PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
B. HASIL PENELITIAN
2. Uji Asumsi Penelitian
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran
variabel pada keempat kelompok sampel mengikuti distribusi normal.
Uji normalitas dengan menggunakan one-sample kolmogorov-smirnov
test menunjukkan bahwa distribusi skor untuk variabel regulasi emosi
dinyatakan -. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas pada kasus ini
yaitu 0,722 (p = 0,722) sehingga p > 0,05. Di bawah ini disertakan
tabel ringkasan dari one-sample kolmogorov-smirnov test sebagai tes
normalitas sebaran. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
Tabel 14. Hasil Penghitungan Uji Normalitas
N Mean Std. Deviasi Sig
60 6,93 7,70 0,722
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan menggunakan Levene’s Test. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah varian dari sampel yang diuji
adalah sama atau homogen (Arikunto, 1989). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai probabilitas keempat kelompok sampel
adalah 0,009 yang berarti kurang dari 0,05 (p < 0,05) sehingga
sama. Di bawah ini disertakan tabel ringkasan Levene Test. Data
selengkapnya dapat dilihat di lampiran.
Tabel 15. Hasil Penghitungan Uji Homogenitas
Levene Statistic df1 df2 Sig.
4.224 3 56 .009
3. Uji Hipotesis
Hipotesis alternatif (Hi) dalam penelitian ini berbunyi ada
perbedaan regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan
pola asuh. Bila orang tua menerapkan pola asuh otoritatif maka regulasi
emosi anak akan tinggi atau baik sedangkan bila pola asuh yang diterapkan
adalah pola asuh otoriter, permisif, atau uninvolved maka regulasi emosi
anak akan rendah atau buruk. Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan analisis one-way anova dengan alat bantu SPSS 16.
Pengujian dilakukan dengan cara melihat signifikansinya. Hipotesis akan
diterima bila taraf signifikansi kurang dari 0,05 (p < 0,05) yang berarti ada
perbedaan regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan
pola asuh.
Hasil penghitungan nilai signifikansi dalam penelitian ini adalah
0,469 yang berarti lebih dari 0,05 (p > 0,05). Hal ini berarti Hi ditolak dan
usia sekolah berdasarkan pola asuh. Di bawah ini disertakan ringkasan
penghitungan one-way anova.
Tabel 16. Hasil Penghitungan One-Way Anova
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 153.537 3 51.179 .856 .469 Within Groups 3347.301 56 59.773 Total 3500.838 59 C. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan regulasi
emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai signifikansi 0,469 (p > 0,05) dengan nilai koefisien F
sebesar 0.856. Perbedaan pola asuh tidak mempengaruhi regulasi emosi yang
dimiliki oleh anak.
Data deskriptif menjelaskan bahwa sebagian besar subjek memiliki
regulasi emosi yang tinggi. Subjek dengan pola asuh yang diduga tidak
mendukung regulasi emosi yang tinggi, yaitu seperti pola asuh otoriter,
permisif, dan uninvolved, ternyata memiliki rerata regulasi emosi yang tinggi
pula. Regulasi emosi yang tinggi ini diduga merupakan hasil dari pengaruh
Regulasi emosi seorang anak dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Selain lingkungan keluarga, pengaruh lingkungan sekolah serta interaksi
dengan guru dan teman sebaya memainkan peranan penting dalam proses
pembentukan regulasi emosi anak. Sikap guru terhadap anak dapat
mempengaruhi anak untuk menyesuaikan diri dengan pandangan guru agar
anak mampu mencapai tujuan, dalam hal ini adalah bidang akademik.
Perhatian khusus yang diberikan guru kepada siswa dapat disebut pendidikan
self-fulfilling prophecies dimana anak-anak dapat mengadopsi pandangan guru
yang positif atau negatif sebagai pandangan mereka sendiri. Kebanyakan
penelitian tentang self-fulfilling prophecies berfokus pada hubungan
guru-murid, tetapi efeknya dapat terjadi dalam konteks sosial lain, seperti hubungan
orangtua-anak dan dengan teman sebaya. Seperti di awal kelas satu, keyakinan
guru pada kemampuan belajar anak memprediksi kemajuan prestasi siswa
pada akhir tahun dimana guru telah mengendalikan kinerja belajar siswa sejak
awal tahun. Efek ini sangat kuat ketika guru menekankan kompetisi dan secara
umum membandingkan anak-anak, serta secara teratur mendukung siswa
terbaik (Kuklinski & Weinstein, 2001; Weinstein, 2002).
Di sekolah, anak akan menghadapi lebih banyak peraturan daripada di
rumah. Peraturan menyebutkan tindakan yang diharapkan dan dilarang di
kelas. Peraturan adalah dos dan don’ts untuk kehidupan kelas (Woofolk, 2008). Oleh karena itu, peraturan berfungsi untuk mengatur anak agar dapat menyesuaikan diri saat berada di kelas. Berdasarkan pengamatan saat di
sekolah, anak mengikuti peraturan yang berlaku seperti duduk diam sambil
mendengarkan guru yang sedang menjelaskan di depan kelas.
Teman sebaya dapat mempengaruhi regulasi emosi anak karena anak
dapat mengungkapkan emosinya dengan teman ketika mereka tidak dapat
mengungkapkannya di hadapan orang tua. Selain itu, teman sebaya juga dapat
menjadi sumber pemecahan masalah ketika anak sedang mengalami kesulitan.
Hubungan berkelompok di antara anak-anak ditandai dengan berbagi pikiran
dan pengalaman, kepercayaan, kedekatan, dan kebahagiaan karena ditemani
oleh anak lain. Mereka dapat mengekspresikan emosi dan kesetiaan terhadap
yang lain, sering bertemu satu sama lain, dan dapat bekerja sama karena
mereka lebih dari sekedar teman biasa (Bigelow, Tesson, & Lewko, 1992;
Hartup & Sancilio, 1986; Newcomb & Bagwell, 1995). Walaupun
persahabatan pada masa anak-anak kurang dapat bertahan, namun pengaruh
yang diberikan pada perkembangan sosial dapat menyaingi pengaruh yang
berasal dari keluarga dan menyediakan pertolongan yang dibutuhkan ketika
mereka mengalami tekanan psikologis. Persahabatan juga merupakan sumber
penting dalam mendukung perkembangan kognitif dan sosial (Hartup, 1996).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, lingkungan
interaksi anak yang memasuki usia sekolah tidak hanya di rumah bersama
orang tua atau pengasuh dan anggota keluarga lainnya tetapi juga di sekolah
bersama guru dan teman-temannya. Jumlah siswa di sekolah tempat
dilakukannya penelitian terdapat sekitar 20-30 orang per kelas. Hal ini
saat bermain dengan teman-temannya, anak juga membuat
peraturan-peraturan bersama untuk menjaga kelancaran dalam bermain. Ketika peraturan-peraturan
dilanggar, mereka akan saling mengingatkan sehingga pelanggaran tidak
diulangi lagi. Hal-hal tersebut mendukung terbentuknya regulasi emosi yang
lebih tinggi.
Berdasarkan teori yang dikembangkan Kohlberg (Santrock, 2002),
anak yang memasuki usia sekolah berumur 6 tahun dapat menyesuaikan diri
dengan aturan dan patokan lingkungan berada pada tingkat dua penalaran
konvensional tahap ketiga yang disebut norma-norma interpersonal. Pada
tahap ini anak menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang
lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering
mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil
mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai anak perempuan atau anak
laki-laki yang baik. Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan
tujuannya, sehingga ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.
Dalam hal ini terdapat pada pendidikan yang didapatkan anak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain faktor pola
asuh orang tua terdapat faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi
perkembangan regulasi emosi anak. Faktor-faktor tersebut ialah antar lain
65
BAB V