• Tidak ada hasil yang ditemukan

TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF

Dalam dokumen Buku Ulumul Quran 2016 (Halaman 85-95)

}

A. Pendahuluan

Orang Arab mempunyai keberagaman lajhah (dialek) dalam langgam, suara, dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Oleh sebab itu, seluruh bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bahasa-bahasa mereka karena adanya berbagai karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa quraisy, kepada rasul Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab dan menjadi penengah dari perbedaan lahjah-lahjah bahasa kaum Quraisy dan mewujudkan kemukjizatan Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang di wahyukan Allah kepada Rasul-nya, menyempurnakan makna

kemuk-Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

jizatanya karena ia mencangkup semua huruf dan qira’ah diantara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.

Teks-teks hadits secara mutawatir mengemukakan mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Di antaranya:

Ibnu abbas ra berkata; Rasulullah bersabda,

“JIbril membacakan (Al-Qur‟an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.”

Hadits-hadits yang berkenan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah di selidiki oleh ibnu jarir di dalam pengantar tafsirnya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari dua puluh satu orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam menetapkan kemutawatiran hadits mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh huruf B. Perbedaan Pendapat dalam makna Tujuh Huruf

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tga puluh lima pendapat. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang di anggap paling mendekati kebenaran.

Pertama, sebagian besar ulama berpendapat

bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mreka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an di turunkan dengan sejulah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu.

Kedua, yang di maksud dengan tujuh huruf

adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa arab

Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat di Al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang bereda dalam kata tetapi sama dalam makna.

Ketiga, sebagian ulama menyebutkan, yang

dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa‟d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan

matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.

Keempat, segolongan ulama berpendapat,

bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu;

Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

1. Ikhtilaful asma‟ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, mudzakkar, dan cabang-cabangnya seperti jamak taknis, tasniyah tetapi kesimpulan akhir adalah sama, sebab bacaan dalam bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istihgraq (mencangkupi) yang menunjukan jenis-jenisnya

2. Perbedaan dalam segi I‟rab, seperti firman allah ta’ala dalam surat yusuf ayat 31 jumhur membacanya dengan nashab, sebab kalimat

“ma” berfungsi seperti “laisa” sebagaimana

penduduk hijaz, dengan bahasa inilah Al-Qur’an diturunkan.

3. Perbedaan dalam tashrif, disinilah yang di perselisihkan termasuk perubahan huruf dalam satu kalimat, seperti ya‟lamun dibaca

ta‟lamun (ya’ dan ta’),Shirot dan sirat,dalam

(Al-Fatihah:6)

4. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khit (mengakhirkan), dimana yang pertama di baca dalam bentuk aktif dan yang kedua dibaca dalam bentuk pasif, juga dibaca dengan sebaliknya.

5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf.

6. Perbedaan dengan sebab adanya penanbahan dan pengurangan, mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqsh),

7. Perbedaan lahjah dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah,

izhar dan idhgam, hamzah dan tashil, isymam, dan lain-lian

Kelima, sebagian ulama ada yang

berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiyah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai symbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka angka tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.

Keenam. Ada juga ulama yang berpendapat

yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira‟at sab‟ah.

Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama, yang mengatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa-bahasa Arab dalam mengungkappkan satu makna yang sama, misalnya; aqbala, ta‟al, haluma, „ajala dan asra‟a. Lafash-lafash yang berada ini untuk menunjuk pada satu makna. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin Uyaimah, Ibnu jarir, Ibnu Wahab dan lainya. Ibnu Abdil menistbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama. Dalil pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadits Abu Bakrah.

Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

Pendapan pertama ini pula didukung oleh banyak hadits, antara lain; seorang lelaki membaca Al-Qur’an di dekat Umar Al-Khatab. Umar marah kepadanya. Orang itu berkata, “sungguh aku telah membacanya di hadapan Rasulullah, tetapi ia tidak menegur bacaan saya itu. “kata perawi; “maka keduanya berselisih di hadapan nabi. Orang itu berkata, wahai Rasuullah bukankah engkau membacakan kepadaku ayat itu begini-begini?’” Nabi menjawab, “ya.“ Perawi menjelaskan.

“Dengan penjelasan ini timbulah ketidakpuasan dalam hati Umar, dan Nabi mengetahui hal itu di wajahnya. Lalu belilau menepuk-nepuk dada Umar seraya mengatakan, “jauhilah satan.” Ucapan ini diulanginya sampai tiga kali. Kemudian katanya pula. “Hai Umar, Al-Qur’an itu seluruhnya benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan azab atau ayat azab dijadikan ayat rahmat.”

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang denganya Al-Qur’an di turunkan, artinya kalimat-kalimat Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi. Karena itu, maka himpunan Al-Qur’an mencangkupnya. Semua itu menunjukan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka

kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafadzh-lafadzh mengenai makna yang sama.

Setelah mengemukakan dalil-dalil untuk membatalkan pendapat kedua ini, ibnu jarir At-Thabari berkomentar, “tujuh huruf yang dimaksud denganya Al-Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek baasa dalam satu huruf dan satu kata karena perbedaan lafazh tetapi sama maknanya.

Namun pada masa pemerintaha Usman keadaan menuntut agar bacaan itu di tetapkan dengan satu huruf saja kerena di khawatirkan akan timbul fitnah. Kemudian hal ini diterima secara bulat oleh umat islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan.

Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal, yaitu; amr, nahyu, halal, haram,

mukham, mutasyabih, dan amtsal, dapat dijawab;

dzahir hadits-hadits tersebut yang menunjukan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasan bagi umat, padahal sesuatu yang satu tidak mungkin di nyatakan halal dan haramdi dalam satu ayat, dan keleluasan pun tidak terletak pada masalah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram atau dengan mengubah sesuatu makna dari mekne-mekne tersebut.

Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

Peniadaan hal tersebut (adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an) oleh Allah yang magha terpuji dari Kitab-nya yang muhkam merupakan bukti paling jelas bahwa Dia tidak menurunkan Kitab-nya melalui lisan Muhammad kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua mahluk-nya, bukam dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka.

Pendapat keempat yang menyatakan, bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang diantaranya terjadi ihtilaf. Jawabanya, pendapat ini meskipun telah popular dan diterima, tetapi ia tidak dapat bertahan di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafazh yang mempunyai makna sama.

Para pendukung pendapat keempat memandang mushaf-mushaf Utsmani mencangkup tujuh huruf tersebut seluruhnya, dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mangandung huruf-huruf yang dimungkunkan oleh bentuk tulisanya

Pendapat kelima, menyatakan bilangan tujuh itu tidak di artikan secara harfiah. Ini dapat dijawab bahwasanya nash-nash haadits menunjukan hakekat bilangan tersebut secara tegas, seperti, “jibril membacakan Al-Qur‟an

aku memohon agar huruf itu di tambah, ia pun menambahkanya kepadaku sampai tujuh huruf.”

Dan sabda beliau

“sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membaca Al-Qur‟an dengan satu huruf. Lalu brulang-ulang aku memohon kepadanya untuk member kemudahan kepada umatku. Maka ia mengutusku agar membaca Al-Qur‟an dengan tujuh huruf.”

Pendapat keenam, maksud tujuh huruf adalah tujuh qira’at, dapat dijawab; Al-Qur’an itu bukanlah qira’at. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammadsebagai bukti risalah dan mukjizat. Adapun qira’at adalah perbedaan mengucapkan lafazh-lafazh wahyu tersebut. Abu syamah berkata, “suatu kaum mengira qira’at tujuh yang ada sekarang ini itulah yang dimaksudkan dengan tujuh huruf dal hadits. Asumsi ini sangat bertentangan dengan kesepakatan paraahli ilmu. Juga anggapan seperti itulah adlah anggapan orang-orang yang tidak mengerti.”

Dengan penbicaraan ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat pertama yang melihat bahwa tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa Arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai denga zhahir nash-nash, dan di dukung oleh bukti;bukti yang shahih.

Al-Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasehat-nasehatnya mereka dapat

Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

menyembuhkan segala penyakit hati yang bersumber dari bisikan setan dan getaran-getaranya. Karena itulah, Al-Qur’an memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasehat orang lain.

C. Hikmah Turunya Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf

Hikmah diturunkanya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (ahruf sab‟ah) dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syari’at apalagi mentradisikanya.

2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri kebahasaan orang Arab. Al,Qur’an banyak mempunyai susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkam huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama naluri mereka dan lahjah kaumnya.

Kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab,perubahan bentuk lafazh pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan berbagai hukum dari padanya.

Dalam dokumen Buku Ulumul Quran 2016 (Halaman 85-95)

Dokumen terkait