• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARTU ATM

3.3. Metode Analisis Data

3.3.4. Uji Kebaikan Model Uji Autokorelasi

Dalam penerapan model regresi linier salah satu asumsi yang digunakan adalah bahwa nilai u antara satu pengamatan bersifat bebas (tidak tergantung) pada nilai u pengamatan lainnya. Hal ini berimplikasi kovarians u dua pengamatan sama dengan nol. Jika asumsi ini tidak terpenuhi, maka dikatakan terjadi autokorelasi atau korelasi serial. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi, dalam penelitian ini menggunakan Breusch-godfrey Serial Correlation LM test. Adapun hipotesis dalam uji ini adalah (i) H0 : tidak terdapat autokorelasi, (ii) H1 : terdapat autokorelasi. Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probability Obs*R-squared < α.

Uji Heteroskedastisitas

Asumsi yang dipakai dalam penerapan model regresi linier adalah bahwa varians dari setiap gangguan adalah konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi tersebut tidak tercapai. Pelanggaran pada asumsi ini akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien.

Untuk mendeteksi heteroskedastisitas pada software E-views dapat dilakukan dengan uji White Heteroscedasticity atau Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) test. Hipotesis yang diuji adalah (i) H0 : tidak terdapat

heteroskedastisitas, (ii) H1 : terdapat heteroskedastisitas. Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probability Obs*R-squared < α.

Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi secara normal. Hipotesis yang diuji adalah (i) H0 : error term terdistribusi secara normal, (ii) H1 : error term tidak terdistribusi secara normal. Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probability Obs*R-squared < α.

pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang (UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah. Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun 1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu (Bank Indonesia, 2006).

Sementara itu, dalam bidang pembayaran non tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an, pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai juga semakin

meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI) dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan. Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement (RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System (S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia. Penggunaan sistem ini memungkinkan cara-cara tradisional dalam transfer dana (misalnya penggunaan piranti berbasis warkat untuk pembayaran berbagai tagihan) yang selama ini dipergunakan, mulai beralih kepada transaksi berbasis elektronik yang lebih maju. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya penggunaan pembayaran melalui EFTPOS pada berbagai pusat perbelanjaan dan gerai ritel, serta makin maraknya penggunaan fasilitas ATM dibandingkan dengan penarikan secara tunai pada counter bank. Transfer dana bernilai kecil (low value payments) pada umumnya dilakukan melalui lembaga kliring yang sebagian besar dimiliki dan dioperasikan oleh Bank Indonesia dengan melakukan setelmen antar rekening di BI. Sedangkan transaksi bernilai besar diwajibkan untuk melalui sistem BI-RTGS.

Indonesia menyambut baik kehadiran sistem pembayaran yang memberikan kemudahan transaksi ini. Hal ini terlihat dari makin banyaknya fasilitas sistem pembayaran elektronik yang dikeluarkan bank. Keseriusan investasi pada produk

teknologi baru ini terlihat dari besarnya modal yang disisihkan bank untuk berinvestasi. BRI berani mengeluarkan dananya sebesar 100 juta US$ untuk berinvestasi di bidang teknologi informasi yang akan dihabiskan untuk jangka waktu tiga tahun (2001-2003). Sementara itu Bank Mandiri pun menginvestasikan dananya sebesar 200 juta US$. Keseriusan pihak bank mengeluarkan dana yang tidak sedikit memang bukanlah usaha yang sia-sia. Margin keuntungan bank yang besar makin sulit diraih pada era sekarang ini sehingga pendapatan bank harus diraih melalui peningkatan volume transaksi perbankan. Satu bank lagi yang juga berupaya keras mengembangkan pelayanan teknologinya adalah Bank Bukopin, yang juga mempunyai anggaran investasi TI sebesar Rp 20 milyar per tahunnya. Hal ini didorong oleh gejala semakin berkurangnya nasabah yang mengunjungi bank sehingga bank harus menyediakan fasilitas penggantinya.

Dunia perbankan adalah sebagai pencipta inovasi teknologi baru dalam sistem pembayaran. Tidak kalah dengan perbankan, dunia usaha yang melibatkan transaksi nominal besar juga memilih untuk terus mengembangkan transaksi non tunai. Selain mudah, cepat, dan efisien, faktor keamanan dan kepraktisan juga menjadi pertimbangan. Bisnis mediasi perdagangan antar perusahaan melalui jaringan internet juga terus meningkat nilai transaksinya di Indonesia. Jenis bisnis yang dikenal dengan nama e-marketplace atau e-commerce B2B ini sudah 99 persen berjalan di Amerika dengan 1000 e-marketplace yang ada. Sementara di Asia sudah ada sekitar 750 e-marketplace.

Tabel 4.1. Nilai Transaksi e-commerce B2B Indonesia 1998-2005

Tahun Nilai Transaksi (dalam US$ juta)

1998 3,63 1999 15,61 2000 110 2001 506,08 2002 1.899,53 2003 3.851,72 2004 10.283,62 2005 17.630,21 Sumber: Gartner Research, April 2001 dalam warta ekonomi, April 2001

Sebenarnya e-commerce B2B ini efektif untuk perusahaan berorientasi ekspor. Namun sayangnya, perkembangan jenis bisnis ini di Indonesia masih mengalami kendala karena beberapa hal. Kondisi ketidakstabilan masalah sosial dan politik dalam negeri membuat para pengusaha perlu berpikir ulang untuk memulai jenis bisnis ini, sementara itu pola bisnis tradisional yang melibatkan hubungan antar personal secara langsung masih sangat diminati masyarakat, dan faktor terakhir adalah rendahnya pertumbuhan jaringan internet di Indonesia. Nilai transaksi konvensional masih lima kali lebih besar daripada transaksi online. Penerimaan transaksi konvensional perusahaan Makro bisa mencapai milyaran rupiah per tahun, namun secara online hanya mencapai Rp 400-500 juta per tahun.