• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

4

1 Pengetahuan tentang jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang digunakan oleh masyarakat adat Kaluppini berbasis lokal

2 Informasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat adat Kaluppini berbasis kearifan lokal

1.4 Gunakan dalam penelitian

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut :

1 Bagi penulis, hasil penelitian ini tentunya akan menambah wawasan dan menambah pengetahuan. Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penulis lain yang akan melakukan penelitian terkait dengan masyarakat adat Kaluppini.

2 Dari segi praktis, hasil kajian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan digunakan oleh pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan yang tepat bagi pengembangan masyarakat adat Kaluppini.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Adat

Hutan adalah kesatuan ekosistem yang berupa sumber daya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam kesatuan alam dengan lingkungannya yang satu dengan lingkungan lainnya yang tidak dapat dipisahkan (UU No. 41 Tahun 1999).

Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini menimbulkan masalah jangka panjang karena masuk kerangka hukum Indonesia memerlakukan hutan konvensional sebagai hutan negara, yang diserahkan kepada masyarakat hukum adat dalam hal pengelolaannya, kemudian diubah definisinya menjadi status tersendiri.

Pada umumnya masyarakat adat kaluppini yang tinggal di hutan di Indonesia, manusia dianggap sebagai bagian dari alam, yang saling menjaga dan menjaga keharmonisan dan keseimbangan, Nababan (Raden 1996). Masyarakat atau adat yang memiliki keyakinan akan pengakuan hak dan jaminan hukum di wilayah atau tanah adatnya, maka masyarakat adat kaluppini tersebut dapat bergerak maju dan menata masa depan ekonominya sendiri. Hutan tradisional terkait erat dengan identitas spiritual, budaya dan sosial Masyarakat Adat.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa hutan di Indonesia dibagi menjadi Hutan Rakyat dan Hutan Hak. Yang dimaksud dengan hutan negara adalah kawasan hutan yang terletak di atas tanah yang tidak dibebani hak atau tanah. Sementara itu, hutan hak dipahami sebagai kawasan hutan yang terletak di atas tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam ketentuan ini, hutan biasa secara otomatis diklasifikasikan sebagai hutan negara.

6

Bagi masyarakat adat, hutan adat merupakan satu kesatuan yang utuh. Selain itu, hutan juga merupakan jaminan bagi generasi mendatang. Hutan masyarakat adat merupakan salah satu aset penting Masyarakat Adat Kaluppini untuk kesejahteraan mereka.

2.2 Masyarakat Adat

Masyarakat Adat Hutan adalah sekelompok orang yang telah tinggal di wilayah geografis tertentu secara turun-temurun karena asal usul leluhurnya, sistem nilai yang menentukan institusi ekonomi, hubungan yang kuat dengan lingkungan, norma hukum, sosial dan politik. ke Hukum.

No. 32 tahun (2009). Pengertian lain dari masyarakat hutan konvensional adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur yang di dalamnya suatu masyarakat mempunyai hubungan darah atau kekerabatan yang sama dari nenek moyang yang sama dan yang berhubungan dengan tempat tinggal suatu daerah tertentu, mulai dari sudut pandang Dinuawi sebagai tempat hidup, dan dari sudut pandang spiritual sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang.

Sebagian besar masyarakat hutan akan bergantung pada sumber daya hutan di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Setiap masyarakat adat memiliki hukum adat yang berlaku yang akan digunakan untuk mengatur segala permasalahan atau permasalahan yang timbul atau timbul dalam lingkungan adat.

Namun, sebagian masyarakat desa hutan di Indonesia masih belum mampu mengelola hutan di sekitarnya dengan baik dan optimal.

7

Sedangkan menurut Keraf, A. Sonny, 2010 mengemukakan bahwa beberapa ciri yang membedakan masyarakat hukum adat dengan kelompok masyarakat lainnya adalah sebagai berikut:

1 Punya bahasa sendiri 2 Memiliki budaya yang unik

3 Mereka mendiami tanah milik nenek moyang mereka, sebagian atau seluruhnya.

4 Mereka biasanya hidup terpisah dari kelompok lain dalam masyarakat dan enggan serta takut akan hal baru yang datang dari luar komunitasnya.

5 Memiliki nenek moyang yang sama dengan penduduk asli daerah tersebut.

Masyarakat Adat adalah suatu komunitas yang tetap dan teratur, yang anggota-anggotanya terikat tidak hanya pada tempat tinggal suatu wilayah tertentu, tetapi juga dalam rencana duniawi sebagai tempat hidup dan ikatan spiritual, sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. . masalah yang muncul di lingkungan yang akrab.

Masyarakat dengan pola orientasi hidup tradisional adalah masyarakat yang hidup dan tinggal di desa-desa. Ciri umum yang dimiliki masyarakat pedesaan menurut Ningrat A.A. (2004) adalah sebagai berikut:

1 Memiliki kehidupan gotong royong 2 Nilai sosial yang tinggi

3 Hormati Yang Lebih Tua

4 Hubungan antara masyarakat desa dengan tanah sangat erat.

5 Memegang tradisi

8 6 Kehidupan dan perilaku magis religius 7 Percayai pemimpin dan tradisi lokal

Melihat ciri-ciri di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat tradisional dalam kehidupan mereka didasarkan pada kebiasaan atau cara lama yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, meskipun banyak pengaruh eksternal dari kehidupan sosial, masyarakat adat masih berusaha mempertahankan adat atau nilai-nilai nenek moyang yang mereka anut sejak lama. Hal ini dilakukan untuk menjaga identitas kelompok masyarakat dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan baik antara masyarakat dan lingkungan.

2.3 Hasil Hutan Bukan Kayu

Menurut (Keputusan Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007) disebutkan bahwa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati yang berupa tumbuhan dan satwa, serta hasil dan produk turunannya. budidaya, kecuali kayu yang berasal dari hutan. Masyarakat hutan biasanya mengkonsumsi HHBK seperti sagu, buruan, sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, kayu bakar, obat-obatan, dan lain-lain, serta untuk tujuan produktif atau pasar seperti madu, gaharu, rotan, minyak atsiri, damar dan sebagainya. Masyarakat Adat Hutan menggantungkan sebagian besar hidupnya pada pengumpulan hasil hutan bukan kayu, tetapi masih belum diketahui sejauh mana hasil hutan bukan kayu terbuka mempengaruhi mata pencaharian masyarakat hutan.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah semua bahan berwujud atau bukan kayu yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan dalam rangka kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu

9

umumnya merupakan hasil sampingan dari pohon, seperti daun, getah, buah-buahan, kulit kayu, atau beberapa tumbuhan yang memiliki sifat khusus, seperti bambu, rotan, dan sebagainya. Memungut hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan tradisional masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Keputusan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, berdasarkan pemanfaatannya dibedakan seperti HHBK tumbuhan dan HHBK hewan, yaitu sebagai berikut:

1 HHBK Nabati

a. Kelompok minyak atsiri: cendana, kenanga dan kayu putih.

b. Kelompok tanaman obat dan hias: anggrek hutan, brotovali dan akar wangi.

c. Kelompok resin: gaharu, damar dan kemenyan.

d. Kelompok minyak lemak, pati dan buah: rebung, buah merah dan durian.

e. Sekelompok tanin, pewarna dan getah : kayu kuning, jelatung, peroa.

f. Golongan alkaloid : kina

g. Kelompok palma dan bambu: rotan manau dan rotan toichi h. Kelompok lain: nipah, pandan dan purun.

2 HHBK Hewani

a. Sekelompok hewan penangkaran: rusa, arwana, kupu-kupu dan buaya b. Kelompok produk hewani: sarang burung walet, ulat sutra,lebah madu, lilin

lebah, dan kutulak.

c. Kelompok hewan buruan: kelinci (Oryctolagus cuniculus), rusa (Ceridae), buaya (Crocodylide), babi hutan (Sus scrofa).

10

Jenis hasil hutan ini sangat baik untuk dikembangkan karena dengan menggunakan hasil hutan bukan kayu, masyarakat telah mengurangi emisi karbon.

Selain itu, pengembangan hasil hutan bukan kayu sangat strategis dan penting, karena dapat meningkatkan nilai tambah, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan pendapatan pemerintah, serta menjamin pemerataan pembangunan daerah.

Manusia dan hutan memiliki hubungan yang unik ketika manusia menjadi bagian dari ekosistem hutan itu sendiri. Hubungan timbal balik antara manusia dan hutan merupakan interaksi yang dapat saling mempengaruhi. Jika hutan rusak, maka nyawa manusia terancam. Tingginya nilai dan manfaat hutan bagi masyarakat mempengaruhi ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan.

Manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK) lainnya dibagi menjadi hasil hutan bukan kayu komersial dan non-komersial sebagai berikut :

1. HHBK Non Komersial

Jenis hasil hutan bukan kayu nonkomersial yang umumnya diambil dan dimanfaatkan secara langsung, antara lain:

a. umbi-umbian

Hutan bagi suku-suku yang tinggal dan tinggal di pedalaman menggunakan umbi-umbian sebagai sumber makanan utama mereka dan sengaja menanamnya di hutan. Misalnya, hutan yang dihuni oleh penghuni hutan di kawasan hutan akan ditanami umbi-umbian sebagai berikut:

1. Caladium dengan berbagai jenis (talas singkong, mangkok, bonggol pisang, talas kuning dan talas santai yang bisa dimakan mentah).

11

2. Ubi jalar (Ipomoea batatas) biasanya ditanam di ladang dan tidak tumbuh liar di hutan.

3.Orang hutan ketika kelaparan maka gadung adalah makanan pilihan terakhir karena gadung mengandung racun sehingga diperlukan penanganan khusus saat memakannya.

b. Buah

Buah-buahan merupakan makanan penting bagi penghuni hutan. Hutan ini menghasilkan berbagai jenis buah-buahan, baik musiman maupun produktif sepanjang tahun, seperti: pisang (Musa), salak (salanca Zalacca), durian (Drio), chempedak (Artocarpus integer), sukun (Artocarpus altilis), dooku (Lansium).

domestik). ) dan seterusnya.

c. Hewan hutan terutama menjadi sumber makanan sebagai lauk dari hewan buruan seperti: burung (Aves), nila (Oreochromis niloticus), babi (Sus scrofa domesticus), dan bagi suku-suku yang bergantung, sebagian besar mata pencaharian mereka berlangsung di hutan. .

d. Lebah madu (Apis mellifera Linneus)

Lebah madu merupakan hasil hutan non kayu yang memiliki banyak manfaat dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak lama. Misalnya madu sumbawa yang dihasilkan oleh lebah endemik, dan nektar dari pohon gaharu.

e. Tanaman obat babadotan (Ageratum conyoides)

Hutan sangat kaya akan berbagai tumbuhan yang memiliki fungsi dan manfaat yang berhubungan dengan obat dan kesehatan. Misalnya, purwaseng yang efektif untuk kebugaran, dan sambiroto adalah tanaman herba yang sangat

12

pahit dan memiliki banyak khasiat yang bermanfaat. Babadotan (Ageratum conyoides) merupakan ramuan tradisional yang banyak digunakan masyarakat pedesaan dan juga merupakan obat kuat serta banyak digunakan dalam pengobatan sakit kepala dan asam urat misalnya.

2. HHBK komersial.

Hasil hutan bukan kayu yang dapat diperdagangkan memiliki nilai ekonomi antara lain:

bambu (Bambusoideae), rotan (sp Daemonorops Drco), damar (Agathtis dammara) dan sebagainya. Menurut Lidiawati, I. (2003) nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperdagangkan sehingga menghasilkan pendapatan.

Dari konsep ekonomi, kepuasan, utilitas, dan kesenangan yang diperoleh individu atau komunitas tidak terbatas pada barang dan jasa yang diperoleh dengan membeli dan menjual, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan utilitas akan menjamin kemakmuran bagi individu dan masyarakat.

3. Enfleurasi

Enrfeurasi adalah metode ekstraksi dengan bahan lemak dingin dalam produksi minyak dari bunga seperti bunga sedap malam dan mawar. Contoh lain adalah minyak atsiri atau minyak murni yang digunakan sebagai penyedap rasa, penyedap makanan, dan bahan untuk pembuatan obat-obatan. Selai yang terbuat dari minyak esensial ini banyak digunakan dalam perawatan kesehatan.

2.4 Kearifan lokal

Kearifan lokal adalah budaya yang diciptakan oleh aktor lokal melalui intervensi ajaran agama, proses berulang, melalui internalisasi dan budaya, yang

13

disosialisasikan dalam bentuk norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sedangkan menurut Edi Sdyawati, kearifan lokal adalah berbagai model tindakan dari hasil budaya material. Dalam arti luas terkandung dalam semua warisan budaya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Sedangkan menurut Sibarani (2012), kearifan lokal merupakan bentuk pengetahuan awal dalam masyarakat, yang bersumber dari nilai-nilai primordial budaya masyarakat setempat untuk mengatur tata kehidupan masyarakat. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan hidup masyarakat yang sudah berlangsung lama. Menurut Sudarno. (2012) karakterisasi kearifan lokal terdiri dari 6 bagian, yaitu:

a. Mampu memberikan arah perkembangan budaya b. Mampu menolak budaya asing

c. Mampu menampung unsur-unsur budaya asing

d. Mampu mengintegrasikan unsur budaya asing ke dalam budaya asli e. Memiliki kemampuan untuk mengontrol

Kearifan lokal merupakan nilai yang dianggap baik dan benar, sehingga dapat dilestarikan dalam waktu yang lama bahkan menjadi melembaga. Kearifan lokal juga merupakan kearifan manusia yang didasarkan pada nilai, filosofi, cara, perilaku, dan etika yang melembaga secara tradisional. Wujud kearifan lokal dalam suatu masyarakat dapat berupa norma, kepercayaan, etika, nilai, adat, hukum, dan aturan khusus. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut:

a. Berfungsi sebagai nasehat, sastra, kepercayaan dan pantangan.

b. Arti dari politik atau hubungan kekuasaan

14

c. Berfungsi untuk melestarikan dan melestarikan sumber daya alam d. Melayani pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan

e. Makna etika dan moralitas dalam upacara kremasi arwah penyelamat f. Fungsi pengembangan sumber daya manusia

g. Penting secara sosial, misalnya, ritus integrasi masyarakat atau ritus kekerabatan dan pertanian.

Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai cerminan kehidupan, pemikiran yang demikian dilandasi oleh budi pekerti yang baik, nalar yang jernih dan mengandung aspek-aspek positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai produk akal, budi pekerti, perasaan yang mendalam, bentuk perangkai dan sugesti bagi kejayaan manusia. Menguasai kearifan lokal akan membuat jiwa masyarakat semakin berbudi luhur.

2.5 Kerangka Fikir

Penelitian ini dimulai dari lokasi penelitian di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang. Lokasi ini dipilih dan dijadikan sebagai lokasi penelitian dengan harapan nantinya dapat diberikan informasi dan deskripsi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat adat Kaluppini berdasarkan pengalaman lokal. Kajian ini dimulai dengan mengidentifikasi jenis HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan belajar dari pengalaman lokal tentang pemanfaatannya. Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

15

Gambar 1: Kerangka Pikir Hutan Kaluppini

Masyarakat Adat Kaluppini

Kearifan Lokal Masyarakat Adat

Kaluppini Jenis Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK)

Pemanfaatan HHBK

16

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 2 bulan, dari bulan Oktober sampai November 2021. Penelitian ini dilakukan di Masyarakat Adat Hutan Kaluppini, Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang.

Gambar 2 : Peta kawasan adat Kaluppini, Kabupaten Enrekang.

3.2 Alat Dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Alat tulis untuk menulis data di lapangan

2. Kamera Digital untuk Mendokumentasikan Kegiatan Penelitian

3. Panduan kuesioner yang akan digunakan sebagai acuan pengumpulan data dalam proses wawancara responden (Masyarakat Adat)

4. laptop

17 3.3 Objek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah masyarakat adat Desa Kaluppini Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang yang memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

3.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survey, yang dilakukan dengan mencari informasi dari populasi dengan menggunakan metode snowball sampling. Sedangkan menurut Sugiyono (2010), snowball sampling adalah suatu metode untuk mengidentifikasi sampel yang awalnya kecil jumlahnya kemudian meningkat. Peneliti memutuskan untuk menggunakan snowball sampling karena pada awalnya hanya satu atau dua orang yang berpartisipasi dalam penelitian, namun karena data dianggap tidak lengkap maka peneliti mencari orang lain untuk melengkapi data.

3.5 Jenis Dan Sumber Data

Data primer adalah data yang dikumpulkan dari masyarakat adat Kaluppini dengan human sampling dan kuesioner, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi terkait yang terkait dengan penelitian ini.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data di lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

1. Metode narkotika

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat pengguna hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Desa Kaluppini Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang.

18

Jumlah sampel yang diambil dalam rangka penelitian ini minimal 30 responden yang mewakili strata sosial masyarakat adat desa Kaluppini.

Penerimaan 30 responden.

2. Metode Trigulasi (gabungan)

Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode pengumpulan data, seperti:

a. Pengamatan

Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap tempat yang dijadikan objek penelitian.

b. Wawancara

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada responden guna memperoleh data yang akan mendukung proses penelitian.

3.7 Metode Analisis Data

Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif. Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran tentang subjek penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari sekelompok subjek yang diteliti, dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis. Penyajian hasil analisis deskriptif ini dilakukan dalam bentuk frekuensi dan persentase, tabulasi silang, serta berbagai bentuk grafik dan bagan untuk data kategorikal, serta statistik kelompok untuk data nonkategori.

19

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

4.1 Letak Geografis

Secara geografis Desa Kaluppini Kabupaten Enrekang dengan ibukota Enrekang terletak ±235 km sebelah utara Makassar. Secara administratif terdiri dari 10 kecamatan, 12 kecamatan dan 96 desa dengan luas wilayah 1.786,01 km2.

Letaknya pada titik-titik dengan koordinat 3014°36 sampai dengan 0305000 Lintang Selatan dan dari 11904053 sampai dengan 12000633 Bujur Timur. Batas wilayah ini di sebelah barat dengan Kabupaten Pinrang, di utara dengan Luvu dan Sidrap, di selatan dengan Kabupaten Sidrap. Daerah ini biasanya memiliki topologi daerah yang bervariasi dalam bentuk pegunungan, perbukitan, sungai dan lembah.

Memiliki ketinggian 47-3293 m di atas permukaan laut dan tidak memiliki zona pantai. Secara umum topografi daerah ini didominasi oleh perbukitan atau pegunungan, yaitu sekitar 84,

Kabupaten Enrekang merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, ibukota Kabupaten ini terletak di Kecamatan Enrekang, Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.786,01 km2 dan jumlah penduduk ±190.579 jiwa. Secara sosial budaya, penduduk Kabupaten Enrekang memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini karena Kabupaten Enrekang terletak di antara Bugis, Mandara dan Tanah Toraja. Bahasa daerah yang digunakan di Kabupaten Enrekang secara garis besar terbagi menjadi tiga bahasa dan tiga suku bangsa yang berbeda yaitu bahasa Duri, Enrekang dan Maroangin di Kabupaten Maiwa. Bahasa Duri dituturkan oleh penduduk mikrodistrik Alla, Baroko, Malua, Masalle, Baraka,

20

Angeraja dan Buntu Batu. Bahasa Enrekang dituturkan oleh penduduk daerah Enrekang. Bahasa Marongin dituturkan oleh penduduk daerah Maiwa.

4.2 Iklim

Musim di Kabupaten Enrekang hampir sama dengan musim di daerah lain di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dimana musim hujan pada bulan November hingga Juli dan musim kemarau pada bulan Agustus hingga Oktober.

Iklim di desa Kaluppini hampir sama dengan di daerah lain.

di Kabupaten Enrekang yaitu musim hujan dan musim kemarau. Iklim sangat mempengaruhi struktur tanaman masyarakat petani di desa Kaluppini.

4.3 Kondisi demografis desa Kaluppini

Tabel 1: Pembagian wilayah dan jumlah penduduk

Tidak. Nama dusun laki-laki Wanita Kuantitas Jumlah kk

Satu desa kayao 232 233 465 108

2 Desa

tahanadoko

249 224 473 104

3 Dusun Palli 216 226 442 89

Kuantitas 697 683 1380 310

Sumber: Profil Desa Kaluppini 2022

Tabel diatas,maka pembagian desa kaluppini terbagi atas tiga dusun yaitu dusun kajao, dusun tana doko dan dusun palli. Banyaknya penduduk di dusun kajao 465 orang, dusun tana doko sebanyak 473 orang dan dusun palli berjumlah 442

21

orang. Adapun jumlah keseluruhan orang atau jiwa masyarakat desa kaluppini sebanyak 1.380 jiwa dan jumlah kepala keluarga sebanyak 310 kepala keluarga.

Tabel 2 mata pencarian masyarakat adat kaluppini

No Jenis mata pencaharian jumlah

1 Petani 1.370

2 Sopir 8

3 PNS 2

Sumber : profil desa kaluppini 2022

Berdasarkan tabel di atas, mata pencaharian masyarakat desa Kaluppini hampir 100% terkait dengan pertanian. Di desa Cajao, sebagian besar masyarakat menanam tanaman tahunan seperti lada (piper nigrum), kopi (Coffee), dan

cengkeh (Syzygium aromatica). Sementara itu, di desa Palli dan Tanadoko, kebanyakan orang bercocok tanam dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang tidak cocok untuk tanaman tahunan. Jadi, biasanya orang hanya menanam tanaman jangka pendek seperti kacang tanah (Archis hypogea), padi (Vigna radiata) dan jagung kuning (Zea mays).

22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian, 30 responden diwawancarai di Desa Kaluppini Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang. Ada segelintir masyarakat yang sadar akan pemanfaatan tumbuhan yang dijadikan hasil hutan bukan kayu (HHBK), yang dimanfaatkan menjadi karya seni kerajinan tangan, ada juga tumbuhan obat yang efektif, dan ada juga yang jarang memanfaatkan tumbuhan obat, masyarakat umum yang sering menggunakan tanaman obat untuk bahan obat tradisional. Karakteristik responden di Desa Kaluppini.

Tabel 3. Identifikasi responden berdasarkan jenis kelamin

No Jenis kelamin Jumlah responden

(Manusia) Persen (%)

1 Wanita 19 63.33

2 laki-laki 11 36.67

3 30 30 100

Sumber: Data primer 2022

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebanyak 30 responden yang menggunakan tanaman obat sebagai obat tradisional dalam penelitian ini sebagian besar adalah perempuan yaitu 19 responden dengan persentase 63,33% dan responden laki-laki sebanyak 11 responden dengan persentase 36,67% yang memanfaatkan tumbuhan obat sebagai obat tradisional.

23

5.2 Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Masyarakat di sekitar Kawasan Hutan Adat Kaluppini sangat bergantung pada hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk kebutuhannya. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kaluppini adalah sebagai berikut:

5.2.1 Lebah Madu (Apis mellifera Linneus)

Madu merupakan hasil hutan yang diperoleh dari sarang lebah. Madu juga memiliki banyak khasiat dan manfaat yang dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit. Menurut masyarakat hutan adat Kaluppini, madu hanya digunakan untuk pengobatan, mereka mengumpulkan madu hanya pada musim kemarau.

Ya to cani, wani biasa kami kipuala pejampi jo nte pangngala adat kaluppini,,eee kipekkeguna kami na sebagai pejampi. Ia bangmora ki pake mangjampi ke masaki-saki bangkan, jadi eda mo ki

Ya to cani, wani biasa kami kipuala pejampi jo nte pangngala adat kaluppini,,eee kipekkeguna kami na sebagai pejampi. Ia bangmora ki pake mangjampi ke masaki-saki bangkan, jadi eda mo ki

Dokumen terkait