BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Pembahasan
Hasil uji hipotesis menunjukkan terdapat perbedaan perilaku seksual antara siswa yang mendapat pendidikan seks di SMAN X Ternate dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate. Hasil perhitungan diperoleh menggunakan rumusan uji-t dengan bantuan program SPSS 21.0 for windows diperoleh nilai t sebesar -7.384 (thitung) dan p value 0.000 (sig.2-tailed). Kaidah yang digunakan dalam menganalisis hasil uji-t adalah thitung < ttabel maka H0 diterima dan Ha ditolak.
Sebaliknya jika ttabel < thitung maka Ha diterima dan H0 ditolak (Sugiyono, 2011).
Pengujian menggunakan taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan df (230), sehingga hasil yang diperoleh untuk nilai ttabel sebesar 1.651. Karena nilai thitung -7.384 lebih besar dari nilai ttabel 1.651 berarti Ha diterima. Dari hasil pengujian tersebut, maka hipotesis awal dalam penelitian ini diterima.
Secara umum, perilaku seks remaja menunjukan seberapa parahnya pergaulan bebas yang ada dalam masyarakat sekarang ini. Pada bab sebelumnya peneliti menentukan karakteristik sampel yang digunakan adalah remaja yang pernah atau sedang berpacaran, dan yang mendapat pendidikan seks dan tidak mendapat pendidikan seks disekolah. Alasan peneliti memilih karakteristik tersebut adalah karena peneliti berasumsi bahwa siswa yang berpacaran dan sudah mendapat pendidikan seks
disekolah akan berbeda perilaku seksualnya dengan siswa yang berpacaran tetapi tidak mendapat pendidikan seks disekolah. Karena remaja yang mendapat pendidikan seksual sudah mengetahui dampak-dampak dari perilaku seksual yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ini tentunya akan mencegah terjadinya perilaku seks remaja dalam berpacaran.
Willis (2008) mengungkapkan bahwa remaja memiliki beberapa kebutuhan yakni salah satunya adalah kebutuhan biologis seperti kebutuhan untuk makan, minum, bernapas, istirahat dan kebutuhan seks yang menonjol sehingga berpengaruh pada tingkah laku remaja. Hasil penelitian Trisnawati, dkk (2010) menunjukkan 52% remaja sudah melakukan perilaku seksual seperti berciuman. Bukan hal yang tidak mungkin apabila remaja sudah pernah melakukan perilaku seksual seperti berciuman akan berlanjut ke tahap necking, petting, atau intercrouse.
Hasil penelitian yang dilakukan Handayani (2014) di SMAN 1 Kadanghaur menunjukan “Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Seks Dengan Sikap Seks Pra Nikah Pada Siswa X dan XI SMAN 1 Kadanghaur tahun 2014” dengan sampel sebanyak 242 responden, menunjukkan 146 orang (60,3%) bersikap positif dan 96 orang (39,7%) bersikap negatif atau menganggap seks pranikah tidak beresiko terjadi penyakit.
Diketahui 83 orang (34,3%) berpengetahuan baik dan sebanyak 159 (67,5%) orang berpengetahuan kurang. Oleh sebab itu, remaja diharapkan memiliki pengetahuan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenaknya, dengan dibantu oleh orang yang lebih paham dan mengerti terkait permasalahan seksual sehingga remaja tidak keliru dalam memahami dan menerima informasi yang diterima. Terkadang remaja salah pemahaman akibat ketidaktahuan tentang seksualitas yang terjadi jika melakukan hubungan seks bebas (Lilestina, 2012).
Adapun bentuk-bentuk perilaku seksual mulai dari perasaan tertarik, kencan, bercumbu, dan bersenggama. Sebagian remaja dalam berhubungan seks, tidak
memikirkan dampak dari kemungkinan yang terjadi akibat perilaku seks bebas seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan PMS atau penyakit menular seksual. Perilaku seksual remaja tinggi karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti, perubahan hormonal yang meningkat, peyaluran seksual tidak dapat dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan pada remaja, kemudian remaja dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkah larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi tidak diperbolehkan (Sarwono, 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Taufik (2013) penyebab utama dari perilaku seks remaja adalah dorongan biologis yang sulit dibendung sehingga remaja berperilaku seks untuk memenuhi keingintahuan, dan mempererat komitmen hubungan berpacaran. Ini terjadi disebabkan remaja memperoleh pengetahuan tanpa menyaring informasi yang diterima. Kecenderungan remaja berperilaku seksual tidak memandang strata pendidikan, melalui penyebaran teknologi canggih tentu memungkinkan siapapun untuk mengaksesnya. Terlebih orangtua terkesan masih mentabuhkan pembicaraan tentang seks yang membuat remaja ketika bergaul dengan temannya tidak memiliki batasan antara pria dan wanita, ditakutkan dapat terjerumus pada perilaku seksual.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Trisnawati, dkk (2010) tentang Perilaku Seksual Remaja Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seks menunjukkan perilaku seks remaja selain dipengaruhi oleh faktor sikap terhadap seksualitas, peran orang tua, sikap terhadap pelayanan kesehatan reproduksi remaja, perilaku seksual teman remaja, akses media pornografi di dapati hasil perilaku seksual remaja di Purwokerto sebanyak 65% berhubungan dengan tingkat pengetahuan remaja yang masih kurang.
Adapun beberapa dampak-dampak perilaku seksual remaja yang diungkapkan Sarwono (2012) adalah aborsi, dimana alat kontrasepsi memang sangat sedikit
digunakan apalagi oleh remaja, karena dari dalam diri remaja enggan untuk memakai alat KB dengan berbagai alasan seperti malu membeli, malu untuk memakainya, tidak sempat, dan takut dianggap negatif oleh pacar berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan dan akhirnya remaja memilih untuk aborsi. Kemudian berhubungan seksual dengan bergonta ganti pasangan ditakutkan dapat mengakibatkan menularnya penyakit kelamin, aktivitas seksual pada remaja yang tidak diimbangi dengan alat kontrasepsi seperti meningkatnya penyakit kelamin AIDS (Aquired Immuno Deffierency Syndrome) yang jika menyerang manusia menyebabkan daya tahan tubuh terhadap serangan kuman menjadi hilang. Akibanya penderita pelan-pelan akan meninggal karena kondisi badan makin lama makin lemah. Adapun akibat psikososial yang ditimbulkan dari perilaku seksual adalah perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis-gadis yang menggugurkan kandungannya yang beresiko pada kematian bayi.
Remaja yang telah diberikan pendidikan seksual pada SMAN X Ternate tentu sadar akan kesehatan organ reproduksinya dibandingkan remaja yang tidak diberikan pendidikan seks, sebab secara tidak langsung akan mengontrol perilaku remaja dalam pergaulannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011) tentang
“Perbedaan Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Seks Pranikah Sebelum Dan Sesudah Penyuluhan di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang” menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas XI di SMA Sultan Agung 3 Semarang sebanyak 27 responden (58,7%) dan 32 responden (69,6%) mempunyai pengetahuan yang baik tentang perilaku seks pranikah sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Sebanyak 29 responden (63%) dan 28 responden (60,9%) tidak mendukung seks pranikah sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan.
Berbeda halnya dengan remaja yang tidak mendapat pendidikan seks disekolah, perilaku seksual remaja cenderung tinggi daripada remaja yang mendapat pendidikan seks. Melihat remaja di SMAN Y Ternate belum menerima pendidikan seks. Dari data
lapangan yang didapatkan peneliti remaja melakukan apa yang teman-teman sebayanya lakukan tanpa memikirkan dampak dari perilaku tersebut. Mereka menjalin hubungan berpacaran hanya demi sebuah status dan mendapat pengakuan dari teman-temannya. Remaja yang sehari-hari bersekolah tidak memiliki batasan waktu pulang kerumah terkadang mereka kedapatan bolos pada jam sekolah dan berkeliaran di halte, tempat makan dan bahkan di mall. Tidak adanya kontrol, dan pengawasan dari orang tua serta kurangnya pengetahuan mengakibatkan remaja bertindak kedalam pergaulan negatif atau lebih jauh lagi terlibat perilaku seksual.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2013) tentang “Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Berpengaruh Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas Pada Remaja Kelas X dan XI di SMK Muhammadiyah II Bantul” menunjukan ada pengaruh yang signifikan antara pemberian pendidikan kesehatan reproduksi terhadap tingkat pengetahuan tentang seks bebas bagi remaja dengan kategorisasi tingkat responden sebelum intervensi adalah tinggi sebanyak 27 responden (62,8%), sedang sebanyak 10 responden (23%) dan rendah sebanyak 6 responden (14,0%) dan tingkat pengetahuan responden tentang perilaku seksual remaja setelah intervensi sebanyak 35 responden (81,4%), sedang sebanyak 8 responden (18,6%) dan rendah 0 responden (0%).
Pengetahuan tersebut dapat diberikan dalam materi-materi pendidikan seksual yang merupakan salah satu bentuk intervensi dengan harapan akan mengurangi perilaku seks bebas dikalangan remaja agar tidak salah dengan persepsi seksualitas dan lebih bertanggung jawab dari sisi psikologis untuk meminimalisir adanya kontak fisik dengan lawan jenis meskipun berada di tempat umum. Adapun hasil penelitian yang dilakukan Pratama, dkk (2014) tentang “Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Pengetahuan Seks Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Di SMA Z Kota Bandung” menunjukkan bahwa sebagian besar responden 84,6% memiliki pengetahuan
baik, sebagian kecil responden 15,4% memiliki pengetahuan cukup, dan tidak ada satupun reponden 0% yang memiliki pengetahuan kurang.
Remaja yang tidak mendapatkan program pendidikan seks disekolah sebaiknya diberikan pengetahuan secara menyeluruh menyangkut kesehatan reproduksi dan norma tanggung jawab dalam masyarakat. Selain itu informasi yang dikaitkan dengan penggabungan pemecahan masalah oleh pihak yang lebih mengerti akan pendidikan seks dapat membantu dalam menangani permasalahan remaja tidak hanya masalah seksualitas tetapi masalah-masalah yang dihadapi remaja lainnya.
Berdasarkan uraian teori dan hasil penelitian sebelumnya di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku seks remaja ditinjau dari pemberian program pendidikan seks di sekolah (studi pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate). Faktor yang mempengaruhi remaja berperilaku seks adalah kurangnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Remaja seringkali menghabiskan waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya baik dilingkungan sekolah maupun diluar sekolah yang memungkinkan remaja menerima pengetahuan seks dari sumber yang kurang tepat, artinya bermacam-macam sikap dan perilaku bisa saling mempengaruhi dalam sebuah pergaulan sehingga pemberian pendidikan seks di sekolah adalah upaya pemerintah untuk mengurangi tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan dikalangan remaja serta penyebaran penyakit kelamin dengan meningkatan pengetahuan tentang kesehatan organ reproduksi.