i
PERBEDAAN TINGKAT REGULASI EMOSI ANAK YANG MEMASUKI
USIA SEKOLAH BERDASARKAN POLA ASUH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari NIM: 079114066
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang,
v
Untuk
vii
PERBEDAAN TINGKAT REGULASI EMOSI ANAK YANG MEMASUKI USIA SEKOLAH BERDASARKAN POLA ASUH
Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh orang tua. Pola asuh dalam penelitian ini terdiri dari pola asuh otoritatif, otoriter, permisif, dan uninvolved. Subjek penelitian ini berjumlah 60 orang anak laki-laki atau perempuan yang berusia 6 tahun kelas satu SD. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala dan rating scale. Skala penelitian ini terdiri dari skala pola asuh yang diisi oleh ayah dan ibu subjek dan skala regulasi emosi yang diisi oleh orang tua atau pengasuh yang lebih sering bersama subjek. Rating scale regulasi emosi diisi oleh guru subjek. Koefisien reliabilitas dari skala pola asuh orang tua berturut-turut dari yang tertinggi adalah 0,811 untuk pola asuh otoritatif, 0,726 untuk pola asuh otoriter, 0,719 untuk pola asuh uninvolved, dan 0,634 untuk pola asuh permisif. Sedangkan untuk skala regulasi emosi adalah 0,876. Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan one-way anova adalah nilai signifikansi sebesar 0,469. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini ditolak, berarti bahwa tidak ada perbedaan regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh orang tua.
viii
THE DIFFERENCE OF EARLY CHILD EMOTION REGULATION LEVEL IN PERSPECTIVE OF PARENTING STYLE
Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari
ABSTRACT
This research was aimed to know the difference of early child emotion regulation in perspective of parenting style. Parenting style in this research consists of autoritative, autoritary, permissive, and uninvolved. The subjects of this research were about 60 boys or girls, who were about 6 years old in the first grade of elementary school. The methods of data collection were done by giving scales and rating scale. The scale of this research consisted of parenting style scale
that responsed by subjects’ father and mother, and emotion regulation scale that responsed by
subjects’ parent or caregiver, who were often together with the subjects. Emotion regulation rating scale were responsed by subjects’ teacher. The reliability parenting style scale is 0,811 for autoritative, 0,726 for autoritary, 0,719 for uninvolved, and 0,634 for permissive. Reliability of emotion regulation scale was 0,876. The result from the processed data with one-way anova was significant 0,469. This result showed that the alternative hypothesis in this research was refused. It means that there were no difference of early child emotion regulation in perspective of parenting style.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan karunia-Nya yang
sudah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penulisan dan penyelesaian
skripsi ini. Rasa terima kasih yang besar dan mendalam ini penulis ucapkan
kepada :
1. Papa, Mama, dan adik-adik yang telah memberikan dukungan secara moril
dan materil.
2. Ibu Agnes Indar Etikawati, M. Si., Psi., selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing penulis dengan sabar, teliti, dan bijaksana sejak awal hingga
akhir penelitian.
3. Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah
memberikan kepercayaan dan kemudahan dalam perizinan penelitian.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah membekali penulis
dengan ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Universitas Sanata Dharma.
5. Karyawan Fakultas Psikologi yang telah membantu kelancaran menyangkut
administrasi kuliah.
6. Yayasan Pendidikan Kalimantan Barat yang telah membantu dengan
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR BAGAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ... 8
xiii
1.Definisi Regulasi Emosi ... 8
2.Aspek Regulasi Emosi dan Indikator Regulasi Emosi yang Tinggi ... 10
3. Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Regulasi Emosi ... 17
B.Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah... 19
1.Batasan Anak yang Memasuki Usia Sekolah ... 19
2. Karakteristik Perkembangan Anak yang Memasuki Usia Sekolah ... 20
3. Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah ... 24
C. Pola Asuh Orang tua ... 25
1. Definisi Pola Asuh Orang tua ... 25
2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang tua ... 27
3. Dampak Pola Asuh Orang tua ... 31
D. Perbedaan Tingkat Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah Berdasarkan Pola Asuh ... 33
E. Hipotesis Penelitian ... 37
BAB III. METODE PENELITIAN ... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B.Variabel Penelitian... 38
C. Definisi Operasional ... 38
D. Sampling, Subjek Penelitian, dan Responden Penelitian ... 40
E. Prosedur Penelitian... .. 40
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 41
G. Hasil Uji Coba ... 49
xiv
2. Seleksi Item ... 50
3. Estimasi Reliabilitas ... 53
H. Teknik Analisis Data ... 54
1. Uji Asumsi ... 54
2. Uji Hipotesis... 55
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 56
A.Pelaksanaan Penelitian... 56 B. Hasil Penelitian ... 56
1. Deskripsi Data Penelitian ... 56
2. Uji Asumsi Penelitian ... 59
3. Uji Hipotesis... 60
C. Pembahasan ... 61
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ciri-Ciri Pola Asuh Orang Tua (Baumrind dalam Berk, 2006) ... 29
Tabel 2. Dampak Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Anak (Baumrind dalam Berk, 2006) ... 33
Tabel 3. Skor Jawaban untuk Skala Pola Asuh ... 42
Tabel 4. Blueprint Skala Pola Asuh ... 42
Tabel 5. Skor Jawaban untuk Skala Regulasi Emosi ... 46
Tabel 6. Blueprint Skala Perkembangan Regulasi Emosi ... 46
Tabel 7. Skor untuk Skala Rating Regulasi Emosi ... 47
Tabel 8. Blueprint Regulasi Emosi Setelah Tryout ... 51
Tabel 9. Blueprint Pola Asuh Setelah Tryout... 52
Tabel 10. Deskripsi Jumlah Responden Penelitian Berdasarkan Pola Asuh... 57
Tabel 11. Data Regulasi Emosi Anak Berdasarkan Pola Asuh ... 57
Tabel 12. Norma Kategori Regulasi Emosi ... 58
Tabel 13. Kategorisasi Skor Regulasi Emosi Berdasarkan Pola Asuh ... 58
Tabel 14. Hasil Penghitungan Uji Normalitas ... 59
Tabel 15. Hasil Penghitungan Uji Homogenitas ... 60
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Dinamika Perbedaan Regulasi emosi Anak yang akan Memasuki Usia
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A (Tryout)... 70
1. Format Skala Pola Asuh ... 71
2. Format Skala Regulasi Emosi ... 82
3. Uji Reliabilitas dan Seleksi Item ... 88
Lampiran B (Penelitian) ... 98
1. Format Skala Pola Asuh ... 99
2. Format Skala Regulasi Emosi ... 106
3. Format Rating Scale Regulasi Emosi ... 111
4. Uji Normalitas ... 113
5. Z-score Pola Asuh ... 114
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Regulasi emosi merupakan kemampuan yang dimiliki anak untuk
memahami dan meregulasi ekspresi emosinya. Regulasi emosi bermanfaat
agar anak dapat mengelola emosi dengan baik ketika dihadapkan pada situasi
yang membuatnya merasa tidak nyaman, misalnya jika orang tua mengatakan
bahwa anak tidak akan diberikan es krim sampai setelah makan malam, anak
mungkin menangis, memohon, atau bahkan berteriak dengan harapan bahwa
orang tua akan menyerah. Akan tetapi dengan adanya regulasi emosi, anak
dapat memahami bahwa jika mereka marah maka mereka tidak akan
diberikan es krim dan lebih memilih untuk menunggu dengan sabar sampai
setelah makan malam tiba. Dengan demikian, anak tersebut telah mampu
mengontrol keinginan, rasa marah, dan perilakunya (Tynan, 2008).
Regulasi emosi perlu diperhatikan agar anak dapat mengikuti
pendidikan di sekolah dasar. Menurut Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, sekolah dasar (disingkat SD) adalah jenjang
paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan
pendidikan dasar sebagai jenjang pendidikan yang melandasi
peraturan atau tata tertib yang mengatur perilaku siswa, seperti dilarang
bermain di dalam kelas selama istirahat, dilarang keluar masuk kelas saat jam
pelajaran tanpa seijin guru, dan dilarang melakukan tindakan yang dapat
mengganggu kelancaran belajar mengajar. Dra. Shinto B. Adelaar, M.Sc.,
psikolog perkembangan anak (Episentrum, 2010) berpendapat bahwa di
sekolah, anak lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau
jalan-jalan. Anak juga harus tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang
lebih panjang serta mau mematuhi instruksi guru yang berarti bahwa dari segi
pemikiran, anak harus lebih matang.
Oleh karena itu, anak yang memasuki usia sekolah diharapkan telah
memiliki regulasi emosi yang tinggi. Jika anak masih memiliki regulasi emosi
yang rendah maka anak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
dan mentaati peraturan yang ada di sekolah dasar. Anak yang akan memasuki
usia sekolah yang menggunakan strategi regulasi emosi menunjukkan
kemampuannya dalam mengontrol ledakan emosi (Thompson, 1990a). Anak
yang mampu mengontrol diri mereka sendiri ketika frustrasi cenderung
menjadi anak yang dapat diajak bekerja sama dan tidak memiliki masalah
dengan perilaku ketika mereka bersekolah (Gilliam et al., 2002). Secara
emosi, anak harus lebih mampu mengendalikan diri dan tidak lagi bertingkah
laku berdasarkan keinginannya sendiri.
Berdasarkan survei awal tanggal 6 Juni 2011 yang dilakukan oleh
peneliti terhadap beberapa orang tua di lingkungan Sagan kota Yogyakarta,
tersebut akan memasuki usia sekolah. Seorang ibu mengeluhkan anaknya
yang berusia 6 tahun masih suka berteriak dalam situasi apa pun, baik itu
ketika diganggu oleh orang lain maupun saat sedang gembira. Walau sudah
diingatkan berkali-kali, anak tersebut tetap saja mengulang perilakunya. Ada
pula seorang bapak berinisial A mengeluhkan anak sulungnya yang berusia
6,5 tahun yang selalu over dalam melampiaskan kesenangannya namun pada
saat anak mendapatkan apa yang tidak disenangi maka anak akan merasa
sangat sedih. Selain itu, anak juga kurang bisa berkonsentrasi, cuek atau
pura-pura tidak mendengar apabila ditegur karena melakukan kesalahan, dan
cenderung memukul apabila marah.
Kemampuan anak dalam mengembangkan regulasi emosi tidak
muncul begitu saja dalam diri anak tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Bukatko (2008) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi
perkembangan regulasi emosi dalam diri anak yaitu faktor pengalaman yang
diberikan oleh orang tua pada anak dan faktor temperamen anak itu sendiri.
Faktor pengalaman yang diberikan oleh orang tua dapat mempengaruhi
regulasi emosi karena anak-anak belajar mengenai konsekuensi yang akan
diberikan oleh orang tua ketika mereka menampilkan emosi negatif seperti
emosi marah (Eisenberg, Fabes, et al, 1999;. Fabes, Leonard, et al, 2001).
Orang tua yang memberikan bimbingan dan dukungan kepada anak-anak di
dalam mengekspresikan emosi membuat anak-anak lebih mampu meredakan
emosi negatif dan mampu menenangkan diri (Gottman, Katz, & Hooven,
Perkembangan anak akan sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi
yang terdapat dalam keluarga khususnya orang tua karena keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak (Mardiya, 2005:
8). Peneliti berasumsi bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak, maka pola asuh orang
tua yang diterapkan akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak,
termasuk perkembangan regulasi emosi. Baumrind (1991) mengembangkan
beberapa gaya pengasuhan dengan menunjukkan dua dimensi pengasuhan
yaitu kehangatan atau dukungan dan kontrol atau struktur. Berdasarkan
penilaian terhadap orang tua menggunakan dua dimensi ini, Baumrind
membedakan empat gaya pengasuhan antara lain otoriter, permisif, otoritatif,
dan uninvolved. Orang tua yang otoriter memiliki struktur yang tinggi namun
kehangatan yang rendah. Orang tua yang permisif memiliki kehangatan yang
tinggi tanpa adanya struktur. Orang tua yang otoritatif memiliki kehangatan
dan struktur yang tinggi. Terakhir, orang tua yang uninvolved memiliki
kehangatan dan struktur yang rendah.
Bila pola asuh yang tepat diterapkan pada anak yang memasuki usia
sekolah, maka akan membentuk kepribadian anak yang baik pula, begitu juga
sebaliknya (Widayanti dan Iryani, 2005: 30). Anak yang mengalami
pengasuhan yang hangat dan lembut akan lebih patuh (Kochanska, Murray, &
Harlan, 2000; Lehamn et al., 2002). Pola asuh yang tepat adalah pola asuh
dan diterima, serta anak tetap mematuhi peraturan. Pola asuh yang
dimaksudkan adalah pola asuh otoritatif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa anak yang
diasuh dengan pola asuh yang berbeda-beda akan memiliki regulasi emosi
yang berbeda-beda pula. Orang tua yang hangat, sabar, yang menggunakan
komunikasi untuk membantu anak dalam memahami dan mengendalikan
perasaan, membantu meningkatkan kemampuan anak mengatur emosi
(Gottman, Katz, & Hooven, 1997). Di lain sisi, orang tua yang kurang
menunjukkan emosi yang positif, tidak menganggap perasaan yang dirasakan
anak sebagai hal yang penting sehingga anak sulit mengendalikan amarah
(Calkins & Johnson, 1998; Eisenberg et al., 2001; Gilliom et al., 2002; Katz
& Windecker-Nelson, 2004). Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa anak
yang diasuh dengan pola asuh otoritatif lebih dapat meregulasi emosi
dibandingkan dengan anak yang diasuh dengan pola asuh yang lain.
Akan tetapi, di luar faktor pola pengasuhan masih ada faktor lain yang
turut menentukan kemampuan regulasi emosi anak, terutama faktor
temperamen anak. Beberapa anak cenderung lebih impulsif dan cepat
bereaksi daripada yang lain, kualitas yang lebih besar terkait dengan ekspresi
emosional mereka. Anak-anak lain berhati-hati dan yang disengaja, dan lebih
mungkin untuk menyembunyikan perasaan mereka. Oleh karena itu, peneliti
masih ingin mengetahui apakah faktor pengasuhan orang tua berpengaruh
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala
meliputi Skala Pola Asuh dan Skala Regulasi Emosi. Skala Pola Asuh diisi
oleh kedua orang tua subjek, sementara Skala Regulasi Emosi diisi oleh orang
tua atau pengasuh yang lebih sering bersama dengan subjek.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah penelitian yang digunakan peneliti, yaitu apakah
ada perbedaan tingkat regulasi emosi antara anak yang mendapatkan pola
asuh otoritatif dengan anak yang mendapatkan pola asuh selain otoritatif.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui adanya perbedaan tingkat regulasi emosi anak yang memasuki
usia sekolah berdasarkan pola asuh.
D. MANFAAT PENELITIAN
a.Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan dan penerapan
ilmu Psikologi di bidang Psikologi Anak dan Psikologi Perkembangan.
Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan tambahan
kepustakaan ilmiah bagi para peneliti lain yang berminat pada bidang yang
b. Manfaat Praktis
Diharapkan melalui penelitian ini, para orang tua dapat mengetahui
pentingnya menerapkan pola asuh yang tepat untuk perkembangan regulasi
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. REGULASI EMOSI
1. Definisi Regulasi Emosi
Emosi adalah penilaian yang cepat terhadap situasi yang signifikan,
yang mempersiapkan individu untuk bertindak (Berk, 2006). Emosi tidak
hanya diekspresikan tetapi juga diatur oleh individu. Pengaturan emosi
yang dilakukan oleh seseorang disebut dengan regulasi emosi. Regulasi
emosi merupakan salah satu aspek self-control selain control of bodilly
function. Self-control (Wenar & Kerig, 2002) merupakan kemampuan
anak untuk berperilaku yang dapat diterima secara sosial daripada
berperilaku yang tidak dapat diterima secara sosial ketika terjadi konflik.
Regulasi emosi mengacu pada strategi yang digunakan untuk
menyesuaikan emosi dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini juga berkaitan
dengan fungsi kognitif seperti pemfokusan dan pengalihan perhatian,
kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan perilaku, serta kemampuan
untuk mengatasi situasi yang dapat menyebabkan stress (Eisenberg et al,
1995b; Eisenberg & Spinrad, 2004).
Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai
kemampuan untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi
kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, dan merasakan perasaan
seseorang. Hal ini dapat meliputi mengalihkan atau meredakan reaksi
emosi, sebagai contoh, anak akan menarik nafas dalam-dalam atau
menghitung sampai 10 untuk menenangkan diri mereka dalam
menghadapi perasaan yang dapat menyebabkan stres. Regulasi emosi juga
meliputi peningkatan atau pemeliharaan kemunculan emosi untuk
mencapai tujuan. Contoh dari peningkatan kemunculan emosi adalah anak
mungkin meningkatkan kemarahan mereka untuk mengumpulkan
keberanian dalam menghadapi ketakutan; atau anak mungkin
meningkatkan emosi positif dengan mengingat kembali pengalaman yang
menyenangkan. Secara alamiah, regulasi emosi melibatkan manajemen
diri –menjadi ”boss” atas diri sendiri. Seperti yang diungkapkan Cole dkk
(1994), kesalahan regulasi emosi ada dua: kurang regulasi dan kelebihan
regulasi. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengekspresikan perasaan
seseorang bisa menjadi masalah dalam ketidakmampuan mengontrol
perasaan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa regulasi emosi merupakan strategi yang digunakan oleh seseorang
untuk menyesuaikan emosi agar mampu mencapai tujuan. Regulasi emosi
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengalihkan perhatian,
2. Aspek Regulasi Emosi dan Indikator Regulasi Emosi yang Tinggi
Adapun aspek-aspek yang ada di dalam regulasi emosi antara lain
(Berk, 2006) :
a. Aspek Emosi
Emosi evaluatif yang disadari adalah emosi yang membutuhkan
kesadaran diri anak bahwa mereka berbeda dengan orang lain (Lewis,
2002). Emosi evaluatif yang disadari antara lain adalah rasa bangga,
malu, dan rasa bersalah yang pertama kali muncul pada usia sekitar
dua setengah tahun. Ekspresi dari emosi-emosi ini menujukkan bahwa
anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan norma
sosial untuk menilai perilaku mereka.
Rasa bangga muncul ketika anak merasakan kesenangan
setelah sukses melakukan perilaku tertentu (Lewis, 2002). Rasa bangga
seringkali diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu. Rasa
malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi
standar atau target tertentu (Lewis, 2002). Anak yang sedang malu
seringkali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari
situasi tersebut. Rasa malu biasanya berhubungan dengan serangan
terhadap self dan dapat mengakibatkan kebingungan dan membuat
anak tidak mampu berkata-kata. Rasa malu bukan merupakan hasil
dari situasi tertentu tetapi lebih disebabkan oleh interpretasi individu
terhadap kejadian tertentu. Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak
malu dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Ketika
seorang anak menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah
mengecilkan tubuh mereka seperti ingin bersembunyi, sedangkan
ketika mereka mengalami perasaan bersalah, mereka biasanya
melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki
kegagalan mereka.
Salah satu perubahan penting dalam perkembangan emosi pada
masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya kemampuan untuk
membicarakan emosi diri dan orang lain dan peningkatan pemahaman
tentang emosi (Kuebli, 1994). Pada rentang usia 2 – 4 tahun, terjadi
penambahan yang pesat mengenai jumlah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan emosi (Ridgeway, Waters, & Kuczac, 1985). Mereka
juga mulai belajar mengenai penyebab dan konsekuensi dari
perasaan-perasaan yang dialami (Denham, 1998).
Ketika menginjak usia 4 – 5 tahun, anak-anak mulai
menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi emosi.
Mereka juga mulai memahami bahwa kejadian yang sama dapat
menimbulkan perasaan yang berbeda terhadap orang yang berbeda.
Lebih dari itu, mereka juga mulai menunjukkan kesadaran bahwa
mereka harus mengatur emosi mereka untuk memenuhi standar sosial
(Bruce, Olen, & Jensen, 1999).
Aspek emosi dalam regulasi emosi adalah kemampuan anak di
muncul di dalam diri mereka. Anak tidak hanya mengenali emosi yang
sedang mereka rasakan, tetapi juga mengenali emosi yang sedang
dirasakan oleh orang lain.
b. Aspek Perhatian
Pertumbuhan lobus frontal korteks serebral memampukan
individu membuat tujuan (anak harus berkonsentrasi untuk mencapai
tujuan yang mereka buat) dan orang tua membantu anak memfokuskan
atensi dengan cara memberikan saran, pertanyaan, dan komentar. Hal
ini dapat membuat anak menjadi lebih dewasa secara kognitif dan
sosial (Bono & Stifter, 2003; Landry et al., 2000). Selain itu dengan
membantu anak belajar memfokuskan atensi, keterampilan anak
menjadi terasah seperti bahasa, eksplorasi, pemecahan masalah,
interaksi sosial, dan kerja sama.
Atensi yang diseleksi ialah fokus individu pada satu aspek
dalam suatu situasi yang berhubungan dengan tujuannya. Atensi yang
diseleksi tergantung pada cognitive inhibition yang merupakan
kemampuan untuk mengontrol gangguan yang berasal dari internal
maupun eksternal. Individu yang memiliki kemampuan ini dapat
mencegah stimulus yang mengganggu konsentrasi atau perhatian
mereka (Dempster & Corkill, 1999). Cognitive inhibition membantu
individu untuk memastikan bahwa individu memproses berbagai
pendek (Bjorklund & Harnishfeger, 1995; Handley et al., 2004;
Klenberg, Korkman, & Lahti-Nuuttila, 2001). Selain menolong
individu untuk mengingat, memahami, dan memecahkan masalah,
kemampuan ini juga menolong individu untuk mengontrol perilaku.
Kemampuan cognitive inhibition meningkat sejak usia antara 3
dan 4 tahun, misalnya ketika anak harus mengikuti sebuah perintah
tetapi tidak mengikuti perintah yang lain. Beberapa anak lebih mudah
mengikuti perintah verbal (Jones, Rothbart, & Posner, 2003).
Singkatnya, kemampuan cognitive inhibition akan meningkat jika anak
mampu memfokuskan atensinya.
Aspek perhatian dalam regulasi emosi adalah kemampuan anak
untuk tetap fokus pada suatu hal ketika anak sedang berada dalam
emosi tertentu. Selain itu, aspek perhatian juga merupakan kemampuan
anak untuk mengalihkan perhatiannya kepada suatu hal yang
berhubungan dengan tujuannya.
c. Aspek Perilaku
Proses reward, punishment, dan imitation digunakan untuk
menjelaskan perilaku anak. Bila anak-anak diberi hadiah atas perilaku
yang sesuai dengan aturan, mereka akan mengulangi perilaku itu. Bila
anak dihukum atas perilakunya, perilaku itu akan berkurang dan
yang mereka lihat, dalam hal ini pengasuh atau orang tua adalah
model.
Teoritikus belajar sosial yakin bahwa kemampuan untuk
menolak godaan berkaitan erat dengan perkembangan kontrol perilaku.
Anak harus mengatasi dorongan atau godaan atas sesuatu yang mereka
ingin lakukan tetapi dilarang. Untuk itu, mereka harus belajar bersabar.
Teoritikus belajar sosial yakin bahwa faktor-faktor kognitif penting
dalam perkembangan kontrol anak. Misalnya, dalam suatu penelitian,
perubahan kognitif anak-anak akan suatu objek yang diinginkan
menolong mereka menjadi lebih sabar (Mischel & Patterson, 1976).
Anak-anak prasekolah diminta melakukan suatu pekerjaan yang
membosankan. Di dekatnya ada badut mesin yang lucu mencoba
membujuk anak-anak untuk bermain dengannya. Anak-anak yang telah
dilatih mengatakan kepada diri mereka sendiri, ”Aku tidak akan
melihat Pak Badut ketika Pak Badut memintaku melihatnya”
mengendalikan perilaku mereka dan terus mengerjakan pekerjaan yang
membosankan itu lebih lama daripada anak-anak yang tidak dilatih
untuk berkata seperti di atas.
Aspek perilaku dalam regulasi emosi adalah kemampuan anak
untuk mengendalikan perilaku. Anak memiliki kemampuan untuk
menahan dorongan untuk melakukan sesuatu yang tidak boleh mereka
d. Coping Strategy
Coping strategy atau strategi coping merupakan kemampuan
untuk mengatasi situasi yang dapat menyebabkan stres. Belajar
melakukan coping terhadap stres adalah aspek penting dari kehidupan
emosional anak-anak (Bridges, 2003; Folkman & Moskowitz, 2004).
Sangat penting bagi pengasuh untuk membantu anak melakukan
coping secara efektif. Selain itu, juga perlu mendorong anak untuk
aktif dan memilih strategi pemecahan masalah dalam menghadapi
stres. Dengan cara ini pengasuh dapat menghilangkan setidaknya satu
stressor dari anak dan mengajarkan anak berbagai strategi coping yang
baik.
Anak yang menguasai beberapa teknik coping akan lebih
mungkin untuk beradaptasi dan berfungsi dengan kompeten ketika
dihadapkan dengan stres. Dengan mempelajari teknik coping yang
baru, anak dapat mencegah dirinya merasa tidak berkompeten, dan
juga dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Anak-anak cenderung untuk mengaplikasikan strategi coping
mereka ke semua situasi yang menyebabkan stres. Orang dewasa dapat
membantu hal ini dengan memberikan contoh bagaimana
menggunakan strategi coping ini pada situasi yang sesuai sehingga
menguntungkan bagi mereka.
Aspek coping strategy dalam regulasi emosi adalah
stres. Anak mampu menemukan cara untuk memecahkan
permasalahan dalam rangka mencapai tujuan.
Berdasarkan penjabaran aspek-aspek regulasi emosi di atas, maka
regulasi emosi meliputi emosi (bagaimana cara mengekspresikan,
mengatur, dan mengendalikan emosi), perhatian (bagaimana cara tetap
fokus ketika sedang berada dalam emosi tertentu dan bagaimana cara
mengalihkan perhatian), perilaku (bagaimana cara agar mampu
mengendalikan perilaku), dan coping strategy (bagaimana cara dalam
menghadapi stress). Dari uraian di atas juga dapat diperoleh kesimpulan
mengenai indikator regulasi emosi yang tinggi yaitu:
1. Secara emosi, anak mampu mengekspresikan emosi dengan tepat,
mampu mengatur ekspresi emosi yang sedang dialami, dan mampu
mengendalikan emosi yang meluap-luap.
2. Secara perhatian, anak tetap mampu berkonsentrasi walaupun sedang
berada dalam emosi tertentu dan mampu mengalihkan perhatiannya
kepada tugas yang sedang dikerjakan.
3. Secara perilaku, anak mampu mengendalikan perilakunya.
4. Secara coping strategy, anak mampu mengatasi stress yang sedang
3. Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Regulasi Emosi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan regulasi
emosi seorang anak (Bukatko, 2008) :
a. Faktor pengalaman yang diberikan oleh orang tua pada anak
Faktor pengalaman yang diberikan oleh orang tua dapat
mempengaruhi regulasi emosi karena anak-anak belajar mengenai
konsekuensi yang akan diberikan oleh orang tua ketika mereka
menampilkan emosi negatif seperti emosi marah (Eisenberg, Fabes, et
al, 1999;. Fabes, Leonard , et al, 2001). Orang tua yang memberikan
bimbingan dan dukungan kepada anak-anak di dalam mengekspresikan
emosi membuat anak-anak lebih mampu meredakan emosi negatif dan
mampu menenangkan diri (Gottman, Katz, & Hooven, 1997).
Ibu yang lebih positif dalam mengekspresikan perasaan
emosional berbeda dalam hal kehangatan dengan ibu yang lebih sering
mengekspresikan emosi negatif. Ibu yang lebih positif
mengekspresikan emosinya memiliki anak yang lebih mampu
mengatur emosi mereka sendiri. Anak-anak dari ibu yang lebih sering
mengekspresikan emosi negatif berperilaku lebih agresif dan dinilai
kurang memiliki kompeten sosial (Eisenberg, Gershoff, et al, 2001;..
Eisenberg, Valiente, et al, 2003).
b. Faktor temperamen anak
Temperamen sangat terkait erat dengan kepribadian, karakter
antara temperamen dan kepribadian ini sangat kabur. Temperamen
dapat dianggap sebagai dasar biologis dan emosional dari kepribadian.
Temperamen seorang bayi akan mengarahkan bayi terhadap gaya
emosi dan reaksi tertentu, sehingga akan membuat bayi tersebut
memiliki kepribadian tertentu pula.
Beberapa anak cenderung lebih impulsif dan cepat bereaksi
lebih cepat dalam mengekspresikan emosi mereka. Anak-anak lain
yang lebih berhati-hati dalam mengekspresikan emosi mereka
cenderung untuk menyembunyikan perasaan. Perilaku orang tua dapat
membentuk kecenderungan anak dalam bereaksi (Eisenberg, Zhou, et
al, 2003), namun hal ini juga merupakan manifestasi dari faktor lain
dari perkembangan seperti faktor fisiologis dan keturunan. Dalam hal
pembentukan regulasi emosi, anak-anak menjadi lebih sadar gaya
emosional mereka dan mencari pengalaman yang lebih sesuai dengan
kebutuhan mereka. Beberapa anak-anak lebih nyaman bermain sendiri,
sedangkan anak yang lain mungkin memilih permainan dengan tingkat
aktivitas yang tinggi dimana di dalamnya juga melibatkan emosi
(Thompson, 1994).
Dalam sebuah penelitian longitudinal, ketika anak berusia 3
tahun menunjukkan kontrol yang baik terhadap emosi mereka dan juga
resilient dalam menghadapi stress, mereka lebih mungkin untuk
menangani emosi mereka dengan efektif ketika dewasa kelak (Block,
yang rendah dan tidak resilient, mereka cenderung akan tetap memiliki masalah dalam area ini ketika dewasa kelak.
B. REGULASI EMOSI ANAK YANG MEMASUKI USIA SEKOLAH
1. Batasan Anak yang Memasuki Usia Sekolah
Periode perkembangan individu setelah masa bayi akan dilanjutkan
dengan masa awal anak-anak. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa
awal anak-anak atau early childhood adalah periode dari akhir masa bayi
hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Masa awal anak-anak juga merupakan
masa dimana anak akan memasuki usia sekolah. Pada usia ini anak-anak
akan mulai menjajaki sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Dalam UU RI
nomor 26 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (pasal 28 ayat 3)
disebutkan bahwa TK merupakan salah satu bentuk pendidikan pra
sekolah jalur formal. Batasan usia peserta didik atau siswa TK di
Indonesia seperti yang diatur dalam Keputusan Mendiknas TI nomor
051/U/2002 tentang penerimaan siswa pada Taman Kanak-kanak (TK) dan
sekolah (pasal 4 ayat 1) adalah 4-6 tahun.
Anak yang akan memasuki usia sekolah adalah anak yang berusia
2-6 tahun. Periode ini adalah periode yang paling aktif dalam rentang
kehidupan (Pikunas, 1976; McDevit dan Ormrod, 2002). Sawitri (2005)
menyatakan bahwa anak yang akan memasuki usia sekolah memiliki rasa
mempelajari berbagai hal dan lebih mudah untuk menyerap apa saja yang
dipelajarinya.
Slavin (2008) memaparkan bahwa anak dapat dikatakan akan
memasuki usia sekolah ketika mereka berumur antara 3 dan 5 tahun. Ini
adalah suatu masa perubahan pesat dalam semua bidang perkembangan.
Anak-anak menguasai kebanyakan kemampuan fisik pada akhir periode
ini dan dapat menggunakan kemampuan tersebut untuk mencapai berbagai
jenis tujuan. Secara kognitif, mereka mulai mengembangkan pemahaman
tentang kelas dan hubungan dan menyerap informasi dalam jumlah yang
sangat besar tentang dunia sosial dan fisik mereka.
Pada penelitian ini, batasan anak yang memasuki usia sekolah
adalah anak yang berusia 6 tahun, baik itu anak laki-laki atau anak
perempuan.
2. Karakteristik Perkembangan Anak yang Memasuki Usia Sekolah
a. Kognitif
Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak yang akan
memasuki usia sekolah berada pada tahapan praoperasional. Tahapan
ini berlangsung kira-kira 2 hingga 7 tahun dimana anak mulai
merepresentasikan dunia mereka dengan kata-kata, bayangan, dan
gambar-gambar. Pemikiran-pemikiran simbolik berjalan melampaui
koneksi-koneksi sederhana dari informasi sensorik dan tindakan fisik.
egosentrisme tumbuh, dan keyakinan-keyakinan magis mulai
terkonstruksi. Pemikiran praoperasinal terbagi menjadi dua sub
tahapan, yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan sub tahapan pemikiran
intuitif. Anak yang akan memasuki usia sekolah berada pada sub
tahapan pemikiran intuitif yang terjadi kira-kira antara usia 4 hingga 7
tahun. Dalam sub tahapan ini, anak-anak mulai menggunakan
pemikiran primitif dan ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan.
Piaget menyebut sub tahapan ini intuitif karena anak-anak tampaknya
sangat yakin dengan pengetahuan dan pemahaman mereka, tapi tidak
sadar bagaimana mereka mendapat pengetahuan tersebut. Artinya,
mereka tahu sesuatu tapi memperoleh pengetahuan itu tanpa
menggunakan pemikiran rasional.
Menurut Vygotsky, pengaruh sosial (khususnya pengajaran)
penting bagi perkembangan kognitif anak. Zona Perkembangan
Proksimal (Zone of Proximal Development / ZPD) adalah istilah
Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak
seorang diri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dan bimbingan
orang dewasa atau anak-anak yang terlatih. ZPD menangkap keahlian
kognitif anak yang sedang berada dalam proses kedewasaan dan dapat
disempurnakan hanya dengan bantuan dari seorang yang lebih ahli
(Goos, 2004; Gray dan Feldman, 2004; Kinginger, 2002; Kulczewski,
2005). Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja
menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky (1962) yakin bahwa anak
pada usia dini menggunakan bahasa untuk merencanakan,
membimbing, dan memonitor perilaku mereka. Penggunaan bahasa
untuk kemandirian pribadi disebut private speech dimana anak
berbicara dengan dirinya sendiri. Masa transisi akan terjadi pada usia 3
sampai 7 tahun dimana anak mampu bertindak tanpa melakukan
aktivitas verbal dan telah menginternalisasikan pembicaraan egosentris
mereka dalam bentuk inner speech, yang menjadi pemikiran-pemikiran
mereka.
b. Sosio-emosional
Kebutuhan untuk mengatasi emosi yang bertentangan
mengenai diri sendiri adalah inti tahap ketiga dari perkembangan
kepribadian yang disebutkan oleh Erik Erikson (1950) yaitu inisiatif
versus rasa bersalah (initiative versus guilt). Erikson yakin masa awal
anak-anak adalah periode ketika diri melibatkan pemecahan konflik
antara prakarsa versus rasa bersalah. Pertentangan timbul dari perasaan
mengenai tujuan yang mendorong anak untuk membuat perencanaan
dan melakukannya serta dari timbulnya rasa sedih anak mengenai
berbagai perencanaan ini.
Anak yang akan memasuki usia sekolah dapat dan ingin
melakukan lebih banyak hal. Pada saat bersamaan, mereka belajar
persetujuan sosial dan sebagian lagi tidak. Anak berusaha melakukan
penyesuaian atas keinginan mereka untuk melakukan sesuatu dengan
keinginan mereka untuk mendapat persetujuan dari lingkungan.
Pertentangan ini menandai terpisahnya dua bagian kepribadian,
satu bagian yang tetap sebagai anak-anak, penuh gairah, dan keinginan
untuk mencoba berbagai hal dan mencoba kekuatan baru, bagian yang
lain adalah bagian yang menjadi dewasa dimana anak secara
terus-menerus menguji hal-hak yang berkaitan dengan motif dan tindakan.
Anak yang belajar mengatur kedua dorongan yang bertentangan ini
akan mengembangkan sebuah tujuan, yaitu keberanian untuk
membayangkan dan mengejar sebuah tujuan tanpa dikekang oleh
perasaan bersalah atau ketakutan terhadap hukuman (Erikson, 1982).
Ketika anak-anak prasekolah menghadapi suatu dunia sosial yang lebih
luas, mereka lebih tertantang daripada ketika mereka masih bayi.
Perilaku aktif dan bertujuan dituntut untuk menghadapi
tantangan-tantangan ini. Anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab atas
tubuh, perilaku, mainan, hewan peliharaan mereka, dan lain-lain.
Pengembangan rasa tanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun,
perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul, bila anak
3. Regulasi Emosi Anak yang Memasuki Usia Sekolah
Pada masa anak awal, pengasuh mulai mengharapkan
anak-anak untuk mengontrol emosi. Anak dua tahun menggunakan regulasi
emosi yang mereka miliki untuk mengatasi gangguan, misalnya ketika di
hadapan mereka disajikan makanan ringan atau hadiah tetapi mereka harus
menunggu untuk mendapatkan itu, mereka biasanya mengalihkan
perhatian ke objek lain (Grolnick, Jembatan, & Connell, 1996). Akan
tetapi, jika mereka tidak berusaha mengalihkan perhatian maka kemarahan
mereka cenderung meningkat (Gilliom dkk, 2002).
Pada usia tiga tahun, anak mulai mengurangi perilaku tantrum dan
menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan maksud dan keinginan
mereka (Kopp, 1992). Penelitian membuktikan bahwa perkembangan
fisiologis anak usia dini, yaitu perkembangan otak bagian depan, juga turut
berkontribusi untuk mengontrol dan mengalihkan perilaku dan emosi (Fox,
1994; Schore, 1996). Misalnya, mereka mampu meredakan emosi dengan
membatasi input sensoris (seperti menutup mata atau telinga terhadap
pemandangan atau suara yang tidak menyenangkan), berbicara pada diri
sendiri (seperti “Ibu mengatakan bahwa dia akan segera kembali.”), atau
mengubah tujuan (seperti memutuskan untuk tidak bermain sebelum
selesai mengerjakan suatu tugas). Anak-anak yang menggunakan strategi
ini memiliki emosi yang lebih terkontrol selama tahun-tahun prasekolah
(Thompson, 1990a). Mengalihkan perhatian dari sumber frustrasi menjadi
mengelola emosi. Anak usia tiga tahun yang bisa mengalihkan diri ketika
frustrasi cenderung menjadi anak-anak yang kooperatif dan tidak memiliki
masalah perilaku ketika memasuki usia sekolah (Gilliom et al., 2002).
Dengan melihat orang dewasa menangani perasaan mereka sendiri,
anak-anak prasekolah mulai membuat strategi untuk mengatur emosi.
Orang tua berperan membantu anak-anak memahami dan mengendalikan
perasaan untuk memperkuat kemampuan anak dalam menangani stres
(Gottman, Katz, & Hooven, 1997). Orang tua yang jarang
mengekspresikan emosi positif, mengabaikan perasaan anak sebagai hal
yang tidak penting, dan mengalami kesulitan di dalam mengendalikan
kemarahan mereka sendiri, akan berdampak pada anak-anak dimana anak
akan mengalami masalah dalam pengelolaan emosi (Calkins & Johnson,
1998; Eisenberg et al. , 2001; Gilliom et al, 2002; 2004 Katz &
Windecker-Nelson).
C. POLA ASUH ORANG TUA
1. Definisi Pola Asuh Orang Tua
Secara etimologi, “pola” berarti bentuk atau tata cara, sedangkan
“asuh” berarti menjaga, merawat, dan mendidik. Sehingga pola asuh
berarti bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat, dan mendidik. Jika
ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem
yang diterapkan dalam menjaga, merawat, dan mendidik seorang anak
Pola pengasuhan anak adalah kombinasi dari perilaku orang tua
yang terjadi di seluruh situasi, menciptakan iklim pengasuhan anak yang
tetap (Berk, 2006). Pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk
interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan
pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing,
mendisiplinkan, dan melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan setempat dan
masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada
anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat
menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
yang ada dalam masyarakat (Gunarsa, 2002;64).
Menurut Darling (2003;1) pengasuhan orang tua adalah aktivitas
kompleks termasuk banyak perilaku spesifik yang dikerjakan secara
individu dan bersama-sama untuk mempengaruhi pembentukan karakter
anak. Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola
asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan
dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial
tertentu pada anaknya. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara
anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan
ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta
melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma
2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua
Penelitian Bumrind (1971) sangat berpengaruh terhadap pola
pengasuhan orang tua. Ia percaya bahwa orang tua tidak boleh
menghukum atau menjauh tetapi mereka harus menerapkan aturan bagi
anak dan menyayangi mereka. Ada empat jenis pola pengasuhan menurut
Baumrind:
a. Pengasuhan Otoriter
Pola pengasuhan ini adalah yang membatasi dan menghukum,
dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan
menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua otoriter
menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan
meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua otoriter mungkin juga
sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa
menjelaskannya, dan menunjukkan amarah pada anak. Mereka lebih
mengambil jarak dan tidak hangat dibanding orang tua dengan pola
pengasuhan lain.
b. Pengasuhan Otoritatif
Pola pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri namun
masih menerapkan batas kendali pada tindakan mereka. Orang tua ini
menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan
batasan-batasan sosial. Mereka percaya akan kemampuan mereka dalam
memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan, mandiri, minat,
tetapi juga meminta perlakuan yang baik, tegas dalam menetapkan
standar, dan berkenan untuk menerapkan hukuman yang terbatas dan
adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan
mendukung. Mereka menjelaskan alasan di balik pendapat mereka dan
mendorong komunikasi verbal timbal balik. Orang tua yang otoritatif
menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap
perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak
yang dewasa, mandiri, dan sesuai dengan usianya.
c. Pengasuhan Permisif
Orang tua yang menggunakan pola pengasuhan ini sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol
mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa yang anak
inginkan. Mereka menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri.
Mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak
memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin. Ketika membuat
peraturan, mereka menjelaskannya kepada anak. Mereka berkonsultasi
dengan anak mengenai keputusan kebijakan dan jarang menghukum.
Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak menuntut.
d. Pengasuhan Uninvolved
Orang tua yang menggunakan pola pengasuhan ini sangat tidak
terlibat dalam kehidupan anak. Orang tua terkadang hanya berfokus
Akibatnya, orang tua jenis ini tidak peduli, tidak melibatkan diri, atau
individualis.
Berikut ini adalah tabel yang mengemukakan ciri-ciri dari
tiap-tiap pola asuh.
Tabel 1. Ciri-ciri Pola Asuh Orang Tua (Baumrind dalam Berk,
2006)
Otoriter Dingin, orang
memberikan
kasih sayang.
Otoritatif Hangat, mau
mendengarkan,
Permisif Hangat tetapi
dan terkesan
ceroboh.
ada permintaan. keputusan
sebelum anak
siap.
Uninvolved Menjauh dan
menarik diri
3. Dampak Pola Asuh Orang Tua
a. Pengasuhan Otoriter
Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia,
ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak
mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang
lemah. Anak laki-laki dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku
agresif (Hart dkk., 2003)
b. Pengasuhan Otoritatif
Anak yang memiliki orang tua otoritatif sering kali ceria, bisa
mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi.
Mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah
dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa
mengatasi stres dengan baik.
Anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri
dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki
orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang
lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.
Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti peraturan,
dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).
d. Pengasuhan Uninvolved
Anak yang memiliki orang tua yang uninvolved merasa bahwa
aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka.
Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di
antaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri.
Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan
mungkin terasing dari keluarga.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan dampak pola asuh
Tabel 2. Dampak Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan
Anak (Baumrind dalam Berk, 2006)
Pola Asuh
Orang Tua
Anak
Otoriter Cemas, menarik diri, tidak bahagia,
memperlihatkan sikap permusuhan ketika frustrasi,
tidak berprestasi di sekolah.
Otoritatif Memiliki mood yang stabil, harga diri yang tinggi,
self-control, tekun dalam melaksanakan tugas, dan
kooperatif.
Permisif Impulsif, kurang ajar, suka menentang, suka
meminta dan tergantung pada orang dewasa,
kurang tekun dalam melaksanakan tugas, dan
kurang berprestasi di sekolah.
Uninvolved Kekurangan dalam attachment, kognisi, bermain,
dan keterampilan emosional dan sosial.
D. PERBEDAAN TINGKAT REGULASI EMOSI ANAK YANG
MEMASUKI USIA SEKOLAH BERDASARKAN POLA ASUH
Penelitian ini mencoba memperlihatkan adanya perbedaan tingkat
regulasi emosi anak yang akan memasuki usia sekolah berdasarkan pola
asuh yang digunakan oleh orang tua. Seorang anak diharapkan mengasah
Dalam hal ini, orang tua memegang peranan penting dalam
mengembangkan kemampuan anak tersebut.
Pola asuh yang digunakan orang tua turut berpengaruh dalam
pembentukan regulasi emosi. Ada empat macam pola asuh orang tua yaitu
otoriter, otoritatif, permisif, dan uninvolved. Di dalam masing-masing pola
asuh ini terdapat dua dimensi yaitu kehangatan dan struktur (Baumrind
dalam Berk, 2006).
Orang tua yang otoriter memiliki struktur yang tinggi namun
kehangatan yang rendah. Anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter
memiliki sikap cemas, menarik diri, tidak bahagia, memperlihatkan sikap
permusuhan ketika frustrasi, tidak berprestasi di sekolah (Baumrind dalam
Berk, 2006). Karakteristik anak dengan pola asuh otoriter menunjukkan
regulasi emosi yang rendah pada anak.
Orang tua yang otoritatif, di samping menerapkan struktur yang
tinggi, juga memiliki kehangatan terhadap anak. Orang tua yang hangat,
sabar, yang menggunakan komunikasi untuk membantu anak dalam
memahami dan mengendalikan perasaan, membantu meningkatkan
kemampuan anak mengatasi emosi (Gottman, Katz, & Hooven, 1997).
Anak yang diasuh dengan pola asuh otoritatif memiliki mood yang stabil,
harga diri yang tinggi, self-control, tekun dalam melaksanakan tugas, dan
kooperatif (Baumrind dalam Berk, 2006). Pola asuh otoritatif ini membuat
Orang tua yang permisif memiliki kehangatan yang tinggi tanpa
adanya struktur. Anak yang diasuh dengan pola asuh permisif memiliki
sikap impulsif, kurang ajar, suka menentang, suka meminta dan tergantung
pada orang dewasa, kurang tekun dalam melaksanakan tugas, dan kurang
berprestasi di sekolah (Baumrind dalam Berk, 2006). Oleh karena itu pola
asuh permisif kurang mendukung berkembangnya regulasi emosi yang
tinggi pada anak.
Terakhir, orang tua yang uninvolved memiliki kehangatan dan
struktur yang rendah. Anak yang diasuh dengan pola asuh uninvolved
memiliki kekurangan dalam attachment, kognisi, bermain, dan
keterampilan emosional dan sosial (Baumrind dalam Berk, 2006).
Karakteristik anak dengan pola asuh uninvolved kurang mencerminkan
regulasi emosi yang tinggi.
Dari keempat macam pola asuh yang memiliki tingkat kehangatan
dan struktur yang beda, serta memiliki dampak yang
berbeda-beda pula maka dapat diasumsikan bahwa regulasi emosi yang yang
dikembangkan juga berbeda. Calkins & Johnson (1998); Eisenberg, et al.
(2001); Gilliom et al. (2002); dan Katz & Windecker-Nelson (2004)
berpendapat sama bahwa orang tua yang kurang menunjukkan emosi yang
positif, tidak menganggap perasaan yang dirasakan anak sebagai hal yang
penting sehingga anak sulit mengendalikan emosi, terutama emosi amarah.
Berikut ini akan digambarkan skema mengenai perbedaan regulasi emosi
Bagan 1. Dinamika Perbedaan Regulasi emosi Anak yang akan Memasuki dalam attachment dan keterampilan emosional meminta dan tergantung pada orang dewasa, kurang berprestasi di sekolah. berprestasi di sekolah, memperlihatkan sikap
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah pola asuh otoritatif menghasilkan
tingkat regulasi emosi yang lebih tinggi dibandingkan ketiga pola asuh
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif yang bersifat
membandingkan (Sugiyono, 2005). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menyelidiki ada tidaknya perbedaan tingkat regulasi emosi anak yang
memasuki usia sekolah berdasarkan pola asuh.
B. VARIABEL PENELITIAN
Penelitian komparatif ini memiliki variabel bebas dan variabel
tergantung masing-masing sebanyak satu variabel, antara lain :
Variabel bebas : pola asuh
Variabel tergantung : regulasi emosi anak yang memasuki usia sekolah
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Pola Asuh
Pola asuh adalah kombinasi dari perilaku orang tua yang terjadi di
seluruh situasi, menciptakan iklim pengasuhan anak yang tetap (Berk,
2006). Pola asuh dalam penelitian ini diukur dengan Skala Pola Asuh yang
terbagi menjadi 4 skala pola asuh yaitu skala pola asuh otoriter, skala pola
Keempat jenis pola asuh tersebut memiliki dua dimensi dasar yaitu
kehangatan dan struktur. Penggolongan pola asuh orang tua adalah
berdasarkan pengolahan skor Z dimana pengkategorian pola asuh
berdasarkan pada nilai Z yang terbesar.
2. Regulasi Emosi
Regulasi emosi mengacu pada strategi yang digunakan untuk
menyesuaikan emosi dalam rangka mencapai tujuan. Perkembangan
regulasi emosi anak yang akan memasuki usia sekolah dalam penelitian ini
diukur dengan Skala Regulasi emosi yang disusun berdasarkan indikator
regulasi emosi yang tinggi (Eisenberg et al, 1995b; Eisenberg & Spinrad,
2004 dalam Berk, 2006) terkait aspek emosi, perhatian, perilaku, dan
coping strategy. Skala ini akan diisikan oleh orang tua dan guru dari
anak-anak yang akan diukur regulasi emosinya. Skor regulasi emosi diperoleh
dari rerata skor regulasi emosi yang diisi oleh orang tua atau pengasuh
yang lebih sering bersama anak dan guru. Semakin tinggi skor pada skala
Regulasi Emosi, maka semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki oleh
seorang anak, sedangkan semakin rendah skor maka semakin rendah juga
D. SAMPLING, SUBJEK PENELITIAN, DAN RESPONDEN
PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah anak laki-laki atau perempuan yang
berusia 6 tahun kelas 1 SD. Sementara itu, responden di dalam penelitian ini
adalah orang tua atau pengasuh dan guru dari subjek.
E. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:
1. Membuat Skala Pola Asuh dan Skala Regulasi Emosi dengan metode
rating yang dijumlahkan (summated rating) untuk diujicobakan pada
kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama dengan
kelompok subjek penelitian yang sesungguhnya.
2. Melakukan uji coba skala penelitian, meliputi uji kesahihan butir dan
reliabilitas skala untuk mendapatkan butir yang sahih dan data yang
reliabel.
3. Melakukan pengumpulan data yang meliputi:
a. Skala Pola Asuh direspon oleh kedua orang tua subjek.
b. Skala Regulasi Emosi direspon oleh orang tua atau pengasuh yang
lebih sering bersama subjek. Selain itu, guru subjek turut mengisi
rating scale regulasi emosi sebagai data tambahan untuk mengukur
regulasi emosi subjek.
5. Melakukan uji hipotesis dengan uji statistik one-way anova untuk melihat
ada tidaknya perbedaan tingkat regulasi emosi berdasarkan pola asuh.
6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut.
F. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
skala. Skala yang digunakan adalah Skala Pola Asuh dan Skala Regulasi
emosi.
1. Skala Pola Asuh
Skala Pola Asuh akan diukur dengan menggunakan metode rating
yang dijumlahkan (method of summated ratings), yakni dengan
menggunakan empat alternative jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai
(S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor pada
item favorable pada jawaban Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 4, Sesuai
(S) mendapat skor 3, Tidak Sesuai (TS) mendapat skor 2, Sangat Tidak
Sesuai (STS) mendapat skor 1 dan pada item unfavorable untuk jawaban
Sangat Sesuai (SS) mendapat skor 1, Sesuai (S) mendapat skor 2, Tidak
Sesuai (TS) mendapat skor 3, Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapat skor
4. Susunan pernyataan dalam Skala Pola Asuh dijelaskan pada tabel
Tabel 3. Skor Jawaban untuk Skala Pola Asuh
Tabel 4. Blueprint Skala Pola Asuh
Cara pengkategorian pola asuh menggunakan kategori bukan
jenjang (nominal). Tujuan kategori ini adalah menempatkan individu ke
dalam kelompok-kelompok diagnosis yang tidak memiliki makna “lebih”
dan “kurang” atau “tinggi” dan “rendah” (Azwar, 2002). Pengkategorian
pola asuh dilakukan dengan cara skor subjek ayah dan subjek ibu
dijumlahkan kemudian dibagi dua untuk setiap jenis pola asuh. Setelah itu,
skor tersebut diubah ke dalam skor Z sehingga setiap orang tua memiliki 4
skor Z untuk 4 jenis pola asuh yang diungkap. Rumus umum yang
digunakan untuk menghitung skor Z :
Z = (X - M) / SD
Keterangan:
Z = skor Z
X = skor subjek orang tua
M = mean kelompok subjek
SD = standar deviasi kelompok
Tinggi rendahnya masing-masing pola asuh orang tua ditunjukkan
melalui pengolahan skor Z dimana skor tersebut akan langsung
mengkategorikannya ke dalam pola asuh otoriter, otoritatif, permisif, dan
uninvolved. Pola asuh yang memiliki skor Z tertinggi untuk tiap subjek
2. Skala Regulasi Emosi
a. Untuk orang tua
Skala Regulasi Emosi juga akan diukur dengan menggunakan
metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings), yakni
dengan menggunakan empat alternatif jawaban yaitu Selalu (SL),
Sering (S), Jarang (J), Tidak Pernah (TP). Pemberian skor pada item
favorable pada jawaban Selalu (SL) mendapat skor 4, Sering (S)
mendapat skor 3, Jarang (J) mendapat skor 2, Tidak Pernah (TP)
mendapat skor 1 dan pada item unfavorable untuk jawaban Selalu (SL)
mendapat skor 1, Sering (S) mendapat skor 2, Jarang (J) mendapat
skor 3, Tidak Pernah (TP) mendapat skor 4. Skala ini akan diberikan
dan diisi oleh orang tua atau pengasuh dan guru anak kelas 1 SD
karena anak belum mampu untuk mengevaluasi regulasi emosinya
sendiri. Menurut Wenar & Kerig (2000), skala yang diberikan kepada
orang tua atau pengasuh disebut skala pelaporan orang tua (parent
report scale) dan yang diberikan kepada guru disebut skala pelaporan
guru (teacher report scale). Hal ini dilakukan karena anak belum
cukup mampu mengevaluasi perilaku atau sikapnya sendiri. Susunan
pernyataan dalam Skala Regulasi Emosi dijelaskan pada tabel berikut
Tabel 5. Skor Jawaban untuk Skala Regulasi Emosi
Tabel 6. Blueprint Skala Perkembangan Regulasi Emosi
Total 52 100%
Penilaian regulasi emosi yang baik pada anak berdasarkan nilai
yang tertinggi. Semakin tinggi skor pada skala Regulasi Emosi, maka
semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki oleh seorang anak,
sedangkan semakin rendah skor maka semakin rendah juga regulasi
emosi yang dimiliki oleh seorang anak.
b. Untuk guru
Pengukuran regulasi emosi anak yang akan direspon oleh guru berupa
skala rating dengan susunan skor rating sebagai berikut:
Tabel 7. Skor untuk Skala Rating Regulasi Emosi
anak dan guru. Masing-masing skor disetarakan terlebih dahulu karena
memiliki skor maksimal yang berbeda. Jumlah skor skala regulasi
emosi yang diisi oleh orang tua atau pengasuh anak diperoleh dengan
rumusan :
Total = (skor : 16) x 10
Jumlah skor rating scale regulasi emosi yang diisi oleh guru
diperoleh dengan rumusan :
Total = skor x 5
Kedua total skor untuk masing-masing anak yang sudah
disetarakan tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi dua. Hasilnya
merupakan skor regulasi emosi anak.
Skala Regulasi Emosi yang direspon oleh orang tua terdiri dari
40 item. Setiap item SL diberi skor 4, skor 3 untuk jawaban S, skor 2
untuk jawaban J, dan skor 1 untuk jawaban TP. Sehingga diperoleh
skor minimum 1x40= 40 dan skor maksimum 4x40= 160. Kemudian
kedua hasil tersebut disetarakan dengan rumus penyetaraan (40 / 16)x
10= 25 dan (160 : 16)x 10= 100.
Skala Rating yang direspon oleh guru terdiri atas 4 aspek.
Setiap aspek ST diberi skor 5, skor 4 untuk T, skor 3 untuk S, skor 2
untuk R, dan skor 1 untuk SR. Sehingga diperoleh skor minimum 1x4=
4 dan skor maksimum 5x4= 20. Kemudian kedua hasil tersebut
Kedua hasil yang sudah disetarakan tersebut dijumlah dan
dibagi dua sehingga skor minimum (20+25) / 2= 22,5 dan skor
maksimum (100+100) / 2= 100. Jarak sebaran (range hipotetik) yaitu
100-22,5=77,5. Dengan demikian setiap satuan deviasi standar bernilai
= 77,5 : 6 = 12 (sudah dibulatkan) dan mean teoritis diperoleh =
(22,5+100) : 2= 61,25.
G. HASIL UJI COBA
Uji coba skala regulasi emosi dan skala pola asuh orang tua dilakukan
di SD Kanisius Kotabaru dan SD Kanisius Notoyudan. Penyebaran skala ini
dilakukan pada tanggal 6 September 2011 di SD Kanisius Kotabaru dan pada
tanggal 8 September 2011 di SD Kanisius Notoyudan dengan jumlah skala
yang disebar sebanyak 64 skala untuk tiap skala. Dari 64 skala tersebut, 31
skala dikerjakan oleh orang tua atau pengasuh dari siswa kelas 1 SD Kanisius
Kotabaru, sedangkan 33 skala lainnya dikerjakan oleh orang tua atau pengasuh
dari siswa kelas 1 SD Kanisius Notoyudan. Dari 64 skala yang disebar, skala
yang tidak digugurkan berjumlah 42 skala dengan total 42 subjek. Sebanyak
22 skala terpaksa digugurkan atau tidak digunakan untuk dianalisis karena
terdapat bagian yang tidak diisi oleh subjek.
1. Validitas Isi
Validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
validitas isi, dimana diselidiki melalui rasional terhadap isi tes melalui