• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up

2. Pasal 7 huruf e

2.1.5 Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up

Dilihat dari unsur katanya, gross up terdiri dari kata ‘gross’ dan ‘up’. Secara harfiah gross berarti kotor atau bruto dan up berarti naik atau menaikkan atau menambahkan. Jadi gross up bisa diartikan menaikkan atau menambahkan suatu angka menjadi jumlah kotor atau bruto.

Istilah gross up sendiri sebenarnya tidak dikenal dan tidak disebutkan secara eksplisit di berbagai peraturan perpajakan secara formal. Gross up pada dasarnya hanyalah berkaitan dengan logika normal yang berhubungan dengan penghitungan tertentu. Logika penghitungannya dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perpajakan yang ada.

Ketentuan perpajakan hanya mengatur gross up yang berkaitan dengan PPh Pasal 26, meskipun tidak menyebut secara eksplisit dengan istilah gross up. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 sebagai berikut:

“pengeluaran dari biaya tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk:

a. … dst;

d. Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak;…”

Frasa ‘ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak’ inilah yang oleh praktisi perpajakan diartikan sebagai ‘gross up’. Secara utuh klausul tersebut menandakan bahwa PPh Pasal 26 yang ditanggung perusahaan

tersebut bisa menjadi deductible exspense sepanjang dihitung secara gross up, dan itu pun tidak berlaku untuk PPh Pasal 26 atas deviden.

Dari ketentuan di atas, maka didapat suatu analogi bahwa PPh pasal 21, PPh Pasal 23, PPh final yang ditanggung oleh perusahaan pun sebenarnya bisa dilakukan hal yang sama, sepanjang didukung dengan dokumen yang memadai. Khusus untuk gross up PPh Pasal 21, masalahnya menjadi lebih mudah karena terdapat istilah tunjangan pajak yang diberikan kepada karyawan.

Pada prinsipnya, metode gross up adalah suatu metode perencanaan pajak sehubungan dengan penetapan besarnya tunjangan pajak pegawai tetap. Dengan penetapan metode ini, besarnya tunjangan yang ditambahkan ke dalam penghasilan pegawai akan tetap akan sama dengan besarnya PPh Pasal 21 terutang pegawai tetap, sehingga tidak akan terjadi selisih atau selisih yang terjadi tidak signifikan antara besanya tunjangan pajak yang diberikan dengan besarnya pajak terutang, dimana selisih tersebut akan menjadi tanggungan perusahaan atau bahkan pegawai yang bersangkutan. Pada kenyataannya untuk menetukan gross up bisa dilihat dari penghasilan pada setiap karyawannya. Dengan adanya gross up maka perusahaan tidak akan mengalami kesulitan lagi dalam menentukan tunjangan pajak.

Pengertian dari metode gross up itu sendiri menurut Muda Markus dan Hendri Yujana (2002:292) yaitu :

“Metode gross up adalah membrutokan penghasilan netto setelah pajak untuk mendapatkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), setelah DPP (Dasar Pengenaan Pajak) didapat baru dikalikan dengan tarif pajak”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa, gross up PPh Pasal 21 dilakukan dengan menambahkan tunjangan pajak kepada masing-masing pegawai yang jumlahnya sama besar dengan pajak yang terutang atau pajak yang harus dipotong oleh perusahaan. Dengan penghitungan secara gross up, jumlah penghasilan yang diterima karyawan (take home pay) tetap sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan dengan karyawan. Gross up ini akan mengembalikan penghitungan PPh Pasal 21 yang sesuai dengan substansi sebenarnya, yaitu dipotong oleh pemberi penghasilan (perusahaan) kepada penerima penghasilan (pegawai).

Seperti dapat dilihat dalam contoh perhitungan sebelumnya, kebijakan pemberian tunjangan pajak yang kurang efisien akan menyebabkan perusahaan selaku pemberi kerja/pemotong pajak tetap harus menanggung selisih tunjangan pajak dan PPh Pasal 21 terutang sehingga pegawai tetap menerima jumlah take home paye sama.

Metode Gross Up pada dasarnya merupakan salah satu alternatif perhitungan yang dapat digunakan perusahaan untuk memaksimalkan pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) perusahaan.

Menurut analisis para ahli perpajakan dan pengamatan yang dilakukan, penerapan perhitungan metode gross up memiliki beberapa keuntungan antara lain:

“1. Mempermudah pemberi kerja menentukan tunjangan pajak yang diberikan secara tepat. Dalam praktek di lapangan kondisi yang sering terjadi yaitu perusahaan membuat kebijakan pemberi tunjangan pajak yang kurang efektif, misalnya karena kesulitan menentukan besarnya tunjangan pajak yang diberikan agar sama dengan PPh Pasal 21 karyawan terutang, ditentukan dari sekian

persen gaji bruto per karyawan. Keadaan ini memungkinkan terjadinya selisih antara PPh pasal 21 terutang karyawan dengan tujangan pajak yang diberikan. Konsekuensinya yang terjadi adalah karena perusahaan telah sepaat untuk memberikan tunjangan pajak atau karyawan menerima penghasilan bersih tanpa dipotong pajak, maka selisih tersebut menjadi tanggungan perusahaan.

2. Memperbesar beban yang diperkenankan sebagai pengurangan dalam perhitungan penghasilan kena pajak pemberi kerja.

Sebagaimana telah disunggung dalam angka (1) metode gross up akan menjadikan seluruh pemberian tunjangan pajak yang sebelumnya terdapat sejumlah rupiah yang menjadi tanggungan perusahaan, menjadi seluruhnya berbentuk pemberian tunjangan pajak menurut PPh Pasal 6 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa ‘tunjangan merupakan pengurangan yang diperkenankan dalam penghitungan penghasilan kena pajak perusahaan’. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa tunjangan pajak merupakan objek pajak penghasilan karena penghasilan bagi karyawan yang diperkenankan untuk dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak (PKP). Jadi seluruh tunjangan pajak dapat diperlakukan sebagai beban yang dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak perusahaan atau dengan kata lain dapat memperbesar beban yang dapat dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak perusahaan.”

Untuk perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai dengan menggunakan metode gross up, terlebih dahulu harus menemukan rumus untuk mengubah penghasilan neto (gaji neto) menjadi penghasilan bruto (gaji bruto). Selain itu perhitungan gross up tidak lepas dari peraturan perpajakan yang berlaku.

Menurut Mienati Somya Lasmana dan Budi Setiorahardjo (2010 : 97-98) ada beberapa beberapa pembatasan-pembatasan yang harus

diperhatikan dalam perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai dengan menggunakan metode gross up, yaitu:

“1. Biaya Jabatan

3. Tarif Pajak”

Rumus yang digunakan dalam metode gross up menurut Mohammad Zain (2005 : 91-92) adalah seperti terlihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.11

Rumus Gross Up *untuk Perhitungan Tunjangan Pajak

PKP Tunjangan Pajak

Sampai dengan Rp. 25.000.000,00 1/228,6 {PKPSTP*}

Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00 10/108 {0,1(PKPSTP – 25 juta) + 1,25 juta} Rp. 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00 10/102 {0,15(PKPSTP – 50 juta) + 3,75 juta} Rp. 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,00 10/90 {0,25(PKPSTP – 100 juta) + 11,25 juta} Di atas Rp. 200.000.000,00 10/78 {0,35(PKPSTP – 200 juta) + 36,25 juta}

*PKPSTP = Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tunjangan Pajak

Atau dapat digunakan rumus Gross Up menurut Gustian Djuanda (2001 : 97-98) sebagai berikut :

Tabel 2.12

Rumus Gross Up** untuk Perhitungan Tunjangan Pajak

PKP Tunjangan Pajak

Sampai dengan Rp. 25.000.000,00 Lapisan ke-1 = Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00 Lapisan ke-2 = Rp. 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00 Lapisan ke-3 = Rp. 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,00 Lapisan ke-4 = Di atas Rp. 200.000.000,00 Lapisan ke-5 =

2.1.6 Pajak Penghasilan Badan

Dokumen terkait