• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan tingkat regulasi emosi anak yang memasuki sekolah berdasarkan pola asuh - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan tingkat regulasi emosi anak yang memasuki sekolah berdasarkan pola asuh - USD Repository"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERBEDAAN TINGKAT REGULASI EMOSI ANAK YANG MEMASUKI

USIA SEKOLAH BERDASARKAN POLA ASUH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari NIM: 079114066

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang,

(5)

v

Untuk

(6)
(7)

vii

PERBEDAAN TINGKAT REGULASI EMOSI ANAK YANG MEMASUKI USIA SEKOLAH BERDASARKAN POLA ASUH

Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh orang tua. Pola asuh dalam penelitian ini terdiri dari pola asuh otoritatif, otoriter, permisif, dan uninvolved. Subjek penelitian ini berjumlah 60 orang anak laki-laki atau perempuan yang berusia 6 tahun kelas satu SD. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala dan rating scale. Skala penelitian ini terdiri dari skala pola asuh yang diisi oleh ayah dan ibu subjek dan skala regulasi emosi yang diisi oleh orang tua atau pengasuh yang lebih sering bersama subjek. Rating scale regulasi emosi diisi oleh guru subjek. Koefisien reliabilitas dari skala pola asuh orang tua berturut-turut dari yang tertinggi adalah 0,811 untuk pola asuh otoritatif, 0,726 untuk pola asuh otoriter, 0,719 untuk pola asuh uninvolved, dan 0,634 untuk pola asuh permisif. Sedangkan untuk skala regulasi emosi adalah 0,876. Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan one-way anova adalah nilai signifikansi sebesar 0,469. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini ditolak, berarti bahwa tidak ada perbedaan regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh orang tua.

(8)

viii

THE DIFFERENCE OF EARLY CHILD EMOTION REGULATION LEVEL IN PERSPECTIVE OF PARENTING STYLE

Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari

ABSTRACT

This research was aimed to know the difference of early child emotion regulation in perspective of parenting style. Parenting style in this research consists of autoritative, autoritary, permissive, and uninvolved. The subjects of this research were about 60 boys or girls, who were about 6 years old in the first grade of elementary school. The methods of data collection were done by giving scales and rating scale. The scale of this research consisted of parenting style scale

that responsed by subjects’ father and mother, and emotion regulation scale that responsed by

subjects’ parent or caregiver, who were often together with the subjects. Emotion regulation rating scale were responsed by subjects’ teacher. The reliability parenting style scale is 0,811 for autoritative, 0,726 for autoritary, 0,719 for uninvolved, and 0,634 for permissive. Reliability of emotion regulation scale was 0,876. The result from the processed data with one-way anova was significant 0,469. This result showed that the alternative hypothesis in this research was refused. It means that there were no difference of early child emotion regulation in perspective of parenting style.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan karunia-Nya yang

sudah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penulisan dan penyelesaian

skripsi ini. Rasa terima kasih yang besar dan mendalam ini penulis ucapkan

kepada :

1. Papa, Mama, dan adik-adik yang telah memberikan dukungan secara moril

dan materil.

2. Ibu Agnes Indar Etikawati, M. Si., Psi., selaku Dosen Pembimbing yang telah

membimbing penulis dengan sabar, teliti, dan bijaksana sejak awal hingga

akhir penelitian.

3. Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah

memberikan kepercayaan dan kemudahan dalam perizinan penelitian.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah membekali penulis

dengan ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di

Universitas Sanata Dharma.

5. Karyawan Fakultas Psikologi yang telah membantu kelancaran menyangkut

administrasi kuliah.

6. Yayasan Pendidikan Kalimantan Barat yang telah membantu dengan

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 8

(13)

xiii

1.Definisi Regulasi Emosi ... 8

2.Aspek Regulasi Emosi dan Indikator Regulasi Emosi yang Tinggi ... 10

3. Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Regulasi Emosi ... 17

B.Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah... 19

1.Batasan Anak yang Memasuki Usia Sekolah ... 19

2. Karakteristik Perkembangan Anak yang Memasuki Usia Sekolah ... 20

3. Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah ... 24

C. Pola Asuh Orang tua ... 25

1. Definisi Pola Asuh Orang tua ... 25

2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang tua ... 27

3. Dampak Pola Asuh Orang tua ... 31

D. Perbedaan Tingkat Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah Berdasarkan Pola Asuh ... 33

E. Hipotesis Penelitian ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN ... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B.Variabel Penelitian... 38

C. Definisi Operasional ... 38

D. Sampling, Subjek Penelitian, dan Responden Penelitian ... 40

E. Prosedur Penelitian... .. 40

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 41

G. Hasil Uji Coba ... 49

(14)

xiv

2. Seleksi Item ... 50

3. Estimasi Reliabilitas ... 53

H. Teknik Analisis Data ... 54

1. Uji Asumsi ... 54

2. Uji Hipotesis... 55

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 56

A.Pelaksanaan Penelitian... 56 B. Hasil Penelitian ... 56

1. Deskripsi Data Penelitian ... 56

2. Uji Asumsi Penelitian ... 59

3. Uji Hipotesis... 60

C. Pembahasan ... 61

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ciri-Ciri Pola Asuh Orang Tua (Baumrind dalam Berk, 2006) ... 29

Tabel 2. Dampak Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Anak (Baumrind dalam Berk, 2006) ... 33

Tabel 3. Skor Jawaban untuk Skala Pola Asuh ... 42

Tabel 4. Blueprint Skala Pola Asuh ... 42

Tabel 5. Skor Jawaban untuk Skala Regulasi Emosi ... 46

Tabel 6. Blueprint Skala Perkembangan Regulasi Emosi ... 46

Tabel 7. Skor untuk Skala Rating Regulasi Emosi ... 47

Tabel 8. Blueprint Regulasi Emosi Setelah Tryout ... 51

Tabel 9. Blueprint Pola Asuh Setelah Tryout... 52

Tabel 10. Deskripsi Jumlah Responden Penelitian Berdasarkan Pola Asuh... 57

Tabel 11. Data Regulasi Emosi Anak Berdasarkan Pola Asuh ... 57

Tabel 12. Norma Kategori Regulasi Emosi ... 58

Tabel 13. Kategorisasi Skor Regulasi Emosi Berdasarkan Pola Asuh ... 58

Tabel 14. Hasil Penghitungan Uji Normalitas ... 59

Tabel 15. Hasil Penghitungan Uji Homogenitas ... 60

(16)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Dinamika Perbedaan Regulasi emosi Anak yang akan Memasuki Usia

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A (Tryout)... 70

1. Format Skala Pola Asuh ... 71

2. Format Skala Regulasi Emosi ... 82

3. Uji Reliabilitas dan Seleksi Item ... 88

Lampiran B (Penelitian) ... 98

1. Format Skala Pola Asuh ... 99

2. Format Skala Regulasi Emosi ... 106

3. Format Rating Scale Regulasi Emosi ... 111

4. Uji Normalitas ... 113

5. Z-score Pola Asuh ... 114

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Regulasi emosi merupakan kemampuan yang dimiliki anak untuk

memahami dan meregulasi ekspresi emosinya. Regulasi emosi bermanfaat

agar anak dapat mengelola emosi dengan baik ketika dihadapkan pada situasi

yang membuatnya merasa tidak nyaman, misalnya jika orang tua mengatakan

bahwa anak tidak akan diberikan es krim sampai setelah makan malam, anak

mungkin menangis, memohon, atau bahkan berteriak dengan harapan bahwa

orang tua akan menyerah. Akan tetapi dengan adanya regulasi emosi, anak

dapat memahami bahwa jika mereka marah maka mereka tidak akan

diberikan es krim dan lebih memilih untuk menunggu dengan sabar sampai

setelah makan malam tiba. Dengan demikian, anak tersebut telah mampu

mengontrol keinginan, rasa marah, dan perilakunya (Tynan, 2008).

Regulasi emosi perlu diperhatikan agar anak dapat mengikuti

pendidikan di sekolah dasar. Menurut Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, sekolah dasar (disingkat SD) adalah jenjang

paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Undang-undang Sistem

Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan

pendidikan dasar sebagai jenjang pendidikan yang melandasi

(19)

peraturan atau tata tertib yang mengatur perilaku siswa, seperti dilarang

bermain di dalam kelas selama istirahat, dilarang keluar masuk kelas saat jam

pelajaran tanpa seijin guru, dan dilarang melakukan tindakan yang dapat

mengganggu kelancaran belajar mengajar. Dra. Shinto B. Adelaar, M.Sc.,

psikolog perkembangan anak (Episentrum, 2010) berpendapat bahwa di

sekolah, anak lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau

jalan-jalan. Anak juga harus tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang

lebih panjang serta mau mematuhi instruksi guru yang berarti bahwa dari segi

pemikiran, anak harus lebih matang.

Oleh karena itu, anak yang memasuki usia sekolah diharapkan telah

memiliki regulasi emosi yang tinggi. Jika anak masih memiliki regulasi emosi

yang rendah maka anak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri

dan mentaati peraturan yang ada di sekolah dasar. Anak yang akan memasuki

usia sekolah yang menggunakan strategi regulasi emosi menunjukkan

kemampuannya dalam mengontrol ledakan emosi (Thompson, 1990a). Anak

yang mampu mengontrol diri mereka sendiri ketika frustrasi cenderung

menjadi anak yang dapat diajak bekerja sama dan tidak memiliki masalah

dengan perilaku ketika mereka bersekolah (Gilliam et al., 2002). Secara

emosi, anak harus lebih mampu mengendalikan diri dan tidak lagi bertingkah

laku berdasarkan keinginannya sendiri.

Berdasarkan survei awal tanggal 6 Juni 2011 yang dilakukan oleh

peneliti terhadap beberapa orang tua di lingkungan Sagan kota Yogyakarta,

(20)

tersebut akan memasuki usia sekolah. Seorang ibu mengeluhkan anaknya

yang berusia 6 tahun masih suka berteriak dalam situasi apa pun, baik itu

ketika diganggu oleh orang lain maupun saat sedang gembira. Walau sudah

diingatkan berkali-kali, anak tersebut tetap saja mengulang perilakunya. Ada

pula seorang bapak berinisial A mengeluhkan anak sulungnya yang berusia

6,5 tahun yang selalu over dalam melampiaskan kesenangannya namun pada

saat anak mendapatkan apa yang tidak disenangi maka anak akan merasa

sangat sedih. Selain itu, anak juga kurang bisa berkonsentrasi, cuek atau

pura-pura tidak mendengar apabila ditegur karena melakukan kesalahan, dan

cenderung memukul apabila marah.

Kemampuan anak dalam mengembangkan regulasi emosi tidak

muncul begitu saja dalam diri anak tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Bukatko (2008) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi

perkembangan regulasi emosi dalam diri anak yaitu faktor pengalaman yang

diberikan oleh orang tua pada anak dan faktor temperamen anak itu sendiri.

Faktor pengalaman yang diberikan oleh orang tua dapat mempengaruhi

regulasi emosi karena anak-anak belajar mengenai konsekuensi yang akan

diberikan oleh orang tua ketika mereka menampilkan emosi negatif seperti

emosi marah (Eisenberg, Fabes, et al, 1999;. Fabes, Leonard, et al, 2001).

Orang tua yang memberikan bimbingan dan dukungan kepada anak-anak di

dalam mengekspresikan emosi membuat anak-anak lebih mampu meredakan

emosi negatif dan mampu menenangkan diri (Gottman, Katz, & Hooven,

(21)

Perkembangan anak akan sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi

yang terdapat dalam keluarga khususnya orang tua karena keluarga

merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak (Mardiya, 2005:

8). Peneliti berasumsi bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil yang

memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak, maka pola asuh orang

tua yang diterapkan akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak,

termasuk perkembangan regulasi emosi. Baumrind (1991) mengembangkan

beberapa gaya pengasuhan dengan menunjukkan dua dimensi pengasuhan

yaitu kehangatan atau dukungan dan kontrol atau struktur. Berdasarkan

penilaian terhadap orang tua menggunakan dua dimensi ini, Baumrind

membedakan empat gaya pengasuhan antara lain otoriter, permisif, otoritatif,

dan uninvolved. Orang tua yang otoriter memiliki struktur yang tinggi namun

kehangatan yang rendah. Orang tua yang permisif memiliki kehangatan yang

tinggi tanpa adanya struktur. Orang tua yang otoritatif memiliki kehangatan

dan struktur yang tinggi. Terakhir, orang tua yang uninvolved memiliki

kehangatan dan struktur yang rendah.

Bila pola asuh yang tepat diterapkan pada anak yang memasuki usia

sekolah, maka akan membentuk kepribadian anak yang baik pula, begitu juga

sebaliknya (Widayanti dan Iryani, 2005: 30). Anak yang mengalami

pengasuhan yang hangat dan lembut akan lebih patuh (Kochanska, Murray, &

Harlan, 2000; Lehamn et al., 2002). Pola asuh yang tepat adalah pola asuh

(22)

dan diterima, serta anak tetap mematuhi peraturan. Pola asuh yang

dimaksudkan adalah pola asuh otoritatif.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa anak yang

diasuh dengan pola asuh yang berbeda-beda akan memiliki regulasi emosi

yang berbeda-beda pula. Orang tua yang hangat, sabar, yang menggunakan

komunikasi untuk membantu anak dalam memahami dan mengendalikan

perasaan, membantu meningkatkan kemampuan anak mengatur emosi

(Gottman, Katz, & Hooven, 1997). Di lain sisi, orang tua yang kurang

menunjukkan emosi yang positif, tidak menganggap perasaan yang dirasakan

anak sebagai hal yang penting sehingga anak sulit mengendalikan amarah

(Calkins & Johnson, 1998; Eisenberg et al., 2001; Gilliom et al., 2002; Katz

& Windecker-Nelson, 2004). Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa anak

yang diasuh dengan pola asuh otoritatif lebih dapat meregulasi emosi

dibandingkan dengan anak yang diasuh dengan pola asuh yang lain.

Akan tetapi, di luar faktor pola pengasuhan masih ada faktor lain yang

turut menentukan kemampuan regulasi emosi anak, terutama faktor

temperamen anak. Beberapa anak cenderung lebih impulsif dan cepat

bereaksi daripada yang lain, kualitas yang lebih besar terkait dengan ekspresi

emosional mereka. Anak-anak lain berhati-hati dan yang disengaja, dan lebih

mungkin untuk menyembunyikan perasaan mereka. Oleh karena itu, peneliti

masih ingin mengetahui apakah faktor pengasuhan orang tua berpengaruh

(23)

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala

meliputi Skala Pola Asuh dan Skala Regulasi Emosi. Skala Pola Asuh diisi

oleh kedua orang tua subjek, sementara Skala Regulasi Emosi diisi oleh orang

tua atau pengasuh yang lebih sering bersama dengan subjek.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah penelitian yang digunakan peneliti, yaitu apakah

ada perbedaan tingkat regulasi emosi antara anak yang mendapatkan pola

asuh otoritatif dengan anak yang mendapatkan pola asuh selain otoritatif.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui adanya perbedaan tingkat regulasi emosi anak yang memasuki

usia sekolah berdasarkan pola asuh.

D. MANFAAT PENELITIAN

a.Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan dan penerapan

ilmu Psikologi di bidang Psikologi Anak dan Psikologi Perkembangan.

Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan tambahan

kepustakaan ilmiah bagi para peneliti lain yang berminat pada bidang yang

(24)

b. Manfaat Praktis

Diharapkan melalui penelitian ini, para orang tua dapat mengetahui

pentingnya menerapkan pola asuh yang tepat untuk perkembangan regulasi

(25)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. REGULASI EMOSI

1. Definisi Regulasi Emosi

Emosi adalah penilaian yang cepat terhadap situasi yang signifikan,

yang mempersiapkan individu untuk bertindak (Berk, 2006). Emosi tidak

hanya diekspresikan tetapi juga diatur oleh individu. Pengaturan emosi

yang dilakukan oleh seseorang disebut dengan regulasi emosi. Regulasi

emosi merupakan salah satu aspek self-control selain control of bodilly

function. Self-control (Wenar & Kerig, 2002) merupakan kemampuan

anak untuk berperilaku yang dapat diterima secara sosial daripada

berperilaku yang tidak dapat diterima secara sosial ketika terjadi konflik.

Regulasi emosi mengacu pada strategi yang digunakan untuk

menyesuaikan emosi dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini juga berkaitan

dengan fungsi kognitif seperti pemfokusan dan pengalihan perhatian,

kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan perilaku, serta kemampuan

untuk mengatasi situasi yang dapat menyebabkan stress (Eisenberg et al,

1995b; Eisenberg & Spinrad, 2004).

Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai

kemampuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi

(26)

kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, dan merasakan perasaan

seseorang. Hal ini dapat meliputi mengalihkan atau meredakan reaksi

emosi, sebagai contoh, anak akan menarik nafas dalam-dalam atau

menghitung sampai 10 untuk menenangkan diri mereka dalam

menghadapi perasaan yang dapat menyebabkan stres. Regulasi emosi juga

meliputi peningkatan atau pemeliharaan kemunculan emosi untuk

mencapai tujuan. Contoh dari peningkatan kemunculan emosi adalah anak

mungkin meningkatkan kemarahan mereka untuk mengumpulkan

keberanian dalam menghadapi ketakutan; atau anak mungkin

meningkatkan emosi positif dengan mengingat kembali pengalaman yang

menyenangkan. Secara alamiah, regulasi emosi melibatkan manajemen

diri –menjadi ”boss” atas diri sendiri. Seperti yang diungkapkan Cole dkk

(1994), kesalahan regulasi emosi ada dua: kurang regulasi dan kelebihan

regulasi. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengekspresikan perasaan

seseorang bisa menjadi masalah dalam ketidakmampuan mengontrol

perasaan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa regulasi emosi merupakan strategi yang digunakan oleh seseorang

untuk menyesuaikan emosi agar mampu mencapai tujuan. Regulasi emosi

ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengalihkan perhatian,

(27)

2. Aspek Regulasi Emosi dan Indikator Regulasi Emosi yang Tinggi

Adapun aspek-aspek yang ada di dalam regulasi emosi antara lain

(Berk, 2006) :

a. Aspek Emosi

Emosi evaluatif yang disadari adalah emosi yang membutuhkan

kesadaran diri anak bahwa mereka berbeda dengan orang lain (Lewis,

2002). Emosi evaluatif yang disadari antara lain adalah rasa bangga,

malu, dan rasa bersalah yang pertama kali muncul pada usia sekitar

dua setengah tahun. Ekspresi dari emosi-emosi ini menujukkan bahwa

anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan norma

sosial untuk menilai perilaku mereka.

Rasa bangga muncul ketika anak merasakan kesenangan

setelah sukses melakukan perilaku tertentu (Lewis, 2002). Rasa bangga

seringkali diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu. Rasa

malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi

standar atau target tertentu (Lewis, 2002). Anak yang sedang malu

seringkali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari

situasi tersebut. Rasa malu biasanya berhubungan dengan serangan

terhadap self dan dapat mengakibatkan kebingungan dan membuat

anak tidak mampu berkata-kata. Rasa malu bukan merupakan hasil

dari situasi tertentu tetapi lebih disebabkan oleh interpretasi individu

terhadap kejadian tertentu. Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak

(28)

malu dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Ketika

seorang anak menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah

mengecilkan tubuh mereka seperti ingin bersembunyi, sedangkan

ketika mereka mengalami perasaan bersalah, mereka biasanya

melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki

kegagalan mereka.

Salah satu perubahan penting dalam perkembangan emosi pada

masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya kemampuan untuk

membicarakan emosi diri dan orang lain dan peningkatan pemahaman

tentang emosi (Kuebli, 1994). Pada rentang usia 2 – 4 tahun, terjadi

penambahan yang pesat mengenai jumlah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan emosi (Ridgeway, Waters, & Kuczac, 1985). Mereka

juga mulai belajar mengenai penyebab dan konsekuensi dari

perasaan-perasaan yang dialami (Denham, 1998).

Ketika menginjak usia 4 – 5 tahun, anak-anak mulai

menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi emosi.

Mereka juga mulai memahami bahwa kejadian yang sama dapat

menimbulkan perasaan yang berbeda terhadap orang yang berbeda.

Lebih dari itu, mereka juga mulai menunjukkan kesadaran bahwa

mereka harus mengatur emosi mereka untuk memenuhi standar sosial

(Bruce, Olen, & Jensen, 1999).

Aspek emosi dalam regulasi emosi adalah kemampuan anak di

(29)

muncul di dalam diri mereka. Anak tidak hanya mengenali emosi yang

sedang mereka rasakan, tetapi juga mengenali emosi yang sedang

dirasakan oleh orang lain.

b. Aspek Perhatian

Pertumbuhan lobus frontal korteks serebral memampukan

individu membuat tujuan (anak harus berkonsentrasi untuk mencapai

tujuan yang mereka buat) dan orang tua membantu anak memfokuskan

atensi dengan cara memberikan saran, pertanyaan, dan komentar. Hal

ini dapat membuat anak menjadi lebih dewasa secara kognitif dan

sosial (Bono & Stifter, 2003; Landry et al., 2000). Selain itu dengan

membantu anak belajar memfokuskan atensi, keterampilan anak

menjadi terasah seperti bahasa, eksplorasi, pemecahan masalah,

interaksi sosial, dan kerja sama.

Atensi yang diseleksi ialah fokus individu pada satu aspek

dalam suatu situasi yang berhubungan dengan tujuannya. Atensi yang

diseleksi tergantung pada cognitive inhibition yang merupakan

kemampuan untuk mengontrol gangguan yang berasal dari internal

maupun eksternal. Individu yang memiliki kemampuan ini dapat

mencegah stimulus yang mengganggu konsentrasi atau perhatian

mereka (Dempster & Corkill, 1999). Cognitive inhibition membantu

individu untuk memastikan bahwa individu memproses berbagai

(30)

pendek (Bjorklund & Harnishfeger, 1995; Handley et al., 2004;

Klenberg, Korkman, & Lahti-Nuuttila, 2001). Selain menolong

individu untuk mengingat, memahami, dan memecahkan masalah,

kemampuan ini juga menolong individu untuk mengontrol perilaku.

Kemampuan cognitive inhibition meningkat sejak usia antara 3

dan 4 tahun, misalnya ketika anak harus mengikuti sebuah perintah

tetapi tidak mengikuti perintah yang lain. Beberapa anak lebih mudah

mengikuti perintah verbal (Jones, Rothbart, & Posner, 2003).

Singkatnya, kemampuan cognitive inhibition akan meningkat jika anak

mampu memfokuskan atensinya.

Aspek perhatian dalam regulasi emosi adalah kemampuan anak

untuk tetap fokus pada suatu hal ketika anak sedang berada dalam

emosi tertentu. Selain itu, aspek perhatian juga merupakan kemampuan

anak untuk mengalihkan perhatiannya kepada suatu hal yang

berhubungan dengan tujuannya.

c. Aspek Perilaku

Proses reward, punishment, dan imitation digunakan untuk

menjelaskan perilaku anak. Bila anak-anak diberi hadiah atas perilaku

yang sesuai dengan aturan, mereka akan mengulangi perilaku itu. Bila

anak dihukum atas perilakunya, perilaku itu akan berkurang dan

(31)

yang mereka lihat, dalam hal ini pengasuh atau orang tua adalah

model.

Teoritikus belajar sosial yakin bahwa kemampuan untuk

menolak godaan berkaitan erat dengan perkembangan kontrol perilaku.

Anak harus mengatasi dorongan atau godaan atas sesuatu yang mereka

ingin lakukan tetapi dilarang. Untuk itu, mereka harus belajar bersabar.

Teoritikus belajar sosial yakin bahwa faktor-faktor kognitif penting

dalam perkembangan kontrol anak. Misalnya, dalam suatu penelitian,

perubahan kognitif anak-anak akan suatu objek yang diinginkan

menolong mereka menjadi lebih sabar (Mischel & Patterson, 1976).

Anak-anak prasekolah diminta melakukan suatu pekerjaan yang

membosankan. Di dekatnya ada badut mesin yang lucu mencoba

membujuk anak-anak untuk bermain dengannya. Anak-anak yang telah

dilatih mengatakan kepada diri mereka sendiri, ”Aku tidak akan

melihat Pak Badut ketika Pak Badut memintaku melihatnya”

mengendalikan perilaku mereka dan terus mengerjakan pekerjaan yang

membosankan itu lebih lama daripada anak-anak yang tidak dilatih

untuk berkata seperti di atas.

Aspek perilaku dalam regulasi emosi adalah kemampuan anak

untuk mengendalikan perilaku. Anak memiliki kemampuan untuk

menahan dorongan untuk melakukan sesuatu yang tidak boleh mereka

(32)

d. Coping Strategy

Coping strategy atau strategi coping merupakan kemampuan

untuk mengatasi situasi yang dapat menyebabkan stres. Belajar

melakukan coping terhadap stres adalah aspek penting dari kehidupan

emosional anak-anak (Bridges, 2003; Folkman & Moskowitz, 2004).

Sangat penting bagi pengasuh untuk membantu anak melakukan

coping secara efektif. Selain itu, juga perlu mendorong anak untuk

aktif dan memilih strategi pemecahan masalah dalam menghadapi

stres. Dengan cara ini pengasuh dapat menghilangkan setidaknya satu

stressor dari anak dan mengajarkan anak berbagai strategi coping yang

baik.

Anak yang menguasai beberapa teknik coping akan lebih

mungkin untuk beradaptasi dan berfungsi dengan kompeten ketika

dihadapkan dengan stres. Dengan mempelajari teknik coping yang

baru, anak dapat mencegah dirinya merasa tidak berkompeten, dan

juga dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.

Anak-anak cenderung untuk mengaplikasikan strategi coping

mereka ke semua situasi yang menyebabkan stres. Orang dewasa dapat

membantu hal ini dengan memberikan contoh bagaimana

menggunakan strategi coping ini pada situasi yang sesuai sehingga

menguntungkan bagi mereka.

Aspek coping strategy dalam regulasi emosi adalah

(33)

stres. Anak mampu menemukan cara untuk memecahkan

permasalahan dalam rangka mencapai tujuan.

Berdasarkan penjabaran aspek-aspek regulasi emosi di atas, maka

regulasi emosi meliputi emosi (bagaimana cara mengekspresikan,

mengatur, dan mengendalikan emosi), perhatian (bagaimana cara tetap

fokus ketika sedang berada dalam emosi tertentu dan bagaimana cara

mengalihkan perhatian), perilaku (bagaimana cara agar mampu

mengendalikan perilaku), dan coping strategy (bagaimana cara dalam

menghadapi stress). Dari uraian di atas juga dapat diperoleh kesimpulan

mengenai indikator regulasi emosi yang tinggi yaitu:

1. Secara emosi, anak mampu mengekspresikan emosi dengan tepat,

mampu mengatur ekspresi emosi yang sedang dialami, dan mampu

mengendalikan emosi yang meluap-luap.

2. Secara perhatian, anak tetap mampu berkonsentrasi walaupun sedang

berada dalam emosi tertentu dan mampu mengalihkan perhatiannya

kepada tugas yang sedang dikerjakan.

3. Secara perilaku, anak mampu mengendalikan perilakunya.

4. Secara coping strategy, anak mampu mengatasi stress yang sedang

(34)

3. Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Regulasi Emosi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan regulasi

emosi seorang anak (Bukatko, 2008) :

a. Faktor pengalaman yang diberikan oleh orang tua pada anak

Faktor pengalaman yang diberikan oleh orang tua dapat

mempengaruhi regulasi emosi karena anak-anak belajar mengenai

konsekuensi yang akan diberikan oleh orang tua ketika mereka

menampilkan emosi negatif seperti emosi marah (Eisenberg, Fabes, et

al, 1999;. Fabes, Leonard , et al, 2001). Orang tua yang memberikan

bimbingan dan dukungan kepada anak-anak di dalam mengekspresikan

emosi membuat anak-anak lebih mampu meredakan emosi negatif dan

mampu menenangkan diri (Gottman, Katz, & Hooven, 1997).

Ibu yang lebih positif dalam mengekspresikan perasaan

emosional berbeda dalam hal kehangatan dengan ibu yang lebih sering

mengekspresikan emosi negatif. Ibu yang lebih positif

mengekspresikan emosinya memiliki anak yang lebih mampu

mengatur emosi mereka sendiri. Anak-anak dari ibu yang lebih sering

mengekspresikan emosi negatif berperilaku lebih agresif dan dinilai

kurang memiliki kompeten sosial (Eisenberg, Gershoff, et al, 2001;..

Eisenberg, Valiente, et al, 2003).

b. Faktor temperamen anak

Temperamen sangat terkait erat dengan kepribadian, karakter

(35)

antara temperamen dan kepribadian ini sangat kabur. Temperamen

dapat dianggap sebagai dasar biologis dan emosional dari kepribadian.

Temperamen seorang bayi akan mengarahkan bayi terhadap gaya

emosi dan reaksi tertentu, sehingga akan membuat bayi tersebut

memiliki kepribadian tertentu pula.

Beberapa anak cenderung lebih impulsif dan cepat bereaksi

lebih cepat dalam mengekspresikan emosi mereka. Anak-anak lain

yang lebih berhati-hati dalam mengekspresikan emosi mereka

cenderung untuk menyembunyikan perasaan. Perilaku orang tua dapat

membentuk kecenderungan anak dalam bereaksi (Eisenberg, Zhou, et

al, 2003), namun hal ini juga merupakan manifestasi dari faktor lain

dari perkembangan seperti faktor fisiologis dan keturunan. Dalam hal

pembentukan regulasi emosi, anak-anak menjadi lebih sadar gaya

emosional mereka dan mencari pengalaman yang lebih sesuai dengan

kebutuhan mereka. Beberapa anak-anak lebih nyaman bermain sendiri,

sedangkan anak yang lain mungkin memilih permainan dengan tingkat

aktivitas yang tinggi dimana di dalamnya juga melibatkan emosi

(Thompson, 1994).

Dalam sebuah penelitian longitudinal, ketika anak berusia 3

tahun menunjukkan kontrol yang baik terhadap emosi mereka dan juga

resilient dalam menghadapi stress, mereka lebih mungkin untuk

menangani emosi mereka dengan efektif ketika dewasa kelak (Block,

(36)

yang rendah dan tidak resilient, mereka cenderung akan tetap memiliki masalah dalam area ini ketika dewasa kelak.

B. REGULASI EMOSI ANAK YANG MEMASUKI USIA SEKOLAH

1. Batasan Anak yang Memasuki Usia Sekolah

Periode perkembangan individu setelah masa bayi akan dilanjutkan

dengan masa awal anak-anak. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa

awal anak-anak atau early childhood adalah periode dari akhir masa bayi

hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Masa awal anak-anak juga merupakan

masa dimana anak akan memasuki usia sekolah. Pada usia ini anak-anak

akan mulai menjajaki sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Dalam UU RI

nomor 26 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (pasal 28 ayat 3)

disebutkan bahwa TK merupakan salah satu bentuk pendidikan pra

sekolah jalur formal. Batasan usia peserta didik atau siswa TK di

Indonesia seperti yang diatur dalam Keputusan Mendiknas TI nomor

051/U/2002 tentang penerimaan siswa pada Taman Kanak-kanak (TK) dan

sekolah (pasal 4 ayat 1) adalah 4-6 tahun.

Anak yang akan memasuki usia sekolah adalah anak yang berusia

2-6 tahun. Periode ini adalah periode yang paling aktif dalam rentang

kehidupan (Pikunas, 1976; McDevit dan Ormrod, 2002). Sawitri (2005)

menyatakan bahwa anak yang akan memasuki usia sekolah memiliki rasa

(37)

mempelajari berbagai hal dan lebih mudah untuk menyerap apa saja yang

dipelajarinya.

Slavin (2008) memaparkan bahwa anak dapat dikatakan akan

memasuki usia sekolah ketika mereka berumur antara 3 dan 5 tahun. Ini

adalah suatu masa perubahan pesat dalam semua bidang perkembangan.

Anak-anak menguasai kebanyakan kemampuan fisik pada akhir periode

ini dan dapat menggunakan kemampuan tersebut untuk mencapai berbagai

jenis tujuan. Secara kognitif, mereka mulai mengembangkan pemahaman

tentang kelas dan hubungan dan menyerap informasi dalam jumlah yang

sangat besar tentang dunia sosial dan fisik mereka.

Pada penelitian ini, batasan anak yang memasuki usia sekolah

adalah anak yang berusia 6 tahun, baik itu anak laki-laki atau anak

perempuan.

2. Karakteristik Perkembangan Anak yang Memasuki Usia Sekolah

a. Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak yang akan

memasuki usia sekolah berada pada tahapan praoperasional. Tahapan

ini berlangsung kira-kira 2 hingga 7 tahun dimana anak mulai

merepresentasikan dunia mereka dengan kata-kata, bayangan, dan

gambar-gambar. Pemikiran-pemikiran simbolik berjalan melampaui

koneksi-koneksi sederhana dari informasi sensorik dan tindakan fisik.

(38)

egosentrisme tumbuh, dan keyakinan-keyakinan magis mulai

terkonstruksi. Pemikiran praoperasinal terbagi menjadi dua sub

tahapan, yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan sub tahapan pemikiran

intuitif. Anak yang akan memasuki usia sekolah berada pada sub

tahapan pemikiran intuitif yang terjadi kira-kira antara usia 4 hingga 7

tahun. Dalam sub tahapan ini, anak-anak mulai menggunakan

pemikiran primitif dan ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan.

Piaget menyebut sub tahapan ini intuitif karena anak-anak tampaknya

sangat yakin dengan pengetahuan dan pemahaman mereka, tapi tidak

sadar bagaimana mereka mendapat pengetahuan tersebut. Artinya,

mereka tahu sesuatu tapi memperoleh pengetahuan itu tanpa

menggunakan pemikiran rasional.

Menurut Vygotsky, pengaruh sosial (khususnya pengajaran)

penting bagi perkembangan kognitif anak. Zona Perkembangan

Proksimal (Zone of Proximal Development / ZPD) adalah istilah

Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak

seorang diri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dan bimbingan

orang dewasa atau anak-anak yang terlatih. ZPD menangkap keahlian

kognitif anak yang sedang berada dalam proses kedewasaan dan dapat

disempurnakan hanya dengan bantuan dari seorang yang lebih ahli

(Goos, 2004; Gray dan Feldman, 2004; Kinginger, 2002; Kulczewski,

2005). Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja

(39)

menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky (1962) yakin bahwa anak

pada usia dini menggunakan bahasa untuk merencanakan,

membimbing, dan memonitor perilaku mereka. Penggunaan bahasa

untuk kemandirian pribadi disebut private speech dimana anak

berbicara dengan dirinya sendiri. Masa transisi akan terjadi pada usia 3

sampai 7 tahun dimana anak mampu bertindak tanpa melakukan

aktivitas verbal dan telah menginternalisasikan pembicaraan egosentris

mereka dalam bentuk inner speech, yang menjadi pemikiran-pemikiran

mereka.

b. Sosio-emosional

Kebutuhan untuk mengatasi emosi yang bertentangan

mengenai diri sendiri adalah inti tahap ketiga dari perkembangan

kepribadian yang disebutkan oleh Erik Erikson (1950) yaitu inisiatif

versus rasa bersalah (initiative versus guilt). Erikson yakin masa awal

anak-anak adalah periode ketika diri melibatkan pemecahan konflik

antara prakarsa versus rasa bersalah. Pertentangan timbul dari perasaan

mengenai tujuan yang mendorong anak untuk membuat perencanaan

dan melakukannya serta dari timbulnya rasa sedih anak mengenai

berbagai perencanaan ini.

Anak yang akan memasuki usia sekolah dapat dan ingin

melakukan lebih banyak hal. Pada saat bersamaan, mereka belajar

(40)

persetujuan sosial dan sebagian lagi tidak. Anak berusaha melakukan

penyesuaian atas keinginan mereka untuk melakukan sesuatu dengan

keinginan mereka untuk mendapat persetujuan dari lingkungan.

Pertentangan ini menandai terpisahnya dua bagian kepribadian,

satu bagian yang tetap sebagai anak-anak, penuh gairah, dan keinginan

untuk mencoba berbagai hal dan mencoba kekuatan baru, bagian yang

lain adalah bagian yang menjadi dewasa dimana anak secara

terus-menerus menguji hal-hak yang berkaitan dengan motif dan tindakan.

Anak yang belajar mengatur kedua dorongan yang bertentangan ini

akan mengembangkan sebuah tujuan, yaitu keberanian untuk

membayangkan dan mengejar sebuah tujuan tanpa dikekang oleh

perasaan bersalah atau ketakutan terhadap hukuman (Erikson, 1982).

Ketika anak-anak prasekolah menghadapi suatu dunia sosial yang lebih

luas, mereka lebih tertantang daripada ketika mereka masih bayi.

Perilaku aktif dan bertujuan dituntut untuk menghadapi

tantangan-tantangan ini. Anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab atas

tubuh, perilaku, mainan, hewan peliharaan mereka, dan lain-lain.

Pengembangan rasa tanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun,

perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul, bila anak

(41)

3. Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah

Pada masa anak awal, pengasuh mulai mengharapkan

anak-anak untuk mengontrol emosi. Anak dua tahun menggunakan regulasi

emosi yang mereka miliki untuk mengatasi gangguan, misalnya ketika di

hadapan mereka disajikan makanan ringan atau hadiah tetapi mereka harus

menunggu untuk mendapatkan itu, mereka biasanya mengalihkan

perhatian ke objek lain (Grolnick, Jembatan, & Connell, 1996). Akan

tetapi, jika mereka tidak berusaha mengalihkan perhatian maka kemarahan

mereka cenderung meningkat (Gilliom dkk, 2002).

Pada usia tiga tahun, anak mulai mengurangi perilaku tantrum dan

menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan maksud dan keinginan

mereka (Kopp, 1992). Penelitian membuktikan bahwa perkembangan

fisiologis anak usia dini, yaitu perkembangan otak bagian depan, juga turut

berkontribusi untuk mengontrol dan mengalihkan perilaku dan emosi (Fox,

1994; Schore, 1996). Misalnya, mereka mampu meredakan emosi dengan

membatasi input sensoris (seperti menutup mata atau telinga terhadap

pemandangan atau suara yang tidak menyenangkan), berbicara pada diri

sendiri (seperti “Ibu mengatakan bahwa dia akan segera kembali.”), atau

mengubah tujuan (seperti memutuskan untuk tidak bermain sebelum

selesai mengerjakan suatu tugas). Anak-anak yang menggunakan strategi

ini memiliki emosi yang lebih terkontrol selama tahun-tahun prasekolah

(Thompson, 1990a). Mengalihkan perhatian dari sumber frustrasi menjadi

(42)

mengelola emosi. Anak usia tiga tahun yang bisa mengalihkan diri ketika

frustrasi cenderung menjadi anak-anak yang kooperatif dan tidak memiliki

masalah perilaku ketika memasuki usia sekolah (Gilliom et al., 2002).

Dengan melihat orang dewasa menangani perasaan mereka sendiri,

anak-anak prasekolah mulai membuat strategi untuk mengatur emosi.

Orang tua berperan membantu anak-anak memahami dan mengendalikan

perasaan untuk memperkuat kemampuan anak dalam menangani stres

(Gottman, Katz, & Hooven, 1997). Orang tua yang jarang

mengekspresikan emosi positif, mengabaikan perasaan anak sebagai hal

yang tidak penting, dan mengalami kesulitan di dalam mengendalikan

kemarahan mereka sendiri, akan berdampak pada anak-anak dimana anak

akan mengalami masalah dalam pengelolaan emosi (Calkins & Johnson,

1998; Eisenberg et al. , 2001; Gilliom et al, 2002; 2004 Katz &

Windecker-Nelson).

C. POLA ASUH ORANG TUA

1. Definisi Pola Asuh Orang Tua

Secara etimologi, “pola” berarti bentuk atau tata cara, sedangkan

“asuh” berarti menjaga, merawat, dan mendidik. Sehingga pola asuh

berarti bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat, dan mendidik. Jika

ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem

yang diterapkan dalam menjaga, merawat, dan mendidik seorang anak

(43)

Pola pengasuhan anak adalah kombinasi dari perilaku orang tua

yang terjadi di seluruh situasi, menciptakan iklim pengasuhan anak yang

tetap (Berk, 2006). Pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk

interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan

pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing,

mendisiplinkan, dan melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai

dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan setempat dan

masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam

menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada

anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat

menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma

yang ada dalam masyarakat (Gunarsa, 2002;64).

Menurut Darling (2003;1) pengasuhan orang tua adalah aktivitas

kompleks termasuk banyak perilaku spesifik yang dikerjakan secara

individu dan bersama-sama untuk mempengaruhi pembentukan karakter

anak. Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola

asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan

dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial

tertentu pada anaknya. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara

anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan

ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta

melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma

(44)

2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua

Penelitian Bumrind (1971) sangat berpengaruh terhadap pola

pengasuhan orang tua. Ia percaya bahwa orang tua tidak boleh

menghukum atau menjauh tetapi mereka harus menerapkan aturan bagi

anak dan menyayangi mereka. Ada empat jenis pola pengasuhan menurut

Baumrind:

a. Pengasuhan Otoriter

Pola pengasuhan ini adalah yang membatasi dan menghukum,

dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan

menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua otoriter

menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan

meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua otoriter mungkin juga

sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa

menjelaskannya, dan menunjukkan amarah pada anak. Mereka lebih

mengambil jarak dan tidak hangat dibanding orang tua dengan pola

pengasuhan lain.

b. Pengasuhan Otoritatif

Pola pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri namun

masih menerapkan batas kendali pada tindakan mereka. Orang tua ini

menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan

batasan-batasan sosial. Mereka percaya akan kemampuan mereka dalam

memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan, mandiri, minat,

(45)

tetapi juga meminta perlakuan yang baik, tegas dalam menetapkan

standar, dan berkenan untuk menerapkan hukuman yang terbatas dan

adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan

mendukung. Mereka menjelaskan alasan di balik pendapat mereka dan

mendorong komunikasi verbal timbal balik. Orang tua yang otoritatif

menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap

perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak

yang dewasa, mandiri, dan sesuai dengan usianya.

c. Pengasuhan Permisif

Orang tua yang menggunakan pola pengasuhan ini sangat

terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol

mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa yang anak

inginkan. Mereka menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri.

Mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak

memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin. Ketika membuat

peraturan, mereka menjelaskannya kepada anak. Mereka berkonsultasi

dengan anak mengenai keputusan kebijakan dan jarang menghukum.

Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak menuntut.

d. Pengasuhan Uninvolved

Orang tua yang menggunakan pola pengasuhan ini sangat tidak

terlibat dalam kehidupan anak. Orang tua terkadang hanya berfokus

(46)

Akibatnya, orang tua jenis ini tidak peduli, tidak melibatkan diri, atau

individualis.

Berikut ini adalah tabel yang mengemukakan ciri-ciri dari

tiap-tiap pola asuh.

Tabel 1. Ciri-ciri Pola Asuh Orang Tua (Baumrind dalam Berk,

2006)

Otoriter Dingin, orang

(47)

memberikan

kasih sayang.

Otoritatif Hangat, mau

mendengarkan,

Permisif Hangat tetapi

(48)

dan terkesan

ceroboh.

ada permintaan. keputusan

sebelum anak

siap.

Uninvolved Menjauh dan

menarik diri

3. Dampak Pola Asuh Orang Tua

a. Pengasuhan Otoriter

Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia,

ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak

mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang

lemah. Anak laki-laki dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku

agresif (Hart dkk., 2003)

b. Pengasuhan Otoritatif

Anak yang memiliki orang tua otoritatif sering kali ceria, bisa

mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi.

Mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah

dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa

mengatasi stres dengan baik.

(49)

Anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri

dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki

orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang

lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.

Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti peraturan,

dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).

d. Pengasuhan Uninvolved

Anak yang memiliki orang tua yang uninvolved merasa bahwa

aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka.

Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di

antaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri.

Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan

mungkin terasing dari keluarga.

Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan dampak pola asuh

(50)

Tabel 2. Dampak Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan

Anak (Baumrind dalam Berk, 2006)

Pola Asuh

Orang Tua

Anak

Otoriter Cemas, menarik diri, tidak bahagia,

memperlihatkan sikap permusuhan ketika frustrasi,

tidak berprestasi di sekolah.

Otoritatif Memiliki mood yang stabil, harga diri yang tinggi,

self-control, tekun dalam melaksanakan tugas, dan

kooperatif.

Permisif Impulsif, kurang ajar, suka menentang, suka

meminta dan tergantung pada orang dewasa,

kurang tekun dalam melaksanakan tugas, dan

kurang berprestasi di sekolah.

Uninvolved Kekurangan dalam attachment, kognisi, bermain,

dan keterampilan emosional dan sosial.

D. PERBEDAAN TINGKAT REGULASI EMOSI ANAK YANG

MEMASUKI USIA SEKOLAH BERDASARKAN POLA ASUH

Penelitian ini mencoba memperlihatkan adanya perbedaan tingkat

regulasi emosi anak yang akan memasuki usia sekolah berdasarkan pola

asuh yang digunakan oleh orang tua. Seorang anak diharapkan mengasah

(51)

Dalam hal ini, orang tua memegang peranan penting dalam

mengembangkan kemampuan anak tersebut.

Pola asuh yang digunakan orang tua turut berpengaruh dalam

pembentukan regulasi emosi. Ada empat macam pola asuh orang tua yaitu

otoriter, otoritatif, permisif, dan uninvolved. Di dalam masing-masing pola

asuh ini terdapat dua dimensi yaitu kehangatan dan struktur (Baumrind

dalam Berk, 2006).

Orang tua yang otoriter memiliki struktur yang tinggi namun

kehangatan yang rendah. Anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter

memiliki sikap cemas, menarik diri, tidak bahagia, memperlihatkan sikap

permusuhan ketika frustrasi, tidak berprestasi di sekolah (Baumrind dalam

Berk, 2006). Karakteristik anak dengan pola asuh otoriter menunjukkan

regulasi emosi yang rendah pada anak.

Orang tua yang otoritatif, di samping menerapkan struktur yang

tinggi, juga memiliki kehangatan terhadap anak. Orang tua yang hangat,

sabar, yang menggunakan komunikasi untuk membantu anak dalam

memahami dan mengendalikan perasaan, membantu meningkatkan

kemampuan anak mengatasi emosi (Gottman, Katz, & Hooven, 1997).

Anak yang diasuh dengan pola asuh otoritatif memiliki mood yang stabil,

harga diri yang tinggi, self-control, tekun dalam melaksanakan tugas, dan

kooperatif (Baumrind dalam Berk, 2006). Pola asuh otoritatif ini membuat

(52)

Orang tua yang permisif memiliki kehangatan yang tinggi tanpa

adanya struktur. Anak yang diasuh dengan pola asuh permisif memiliki

sikap impulsif, kurang ajar, suka menentang, suka meminta dan tergantung

pada orang dewasa, kurang tekun dalam melaksanakan tugas, dan kurang

berprestasi di sekolah (Baumrind dalam Berk, 2006). Oleh karena itu pola

asuh permisif kurang mendukung berkembangnya regulasi emosi yang

tinggi pada anak.

Terakhir, orang tua yang uninvolved memiliki kehangatan dan

struktur yang rendah. Anak yang diasuh dengan pola asuh uninvolved

memiliki kekurangan dalam attachment, kognisi, bermain, dan

keterampilan emosional dan sosial (Baumrind dalam Berk, 2006).

Karakteristik anak dengan pola asuh uninvolved kurang mencerminkan

regulasi emosi yang tinggi.

Dari keempat macam pola asuh yang memiliki tingkat kehangatan

dan struktur yang beda, serta memiliki dampak yang

berbeda-beda pula maka dapat diasumsikan bahwa regulasi emosi yang yang

dikembangkan juga berbeda. Calkins & Johnson (1998); Eisenberg, et al.

(2001); Gilliom et al. (2002); dan Katz & Windecker-Nelson (2004)

berpendapat sama bahwa orang tua yang kurang menunjukkan emosi yang

positif, tidak menganggap perasaan yang dirasakan anak sebagai hal yang

penting sehingga anak sulit mengendalikan emosi, terutama emosi amarah.

Berikut ini akan digambarkan skema mengenai perbedaan regulasi emosi

(53)

Bagan 1. Dinamika Perbedaan Regulasi emosi Anak yang akan Memasuki dalam attachment dan keterampilan emosional meminta dan tergantung pada orang dewasa, kurang berprestasi di sekolah. berprestasi di sekolah, memperlihatkan sikap

(54)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah pola asuh otoritatif menghasilkan

tingkat regulasi emosi yang lebih tinggi dibandingkan ketiga pola asuh

(55)

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian komparatif yang bersifat

membandingkan (Sugiyono, 2005). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

untuk menyelidiki ada tidaknya perbedaan tingkat regulasi emosi anak yang

memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh.

B. VARIABEL PENELITIAN

Penelitian komparatif ini memiliki variabel bebas dan variabel

tergantung masing-masing sebanyak satu variabel, antara lain :

Variabel bebas : pola asuh

Variabel tergantung : regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pola Asuh

Pola asuh adalah kombinasi dari perilaku orang tua yang terjadi di

seluruh situasi, menciptakan iklim pengasuhan anak yang tetap (Berk,

2006). Pola asuh dalam penelitian ini diukur dengan Skala Pola Asuh yang

terbagi menjadi 4 skala pola asuh yaitu skala pola asuh otoriter, skala pola

(56)

Keempat jenis pola asuh tersebut memiliki dua dimensi dasar yaitu

kehangatan dan struktur. Penggolongan pola asuh orang tua adalah

berdasarkan pengolahan skor Z dimana pengkategorian pola asuh

berdasarkan pada nilai Z yang terbesar.

2. Regulasi Emosi

Regulasi emosi mengacu pada strategi yang digunakan untuk

menyesuaikan emosi dalam rangka mencapai tujuan. Perkembangan

regulasi emosi anak yang akan memasuki usia sekolah dalam penelitian ini

diukur dengan Skala Regulasi emosi yang disusun berdasarkan indikator

regulasi emosi yang tinggi (Eisenberg et al, 1995b; Eisenberg & Spinrad,

2004 dalam Berk, 2006) terkait aspek emosi, perhatian, perilaku, dan

coping strategy. Skala ini akan diisikan oleh orang tua dan guru dari

anak-anak yang akan diukur regulasi emosinya. Skor regulasi emosi diperoleh

dari rerata skor regulasi emosi yang diisi oleh orang tua atau pengasuh

yang lebih sering bersama anak dan guru. Semakin tinggi skor pada skala

Regulasi Emosi, maka semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki oleh

seorang anak, sedangkan semakin rendah skor maka semakin rendah juga

(57)

D. SAMPLING, SUBJEK PENELITIAN, DAN RESPONDEN

PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah anak laki-laki atau perempuan yang

berusia 6 tahun kelas 1 SD. Sementara itu, responden di dalam penelitian ini

adalah orang tua atau pengasuh dan guru dari subjek.

E. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:

1. Membuat Skala Pola Asuh dan Skala Regulasi Emosi dengan metode

rating yang dijumlahkan (summated rating) untuk diujicobakan pada

kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama dengan

kelompok subjek penelitian yang sesungguhnya.

2. Melakukan uji coba skala penelitian, meliputi uji kesahihan butir dan

reliabilitas skala untuk mendapatkan butir yang sahih dan data yang

reliabel.

3. Melakukan pengumpulan data yang meliputi:

a. Skala Pola Asuh direspon oleh kedua orang tua subjek.

b. Skala Regulasi Emosi direspon oleh orang tua atau pengasuh yang

lebih sering bersama subjek. Selain itu, guru subjek turut mengisi

rating scale regulasi emosi sebagai data tambahan untuk mengukur

regulasi emosi subjek.

(58)

5. Melakukan uji hipotesis dengan uji statistik one-way anova untuk melihat

ada tidaknya perbedaan tingkat regulasi emosi berdasarkan pola asuh.

6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut.

F. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode

skala. Skala yang digunakan adalah Skala Pola Asuh dan Skala Regulasi

emosi.

1. Skala Pola Asuh

Skala Pola Asuh akan diukur dengan menggunakan metode rating

yang dijumlahkan (method of summated ratings), yakni dengan

menggunakan empat alternative jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai

(S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor pada

item favorable pada jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 4, Sesuai

(S) mendapat skor 3, Tidak Sesuai (TS) mendapat skor 2, Sangat Tidak

Sesuai (STS) mendapat skor 1 dan pada item unfavorable untuk jawaban

Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 1, Sesuai (S) mendapat skor 2, Tidak

Sesuai (TS) mendapat skor 3, Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor

4. Susunan pernyataan dalam Skala Pola Asuh dijelaskan pada tabel

(59)

Tabel 3. Skor Jawaban untuk Skala Pola Asuh

Tabel 4. Blueprint Skala Pola Asuh

(60)
(61)

Cara pengkategorian pola asuh menggunakan kategori bukan

jenjang (nominal). Tujuan kategori ini adalah menempatkan individu ke

dalam kelompok-kelompok diagnosis yang tidak memiliki makna “lebih”

dan “kurang” atau “tinggi” dan “rendah” (Azwar, 2002). Pengkategorian

pola asuh dilakukan dengan cara skor subjek ayah dan subjek ibu

dijumlahkan kemudian dibagi dua untuk setiap jenis pola asuh. Setelah itu,

skor tersebut diubah ke dalam skor Z sehingga setiap orang tua memiliki 4

skor Z untuk 4 jenis pola asuh yang diungkap. Rumus umum yang

digunakan untuk menghitung skor Z :

Z = (X - M) / SD

Keterangan:

Z = skor Z

X = skor subjek orang tua

M = mean kelompok subjek

SD = standar deviasi kelompok

Tinggi rendahnya masing-masing pola asuh orang tua ditunjukkan

melalui pengolahan skor Z dimana skor tersebut akan langsung

mengkategorikannya ke dalam pola asuh otoriter, otoritatif, permisif, dan

uninvolved. Pola asuh yang memiliki skor Z tertinggi untuk tiap subjek

(62)

2. Skala Regulasi Emosi

a. Untuk orang tua

Skala Regulasi Emosi juga akan diukur dengan menggunakan

metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings), yakni

dengan menggunakan empat alternatif jawaban yaitu Selalu (SL),

Sering (S), Jarang (J), Tidak Pernah (TP). Pemberian skor pada item

favorable pada jawaban Selalu (SL) mendapat skor 4, Sering (S)

mendapat skor 3, Jarang (J) mendapat skor 2, Tidak Pernah (TP)

mendapat skor 1 dan pada item unfavorable untuk jawaban Selalu (SL)

mendapat skor 1, Sering (S) mendapat skor 2, Jarang (J) mendapat

skor 3, Tidak Pernah (TP) mendapat skor 4. Skala ini akan diberikan

dan diisi oleh orang tua atau pengasuh dan guru anak kelas 1 SD

karena anak belum mampu untuk mengevaluasi regulasi emosinya

sendiri. Menurut Wenar & Kerig (2000), skala yang diberikan kepada

orang tua atau pengasuh disebut skala pelaporan orang tua (parent

report scale) dan yang diberikan kepada guru disebut skala pelaporan

guru (teacher report scale). Hal ini dilakukan karena anak belum

cukup mampu mengevaluasi perilaku atau sikapnya sendiri. Susunan

pernyataan dalam Skala Regulasi Emosi dijelaskan pada tabel berikut

(63)

Tabel 5. Skor Jawaban untuk Skala Regulasi Emosi

Tabel 6. Blueprint Skala Perkembangan Regulasi Emosi

(64)

Total 52 100%

Penilaian regulasi emosi yang baik pada anak berdasarkan nilai

yang tertinggi. Semakin tinggi skor pada skala Regulasi Emosi, maka

semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki oleh seorang anak,

sedangkan semakin rendah skor maka semakin rendah juga regulasi

emosi yang dimiliki oleh seorang anak.

b. Untuk guru

Pengukuran regulasi emosi anak yang akan direspon oleh guru berupa

skala rating dengan susunan skor rating sebagai berikut:

Tabel 7. Skor untuk Skala Rating Regulasi Emosi

(65)

anak dan guru. Masing-masing skor disetarakan terlebih dahulu karena

memiliki skor maksimal yang berbeda. Jumlah skor skala regulasi

emosi yang diisi oleh orang tua atau pengasuh anak diperoleh dengan

rumusan :

Total = (skor : 16) x 10

Jumlah skor rating scale regulasi emosi yang diisi oleh guru

diperoleh dengan rumusan :

Total = skor x 5

Kedua total skor untuk masing-masing anak yang sudah

disetarakan tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi dua. Hasilnya

merupakan skor regulasi emosi anak.

Skala Regulasi Emosi yang direspon oleh orang tua terdiri dari

40 item. Setiap item SL diberi skor 4, skor 3 untuk jawaban S, skor 2

untuk jawaban J, dan skor 1 untuk jawaban TP. Sehingga diperoleh

skor minimum 1x40= 40 dan skor maksimum 4x40= 160. Kemudian

kedua hasil tersebut disetarakan dengan rumus penyetaraan (40 / 16)x

10= 25 dan (160 : 16)x 10= 100.

Skala Rating yang direspon oleh guru terdiri atas 4 aspek.

Setiap aspek ST diberi skor 5, skor 4 untuk T, skor 3 untuk S, skor 2

untuk R, dan skor 1 untuk SR. Sehingga diperoleh skor minimum 1x4=

4 dan skor maksimum 5x4= 20. Kemudian kedua hasil tersebut

(66)

Kedua hasil yang sudah disetarakan tersebut dijumlah dan

dibagi dua sehingga skor minimum (20+25) / 2= 22,5 dan skor

maksimum (100+100) / 2= 100. Jarak sebaran (range hipotetik) yaitu

100-22,5=77,5. Dengan demikian setiap satuan deviasi standar bernilai

= 77,5 : 6 = 12 (sudah dibulatkan) dan mean teoritis diperoleh =

(22,5+100) : 2= 61,25.

G. HASIL UJI COBA

Uji coba skala regulasi emosi dan skala pola asuh orang tua dilakukan

di SD Kanisius Kotabaru dan SD Kanisius Notoyudan. Penyebaran skala ini

dilakukan pada tanggal 6 September 2011 di SD Kanisius Kotabaru dan pada

tanggal 8 September 2011 di SD Kanisius Notoyudan dengan jumlah skala

yang disebar sebanyak 64 skala untuk tiap skala. Dari 64 skala tersebut, 31

skala dikerjakan oleh orang tua atau pengasuh dari siswa kelas 1 SD Kanisius

Kotabaru, sedangkan 33 skala lainnya dikerjakan oleh orang tua atau pengasuh

dari siswa kelas 1 SD Kanisius Notoyudan. Dari 64 skala yang disebar, skala

yang tidak digugurkan berjumlah 42 skala dengan total 42 subjek. Sebanyak

22 skala terpaksa digugurkan atau tidak digunakan untuk dianalisis karena

terdapat bagian yang tidak diisi oleh subjek.

1. Validitas Isi

Validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

validitas isi, dimana diselidiki melalui rasional terhadap isi tes melalui

Gambar

Tabel 1. Ciri-ciri Pola Asuh Orang Tua (Baumrind dalam Berk,
Tabel 2. Dampak Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan
Tabel 4. Blueprint Skala Pola Asuh
Tabel 5. Skor Jawaban untuk Skala Regulasi Emosi
+7

Referensi

Dokumen terkait