• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Penelitian

3. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan Independent Sample t-test, program SPSS versi 16.0 for windows. Hipotesis dalam penelitian ini adalah empati pemain teater lebih tinggi daripada yang bukan pemain teater.

Pengujian hipotesis berdasarkan nilai probabilitas : Jika p > 0,05 maka Ho diterima

Jika p < 0,05 maka Ho ditolak

Berdasarkan pengujian hipotesis diperoleh nilai t = 3,043 dengan probabilitas 0,003. Dikarenakan hipotesis yang digunakan satu arah, nilai p dibagi 2 sehingga nilai p menjadi 0,0015 (p < 0,05) yang berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa pemain teater memiliki empati yang lebih tinggi daripada yang bukan pemain teater.

Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis

Kelompok N Mean Mean

Difference T Sig. (1-tailed) Teater 60 79.9500 4.58333 3.043 .0015 Non Teater 60 75.3667

45

Selain itu, perhitungan Independent Sample t-test per aspek dan effect size memperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 13.

Hasil Uji-t Tiap Aspek

Aspek Kelompok Mean Mean

Difference T Sig. (1-tailed) Fantasy Teater 17.2333 1.000 1.899 .030 Non Teater 16.2333 Perspective taking Teater 18.6833 1.867 5.007 .000 Non Teater 16.8167 Empathic concern Teater 37.6667 1.450 1.855 .033 Non Teater 36.2167 Personal distress Teater 6.3667 0.267 1.384 .084 Non Teater 6.1000

Perhitungan Independent Sample t-test yang dilakukan terhadap aspek fantasy, perspective taking, empathic concern, dan personal distress memperoleh hasil yaitu pada aspek fantasy menghasilkan nilai t = 1.899 dengan p (1-tailed) 0.030 (p < 0,05) yang berarti pemain teater memiliki kecenderungan untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan karakter khayalan pada film-film, buku, maupun permainan yang lebih tinggi daripada yang bukan pemain teater. Selain itu, untuk uji beda aspek perspective taking menghasilkan nilai t = 5.007 dengan p (1-tailed) 0.000 (p < 0,05) yang berarti pemain teater memiliki kemampuan pengambilan sudut pandang orang lain secara spontan yang lebih tinggi daripada yang bukan pemain teater. Kemudian untuk uji beda aspek empathic concern menghasilkan nilai t = 1.855 dengan p (1-tailed) 0.033

46

(p < 0,05) yang berarti kelompok pemain teater memiliki orientasi individu terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan berupa perasaan simpati dan peduli yang lebih tinggi daripada kelompok bukan pemain teater. Sedangkan uji beda aspek personal distress menghasilkan nilai t = 1.384 dengan p (1-tailed) 0.0845 (p > 0,05) yang berarti kelompok pemain teater memiliki perasaan cemas dan gelisah ketika melihat orang lain mengalami kemalangan yang tidak lebih tinggi dari kelompok bukan pemain teater. Berdasarkan hasil uji beda tiap aspek diketahui bahwa perbedaan empati pada pemain teater dan bukan pemain teater terletak pada aspek fantasy, perspective taking, dan empathic concern dimana pemain teater memiliki nilai mean lebih tinggi daripada yang bukan pemain teater pada ketiga aspek tersebut.

D. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemain teater memiliki empati yang lebih tinggi daripada individu yang bukan pemain teater. Hasil uji-t pada keempat aspek empati memperlihatkan ada perbedaan antara pemain teater dan bukan pemain teater pada aspek fantasy, perspective taking, dan empatic concern.

Hasil penelitian tersebut bisa disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman spesifik yang dialami oleh mahasiswa melalui pelatihan teater. Lingkungan tempat mahasiswa teater menempuh pendidikan memberikan pengalaman-pengalaman untuk lebih mengembangkan kemampuan berempati

47 melalui latihan-latihan teater.

Kemampuan empati pemain teater dapat berkembang karena terjadi proses empati ketika berlatih teater. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh May (1967) bahwa empati mudah dikenali pada dunia seni peran karena terjadi identifikasi yang jelas dari para pemain teater dengan karakter fiktif yang diperankan. Pemain teater akan menyelidiki setiap detail kehidupan tokoh yang akan diperankannya dengan teliti. Pemain teater benar-benar mengkaji bagaimana kehidupan tokoh, bagaimana caranya berjalan, berdiri, tertawa, dan sebagainya. Pemain teater juga mempertanyakan tentang apa yang akan dilakukan jika berada pada situasi tokoh. Hal itu menyebabkan pemain teater dapat menempatkan dirinya dalam situasi tokoh, sehingga menjadi empatik kepada karakter fiktif sebagaimana kepada orang lain di kehidupan nyata (Baron & Byrne, 2005). Blatner (1996) juga menyatakan bahwa identifikasi yang dalam prakteknya mengambil peran orang lain dapat digunakan untuk membangun suatu peningkatan kapasitas untuk berempati. Individu yang mengalami suatu pengalaman dan berakting akan memungkinkan untuk meningkatkan empati (Smeijsters dan Cleven, 2006). Blatner (2000) juga menambahkan bahwa empati dapat berkembang sebagai hasil dari melakukan banyak psikodrama. Hal ini dapat terlihat ketika indiidu terlibat dalam psikodrama dan individu tersebut dapat membalikkan suatu peran. Seorang sutradara mungkin dapat mengatakan bahwa setiap kali individu menempatkan diri ke dalam peran orang lain, individu tersebut sedang berlatih suatu keterampilan.

48

Barnes dan Thagard (1997) juga menjelaskan bahwa individu dapat berempati kepada karakter dalam suatu karya sastra seperti dengan individu nyata. Individu saat membaca novel akan merasa menjadi tokoh utama dalam novel itu dengan kemampuan membuat sistem pemetaan antara situasi tokoh dengan kehidupannya. Individu akan melihat pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya yang mirip dengan apa yang dialami tokoh dalam novel. Hal itu menyebabkan pemain teater akan mudah memahami dan merasakan pengalaman emosional yang dialami tokoh.

Menurut Kreitler dan Kreitler (dalam Strongman, 2003), pemain teater juga memiliki kecenderungan untuk meniru gerakan orang lain, sehingga pemain teater mengalami pengalaman emosional yang serupa dengan orang lain. Pemain teater yang meniru perilaku orang yang diamati membuatnya dapat memposisikan diri menjadi orang lain yang diamatinya itu. Pengamatan ini dapat membantu pemain teater dalam membentuk watak tokoh yang diperankan. Pada saat pemain teater selalu melakukan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, pemain teater dapat memusatkan seluruh perhatiannya pada segala yang menarik perhatiannya. Hal itu menyebabkan pemain teater dapat mengembangkan kepekaannya dan berorientasi terhadap orang yang diamatinya. Pemain teater yang berorientasi kepada orang lain akan lebih mudah memahami sudut pandang dan perasaan orang lain.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan latihan teater selalu melibatkan proses perspective taking dalam membentuk empatinya terhadap tokoh yang diperankan. Pada hasil penelitian ini pun

49

menunjukkan aspek perspective taking menunjukkan nilai t yang lebih besar dibandingkan aspek-aspek yang lain.

Hal itu disebabkan karena empati yang terjadi pada seni peran tergantung kognisi dan imajinasi (Kreitler dan Kreitler dalam Strongman, 2003). Perspective taking merupakan komponen kognitif pada empati yang berfokus pada proses untuk memahami sudut pandang orang lain dengan tepat, sehingga individu dapat membedakan emosi orang lain dan menerima sudut pandang mereka. Davis (dalam Hakansson, 2003) menunjukkan bahwa proses empati itu terjadi ketika mengambil sudut pandang orang lain atau secara tidak sadar meniru ekspresi wajah orang lain. Aspek fantasy juga merupakan komponen kognitif yang membentuk empati ketika pemain teater menggunakan imajinasinya untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan tokoh. Imajinasi ini digunakan pada saat pemain teater mengingat kembali kenangan-kenangan atau pengalaman pribadinya yang mirip dengan pengalaman tokoh, kemudian pemain teater menciptakan kembali gambaran dari kenangan itu untuk membantu menghayati perannya.

Selain perspective taking dan fantasy, aspek empathic concern juga menunjukkan bahwa mahasiswa teater memiliki nilai mean lebih tinggi daripada mahasiswa non teater. Davis menyatakan bahwa respon afektif pada seorang pengamat, pemahaman kognitif, dan kebiasaan menolong dihasilkan dari kemampuan perspective taking (dalam Hakansson, 2003). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa komponen kognitif seperti perspective taking tersebut dapat menimbulkan respon afektif kepada orang lain.

50

Penelitian Davis (1980) juga menunjukkan adanya hubungan positif antara perspective taking dan empathic concern, dimana semakin besar kemampuan perspective taking seseorang maka semakin besar pula kemampuan empathic concern kepada orang lain. Davis (1983) menyatakan empati sebagai suatu reaksi terhadap pengalaman orang lain yang telah diamati. Pada latihan teater, pemain teater berlatih mengamati orang lain dan lingkungan sekitarnya secara terus menerus. Pengamatan yang dilakukan itu dapat meningkatkan kemampuan perspective taking kepada orang lain, sehingga berdampak pula pada meningkatnya empathic concern. Shapiro (1997) menunjukkan makna empati ketika seseorang mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain, kemudian menyadari apa yang dirasakan orang lain dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi orang tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa respon afektif seperti empathic concern dapat terjadi ketika seseorang telah memahami keadaan orang lain.

Respon afektif yang lain adalah personal distress. Berbeda dengan empathic concern, hasil penelitian pada aspek personal distress tidak memperlihatkan perbedaan antara mahasiswa teater dan non teater. Personal distress merupakan perasaan cemas dan gelisah ketika berada dalam situasi yang tidak nyaman. Hal ini bisa disebabkan karena latihan teater tidak meningkatkan personal distress seseorang. Pada latihan teater, pemain teater justru berlatih berbagai latihan seperti konsentrasi dan relaksasi agar pemain teater tetap rileks, tenang dan fokus. Stanislavski (1980) menunjukkan suatu cara agar pemain teater mendapatkan rasa tenang dengan memfokuskan diri

51

pada lingkaran. Pengaruh latihan tersebut nampaknya membuat pemain teater tidak mudah merasa cemas sehingga tidak meningkatkan kecenderungan personal distress.

Aspek personal distress berbeda dengan aspek empathic concern. Empathic concern menunjukkan perasaan-perasaan hangat dan simpati yang berkaitan dengan pengukuran kepekaan yang berfokus pada orang lain, sedangkan pengukuran kepekaan yang berfokus pada diri sendiri tidak harus berkaitan dengan empathic concern. Aspek personal distress berhubungan negatif dengan pengukuran fungsi sosial. Hal tersebut dikarenakan orang yang merasakan kecemasan dan ketidaknyamanan emosional pada situasi sosial akan lebih susah untuk berhubungan sosial. Personal distress yang tinggi akan mempunyai hubungan sosial yang rendah (Davis, 1983).

Implikasi praktis dari temuan penelitian ini adalah adanya proses psikologis dalam pelatihan teater yang dapat meningkatkan kemampuan empati individu. Atas dasar itu, kegiatan teater dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran di perguruan tinggi maupun sekolah untuk meningkatkan kemampuan empati individu.

Implikasi teoritis dari penelitian ini menunjukkan bahwa empati dapat dilatihkan dan dikembangkan melalui latihan teater, terutama pada aspek perspective taking, fantasy, dan empathic concern.

52 BAB V

Dokumen terkait