbA1C ≥ 6.5% atau setara 48mmol/mol (WHO, 2011). Sedangkan seseorang dengan kadar HbA1C 5.7-6.4% dianggap memiliki resiko tinggi untuk menderita DM tipe 2 (ADA, 2011). Selain untuk fungsi diagnosis, nilai HbA1c pada penderita DM merupakan indikator terkontrol atau tidaknya kadar glukosa darah selama kira-kira 3 bulan terakhir. Interpretasi kadar HbA1C pada penderita DM dapat dikelompokkan menjadi DM teratur baik (< 7%) sesuai dengan target ADA, DM teratur sedang (7-8%), dan DM tidak teratur (> 8%) (Kosasih, 2008).

2.3.5 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PEMERIKSAAN HbA1C

Dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa lainnya, HbA1C memiliki beberapa kelebihan :

1. Terstandardisasi sesuai DCCT/UKPDS.

2. Dapat menilai komplikasi jangka panjang.

3. Memiliki variabilitas biologis yang rendah (< 2% dari hari ke hari untuk HbA1c dibandingkan dengan glukosa puasa yang memiliki variabilitas 12- 15%).

4. Relatif tidak terpengaruh oleh keadaan akut.

5. Dapat dilakukan kapan saja dan tidak perlu puasa atau persiapan khusus.

6. Dapat digunakan untuk diagnosis dan penilaian kontrol glikemik (Paputungan dan Harsinen, 2014).

Pemeriksaan HbA1C dianggap tidak relevan pada pasien dengan kondisi berikut :

1. Anak-anak.

2. Kehamilan.

3. Dugaan atau penderita DM tipe 1.

(38)

4. Konsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat, seperti korikosteroid, dalam jangka panjang.

5. Gagal ginjal.

6. Gangguan pankreas akut atau operasi yang melibatkan pankreas (John W.

G., 2012).

7. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pemeriksaan HbA1C :

Kondisi yang dapat meningkatkan kadar HbA1c dari nilai sebenarnya adalah : anemia defisiensi besi, kadar ureadarah yang tinggi, hiperbilirubinemia, konsumsi alkohol berlebih, splenektomi, anemia aplastik, penggunaan salisilat dosis tinggi dalam jangka panjang.

Sedangkan kondisi yang dapat menurunkan kadar HbA1C dari nilai sebenarnya adalah : transfusi darah, setelah vena seksi, kehilangan darah, sickle-cell disease, anemia hemolitik, talasemia, penyakit ginjal, perdarahan gastrointestinal, penyakit hepar, obat-obatan yang memperpendek masa hidup eritrosit (antiretroviral, ribavirin, dapsone), penggunaan opioid jangka panjang dan infeksi sistim imun (Nitin, 2010; Paputungan dan Harsinen, 2014).

2.4 KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

KGD puasa merupakan parameter yang menggambarkan konsentrasi glukosa di dalam plasma darah yang diukur pada individu yang terlebih dahulu melakukan persiapan yaitu berpuasa selama 8-12 jam. KDG Puasa diukur dengan menggunakan metode enzymatic colorimetric, yang pada prinsipnya memanfaatkan enzim yang mengkatalisasi oksidasi glukosa, menghasilkan senyawa quinoneimine yang dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm. Hasil KGD Puasa dinyatakan dalam satuan mg/dL (Syauqy, 2015).

(39)

Kadar normal glukosa darah puasa adalah 72-125 mg/dL (WHO, 1999). Cut- off point KGD Puasauntuk diagnosis DM tipe 2 adalah 7 mmol atau ≥ 126 mg/dL (ADA, 2017).

2.5 PERAN HBA1C DALAM MENGGAMBARKAN KGD PUASA

Proses pembentukan HbA1C yaitu melalui reaksi glikasi glukosa dengan asam amino eritrosit atau disebut sebagai Maillard reaction, menyebabkan kadar HbA1C cenderung bersifat stabil dan tidak terpengaruh oleh keadaan akut glukosa darah harian yang fluktuatif. HbA1C atau eritrosit yang telah terglikasi memiliki masa hidup seperti eritrosit pada umumnya, yaitu sekitar 120 hari. Terkait dengan masa hidup eritrosit, kadar HbA1C dianggap dapat menggambarkan KGD puasa jangka panjang mencapai 3 bulan sebelum pemeriksaan HbA1C. HbA1C untuk menggambarkan KGD puasa jangka panjang akan bermanfaat bagi penderita DM tipe 2 dalam mengontrol KGD sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya berbagai komplikasi yang disebabkan oleh keadaan hiperglikemia kronis pada penderita DM tipe 2(Gupta et al, 2017; Paputungan dan Harsinen, 2014).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan untuk melihat peran HbA1C dalam menggambarkan KGD puasa menunjukkan bahwa kadar HbA1C memiliki pengaruh sebesar 81% untuk menggambarkan KGD puasa 2 bulan sebelumnya dan 76% untuk menggambarkan KGD puasa terakhir dan 1 bulan sebelumnya (Barua, 2014).

(40)

2.6 KERANGKA TEORI

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian

Asupan makanan dengan indeks glikemik

tinggi yang berlebih Pola makan tidak

teratur Kurangnya aktivitas

fisik Obesitas Faktor genetik

Peningkatan kadar HbA1C Neuropati

Nefropati

Retinopati

Stroke

Penyakit Jantung Koroner

Ominous octet

Resistensi insulin

KGD

meningkat/hiperglikemia (DM tipe 2)

Meningkatnya jumlah glukosa yang berinteraksi dengan

eritrosit

Maillard reaction

(41)

2.7 KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti.

Berdasarkan judul dan tinjauan pustaka pada penelitian ini, maka hubungan variabel yang akan diteliti dapat digambarkan sebagai skema berikut :

Variabel independen Variabel dependen

Keterangan :

Variabel yang diteliti

Gambar 2.4Kerangka Konsep Penelitian

Kadar HbA1C Kadar KGD Puasa pada

penderita DM tipe 2

(42)

2.8 VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang diteliti dalam peneltian ini adalah :

2.8.1 VARIABEL INDEPENDEN

Variabel indepenen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen. Dalam penelitian ini, variabel independen adalah kadar HbA1C pada penderita DM tipe 2.

2.8.2 VARIABEL DEPENDEN

Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Dalam penelitian ini, variabel dependen adalah KGD puasa pada penderita DM tipe 2 yang diperiksa berturut-turut selama 3 bulan sebelumnya.

2.9 HIPOTESIS

Ada hubungan antara kadar HbA1C dengan kadar glukosa darah puasa pada penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik tahun 2018.

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS DAN DESAIN PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross- sectional, yaitu variabel independen dan variabel dependen dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai September 2018 di Instalasi Pusat Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Adapun populasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.3.1 POPULASI PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis penderita DM tipe 2 yang telah melakukan pemeriksaan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2017 sampai September 2018.

3.3.2 SAMPEL PENELITIAN

Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :

3.3.2.1 KRITERIA INKLUSI

Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi data rekam medis pasien dengan ketentuan :

(44)

1. Pasien sudah terdiagnosis menderita DM tipe 2.

2. Pasien rutin memeriksakan kadar gula darah puasa setiap bulan berturut- turut selama 3 (tiga) bulan.

3. Pasien memiliki data pengukuran kadar HbA1C.

3.3.2.2 KRITERIA EKSKLUSI

Adapun kriteria eksklusi yang ditentukan dalam penelitian ini adalah :

Data rekam medis pasien penderita DM tipe 2 dengan diagnosis penyerta berupa penyakit ginjal, penyakit hepar dan anemia.

3.4. BESAR SAMPEL PENELITIAN

Besar sampel penelitian didapatkan dengan menggunakan rumus besar sampel numerik-numerik korelatif. Perhitungan besar sampel adalah sebagai berikut :

Keterangan :

n = Jumlah sampel penelitian.

Z = Nilai standar untuk =5%, ditetapkan 1,96.

Zᵦ = Nilai standar untuk ᵦ = 10%, ditetapkan 0,84.

r = Koefisien korelasi minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan 0,5 (Dahlan, 2016).

(45)

3.5 JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Jenis dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.5.1 JENIS DATA

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data rekam medis pasien penderita DM tipe 2 yang sudah terkumpul sejak tahun 2017 sampai 2018, meliputi : nomor rekam medis, nama, usia, jenis kelamin, hasil pemeriksaan HbA1C terakhir dan hasil pemeriksaan KGD puasa berturut-turut selama 3 bulan sebelumnya.

3.5.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Data dikumpulkan dari petugas Pusat Rekam Medis di RSUP H. Adam Malik setelah sebelumnya diberi izin berdasarkan surat pengantar pengambilan data untuk keperluan penulisan skripsi dari pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(46)

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

Adapun definisi operasional dari variabel yang diteliti meliputi variabel independen dan variabel dependen dapat dilihat pada tabel-2 berikut :

Tabel 3.1Definisi Operasional Variabel yang Diteliti

Variabel Definisi Hasil Ukur Skala

Ukur Independen

Kadar HbA1C Kadar hemoglobin terglikasi yang terkandung dalam sampel darah penderita DM tipe 2 setelah pengukuran KGD puasa pada bulan ke-3 yang diperoleh melalui data rekam medis di Pusat Rekam Medis RSUP H. Adam Malik tahun 2018. Pemeriksaan HbA1Cmenggunakan alat berbasis fotometer, IndikoTM.

dalam % Nilai normal* : 4,9-6%

Rasio

Dependen

KGD Puasa Kadar glukosa darah dalam keadaan puasa minimal 8 jam yang terkandung dalam sampel darah penderita DM tipe 2 dalam rentang waktu pengukuran selama tiga bulan berturut-turut sebelum waktu pemeriksaan kadar HbA1C yang diperoleh melalui data rekam medis di Pusat Rekam Medis RSUP H. Adam Malik tahun 2018. Pemeriksaan KGD Puasa dilakukan dengan alat berbasis fotometer, IndikoTM.

dalam mg/dL Nilai normal : <126mg/dL (ADA, 2017)

Rasio

*sesuai dengan ketentuan prosedur dan hasil pemeriksaan HbA1C rutin di RSUP H. Adam Malik

(47)

3.7 TEKNIK ANALISIS DATA

Data yang dikumpulkan diinput ke dalam perangkat lunak statistikuntuk keperluan analisis data.

Normalitas data dilihat dengan melakukan uji normalitas Kolmogorov- smirnov. Apabila data berdistribusi normal, ditampilkan rata-rata dan standar deviasi dari kategori data tersebul. Normalitas data dilihat dengan melakukan uji normalitas Kolmogorov-smirnov. Apabila data berdistribusi normal, dilakukan analisis korelasi pearson. Apabila data tidak berdistribusi normal, dilakukan analisis korelasi spearman.

Setelah itu, dilakukan analisis regresi linier sederhana untuk melihat persamaan linear yang dapat memprediksi KGD puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya secara berturut-turut pada penderita DM tipe 2 dengan menggunakan kadar HbA1C sebagai prediktornya (Sastroasmoro dan Ismael, 2014).

(48)

3.8 ALUR PENELITIAN

Adapun alur pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Rekam medis pasien penderita DM tipe 2 di Pusat Rekam Medis RSUP H. Adam Malik

stambuk 2015

Identifikasi kelengkapan data HbA1C dan KGD Puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya,

2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya dari rekam

medis pasien penderita DM tipe 2

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Input Data

Analisis Data EthicalClearance

(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

4.1.1 KARAKTERISTIK SAMPEL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross- sectional untuk melihat hubungan antara kadar HbA1C dengan KGD puasa pada pasien DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik. Karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1 :

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian

No Karakteristik n = 123

1. Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan

75 (61%) 48 (39%)

2. Umur (tahun) 55,9 8,9

3. Kadar HbA1C (%) 8,8 2,1

4. KGD Puasa (mg/dL) : Terakhir

1 Bulan Sebelumnya 2 Bulan Sebelumnya 3 Bulan Sebelumnya

189,1 83,3 192,3 76,8 205,1 75,1 214,7 73,2

Dari hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa karakteristik pasien DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (61%) dibandingkan dengan perempuan (39%). Hasil ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Misdarina di RSUP H. Adam

(50)

Malik Medan (2012) ; Mohammad R. S. Utomo (2015) ; Ahmad Syauqi (2015) dan Kemas Ya’kub (2014) yang menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Hal ini dianggap berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 pada laki-laki yang berkaitan lebih erat dengan Body Mass Index (BMI) jika dibandingkan dengan kejadian DM tipe 2 pada perempuan yang lebih berhubungan dengan Waist to Hip Ratio dan Waist Circumference dari tiap individu (Wang et al, 2005). Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nita Rachmawati (2015) ; Louis E.

Ugahari (2016) dan M. Hikmawan Priyanto (2017) yang menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dianggap berhubungan dengan distribusi lemak pada perempuan yang lebih besar karena pengaruh dari hormon estrogen dalam metabolisme lemak serta perubahan regulasi tubuh selama kehamilan yang menyebabkan peningkatan berat badan. Beberapa faktor tersebut dianggap dapat meningkatkan risiko wanita untuk menderita DM tipe 2 lebih besar dari pada risiko laki-laki untuk dapat menderita DM tipe 2 (Ekpenyong et al, 2011). Variasi hasil yang didapat dari beberapa penelitian tersebut juga dapat disebabkan oleh pengaruh dari berbagai faktor lain yang mempengaruhi angka kejadian DM tipe 2 seperti ras, genetik dan gaya hidup (Ley et al, 2015).

Pada penelitian ini penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik rata-rata berumur 55,9 8,9 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Misdarina di RSUP H. Adam Malik (2012) dan penelitian Mohammad R. S.

Utomo (2015) yang menunjukkan bahwa jumlah penderita DM tipe 2 rata-rata berusia 40-60 tahun. Ley et al (2015) mengatakan bahwa pertambahan usia merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya DM tipe 2. Pertambahan usia umumnya akan diikuti dengan perubahan pada fungsi-fungsi fisiologis tubuh yang semakin menurun, termasuk pada penurunan sensitivitas dari sel beta pankreas terhadap gula darah (Triplitt et al, 2005).

Berdasarkan analisis terhadap kadar HbA1C diperoleh rata-rata kadar HbA1C pada pasien penderita DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan sebesar 8,8

(51)

2,1%. Nilai tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kadar HbA1C yang tinggi jika mengacu pada batas nilai normal pemeriksaan HbA1C yang telah ditetapkan di RSUP H. Adam Malik, yaitu 4,9-6%. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Guntur, Jeffrey dan Frans (2016) dimana diperoleh rata-rata kadar HbA1C pasien penderita DM tipe 2 sebesar 9,24% serta penelitian dari Mohammad R. S. Utomo (2015) yang juga menunjukkan angka distribusi proporsi pasien DM tipe 2 lebih banyak dengan kadar HbA1C di atas batas normal. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Hong et al (2014) dimana diperoleh rata-rata kadar HbA1C pasien penderita DM tipe 2 sebesar 6,3%. Hasil penelitian lain yang juga berbeda dengan hasil penelitian ini adalah penelitian dari Suprihartini (2017) yang menunjukkan kadar HbA1C yang normal lebih banyak pada penderita DM tipe 2. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari populasi penelitian, dimana kadar HbA1C akan cenderung lebih tinggi pada pasien lansia, wanita dan pasien dengan BMI tinggi (Hong et al, 2014). Variasi hasil ini juga dapat disebabkan beberapa hal lain seperti perbedaan gaya hidup, kepatuhan pengobatan pasien dan perbedaan standar cut-off HbA1C yang diterapkan di tiap rumah sakit.

Pada penelitian ini, rata-rata kadar gula darah puasa terakhir, 1 bulan sebelumnya, 2 bulan sebelumnya dan 3 bulan sebelumnya, masing-masing secara berurutan adalah 189,1 83,3mg/dL ; 192,3 76,8mg/dL ; 205,1 75,1mg/dL dan 214,7 73,2mg/dL. Nilai tersebut dapat diinterpretasikan sebagai KGD puasa tinggi berdasarkan nilai normal pemeriksaan yang telah menjadi acuan RSUP H. Adam Malik, yaitu ≥ 126 mg/dL. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Misdarina di RSUP H. Adam Malik (2012) dan Nita Rachmawati (2015) yang menunjukkan bahwa KGD puasa yang tinggi lebih banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitianAmlan Barua (2014) dimana diperoleh rata-rata sebesar 135 30,6 mg/dL untuk KGD puasa terakhir ; 149,4 41,4 mg/dL untuk KGD puasa 1 bulan sebelumnya dan 190,8 61,2 mg/dL untuk KGD puasa 2 bulan sebelumnya.

Gambar

Gambar  2.1  The  Ominous  Octet,  Delapan  Organ  yang  Berperan  dalam  Patofisiologi  Diabetes Melitus Tipe 2 (DeFronzo, 2009)
Gambar 2.2  Reaksi Kimia Terkait dengan Proses Glikasi Hemoglobin (Gupta et al, 2017)
Gambar 2.3  Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.4Kerangka Konsep Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hamzah B. Setelah kedua data terkumpul kemudian dilakukan uji dengan menggunakan teknik uji regresi. Dari teknik uji regresi akan diperoleh data yang membuktikan secara empiris

Based on the data that have been analyzed, the researcher finds five types of positive politeness, They are strategy 4 namely use in-group identity marker, In strategy 10

[r]

Hasil pengujian di atas membuktikan bahwa antara pelaksanaan layanan orientasi dengan penyesuaian diri siswa di SMA Swasta Taman Siswa Kota Binjai memiliki kaitan yang

Boyer dan Pegell (2000) mengemukakan bahwa efektifitas Strategi operasi perusahaan dapat diukur dengan menilai keterkaitan atau konsistensi antara prioritas

Judul : Pelatihan Keterampilan Reparasi Sepeda Motor Bagi Para Tukang Tambal Ban Dan Tukang Bengkel Sepeda Motor Se Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang 600.000,- Dana Rutin

Revitalisasi dan Fasilitasi Agroindustri Peternakan (susu dan daging) di Jawa Barat. Tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan mutu dan produk yang dihasilkan oleh

Konsep Porter ini dikenal sebagai Diamond of Competitive Advantage (Gambar 1): (1) Kon- disi faktor ( faktor conditions ), yaitu posisi negara dalam hal penguasaan