• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tailing

Pasca tambang adalah masa setelah berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi. Material buangan dari proses pengolahan bahan tambang disebut tailing

(Departemen Pertambangan dan Energi 1995).

Jaringan Advokasi Tambang (2005) mengemukakan bahwa limbah tailing

berasal dari batu-batuan dalam tanah yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental oleh pabrik pemisah mineral dan bebatuan. Proses itu dikenal dengan sebutan proses penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas, tembaga, timah dan lainnya diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan yang disebut processing plant (bagian pengolahan), ditempat itu proses penggerusan dilakukan. Setelah bebatuan hancur menyerupai bubur biasanya dimasukkan bahan kimia tertentu seperti sianida atau merkuri agar mineral yang dicari mudah terpisah. Mineral yang berhasil diperoleh biasanya berkisar antara 2 - 5% dari total batuan yang dihancurkan. Sisanya sekitar 95-98% menjadi tailing dan dibuang ke tempat pembuangan.

Lasut (2001) menyatakan bahwa bentuk tailing dapat berwujud gas, cair dan padat. Secara fisik gas buangan mengandung partikel-partikel debu dan secara kimia merupakan larutan berbagai jenis gas tergantung dari jenis mineral bijih yang diolah. Limbah cair mengandung bahan-bahan kimia beracun dari logam-logam berat dan sianida yang relatif masih tinggi, sedangkan limbah padat mempunyai komposisi kimia utama yang sesuai dengan batuan induknya. Secara fisik komposisi tailing terdiri atas 50% fraksi pasir halus dengan diameter 0.075 – 0,4 mm dan sisanya fraksi lempung dengan diameter 0.075 mm (Jaringan Advokasi Tambang 2005). Karakteristik tanah limbah tailing Pongkor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik tanah limbah tailing Pongkor

No. Sifat Tanah Tailinga Kriteriab

1 Ph H2O (pH 1:1) 7.10 Basa

2 KTK (me/100g) 3.03 Sangat Rendah

3 Kejenuhan Basa (%) 100 Tinggi

4 C-org (%) 0.39 Sangat Rendah

5 N-Total 0.05 Sangat Rendah

6 P tersedia (P2O5) 11.7 Sedang

7 Ca-dd (me/100gr) 30.75 Tinggi

8 Mg-dd (me/100gr) 0.38 Rendah

9 K-dd (me/100 gr) 0.20 Rendah

10 Na-dd (me/100 gr) 0.60 Sedang

11 Fe (ppm) 0.68 Rendah

12 Cu (ppm) 0.05 N HCl 0.32 Tinggi

13 Zn (ppm) 0.05 N HCl 0.52 Rendah

14 Pb (me/100gr) 0.05 N HCl (terlarut) 4.80 Tinggi

15 Pb (me/100 gr) N HCl 25% (total) 172.0 Tinggi

16 Tekstur Pasir (%) 53.35 -

17 Tekstur debu (%) 41.22 -

18 Tekstur liat (%) 5.43 -

Keterangan : aSetyaningsih, 2007 bPusat Penelitian Tanah, 1983 dd = dapat dipertukarkan

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Mikoriza adalah suatu struktur khas pada sistem perakaran yang terbentuk sebagai manifestasi adanya simbiosis mutualistis antara fungi (myces) dan perakaran (rhiza) dari tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan struktur dan cara infeksinya pada sistem perakaran inang maka mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah endomikoriza tipe arbuskula. Endomikoriza dapat dibedakan dengan ektomikoriza dengan memperlihatkan karakteristik (1) sistem perakaran yang kena infeksi tidak membesar, (2) funginya membentuk struktur

6

lapisan hifa tipis dan tidak merata pada permukaan akar, (3) hifa menyerang ke dalam individu sampai jaringan korteks, (4) pada umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut arbuskula dan struktur khusus berbentuk oval yang disebut dengan vesikel (Smith dan Read 1997).

Menurut Sieverding (1991) fungi mikoriza arbuskula yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Fosfat adalah unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza (Bolan 1991), selain itu N (NH4+ atau NO3-), K dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding 1991) serta unsur mikro seperti : Cu, Zn, Mn, B dan Mo (Smith dan Read 1997). Kemampuan fungi mikoriza arbuskula dalam memperbaiki status hara tanaman tersebut pada saat ini dapat dijadikan alternatif strategi untuk menggantikan sebagian kebutuhan pupuk yang diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah. Sebagai contoh De La Cruz

et al. (1988) menunjukkan bahwa fungi mikoriza arbuskula dapat mengefisiensikan kira-kira 50 % kebutuhan fosfat, 40 % kebutuhan nitrogen dan 25 % kebutuhan kalium pada tanaman bonu (Thicospermum burretii), albizia (Paraserianthes falcataria) dan acasia (Acacia mangium). Ketiga tanaman tersebut telah terbukti dapat beradaptasi dan tumbuh pada lahan-lahan pasca penambangan nikel dan setelah diinokulasi dengan FMA pertumbuhannya dapat meningkat 2 – 3 kali lipat dibandingkan dengan kontrol, dan hal ini hampir setara dengan pemberian pupuk urea 130 kg/ha, TSP 180 kg/ha dan KCl 100 kg/ha (Setiadi 1993).

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi penyerapan hara oleh fungi mikoriza arbuskula (1) konsentrasi P larutan tanah dimana konsentrasi P larutan yang tinggi karena tingkat ketersediaan P tanah yang memang sudah tinggi atau pemberian pupuk P dalam dosis yang cukup tinggi sebelum terjadi kolonisasi dapat menghambat perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa fungi mikoriza arbuskula, (2) Jenis tanaman dimana kebanyakan tanaman mikotropik dapat dikolonisasi oleh kebanyakan jenis fungi mikoriza arbuskula (Sieverding 1991).

Tingkat infeksi FMA pada padang penggembalaan alam berkisar 67-76 % dari total panjang akar (Cooperband et al. 1994). Pertumbuhan tanaman dan

penyerapan P pada Paspalum conjugatum berpengaruh nyata karena adanya infeksi FMA. Biomassa tajuk dan akar, kandungan P pada Paspalumconjugatum

yang diinfeksi oleh FMA lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak diinfeksi oleh FMA. Volume akar 30 % lebih tinggi pada tanaman yang diinfeksi oleh FMA, akan tetapi rasio akar / tajuk tidak berbeda nyata (Cooperband et al. 1994). Kolonisasi FMA pada akar tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan penyerapan mineral nutrisi, khususnya untuk tanaman yang tumbuh pada tanah yang kurang subur, stres mineral dan kondisi tanah yang rusak (Abbot et al. 1992).

Mycofer® merupakan salah satu pupuk hayati yang telah dihasillkan oleh Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi dengan mengutamakan kekuatan mikroba fungi mikoriza arbuskula (FMA). Mycofer terdiri dari empat jenis spora yang berbeda asal dan spesiesnya. Mereka adalah Glomus manihotis (Indo-1), Glomus etunicatum (NPI- 126), Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata (Indo-2). Acaulospora

dilaporkan lebih luas pada tanah asam dan Gigaspora sp lebih umum ada pada tanah asam dibandingkan Glomus sp. Spora dari FMA lebih toleran terhadap kondisi asam dan konsentrasi Al yang tinggi . Acaulospora sp, Gigaspora sp dan

Glomus manihotis umumnya toleran (Clark dan Zeto 1997).

Penelitian dengan penggunaan mycofer telah dimulai sejak awal 1990, dari beberapa hasil penelitian pada beberapa jenis tanaman dan lingkungan yang kurang menguntungkan. Dari hasil penelitian tersebut telah diketahui bahwa mycofer mampu membantu tanaman dalam menyediakan unsur hara. Bahkan dapat mengefisienkan pemupukan hingga 50%, meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stress lingkungan (kekeringan, salinitas, logam berat, dan penyakit akar) bahkan mampu menghasilkan hormon pertumbuhan (Sasli 1999; Setiadi 2000; Delvian 2003; Karti 2003).

8

Mikroorganisme Pelarut Fosfat

Mikroorganisme yang sering dilaporkan dapat melarutkan fosfat adalah anggota-anggota genus Pseudomonas, Bacillus, Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Bacterium, Citrobacter dan Enterobacter (Rao 1994 ; Buntan 1992). Fosfat relatif tidak mudah tercuci seperti N, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Fe-P, Al-P atau P

Occluded. Jasad renik pelarut P dalam aktifitasnya akan menghasilkan asam organik di antaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat dan glioksilat, malat, fumarat, tartarat dan ketobutirat (Karti 2003). Pada tanah alkalin meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH yang tajam, sehingga mengakibatkan pelarutan Ca-P. Penurunan pH juga dapat disebabkan terbebaskannya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotropik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas

(Alexander 1978). Pada tanah masam mekanisme pelarutan AlPO4 yaitu melalui sekresi proton bersamaan dengan asimilasi NH4+ menjelaskan pelarutan fosfat oleh mikroba tanpa menghasilkan asam organik (Ilmer et al. 1995).

Menurut Rao (1982) proses utama terhadap pelarutan senyawa fosfat sukar larut adalah produksi asam organik oleh mikroorganisme seperti asam format, asetat, propionat, laktat, glikolat, fumarat dan asam suksinat. Asam organik ini menyebabkan pH rendah, dan beberapa hidroksi berinteraksi dengan kalsium, besi kemudian akan melarutkan fosfat. Asam organik seperti asam sitrat dan asam sulfat berperan dalam meningkatkan kelarutan fosfat dalam batuan fosfat Beberapa bakteri pelarut fosfat sangat efektif melarutkan kalsium fosfat tanpa menghasilkan asam organik (Ilmer dan Schinner 1992). Kecepatan pelepasan P dari bentuk tidak tersedia dapat disebabkan adanya pelepasan gas H2, CO2, H2S, dan CH2 sebagai akibat adanya proses reduksi dan dekomposisi bahan organik (Sabiham et al. 1983).

Asam-asam organik mampu meningkatkan P tersedia melalui beberapa mekanisme diantaranya (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif (Nagarajah et al. 1970), (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks

logam-organik (Earl et al. 1979), (3) modifikasi muatan permukaan tapak serapan oleh ligan organik (Nagarajah et al. 1970). Bentuk fosfor terlarut dilepaskan sebagai residu organik dan humus hasil dekomposisi. Ion fosfat anorganik yang dihasilkan dapat diserap tanaman atau dapat pula difiksasi menjadi bentuk tidak tersedia.

Inokulasi bakteri pelarut fosfat pada tanah Ultisol Gajrug nyata meningkatkan P terlarut dari Fe-P dan fraksi P-occluded. Pseudomonas aeruginosa 2Hsl dan Paeruginosa 2Hp2 dapat mentransformasikan P-occluded, Al-P atau Ca-P. Waktu inkubasi nyata meningkatkan P terlarut dan menurunkan Al-P, Fe-P, P-occluded dan Ca-P (Hifnalisa et al. 1999). Bakteri dan jamur pelarut fosfat yang diisolasi dari lahan gambut Kalimantan Tengah dapat melarutkan AlPO4 dan FePO4, akan tetapi FePO4 lebih sulit dilarutkan dibandingkan AlPO4. Kemampuan maksimum dari bakteri melarutkan AlPO4 adalah 41.2 ppm P (isolat No.07.1/TNM) dan FePO4 adalah 14.4 ppm P (isolat No. 13.2/TNH/1), sedangkan kemampuan maksimum dari jamur untuk melarutkan AlPO4 dan FePO4 adalah 29.9 ppm dan 7.5 ppm (Anas et al. 2002). Hasil penelitian Premono, Widyastuti dan Anas (1991) menunjukkan mikroorganisme pelarut fosfat terutama jamur dan bakteri dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman jagung yanag tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Mikroorganisme pelarut fosfat Enterobacter gergoviae dan Pseudomonas putida mampu melarutkan P pada tanaman jagung dan dapat meningkatkan serapan P relatif dengan kombinasi perlakuan kompos 40 g/pot (Buntan et al. 1993).

Beberapa mikroorganisme pelarut fosfat yang dikombinasikan dengan inokulasi mikoriza ternyata lebih efektif dibandingkan dengan inokulasi tunggal. Hal ini disebabkan oleh semakin intensifnya permukaan serapan pada daerah penambangan P yang telah dilarutkan oleh jasad renik pelarut fosfat (Kucey 1987; Azcon et al. 1976). Mikroorganisme pelarut fosfat digunakan baik sebagai inokulan tunggal maupun dikombinasikan dengan Azotobacter, Azospirillum

10

Mikroorganisme Penambat Nitrogen

Bakteri penambat nitrogen dibagi menjadi dua yaitu bakteri yang dapat membentuk bintil akar, contohnya adalah : Rhizobium, Bradyrhizobium dan bakteri yang tidak membentuk bintil, contohnya adalah Azotobacter, Azospirillum.

Rhizobium termasuk divisi Protophyta, kelas Schizomycetes, order Eubacteriales, famili Rhizobiaceae dan genus Rhizobium. Morfologi koloni rhizobium pada media YMA (Yeast Media Agar) memiliki diameter 2-4 μm, dan mempunyai kecepatan tumbuh 3-5 hari, sedangkan Bradyrhizobium adalah genus bakteri yang berdiameter tidak melebihi 1 μm dan mempunyai kecepatan pertumbuhan lebih lambat pada agar mannitol ekstrak khamir dibandingkan dengan Rhizobium yaitu 5-7 hari (Jordan 1984). Menurut Setiadi (1989) ciri khas dari rhizobia adalah kemampuannya membentuk bintil akar pada akar leguminosa, rhizobia mampu mengubah N2 dari atmosfir menjadi amonia (NH3), sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

Nitrogen tersedia berlimpah di udara dalam bentuk gas N2. Dalam bentuk ini tanaman tidak dapat memanfaatkannya, namun dengan adanya kerjasama dengan bakteri tanah, N2 gas tersebut dapat diubah menjadi bentuk amonium sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen oleh tanaman yang dikenal sebagai proses fiksasi secara simbiotik (Laegreid et al. 1999). Fiksasi N2 secara biologi menyumbang kira-kira 70% dari semua nitrogen yang di fiksasi di bumi, karena gabungan rhizobium dengan tanaman leguminosa (kira-kira 50%) dan 90% kebutuhan nitrogen tanaman dapat dihasilkan oleh gabungan ini (Arshat dan Franenberger 1993).

Suhu mempengaruhi pertumbuhan tanaman, pembentukan bintil akar dan penambatan nitrogen. Pada suhu tinggi, penambatan nitrogen akan terganggu karena berkurangnya suplai karbohidrat ke bintil akar akibat meningkatnya respirasi. Suhu optimum untuk pembentukan bintil akar adalah 24°C (Setiadi 1989), suhu 15-25°C untuk kondisi iklim sedang dan daerah tropis 25-35°C (Spret 1985).

Ketersediaan air tanah juga mempengaruhi pembentukan bintil akar. Menurut Setiadi (1992) leguminosa pada umumnya tidak toleran tehadap lingkungan yang amat kering atau tergenang air. Leguminosa yang dapat

beradaptasi pada lingkungan kering hanya dapat membentuk bintil pada lapisan yang lebih dalam dan lembab, sedangkan leguminosa yang dapat beradaptasi pada habitat air membentuk bintil akar dekat permukaan tanah dan leguminosa yang tidak dapat beradaptasi akan menyebabkan bintil akar berguguran dan bintil akar tidak berfungsi.

Bahan Organik

Bahan organik tanah adalah bahan penyusun tanah yang dihasilkan dari hancuran atau dekomposisi bahan organik seperti sisa-sisa tanaman, hewan, dsb. Bahan organik tanah dapat berupa bahan organik kasar dan halus atau humus (Stevenson 1994). Bahan organik akan mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah, pengaruhnya relatif besar dibanding dengan jumlahnya yang sedikit dalam tanah. Sumber asli bahan organik tanah adalah jaringan tumbuhan, kemudian hewan sebagai sumber bahan organik kedua. Senyawa dalam jaringan tumbuhan dapat digolongkan menurut mudahnya didekomposisi yaitu (1) gula, pati dan protein sederhana, (2) protein kasar, (3) hemisellulosa, (4) sellulosa, (5) lignin, lemak lilin (Buckman dan Brady 1982). Selama proses dekomposisi berlangsung terjadi tiga proses yang pararel yaitu (1) degradasi sisa tumbuhan dan hewan oleh enzim-enzim mikroba, (2) peningkatan biomassa mikroorganisme yang terdiri dari polisakarida dan protein, (3) akumulasi atau pembebasan hasil akhir (Rao 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik di dalam tanah adalah kelembaban, oksigen, pH tanah, unsur hara, suhu, dan liat. Hasil dekomposisi bahan organik adalah karbon (CO2, CO3=, HCO3-, CH4), nitrogen (NH4+, NO2-, NO3-, dan gas nitrogen), sulfur (S, H2S, SO3-, SO4=, dan Ca2), fosfor (H2PO4-, HPO4=), dan lain-lain seperti H2O, O2, H2, H+ , OH-, K+, Ca2+, Mg2+ (Buckman dan Brady 1982). Bahan organik mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi dan dapat membentuk komplek yang stabil dengan logam pada tanah yang terkontaminasi dan dapat melepaskan secara perlahan sebagai sumber pupuk untuk tanaman (Huang dan Schnifzer 1986). Penambahan bahan organik ke dalam tanah berpengaruh positif terhadap mikroorganisme, karena bahan organik merupakan sumber energi dan karbon bagi mikroorganisme tanah heterotropik.

12

Menurut Gestel et al. (1996) penambahan bahan organik dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah karena sumber energi disediakan lebih banyak dan kondisi tanah dibuat menjadi lebih baik untuk aktifitas dan perkembangan mikroba tanah.

Dua komponen bahan organik yang mempunyai peranan dalam proses agregasi dan stabilitas agregat tanah adalah polisakarida dan senyawa humik, yang berfungsi sebagai pengikat agregat tanah, asam humat mampu membentuk agregat lebih stabil dibandingkan dengan polisakarida (Stevenson 1994). Polisakarida dalam tanah dapat berasal dari dekomposisi karbohidrat bahan organik tanah dan eksudat yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Menurut Tisdale et al. (1990) mengemukakan bahwa asam humat hasil dekomposisi bahan organik berperan dalam meningkatkan ketersediaan P tanah melalui (1) pembentukan senyawa komplek fosfohumat yang lebih mudah diserap tanaman, (2) pertukaran anion fosfat oleh anion organik, (3) terbungkusnya partikel sesquioksida oleh humus, sehingga mengurangi kemampuan memfiksasi fosfat. Selain itu bahan organik juga memiliki pengaruh terhadap sifat fisik tanah seperti kapasitas menahan air, suhu dan sifat kimia seperti kapasitas tukar kation dan pH.

Berdasarkan pada sifat kelarutannya fraksi bahan organik terdiri dari (1) asam humat, larut dalam alkali akan tetapi tidak larut dalam asam, (2) asam fulvat, larut dalam alkali dan asam, (3) hymatomelanik, bagian asam humat yang larut dalam alkohol, (4) asam humin, tidak larut dalam alkali. Asam humat dapat dibagi menjadi dua grup berdasarkan kelarutan dengan elektrolit pada keadaan alkalin (1) asam humat coklat, tidak menggumpal oleh elektrolit dan merupakan sifat asam humat tanah histosol dan alfisol, (2) asam humat abu-abu, mudah menggumpal dan merupakan sifat asam humat tanah altoll dan rendoll (Stevenson 1994). Asam humat ditandai dari warna yang gelap dan merupakan koloid organic yang mempunyai berat molekul tinggi (Stevenson 1994).

Bahan humik adalah polipenol, poliquinon. Bahan humik dibentuk dari dekomposisi, sintesis dan polimerasi, berbentuk amorf, berwarna gelap dan mempunyai bobot molekul tinggi (Brady 1990). Empat teori pembentukan bahan humik adalah sebagai berikut.

1. Konsep kimia humus lama mengemukakan bahwa humus dibentuk dari gula (reaksi menurut konsep ini pengurangan gula dan asam amino, dibentuk sebagai produk samping dari metabolisma mikroba, kemudian mengalami polimerasi non enzimatik membentuk polimer nitrogenous coklat yang dihasilkan sewaktu dehidrasi.

2. Cara ke dua sama dengan cara 3, bedanya pada polifenol dibentuk oleh mikroorganisme dari sumber C non lignin (misal : selulosa). Polifenol kemudian mengalami oksidasi enzimatik membentuk quinon dan diubah menjadi bahan humik.

3. Cara ke tiga lignin memegang peranan yang sangat penting dalam mensintesis humus, tetapi dengan cara yang berbeda. Dalam keadaan ini fenolik aldehida dan asam-asam dilepaskan dari lignin sewaktu penghancuran secara mikrobiologi dan terjadi konversi enzimatik menjadi quinon, kemudian mempolimer senyawa amino untuk membentuk makromolekul humik.

4. Cara ke empat, menurut teori ini lignin tidak sempurna diuraikan oleh mikroorganisme dan hasilnya menjadi bagian dari humus tanah. Modifikasi lignin terjadi kehilangan dari grup methoxyl (OCH3) dengan generasi hydroxyphenols dan oksidasi alifatik rantai samping membentuk grup COOH. Bahan-bahan termodifikasi hingga menghasilkan asam humat dan kemudian asam fulvat. Asumsi bahwa bahan humik berada dalam suatu sistem dari polimer dengan hasil pertama asam humat, kemudian mengalami oksidasi dan fragmentasi menghasilkan asam-asam fulvat.

Leguminosa Pakan

Legum Centrosema pubescens Benth (Sentro) berasal dari Amerika Selatan. Spesies legum ini tumbuh baik di daerah-daerah tropik dengan curah hujan sedang sampai tinggi (Reksohadiprodjo 1985). Sentro berdaun lebat dan batangnya tidak berkayu serta tahan keadaan kerin dan bila pertanaman telah berhasil maka akan tahan hidup dibawah naungan (Reksohadiprodjo 1981). Legum Calopogonium mucunoides Benth tumbuh baik pada daerah-daerah dengan curah hujan tahunan 1250 mm tetapi tidak tahan dingin (Hanum dan Maesen 1997). Termasuk legum pioneer karena dapat segera tumbuh di tanah

14

yang penuh dengan herba dan semak (Jayadi 1991). Pueraria phaseoloides Benth (puero) berasal dari India Timur, berumur panjang, perakarannya dalam dan bercabag-cabang, tahan pada musim kemarau yang tidak terlalu panjang (Reksohadiprodjo 1981). Puero toleran terhadap tanah masam dan miskin hara, sangat disukai ternak, cukup efektif mengikat N udara dan sangat responsif terhadap pemupukan Fosfat (Mannetje dan Jones 1992).

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan pasca penambangan emas PT. Aneka Tambang Unit Bisnis Penambangan Emas (UBPE) Pongkor, Kabupaten Bogor dan laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Departemen Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan April – September 2008.

Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga jenis leguminosa yaitu Centrosema pubescens Benth (CP), Calopogonium mucunoides Benth (CM) dan Pueraria phaseoloides Benth (PP) yang diberikan secara konsorsium. Bahan lainnya adalah mycofer, Phosphate Solubilizing Bacteria (PSB), Rhizobium dan asam humat dengan pengenceran 1:30, kompos (kotoran ayam dan kotoran sapi) jerami padi, perekat serta zat kimia untuk analisa di laboratorium.

Peralatan yang digunakan adalah alat pengolah tanah, alat pengamatan dan pemanenan dan alat-alat Laboratorium untuk analisa kadar Fosfat, Nitrogen dan Timbal (Pb).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimen menggunakan rancangan acak kelompok berpola faktorial 4x3 dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah formulasi pupuk hayati (P) yang terdiri dari empat taraf yaitu :

P1 = Kontrol (tanpa pupuk hayati) P2 = Mycofer ( 5 gr/m2 tanah)

P3 = Mycofer (5 gr/m2 tanah) + Rhizobium ( 1 ml/m2 tanah) P4 = Mycofer (5 gr/m2 tanah) + Rhizobium (1 ml/m2 tanah + PSB (1 ml/m2 tanah)

16

Faktor kedua merupakan teknologi revegetasi (T) terdiri dari :

T1 = Teknologi Standar Antam (TSA = Pupuk Kandang 3 kg/m2) T2 = Asam Humat (8 ml/m2) + Arang Sekam ( 0.5 kg/m2) T3 = Hidroseeding ( Asam Humat + Mulsa + Kompos + perekat)

Untuk teknologi hydroseeding digunakan asam humat sebanyak 8 ml/m2 ditambah dengan mulsa 0,2 kg/m2 , kompos ayam dan kompos sapi masing – masing 2 kg/m2 serta perekat sebanyak 1 ml/m2.

Prosedur Penelitian

1. Persiapan Inokulum

Inokulum Rhizobium dan PSB koleksi Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB diremajakan dengan cara menumbuhkannya pada media cair sebanyak 1000 ml selanjutnya dishaker selama satu malam untuk mendapatkan jumlah populasi yang diinginkan. Inokulum mikoriza yang digunakan adalah inokulan mycofer produksi laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB yang berbentuk granular dan siap diinokulasikan.

2. Persiapan Lahan

Lahan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan tempat pembuangan

tailing sedangkan tanah yang digunakan merupakan campuran tailing dan tanah timbunan. Lahan dibersihkan dan dilakukan pengolahan tanah menggunakan eskavator dimana tanah dibalik dan dicampurkan sehingga tanah tailing dan tanah timbunan tercampur. Seluruh petak percobaan (plot) kemudian diberi pupuk dasar berupa KCL dan SP 36 masing-masingnya sebanyak 20 gr/m2 dengan cara disebarkan secara merata. Setelah 14 hari masa tanam, seluruh plot diberikan pupuk urea sebanyak 5 gr/m2. Lahan dibagi menjadi empat blok sebagai kelompok dan masing-masing blok terdiri dari 12 plot sehingga total keseluruhan terdapat 48 plot. Masing-masing unit berukuran 6x5 m sehingga luas tiap plot

adalah 30 m2 dan antar plot diberi jarak 1 m. Denah lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Denah lokasi penelitian

3. Pelaksanaan Perlakuan

Unit-unit percobaan yang sudah diberi pupuk dasar selanjutnya dibuat larikan sebanyak 5 buah/petak dengan jarak 1m lalu diberi teknologi pembenah dan pupuk hayati sesuai perlakuan disetiap larikan dilanjutkan dengan pemberian benih leguminosa secara konsorsium dimana perbandingan antara PP, CP dan CM adalah 2:1:1 dimana PP diberikan sebanyak 50 gr/m2, CP sebanyak 25 gr/m2 dan CM sebanyak 25 gr. Benih ditaburkan disepanjang larikan lalu ditimbun dengan sedikit tanah lalu disiram dengan air secukupnya.

P2T2  P3T3  P4T1  P2T3  P4T2  P1T1  P2T1  P1T2  P4T2  P2T3  P1T1  P4T3  P2T1  P4T1  P2T2  P3T3  P3T1  P1T3  P1T2  P3T2  P4T3  P3T1  P2T1  P4T1  P3T3  P1T3  P1T2  P4T2  P2T2  P1T1  P3T2  P2T3  P3T1  P3T3  P1T2  P3T2  P4T2  P4T3  P4T1  P1T3  P2T2  P2T1  P1T1  P2T3  P4T3  P3T2  P3T1  P1T3 

18

4. Pengamatan dan Pemeliharaan

Pengamatan dilakukan pada tiap unit percobaan sesuai peubah yang diuji. Selang 14 hari dilakukan pembersihan terhadap gulma dan bila curah hujan kurang maka dilakukan penyiraman tanaman minimal sekali sehari.

5. Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Covering Area

Pengamatan ini dilakukan pada akhir penelitian (sebelum panen) dengan membandingkan area yang ditumbuhi tanaman dengan yang tidak ditumbuhi dengan menggunakan bingkai bentuk kuadran berukuran 1m x 1m. Bingkai dibagi menjadi 10 bagian dengan tali sehingga terdapat kuadran-kuadran kecil berukuran 10cm x 10 cm. Selanjutnya bingkai diletakkan secara acak dalam petak percobaan

Dokumen terkait