PERILAKU SEKS REMAJA DITINJAU DARI PEMBERIAN PROGRAM PENDIDIKAN SEKS DI SEKOLAH
(STUDI PADA SMAN X TERNATE DENGAN SMAN Y TERNATE)
DI AJUKAN OLEH:
YULITA PUTRI DINANTI 4511091082
SKRIPSI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS BOSOWA
2017
PERILAKU SEKS REMAJA DITINJAU DARI PEMBERIAN PROGRAM PENDIDIKAN SEKS DI SEKOLAH
(STUDI PADA SMAN X TERNATE DENGAN SMAN Y TERNATE)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
YULITA PUTRI DINANTI 4511091082
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS BOSOWA
2017
i
HALAMAN PERNYATAAN
Penulis menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perilaku Seksual Remaja Ditinjau Dari Pemberian Pendidikan Seks (Studi Pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate)” adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi.
Apabila dikemudian hari skripsi ini terbukti sebagai hasil plagiasi, maka penulis bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Makassar, 21 Agustus 2017
Yulita Putri Dinanti
iii
MOTTO
“WAKTU ITU TERBATAS, SYUKURI, JALANI, DAN NIKMATI”
Yulita Putri Dinanti (puput)
iv
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan karya tulis ini kepada:
1. Allah SWT, semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu bagian dari wujud ibadah penulis kepada-MU.
2. OrangtuaTersayang.
3. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar.
4. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 (SOULEVEN).
5. Almamater Universitas Bosowa Makassar sebagai wujud dedikasi penulis dalam penelitian ini.
v
PERILAKU SEKSUAL REMAJA DITINJAU DARI PEMBERIAN PROGRAM PENDIDIKAN SEKS DI SEKOLAH
(STUDI PADA SMAN X TERNATE DENGAN SMAN Y TERNATE)
YULITA PUTRI DINANTI 4511091082
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak ada perbedaan perilaku seksual yang signifikan antara siswa yang mendapat pendidikan seks disekolah dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks disekolah (Studi Pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate) .
Penelitan ini termasuk jenis penelitian kuantitatif komparatif. Sampel penelitian dipilih dengan propotionate stratified random sampling. Siswa kelas XII SMAN X Ternate sebagai sekolah yang mendapat pendidikan seks dan siswa kelas XII SMAN Y Ternate sebagai sekolah yang tidak mendapat pendidikan seks. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala perilaku seks. Teknik analisis data terdiri dari teknik pengujian prasyarat analisis dan pengujian hipotesis. Teknik prasyarat analisis menggunakan uji normalitas dan homogenitas, sedangkan untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perilaku seksual antara siswa yang mendapat pendidikan seks di SMAN X Ternate dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate. Hal tersebut dibuktikan dari hasil analisis t-test yang pada taraf signifikansi 5% yakni (tingkat kepercayaan 95%) diperoleh t-hitung = -7.384 untuk perilaku seksual. Nilai thitung selanjutnya dibandingkan dengan nilai ttabel. Nilai thitung = -7.384 > ttabel = 1.651, sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada adalah signifikan karena thitung> ttabel.
Kata Kunci : Perilaku Seks, Pendidikan Seks, Remaja
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “Perilaku Seks Remaja Ditinjau dari Pemberian Program Pendidikan Seks (Studi Pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate)”
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari ALLAH SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Minarni S.Psi., M.A selaku pembimbing I dan Dekan Fakultas Psikologi, kepada Bapak Arie Gunawan Hz. M.Psi., Psikolog selaku pembimbing II dan Penasehat Akademik peneliti yang telah dengan sabar, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran kepada penulis selama dalam penyusunan skripsi.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Mirza Gulam Hi. Hasyim dan Ibu Alwia Ismat Albaar yang selalu sabar dan sangat banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, juga selalu mendoakan untuk keberhasilan dan keselamatan dalam menempuh pendidikan.
2. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Fakultas Psikologi yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini.
3. Bapak Jufri dan Kak Indah selaku staff di Fakultas Psikologi yang selalu membantu dalam urusan administrasi kampus, seperti pengurusan surat-surat yang terkait dengan keperluan perkuliahan dan penelitian.
4. Sahabat-sahabat yang selalu tidak henti dalam menyemangati, Endang dan Erma yang selalu memberikan semangat. Yaumil sebagai rekan seperjuangan selama 2 tahun terakhir.
Andini yang selalu sabar dalam membantu peneliti, Wirdan yang selalu siap membantu
vii
peneliti, Kak’ Novela, Kak’Nabila, Easti, Ryan, Findi, Fahmi, Hilda, Mirna, Ima, Sera, Kak’
kia, Aii, Kak’anna, Celink, Iluh, Marini, Lilo, Agung, Sari, Tri. Terima Kasih atas semua kebersamaan selama masa perkuliahan yang penuh canda tawa dan tangis.
5. Kepada adek-adek saya Rizki dan Rezki yang turut membantu saya dan menemani dalam penyusunan skripsi.
6. Kepada Fialdry yang selalu membantu dan memberikan masukan kepada peneliti dalam hal penyusunan skripsi dan selalu siap dimintai tolong.
7. Bapak dan Ibu guru selaku guru di SMAN X Ternate dan SMAN Y Ternate yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.
8. Terimakasih kepada Yusuf Iman, Adit 012, Lili 012, Tirta 012 yang tidak pernah lelah membantu peneliti dalam menganalisis data penelitian.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Makassar, 21 Agustus 2017
Yulita Putri Dinanti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….. i
LEMBAR PENGESAHAN……….. ii
HALAMAN PERNYATAAN……… iii
MOTTO……….iv
PERSEMBAHAN……….v
ABSTRAK………vi
KATA PENGANTAR……….vii
DAFTAR ISI………..………..ix
DAFTAR TABEL……….…..xii
DAFTAR BAGAN...………..xiii
DAFTAR LAMPIRAN………...xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Seks Remaja ... 10
1. Defenisi Perilaku Seks Remaja ... 10
2. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Seks Remaja ... 11
3. Bentuk-Bentuk Perilaku Seks Remaja ... 12
4. Dampak-Dampak Perilaku Seks Remaja ... 15
5. Jenis-Jenis Penyakit Menular Seksual………16
6. Penanganan Masalah Seks Pada Remaja ... 18
ix
B. Pendidikan Seks ... 18
1. Defenisi Pendidikan Seks ... 18
2. Nilai-Nilai Dalam Program Pendidikan Seks ... 19
3. Materi Pendidikan Seks ... 21
4. Metode Pemberian Pendidikan Seks………...25
5. Tujuan Pendidikan Seks ... 25
C. Remaja ... 27
1. Pengertian Remaja ... 27
2. Perkembangan Masa Remaja ... 27
3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ... 28
4. Ciri-Ciri Masa Remaja ... 29
5. Kebutuhan-Kebutuhan Masa Remaja ... 30
D. Perilaku Seks Remaja Ditinjau dari Pendidikan Seks di Sekolah (Studi Pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate ... 31
E. Hipotesis ... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian... ... 36
B. Identifikasi Variabel ... 36
C. Defenisi Operasional ... 37
1. Pendidikan Seks ... 37
2. Perilaku Seks ... 37
D. Populasi dan Sampel ... 37
E. Teknik Pengumpulan Data ... 39
1. Metode Skala Psikologi ... 39
2. Skala Perilaku Seks ... 40
F. Validitas dan Reliabilitas ... 42
1. Uji Validitas ... 42
a) Expert Review………..42
b) CVR (Content Vakidity Ratio)……….…43
2. Uji Reliabilitas...49
G. Teknik Analisis Data………...50
1. Uji Statistik Deskriptif………...50
2. Uji Prasyarat Analisis………..51
a) Uji Normalitas Data……….…..51
x
b) Uji Homogenitas………...53
c) Uji Hipotesis ... 54
3. Pesiapan Penelitian……… . 55
4. Pelaksanaan Penelitian………..55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi hasil penelitian………..57
B. Hasil Penelitian………..61
1. Uji Hipotesis………..………...61
C. Pembahasan……….…….62
D. Limitasi Penelitian……….69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN………...72
B. SARAN……….……….….72
DAFTAR PUSTAKA……….74
RIWAYAT HIDUP………..……77
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Populasi ... 38
Tabel 2. Blue Print Skala Perilaku Seksual Remaja Uji Coba Terpakai ... 41
Tabel 3. Data Uji Validitas Aspek Pegangan Tangan ... 44
Tabel 4. Data Uji Validitas Aspek Berciuman ... 45
Tabel 5. Data Uji Validitas Aspek Meraba Payudara ... 46
Tabel 6. Data Uji Validitas Aspek Meraba Alat Kelamin ... 46
Tabel 7. Data Uji Validitas Aspek Hubungan Seks ... 47
Tabel 8. Blue Print Skala Perilaku Seksual Remaja Uji Coba ... 48
Tabel. Hasil Uji Reliabilitas ... 50
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 52
Tabel 11. Hasil Uji Homogenitas ... 53
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Skor Perilaku Seksual Remaja Pada Sekolah X Ternate ... 57
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Skor Perilaku Seksual Remaja Pada Sekolah Y Ternate ... 59
Tabel 14. Hasil Uji Hipotesis ... 61
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Pikir…….…………..………..34
Gambar 4.1.Perilaku seksual berdasarkan siswa yang mendapat
pendidikan seks di SMAN X Ternate ... 58 Gambar4.2. Perilaku seksual berdasarkan siswa yang tidak
mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate ... 60
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Di SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate ... 78
LAMPIRAN 2. Skala Perilaku Seksual Uji Coba Terpakai ... 84
LAMPIRAN 3. Uji Validitas ... 92
LAMPIRAN 4. Uji Reliabilitas ... 97
LAMPIRAN 5. Uji Normalitas ... 99
LAMPIRAN 6. Uji Homogenitas………101
LAMPIRAN 7. Uji Hipotesis………...103
LAMPIRAN 8. Uji Statistik Deskriptif………....105
LAMPIRAN 9. Tabel Tabulasi Data Uji Coba Terpakai ... 107
LAMPIRAN 10. Tabel Tabulasi Data Sampel Penelitian ... 112
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Perkembangan arus modernisasi dan menipisnya moral anak bangsa perlu menjadi perhatian semua kalangan. Remaja yang seharusnya menjadi aset berharga negara kini telah menjadi candu seks bebas. Masa remaja oleh Hurlock (2002) terbagi menjadi remaja awal dan masa remaja akhir, awal masa remaja dan akhir masa remaja terletak di sekitar usia tujuh belas tahun. Remaja berada di ambang perbatasan untuk memasuki dunia kerja orang dewasa, melanjutkan pendidikan tinggi, atau menerima pelatihan kerja. Kesadaran status formal baik dirumah ataupun disekolah membuat remaja bertanggung jawab dalam berperilaku untuk menguasai tugas perkembangan pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis sehingga memainkan peran yang tepat. Dorongan- dorongan ini berasal dari tekanan-tekanan sosial, minat dan keingintahuan remaja tentang seks.
Data BKKBN (2011) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang sering kali terjadi pada remaja seperti perilaku seks akibat dari pergaulan bebas, selain penggunaan narkoba yang dilakukan remaja. Perilaku seks bebas bukan sebuah fenomena baru, tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun merambah pada remaja yang masih pelajar. Mereka menjalin sebuah hubungan yang disebut berpacaran, namun sebagian remaja memanfaatkan status berpacaran sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang bersifat negatif dan mengarah pada perilaku seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, hal ini mencerminkan kurangnya kualitas pendidikan pada remaja di sekolah.
Perilaku seks menurut Sarwono (2012) merupakan dorongan hasrat seksual baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Perilaku seksual bisa berbentuk macam-macam. Mulai dari perasaan suka atau tertarik, berkencan, bercumbu, hingga
1
senggama atau berhubungan seksual. Perilaku seks bebas sepertinya kurang pantas dilakukan oleh mereka yang berusia remaja dan masih berstatus pelajar karena dilihat dari hasil survei BPS tahun 2012 menunjukan pada remaja yang berusia 15-19 tahun angka kehamilannya mencapai 48 dari 1000 kehamilan. Angka kehamilan remaja di Indonesia yang meningkat merupakan salah satu penyumbang kematian terbesar ibu dan bayi di banding negara ASEAN lain (BKKBN, 2014).
Perilaku seks seharusnya dilakukan ketika telah menjadi pasangan suami-istri, namun yang terjadi saat ini perilaku seks di kalangan remaja dilakukan tanpa memikirkan status resmi di mata hukum dan agama bahkan telah melanggar norma dan adat masyarakat yang berlaku yang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan, menularnya penyakit kelamin, tidak dapat melanjutkan sekolah, serta keluarga menanggung malu atas perbuatan yang telah dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2008) di dapati bentuk-bentuk perilaku seksual pada kategori perilaku seksual sangat rendah seperti perilaku saling memandang dengan mesra hingga menyentuh jari atau tangan pasangan 17,26%. Kategori rendah dari berpegangan tangan hingga memeluk/dipeluk dari bagian pinggang oleh pasangan 22,3%, kategori sedang dari mencium atau dicium di kening oleh pasangan dan berciuman bibir dengan pasangan 22,84%, kategori tinggi dari berciuman disertai menyentuh wajah dan rambut pasangan hingga berciuman disertai menyentuh alat kelamin melalui pakaian yaitu 21,83% dan kategori tinggi sekali yaitu mencumbu bagian dada tanpa pembatas hingga bersenggama dengan pasangan 15,74%.
Hasil penelitian di Purwokerto oleh Trisnawati, dkk (2010) tentang perilaku seksual remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks menunjukan perilaku seks remaja sebagian besar 87,2% tidak beresiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan hanya 12,8% mengaku melakukan perilaku seksual yang beresiko terhadap kehamilan.
Bentuk-bentuk perilaku seksual dalam penelitian ini menunjukan kissing 52%, necking
29,2%, petting 21,6%, oral seks 6%, anal seks 1,2% dan masturbasi 12%. Selain faktor sikap terhadap seksualitas, peran orang tua, sikap terhadap pelayanan kesehatan reproduksi remaja, perilaku seksual teman remaja, akses media pornografi di dapati hasil perilaku seksual remaja di Purwokerto sebanyak 65% berhubungan dengan tingkat pengetahuan remaja yang kurang.
Rahyani, dkk (2012) dalam hasil penelitiannya tentang perilaku seks pranikah remaja di Bali untuk survei awal alasan responden laki-laki usia 14-16 tahun memulai berhubungan seks pranikah yaitu, rasa ingin ingin tahu 27,6% dan merasa khilaf 10,3%.
Pada responden perempuan menyatakan tidak tahu 69%, selain perasaan sayang, takut menolak kemauan pacar, dan suka sama suka 13,4%. Karena remaja sudah pernah mencoba perilaku seks tidak menutup kemungkinan mereka menggunakan berbagai alasan untuk mengulangi perilaku seks berdasarkan pengalaman.
Penelitian yang dilakukan Handayani (2014) di SMAN 1 Kadanghaur menunjukan hubungan antara tingkat pengetahuan seks dengan sikap seks pra nikah pada siswa X dan XI SMAN 1 Kadanghaur tahun 2014 sebanyak 242 responden, sebanyak 146 orang (60,3%) bersikap positif dan 96 orang (39,7%) bersikap negatif atau menganggap seks pranikah tidak beresiko terjadi penyakit. Diketahui 83 orang subjek (34,3%) berpengetahuan baik dan 159 (67,5%) orang subjek berpengetahuan kurang. Temuan penelitian yang telah dilakukan oleh Pakasi (2013) menunjukan bahwa di sekolah tersebut sudah terdapat pendidikan seks tetapi masih ada siswa yang berpendapat bahwa perempuan tidak akan hamil jika berhubungan seks pada masa subur sebanyak 36,3% dan meyakini mitos jamu atau obat herbal dapat mencegah kehamilan sebanyak 36,4%.
Bahkan masih ada siswa yang tidak tahu sama sekali tentang kesehatan reproduksi sebanyak 18,5%, maupun kesehatan seksual sebanyak 27,8%. Remaja pada sekolah tersebut menyadari pendidikan seks dan kesehatan reproduksi sangat penting bagi mereka. 97,9% siswa menginginkan diberi pendidikan seks, 37,9% siswa berpendapat
materi kesehatan reproduksi perlu menjadi mata pelajaran khusus disekolah, 31% siswa setuju pendidikan seks diberikan diluar mata pelajaran dan 29% siswa menginginkan materi pendidikan seks digabungkan dengan mata pelajaran yang sudah ada.
Perilaku seks dapat disebabkan oleh beberapa faktor, Al-Migwar (2006) menyatakan faktor seperti tekanan-tekanan sosial, minat remaja pada seks dan keingintahuan tentang seks mendorong remaja menjalin hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis, karena didorong oleh minat remaja semakin tinggi tentang seks membuat remaja mencari sumber informasi bukan hanya dari orang tua tetapi lingkungan.
Seperti sekolah, teman, buku-buku, bahkan melalui uji coba. Semua informasi tentang seks guna untuk memuaskan keingintahuan remaja.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufik (2013) menyebutkan penyebab utama dari perilaku seks remaja adalah dorongan biologis yang sulit dibendung sehingga remaja berperilaku seks untuk memenuhi keingintahuan, mempererat komitmen serta untuk mendapatkan afeksi dari pasangan dalam menjalin sebuah hubungan berpacaran. Selain beberapa faktor yang telah disebutkan diatas adapun faktor-faktor lain yang mendorong remaja melakukan perilaku seks di antaranya dalam penelitian Radieken & Respati (2013) yaitu pengaruh liberalisme atau pergaulan bebas, seperti faktor lingkungan dan keluarga dan perkembangan media massa. Media massa bermanfaat untuk memberikan informasi dengan melalui majalah, surat kabar, maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan komputer. Tetapi, pengunaan media massa yang tidak terkontrol akan berdampak negatif bagi penggunanya terlebih untuk sebagian remaja yang mudah menerima informasi tanpa memikirkan nilai positif dan negatif dari informasi tersebut.
Fenomena perilaku seks yang dilakukan remaja merupakan permasalahan semua pihak tidak hanya lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Mengantisipai perilaku seks remaja dapat dilakukan dengan pemberian program pendidikan seks agar remaja tidak salah dalam memahami informasi dari sumber yang tidak tepat. Fathunaja
(2015) dalam penelitiannya berpendapat pendidikan seks belum diterapkan pada kurikulum mata pelajaran di Indonesia tetapi pada beberapa sekolah telah menggabungkan pendidikan seks dengan beberapa mata pelajaran lain seperti biologi, pendidikan agama dan bimbingan konseling.
Pemberian pendidikan seks pada generasi muda oleh orangtua maupun pendidik sangat diharapkan menjadi salah satu upaya dalam dunia pendidikan untuk mencegah perilaku menyimpang yang dilakukan remaja, meskipun dalam pemberian pendidikan seks belum setujui oleh semua pihak karena dikhawatirkan remaja menjadi tahu dan ingin mencoba. Bukan berarti pendidik dan keluarga mengajarkan remaja tentang berhubungan seksual, namun membantu remaja merubah pola pikir agar tidak keliru mengambil keputusan.
Di Indonesia perilaku seksual begitu mudah mempengaruhi remaja, tidak hanya dilakukan oleh remaja yang berada di kota-kota besar yang didukung dengan fasilitas yang semakin modern, di kota Ternate perilaku seksual remaja dapat dilihat dari hasil data BPKKBD (Badan Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah) tahun 2014 dengan penduduk di Ternate berjumlah 202.728. Laki-laki sebesar 103.031 jiwa dan perempuan 99.697 jiwa. Untuk usia remaja sekitar 15-24 tahun laki-laki berjumlah 27.344 jiwa dan perempuan 24.503 jiwa. Perilaku seksual seperti berpacaran dilakukan oleh remaja laki-laki sebanyak 35,2% dan remaja perempuan 47,1% dan pernah berciuman untuk remaja laki-laki didapati sebanyak 24,9% dan perempuan 28%. Pernah saling rangsang seksual menunjukan remaja laki-laki sebesar 12,8% dan perempuan 3,4%, Masturbasi untuk remaja laki-laki 18,3% dan perempuan 1,8%.
Selain data di atas faktanya setiap kali razia di lakukan di hotel, kosan, maupun tiap kelurahan di Ternate hampir selalu ada pelaku seks yang di gelandang ke kepolisian dan tidak jarang orang yang di tangkap adalah remaja yang berstatus pelajar (Malut Pos, 2015).
Cukup besar angka remaja di Ternate yang pernah berperilaku seks sangat dikhawatirkan angkanya meningkat dalam beberapa tahun kedepan. Hal ini merupakan perilaku seks remaja yang hampir sering dilakukan.
Alasan peneliti memilih melakukan penelitian tentang perilaku seksual remaja karena hasil wawancara singkat peneliti dengan lima orang siswa yang mendapat pendidikan seks, dua orang mengaku membatasi diri dalam pergaulan bebas terutama yang mengarah pada perilaku seksual dan tiga orang lainnya mengatakan mereka sudah mengetahui tentang dampak seks, tetapi tidak ragu-ragu menjalin hubungan dengan pasangan mereka dan melakukan aktifitas seks karena saling suka layaknya remaja yang berpacaran lainnya.
Sedangkan, hasil wawancara peneliti dengan lima orang siswa yang belum mendapat pendidikan seks mengatakan dengan berpacaran mereka dapat mengungkapkan rasa sayang mereka kepada pasangan mereka dalam bentuk berciuman, bergandengan tangan, berpelukan, hingga berani melakukan hubungan intim dengan alasan berpacaran kearah lebih “Serius”. Bahkan, karena sempat hamil diluar nikah, aborsi adalah pilihan terakhir yang akan dilakukan.
Berdasarkan data awal dan teori-teori di atas, peneliti berasumsi perilaku seks rentan dilakukan oleh remaja dan pemberian program pendidikan seks di sekolah adalah salah satu upaya untuk mencegah perilaku seks bebas yang beresiko pada kehamilan yang tidak diinginkan dan menularnya pernyakit kelamin. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan perilaku seks antara siswa yang mendapat pendidikan seks di SMAN X Ternate dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate.
B. Rumusan Masalah
Maka rumusan masalah pada penelitian ini apakah ada perbedaan perilaku seks antara siswa yang mendapat pendidikan seks di SMAN X Ternate dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada perbedaan perilaku seks antara siswa yang mendapat pendidikan seks di SMAN X Ternate dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis terutama dalam bidang ilmu psikologi pendidikan dan psikologi sosial.
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi kepustakaan dan meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan seks yang tepat sehingga mencegah perilaku seks yang tidak wajar.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa tentang pendidikan seks dan dampak dari perilaku seks yang rentan mengakibatkan penyakit seksual yang berbahaya baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
b. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak sekolah agar mengantisipasi perilaku-perilaku siswa yang menyimpang dengan membuat program-program yang dapat mengalihkan semua kegiatan siswa ke hal-hal positif.
c. Bagi Orangtua
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam mengatasi perilaku seks dengan menggunakan metode yang tepat untuk menangani fenomena perilaku seks bebas di kalangan remaja yang semakin marak dilakukan.
d. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data tambahan agar menambah pengetahuan peneliti serta menjadi wahana pengetahuan bagi peneliti selanjutnya terkait perilaku seks remaja atau menambahkan variabel baru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Seks
1. Definisi Perilaku Seks
Perilaku seksual menurut Sarwono (2012) adalah segala bentuk perilaku yang di dorong oleh harsat seksual baik dengan lawan jenis atau sesama jenis. Bentuk-bentuk perilaku seksual mulai dari perasaan tertarik, kencan, bercumbu, dan bersenggama.
Objek seksualnya bisa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Perilaku seksual remaja menurut Santrock (2002) biasanya meningkat atau progresif. Mulai dari necking (berciuman sampai ke daerah dada), kemudian petting (saling menempelkan alat kelamin), kemudian berhubungan intim atau seks oral.
Yudho (2001) menyatakan remaja selalu bersemangat dengan dorongan perilaku seksual yang menggelorah namun dalam perjalanan usia suatu saat akan berkurang kehangatannya. Perilaku seksual dalam kehidupan manusia perlu sangat diketahui dan dikendalikan sebab karena kelalaian dan kekeliruan yang akan menyebabkan penyesalan dan problema psikologis. Oleh karena itu, setiap remaja sebaiknya tidak di perbudak oleh hasrat seksual.
Berdasarkan beberapa pengertian perilaku seksual, peneliti menarik kesimpulan perilaku seks dapat terjadi karena adanya hasrat seksual dari dalam diri pada lawan jenis maupun dengan sesama jenis yang dilakukan pada pasangan tanpa berada dalam sebuah ikatan pernikahan. Dalam kehidupan manusia yang sehat dan normal perilaku seks merupakan hal yang tidak bisa kita pisahkan hal ini sangat menarik perhatian namun perlu mendapat penyaluran dan pengendalian yang sebaik-baiknya.
9
2. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Seks pada Remaja
Beberapa faktor-faktor penyebab perilaku seksual pada remaja menurut Sarwono (2012):
a. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b. Penyaluran tidak dapat dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkn batas usia menikah (sedikitnya enam belas tahun untuk wanita dan sembilan belas tahun untuk pria) maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain).
c. Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku. Seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkah larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Remaja yang tidak dapat menahan diri cenderung akan melanggar larangan-larangan tersebut.
d. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi melalui media massa dengan adanya teknologi canggih (video, cassete, foto copy, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ini cenderung ingin mencoba, meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa, khususnya pada mereka yang umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka
terhadap anak. Malah, orang tua cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu ini.
f. Kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat. Hal ini akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita hingga wanita semakin sejajar dengan pria.
3. Bentuk-Bentuk Perilaku Seks Remaja
Bentuk-bentuk perilaku seks menurut Nevid, Rathus & Rathus (2003) yaitu:
a. Berciuman (kissing) ciuman dapat menjadi bentuk afeksi seseorang terhadap pasangannya, teman atau kerabat. Ciuman bisa sebatas pada pipi, atau ciuman pada bibir. Mencium bibir dapat menggunakan lidah pada mulut pasangan (deep kissing), atau hanya menempelkan bibir pada pasangan. Setiap deep kissing selalu disertai dengan meraba-raba bagian tubuh pasangan.
b. Stimulasi payudara antara lain mencium, menghisap atau menjilati payudara pasangan. Bagian tubuh lain yang biasa dicium adalah tangan, kaki, leher, telinga, paha dan alat kelamin.
c. Menyentuh (touching) menyentuh atau meraba daerah erotis pada pasangan hingga mengakibatkan rangsangan. Pria dan wanita secara umum memilih stimulasi oral (mulut) atau manual (tangan) terhadap alat kelaminnya.
Sebagian dari tingkah laku seksual memang tidak berdampak apa-apa, apabila tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkan. Tetapi pada sebagian perilaku seksual berdampak cukup serius. Sarwono (2012) menyatakan beberapa bentuk- bentuk perilaku seksual ini bermacam-macam seperti:
a. Berpegangan Tangan
Hal yang paling sederhana dan penting, sebab sentuhan dapat memberikan pendekatan yang langsung bagi aktifitas seksual. Walaupun seluruh bagian tubuh
manusia mungkin bisa menjadi titik awal rangsangan yang halus dan mendatangkan kenikmatan dalam seksualitas (Walker, 2005).
b. Berciuman
Ciuman bukan hanya cara yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan kenikmatan pada saat berhubungan seksual. Kebanyakan orang-orang melakukan ciuman untuk mencurahkan perhatiannya. Ketika memiliki kedekatan ciuman dilakukan di daerah pipi atau kening, tetapi saat kedekatan semakin intim dapat dilakukan ciuman bibir. Ciuman lidah memiliki peranan penting sehingga rangsangan-rangsangan lain juga dapat dilakukan mulai dari ciuman halus sampai ciuman yang penuh nafsu. Ciuman bisa menjadi awal yang tepat untuk bercinta (Walker, 2005).
c. Meraba Payudara
Daerah tubuh lain yang akan menghasilkan rangsangan yang kuat adalah dada.
Maka dari itu buah dada memiliki peranan penting dalam bercumbu. Karena rangsangan melalui buah dada umumnya dianggap normal dalam bercumbu yang dilakukan dengan membuka baju untuk meraba buah dada (Walker, 2005).
d. Meraba Alat Kelamin
Pemuasan dorongan seksual dilakukan dengan menempelkan atau meraba alat kelamin, perilaku ini menyebabkan rangsangan. Dimana perilaku memegang payudara baik melalui pakaian atau secara langsung sampai menempelkan alat kelamin tapi belum melakukan hubungan seksual atau senggama secara langsung.
Hal ini dilakukan karena masih adanya ketakutan untuk melakukan hubungan seksual (Simanjuntak, 1984).
e. Hubungan Seks
Berhubungan seks adalah melakukan kontak seksual seperti berhubungan badan yaitu memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan (Simanjuntak, 1984).
Adapun beberapa bentuk-bentuk perilaku seksual menurut Santrock (2002) yaitu:
a. Kissing, berciuman yang terjadi antara bibir.
b. Necking, aktivitas seksual berupa mencium sekitar area leher dan dada.
c. Petting, saling menempelkan alat kelamin.
d. Intercrouse, berhubungan intim atau melakukan seks oral.
4. Dampak-Dampak Perilaku Seks Remaja
Dampak-Dampak perilaku seks remaja menurut Sarwono (2012):
a. Pengguguran Kandungan Pada Remaja.
Pengguguran kandungan atau yang biasa disebut aborsi, menurut M. Raquena secara sosiologis tidak dapat dilepaskan dari faktor penggunaan kontrasepsi dalam masyarakat. Di Indonesia remaja adalah bagian dari masyarakat dimana alat kontrasepsi memang sangat sedikit digunakan. Selain larangan dari masyarakat karena alasan agama, juga karena dari dalam diri remaja timbul keenganan untuk memakai alat KB dengan berbagai alasan seperti malu membeli, memalukan untuk memakainya, tidak sempat, takut dianggap negatif oleh pacar dan sebagainya. Hal ini yang membuat prevalensi kehamilan di kalangan remaja cukup tinggi.
b. Penyakit Kelamin.
Salah satu akibat lain dari meningkatnya aktivitas seksual pada remaja yang tidak diimbangi dengan alat kontrasepsi adalah meningkatnya penyakit kelamin di kalangan remaja. Salah satu penyakit kelamin yang sangat ditakuti oleh remaja sejak tahun 1986 adalah AIDS (Aquired Immuno Deffierency Syndrome). Penyakit
ini diketahui disebabkan oleh virus-virus tertentu, dikenal dengan nama HIV (Humman Immunodefiency Virus) yang jika menyerang manusia menyebabkan daya tahan tubuh terhadap serangan kuman menjadi hilang. Akibanya penderita pelan-pelan akan meninggal karena badannya makin lama makin lemah.
c. Akibat Psikososial.
Perilaku seksual dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis-gadis yang menggugurkan kandungannya. Akibat psikososial lain seperti ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang berubah jika seseorang gadis tiba-tiba hamil akan terjadi cemohan dan penolakan dari masyarakat. Selain terganggunya kesehatan dan resiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi juga ada akibat-akibat lain seperti putus sekolah dan diperlukan biaya perawatan dan lain-lain.
5. Jenis-JenisPenyakit Menular Seksual
Adapun beberapa jenis penyakit-penyakit menular seksual (Santrock, 2002) adalah:
a. AIDS / HIV
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh suatu virus, HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menghancurkan system kekebalan tubuh.
b. Chlamydia
Penyakit seksual yang paling umum diberi nama dari Chlamyda Trachomitis yaitu suatu organisme yang menyebar melalui kontak seksual dan menyerang organ genital laki-laki dan perempuan.
c. Gonnorhea
Penyakit menular seksual ini disebabkan oleh bakteria yang disebut Gonococcus yang berkembang di selaput lender di mulut, tenggorokan, vagina, leher rahim,
saluran kencing, dan sistem anal yang disebut penyakit menular kencing nanah atau GO.
d. Herpes Genitalis
Penyakit menular seksual ini disebabkan oleh sejumlah virus yang menyebabkan berbagai akibat termasuk penyakit menular non seksual, seperti cacat air, dan mononucleosis.
e. Sexually Transmitted Diseases (PMS)
Penyakit ini ditularkan melalui kontak seksual. Kontak ini tidak terbatas pada hubungan vagina tetapi juga termasuk didalamnya kontak oral-genital dan anal- genital.
f. Syphilis
Penyakit menular seksual yang disebakan oleh bakteri Treponema Pallidum anggota spirochete.
6. Penanganan Masalah Seks Pada Remaja
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menangani masalah seks dan penyakit hubungan seks remaja menurut Halstead & Reiss (2004) adalah:
a. Memberikan pengobatan radikal untuk kesembuhan pada kasus penyakit hubungan seksual sehingga menyelamatkan alat reproduksi remaja.
b. Menghindari kehamilan yang tidak dikehendaki dapat menggunakan salah satu metode keluarga berencana yang aman dan bersih.
c. Meningkatkan aktifitas remaja ke dalam program yang produktif, sehingga tidak banyak waktu yang terbuang diluar rumah.
d. Meningkatkan pengetahuan remaja tentang seksual.
B. Pendidikan Seks
1. Definisi Pendidikan Seks
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negative yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan, menularnya penyakit seksual, depresi dan merasa berdosa. Menurut Sarwono (2012) pendidikan seks bukan penerangan tentang seks semata-mata tetapi pendidikan seks mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik.
Pendidikan seks menurut Halstead & Reiss (2004) sama seperti pelajaran- pelajaran lain dalam kurikulum yang berhubungan dengan transmisi informasi, memberi kontribusi pada perkembangan kemandirian diri, mencari cara mensosialisasikan kelebihan diri di masyarakat luas. Pendidikan seks berkaitan dengan emosi, yang tidak hanya berhubungan dengan kedekatan, kesenangan dan kasih sayang tetapi berkaitan dengan kegelisahan, perasaan bersalah, dan rasa malu. Semua aspek tersebut mengandung nilai-nilai di dalamnya.
Pendidikan seksual (sex education) oleh Searbath (Irianto, 2014) “sex education is plenned infheence on learning processes directhy on indirecthy. Related to the patterning of sexual behavior a value system concerning sexuality”. Berdasarkan pengertian pendidikan seks yang di paparkan, peneliti menarik kesimpulan bahwa dengan diberikan informasi tentang pendidikan seks pada remaja dapat menambah wawasan pengetahuan terkait bentuk-bentuk perilaku seks serta cara mencegah perilaku seks tidak sehat dan dampak-dampak seks yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2. Nilai-Nilai dalam Program Pendidikan Seks
a. Seksualitas adalah bagian yang alami dan sehat dalam kehidupan.
b. Setiap orang punya sifat seksual.
c. Seksualitas mencakup dimensi fisik, etika, sosial, spiritual, psikologis dan emosional.
d. Setiap orang memiliki martabat dan harga diri.
e. Anak muda harus memandang dirinya sendiri sebagai individu yang unik dan berharga dalam konteks warisan budaya mereka.
f. Masing-masing individu mengekspresikan seksualitas mereka dalam beragam cara.
g. Orang tua harus menjadi pendidik seksualitas terutama bagi anak-anaknya.
h. Keluarga menyediakan pendidikan pertama tentang seksualitas kepada anak anak mereka.
i. Keluarga berbagi nilai-nilai seksualitas dengan anak-anak mereka.
j. Dalam masyarakat yang pluralistik, orang harus menghargai dan menerima keragaman nilai dan keyakinan seksualitas yang ada dalam satu komunitas.
k. Setiap anak harus dicintai dan dirawat.
l. Setiap keputusan seksual memiliki dampak dan konsekuensi.
m. Setiap orang punya hak dan kewajiban untuk membuat pilihan seksual yang bertanggung jawab.
n. Individu, keluarga, dan masyarakat akan menarik manfaat ketika anak-anak mampu mendiskusikan seksualitas dengan orangtua atau orang dewasa terpercaya lainnya.
o. Anak muda mengembangkan nilai-nilai seksualitas mereka sebagai bagian dari proses bertumbuh dewasa.
p. Anak muda mengeksplorasi seksualitas mereka sebagai proses alami untuk mencapai kematangan seksual.
q. Keterlibatan dini dalam perilaku seksual menimbulkan resiko.
r. Tidak melakukan hubungan seks (sebelum menikah) sama sekali adalah metode efektif untuk mencegah kehamilan dan IMS/HIV.
s. Anak muda yang terlibat dalam hubungan yang melibatkan aktifitas seks perlu mengakses informasi tentang layanan perawatan kesehatan.
Guidelines for Comprehensive Sexuality Education, Kindergarten-12th Grade 2nd edition. Copyright 1996, Sexuality Information and Education Council of The Inited States (SIECUS), www.siecus.org, (212) 819-9770. Digunakan dengan ijin.
3. Materi Pendidikan Seks
Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, tetapi sebuah survei oleh Margarett Terry Orr (Sarwono, 2012) umumnya materi pendidikan seks adalah sebagai berikut:
a. Masalah-masalah yang sering dibicarakan dikalangan remaja:
1. Perkosaan.
2. Masturbasi. *) 3. Homoseksualitas.
4. Disfungsi seksual. *) 5. Eksploitasi seksual. *)
b. Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan:
1. Alat KB.
2. Pengguguran.
3. Alternatif-alternatif dari pengguguran.
c. Nilai-nilai seksual:
1. Seks dan nilai-nilai moral.
2. Seks dan hukum.
3. Seks dan media massa. *) 4. Seks dan nilai-nilai religi. *)
d. Perkembangan remaja dan reproduksi manusia:
1. Penyakit menular seksual.
2. Kehamilan dan kelahiran.
3. Perubahan-perubahan pada masa puber.
4. Anatomi dan fisiologi.
5. Obat-obatan alkohol dan seks.
e. Keterampilan dan perkembangan sosial:
1. Berkencan.
2. Cinta dan perkawinan.
f. Topik-topik lainnya:
1. Kehamilan pada remaja.
2. Kepribadian dan seksualitas.
3. Mitos-mitos yang dikenal oleh umum.
4. Kesuburan.
5. Keluarga berencana.
6. Menghindari hubungan seks.
7. Teknik-teknik hubungan seks. **) Catatan:
*) tidak diberikan dan tidak boleh diberikan pada 31-40% sekolah yang disurvei.
**) tidak diberikan dan tidak boleh diberikan pada 74% sekolah yang disurvei.
Materi-materi pendidikan seks yang diberikan oleh Badan BKKBD di kota Ternate secara umum adalah sebagai berikut:
a. Remaja
1. Pendahuluan.
2. Karakteristik Masa Remaja.
3. Tugas dan Perkembangan Masa Remaja.
4. Permasalahan Remaja.
5. Pengertian Napza.
a) Dampak Napza.
b) Beberapa Jenis Napza.
c) Faktor-Faktor Penggunaan Napza.
d) Proses Ketergantungan Napza.
e) Mengenali Ciri-Ciri Pecandu.
f) Cara Menghindari Narkoba.
g) Pengertian HIV/AIDS.
h) Siklus Replikasi Virus.
i) AIDS.
j) Perjalanan dari HIV+ Menjadi AIDS.
k) Penyebaran Virus HIV.
l) Cara Mengetahui Jika Terinfeksi.
m) Perilaku Beresiko tertular HIV/AIDS.
n) Gejala-Gejala AIDS.
o) Cara Pencegahan.
b. Kesehatan Reproduksi Remaja.
1. Defenisi Remaja.
2. Defenisi Kesehatan Produksi Menurut Konferensi Kependudukan di Kairo 1994.
3. Isi Bahasan.
a) Organ Reproduksi.
b) Konsepsi Dan Kehamilan.
c) Kesehatan Reproduksi yang Bertanggung Jawab.
d) Persiapan Pranikah.
e) Kebersihan dan Kesehatan Diri.
c. Perilaku Seksual Beresiko.
1. Seks Pranikah.
2. Penyimpangan Perilaku Seksual.
3. Kekerasan Seksual.
4. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
d. Penyebab Masalah Kesehatan Remaja.
1. Kurangnya Pengetahuan dan Keterampilan, Sikap dan Perilaku Remaja.
2. Kurangnya Kepedulian Orangtua, Masyarakat dan Pemerintah.
3. Belum Optimalnya Kesehatan Remaja.
e. Pelayanan Kesehatan Remaja.
1. Sangat Berperan.
2. Pendidikan Terintegrasi dan Komperensif.
3. Termasuk Pelayanan Pengobatan dan Konseling.
f. Seksualitas.
1. Pengertian Seksualitas.
2. Organ Reproduksi.
3. Ciri-Ciri Pubertas.
4. Mimpi Basah.
5. Menstruasi.
6. Obrolan Seputar Seksualitas.
7. Kehamilan.
8. Konsekuensi Hubungan Seks Bebas dan Tidak Aman.
a) Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
b) Aborsi.
c) HIV/AIDS.
4. Metode Pemberian Pendidikan Seks
a. Metode diskusi dalam pembelajaran dikelas.
b. Metode ceramah.
c. Ektrakurikuler (kegiatan rohani islam).
d. Pemberian informasi edukasi melalui Mading (Majalah dinding) di sekolah.
e. Penyuluhan dari ahli-ahli yang bekerjasama dengan BKKBD.
5. Tujuan Pendidikan Seks
Tujuan pendidikan seks disekolah menurut, Halstead & Reiss (2004) meliputi:
a. Membantu pemuda mengetahui tentang topik-topik biologi, misalnya pertumbuhan, puber, dan konsepsi.
b. Mencegah anak-anak dari tindakan yang menyimpang. Pendidikan seks memerlukan guru dan orang-orang dewasa dalam hal mengajar di sekolah untuk mendeteksi secara tepat dan memberikan reaksi terhadap penyimpangan, termasuk penyimpangan seksual.
c. Mengurangi kesalahan seperti tindakan yang memalukan dan penyimpangan akibat tingkah laku seksual dengan mengajarkan suatu perbedaan yang dapat menghilangkan perbedaan sikap yang memalukan dan kesopanan.
d. Mendorong pengembangan hubungan yang baik. Di negara Inggris dan Wales, mengubah dari pendidikan seks ke pendidikan seks dan hubungan. Hal ini disebabkan kritik anak muda yang mengurangi diskusi tentang rasa, hubungan dan nilai-nilai di beberapa pendidikan seks.
e. Program pendidikan seks berusaha mengurangi angka kehamilan anak di bawah umur belasan tahun dan mengurangi indikasi penularan penyakit lewat seks.
f. Program pendidikan seks berusaha untuk membantu anak muda menjawab pertanyaan tentang peranan laki-laki dan perempuan di masyarakat.
Adapun tujuan pendidikan seks menurut Irianto (2014) bahwa tujuan pendidikan seks disekolah adalah untuk memberitahu kepada murid tentang anatomi alat-alat seksual, bagaimana alat-alat seks itu berfungsi (fisiologik) dan bagaimana proses terjadinya kehamilan sampai kelahiran.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja dalam bahasa aslinya adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan”. Menurut Hurlock (2002) Istilah adolescene sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja menurut Santrock (2002) merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional.
Awal masa remaja menurut Hurlock (2002) berlangsung dari 13-16 tahun dan akhir masa remaja adalah dari usia 17-18 tahun yaitu usia matang secara hukum.
Monks (2001) berpendapat remaja adalah suatu masa peralihan antara masa remaja dan masa dewasa. Fase remaja secara umum berlangsung antara 12-21 tahun. Ditandai dengan masa remaja awal pada usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan pada masa remaja akhir berada pada usia 18-21 tahun.
Berdasarkan pengertian remaja di atas, dapat disimpulkan remaja adalah masa peralihan dari usia kanak-kanak ke dewasa di tandai dengan perubahan secara fisik, psikis dan hormonal pada diri setiap individu yang berlangsung sekitar usia 12-21 tahun.
2. Perkembangan Masa Remaja
Perkembangan masa remaja dalam Desmita (2006):
a. Perkembangan Fisik.
b. Perkembangan Kognitif.
c. Perkembangan Psikososial.
3. Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas perkembangan masa remaja adalah upaya meninggalkan sikap kekanak- kanakan dan berusaha untuk mencapai kemampuan dalam bersikap dan berperilaku secara dewasa. Remaja tidak sedikit yang melakukan perbuatan antisosial dan asusila karena tugas perkembangan yang kurang berkembang dengan baik.
Menurut Hurlock (2002) tugas-tugas perkembangan masa remaja meliputi:
a. Mampu menerima keadaan fisiknya.
b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.
d. Mencapai kemandirian emosional.
e. Mencapai kemandirian ekonomi.
f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
g. Memahami nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.
h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.
i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.
4. Ciri-Ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Perkembangan masa remaja adalah suatu tahap perkembangan anak-anak dan masa dewasa, yang ditandai dengan perubahan- perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial.
Ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock (2002):
a. Periode yang penting.
Merupakan periode penting karena berakibat langsung terhadap sikap dan berakibat panjang.
b. Periode peralihan.
Merupakan periode ini status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan bukan orang dewasa.
c. Periode perubahan.
Merupakan periode perubahan sikap dan perilaku sejajar dengan perubahan fisik, jika perubahan fisik terjadi secara pesat perubahan perilaku serta perubahan sikap terjadi secara pesat.
d. Usia bermasalah.
Merupakan periode remaja sulit mengatasi masalah, hal ini disebabkan selama masa kanak-kanak sebagian besar masalahya diselesaikan oleh orang tua.
Sehingga remaja tidak berpengalaman mengatasinya.
e. Mencari identitas.
Merupakan periode pada awal masa remaja, menyesuaikan diri dengan kelompok masih penting, kemudian lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi menjadi sama dengan teman-teman sebaya.
f. Usia yang menimbulkan ketakutan.
Merupakan periode adanya tanggapan remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak, membuat orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi remaja menjadi takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
g. Masa yang tidak realistis.
Merupakan periode remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang di inginkan dan bukan sebagaimana adanya.
h. Ambang masa dewasa.
Remaja mulai bertindak seperti orang dewasa.
5. Kebutuhan-Kebutuhan Remaja
Memahami masalah remaja yang mendasar sangat penting untuk mengetahui motif atau disebut kebutuhan remaja, karena needs menentukan perilaku remaja dalam penyesuaian diri mereka. Menurut Willis (2008) motif atau kebutuhan remaja sebagai berikut:
a. Kebutuhan Biologis.
Kebutuhan biologis berasal dari dorongan-dorongan biologis. Seperti kebutuhan untuk makan, minum, bernapas dan istirahat. Serta dorongan seks, pada masa remaja dorongan seks tampak lebih menonjol, sehingga akan berpengaruh pada tingkah lakunya. Hal ini berdampak pada masalah seksual yang menjurus kepada perilaku seksual seperti menggandrungi pornografi dan melakukan perbuatan- perbuatan asusila. Perbuatan seperti ini yang menyebabkan remaja tertular penyakit AIDS dan penyakit kelamin lainnya.
b. Kebutuhan Psikologi.
Kebutuhan psikologis adalah segala dorongan yang menyebabkan orang bertindak mencapai tujuannya. Kebutuhan ini bersifat individual seperti kebutuhan agama dan kebutuhan akan rasa aman.
c. Kebutuhan Sosial.
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan dengan orang lain diluar dirinya. Pada anak remaja kebutuhan sosial meliputi kebutuhan untuk aktualisasi diri.
D. Perilaku Seks Remaja Ditinjau dari Pemberian Program Pendidikan Seks Di Sekolah (Studi Pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate)
Perkembangan arus modernisasi dan menipisnya moral anak bangsa perlu menjadi perhatian semua kalangan. Remaja yang seharusnya menjadi aset berharga negara kini telah menjadi candu seks bebas. Hurlock (2002) membagi masa menjadi dua yaitu remaja awal dan masa remaja akhir yang berumur sekitar tujuh belasan tahun. Remaja berada di ambang perbatasan orang dewasa. Remaja sadar akan tanggung jawab dalam berperilaku untuk menguasai tugas perkembangan dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis sehingga memainkan peran yang tepat. BKKBN (2011) menunjukkan bahwa masalah–masalah pergaulan bebas pada remaja yang terjadi adalah perilaku seks selain narkoba.
Perilaku seks bebas bukan sebuah fenomena baru, tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun merambah pada kalangan remaja yang masih pelajar. Mereka menjalin sebuah hubungan yang disebut berpacaran. Menurut Sarwono (2012) perilaku seks merupakan dorongan hasrat seksual baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Perilaku seksual bisa berbentuk macam-macam. Mulai dari perasaan suka atau tertarik, berkencan, bercumbu, hingga senggama atau berhubungan seksual.
Adapun hasil penelitian di Purwokerto oleh Trisnawati,dkk (2010) tentang perilaku seksual remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menunjukan perilaku seksual remaja sebagian besar 87,2% tidak beresiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan hanya 12,8% mengaku melakukan perilaku seksual yang beresiko terhadap kehamilan.
Perilaku seksual dalam penelitian ini menunjukan kissing 52%, necking 29,2%, petting 21,6%, oral seks 6%, anal seks 1,2% dan masturbasi 12%. Selain faktor sikap terhadap seksualitas, peran orang tua, sikap terhadap pelayanan kesehatan reproduksi remaja, perilaku seksual teman remaja, akses media pornografi di dapati hasil perilaku seksual remaja di Purwokerto berhubungan dengan tingkat pengetahuan remaja yang kurang sebanyak 65%.
Pemberian pendidikan seks pada generasi muda oleh orangtua maupun pendidik adalah sebuah langkah tepat dalam dunia pendidikan untuk mencegah perilaku menyimpang remaja. Hal ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pakasi (2013) menunjukan bahwa sudah terdapat pendidikan seks di sekolah tersebut tetapi masih ada siswa yang berpendapat bahwa perempuan tidak akan hamil jika berhubungan seks pada masa subur yakni 36,3% dan meyakini mitos jamu atau obat herbal dapat mencegah kehamilan adalah 36,4%. Ada juga siswa yang tidak tahu sama sekali tentang kesehatan reproduksi sebanyak 18,5%, maupun kesehatan seksual yaitu 27,8%. Remaja pada sekolah tersebut menyadari pentingnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi bagi mereka.
Sebanyak 97,9% siswa menginginkan diberi pendidikan seks, 37,9% siswa berpendapat materi kesehatan reproduksi perlu menjadi mata pelajaran khusus, 31% siswa setuju pendidikan seks diberikan diluar mata pelajaran dan 29% menginginkan materi pendidikan seks digabungkan dengan mata pelajaran yang sudah ada.
Mengantisipai perilaku seks remaja dapat dilakukan dengan pemberian program pendidikan seks agar remaja tidak salah dalam memahami informasi dari sumber yang tidak tepat. Siswa yang mendapat pendidikan seks disekolah tentu telah mengetahui berbagai
informasi kesehatan organ reproduksi seksualyang diperoleh dari guru baik melalui pendidikan formal (mata pelajaran) ataupun nonformal (kegiatan rohani islam) dengan tujuan mencegah siswa dari perilaku menyimpang, membantu siswa dalam membina hubungan yang baik dengan teman dan lawan jenis serta siswa dapat mengetahui konsekuensi dari perilaku seks seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan indikasi penularan penyakit lewat seks yang tidak sehat. Hal ini membuat siswa yang mendapat pendidikan seks cenderung memiliki perilaku seks lebih rendah.
Sementara, perilaku seks cenderung tinggi pada siswa yang tidak mendapat pendidikan seks. Hai ini di sebabkan pengetahuan siswa masih terbatas tentang masalah seks terkait cara mencegah serta dampak perilaku seks tidak sehat, sebab guru dalam pembelajaran tidak memberikan pendidikan seks. Pengaruh teman yang buruk, beredarnya situs-situs porno, kemudian siswa kurang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan bermanfaat diluar jam sekolah dan mudahnya mendapatkan alat kontrasepsi yang di jual secara bebas membuat mereka memiliki kesempatan melakukan hal-hal negatif dengan pasangan mereka.
Adapun bagan kerangka pikir yang dimaksudkan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 1. Perilaku Seks Remaja Ditinjau dari Pemberian Program Pendidikan Seks (Studi Pada SMAN X Ternate dengan SMAN Y Ternate)
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir diatas, dapat dirumuskan sebuah hipotesis bahwa terdapat perbedaan perilaku seks antara siswa yang mendapat pendidikan seks di SMAN X Ternate dengan siswa yang tidak mendapat pendidikan seks di SMAN Y Ternate.
SISWA SMA
Tidak Mendapat Pendidikan
Seks di Sekolah Mendapat
Pendidikan Seks di Sekolah
Perilaku Seks
Siswa tidak mengetahui informasi kesehatan reproduksi dan pencegahan perilaku seks tidak sehat.
Siswa tidak mengetahui dampak perilaku seks.
Siswa mengetahui informasi kesehatan reproduksi dan pencegahan perilaku seks tidak sehat.
Siswa mengetahui dampak perilaku seks.
Cenderung Rendah
Cenderung Tinggi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan perilaku seksual pada remaja yang mendapat pendidikan seks dan yang tidak mendapat pendidikan seks.
Penelitian kuantitaif komparatif dipilih oleh peneliti, karena peneliti ingin menguji kemampuan generalisasi yang berupa perbandingan keadaan variabel dari dua sampel atau lebih (Sugiyono, 2012).
B. Identifikasi Variabel
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012).
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah:
Variabel bebas : Pendidikan seks Variabel terikat : Perilaku seks
31
C. Definisi Operasional
Defenisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan Seks
Metode pendidikan seks yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa diberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dari BPKKBD (Badan Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah) yang bekerjasama dengan tenaga ahli profesional dalam pemberian materi-materi pendidikan seks di sekolah melalui diskusi dengan remaja untuk menjelaskan kesehatan organ reproduksi seksual dan dampak- dampak seks dini pada remaja.
2. Perilaku Seks
Variabel perilaku seks dalam penelitian ini yang dimaksud adalah mulai dari berpegangan tangan (menggenggam dan menggandeng), berciuman (mencium pipi, mencium kening, mencium bibir), meraba payudara (dari luar pakaian dan dari dalam pakaian dengan telapak tangan), meraba alat kelamin (menggunakan pakaian dan tidak menggunakan pakaian), hubungan seks (melakukan hubungan badan dan intim dengan pasangan).
D. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.
Populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.
Populasi bukan hanya sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh objek/subjek yang diteliti (Sugiyono, 2012).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XII yang mendapat pendidikan seks dan yang tidak mendapat pendidikan seks.
Tabel.1 Jumlah Populasi
No Siswa Populasi
1. Siswa yang mendapat pendidikan seks 205 orang 2. Siswa yang tidak mendapat pendidikan seks 180 orang
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Sampel yang diambil harus representatif atau mewakili populasi (Sugiyono, 2012).
Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik probability sampling. Teknik probability sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (Sugiyono, 2012). Probability sampling yang digunakan adalah propotionate stratified random sampling. Teknik propotionate stratified random sampling digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang memperlihatkan strata (Sugiyono, 2012).
Berdasarkan penentuan jumlah sampel dari populasi yang dikembangkan dari Isaac dan Michael (Sugiyono, 2012) dengan tingkat kesalahan 5%. Peneliti mengambil sampel sebanyak 131 orang kelas XII yang diambil dari populasi berstrata pada SMAN X Ternate yang mendapat pendidikan seks dan 119 kelas XII orang pada SMAN Y Ternate yang tidak mendapat pendidikan seks disekolah.
Kriteria inklusi yang di tetapkan dalam penelitian ini yaitu:
a. Siswa-siswi
b. Pernah / sedang berpacaran.
c. Pernah mendapat pendidikan seks dan tidak pernah mendapat pendidikan seks.
d. Bersedia menjadi responden.
E. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala psikologi.
1. Metode Skala Psikologi
Metode skala yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data tentang perbedaan perilaku seks antara remaja yang mendapat pendidikan seks dengan remaja yang tidak mendapat pendidikan seks. Metode Skala psikologi berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan (Azwar, 2014). Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala perilaku seks.
2. Skala Perilaku Seks
Skala perilaku seks disusun untuk mengetahui seberapa tinggi atau rendah perilaku seks pada remaja. Skala perilaku seks disusun peneliti berdasarkan teori dari Sarwono (2012). Peneliti beralasan di Ternate perilaku seks remaja bermacam-macam dan meningkat dimulai dari berpegangan tangan hingga sampai berhubungan seksual, walaupun pegangan tangan tak kasat mata dan biasa dikatakan tidak menyebabkan dampak negatif secara langsung tetapi dapat menjurus kepada hal menyimpang apabila dilakukan dengan rangsangan, karena awalnya pengangan tangan bisa berlanjut ke tahap selanjutnya.
Skala dalam penelitian ini merupakan skala pernyataan-pernyataan yang menggambarkan perilaku seksual remaja. Keseluruhan aitem terdiri dari dua jenis yaitu aitem yang bersifat favorable dan unfavorable disusun berdasarkan skala likert. Adapun cara pemberian skor untuk aitem pernyataan favorable (respon mendukung) yaitu skor
tertinggi diberikan pada jawaban (Selalu) S=5, (Hampir Selalu) HS=4, (Kadang-Kadang) KK=3, (Hampir Tidak Pernah) HTP=2, (Tidak Pernah) TP=1 sedangkan aitem pernyataan unfavorable (respon tidak mendukung) yaitu jawaban responden akan diberi skor tertinggi pada jawaban (Tidak Pernah) TP=5, (Hampir Tidak Pernah) HTP=4, (Kadang-Kadang) KK=3, (Hampir Selalu) HS=2, (Selalu) S=1. Adapun rincian aitem blue print skala perilaku seksual uji coba terpakai sebagai berikut:
Tabel 2. Blue Print Skala Perilaku Seksual Remaja Uji Coba Terpakai Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
Berpegangan tangan
Menggengam tangan.
Menggandeng tangan.
1, 14, 34 40, 46, 58
13
2, 15, 49 10, 18, 37, 52
Berciuman
Mencium pipi 3, 7, 16, 28 43, 47, 55, 60
Mencium kening 4, 22, 38 11, 29, 35 20
Mencium bibir
5, 8, 53 12, 25, 44
Meraba payudara
Meraba/diraba payudara dari dalam pakaian
6, 31, 62 19, 59, 64
Meraba/diraba 12 payudara dari luar pakaian
20, 41, 56 23, 30, 50
Meraba alat kelamin
Meraba/diraba alat kelamin menggunakan pakaian
21, 26, 36, 61
9, 24, 32,
12
Meraba/diraba alat kelamin tidak menggunakan pakaian
13, 51 27, 57, 65
Hubungan badan
Melakukan hubungan badan
dengan pasangan 45, 48 33, 63
8 Melakukan
hubungan intim
dengan pasangan 39, 54 17, 42
Total 65
F. Validitas dan Reliabilitas
Sebuah alat ukur dapat digunakan apabila dinyatakan valid dan reliabel. Setelah mengumpulkan data, maka penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya.
1. Uji Validitas
Hadi (1999) menyatakan validitas disebut dengan kesahihan yang diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu instrumen untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut.
Adapun pendapat lain dari Sumadi (2014) validitas instrumen didefinisikan
“sejauh mana instrumen itu merekam/mengukur apa yang dimaksudkan untuk direkam/diukur”.
Untuk mengetahui sebuah skala mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu proses pengujian validitas atau validasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Expert Review dan CFA (Content Validity Ratio).
a. Expert Review.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan validitas isi dimana kemampuan suatu instrumen dapat mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Hal ini berarti
suatu alat ukur mampu mengungkap suatu variabel yang hendak diukur (Martono, 2011).
Validitas isi dalam penelitian ini menggunakan Expert Review. Keselarasan atau relevansi aitem dengan tujuan ukur skala tidak dapat didasarkan hanya pada penilaian penulis sendiri, tapi juga memerlukan kesepakatan penilaian dari beberapa penilai yang kompeten (expert judgement). Tidak diperlukan 100% dari semua pihak penilai untuk menyatakan bahwa aitem yang disusun relevan dalam tujuan mengukur skala, tetapi apabila sebagian besar penilai sepakat bahwa suatu aitem relevan, maka aitem tersebut dinyatakan sebagai aitem yang layak mendukung validitas isi skala (Azwar, 2012).
b. CVR (Content Validity Ratio)
Lawshe (Azwar, 2012) merumuskan CVR (Content Validity Ratio) untuk mengukur validitas aitem-aitem. Sebuah panel yang disebut para ahli atau SME (Subject Matter Experts) diminta oleh peneliti untuk menyatakan apakah aitem dalam skala sifatnya esensial bagi operasionalisasi skala yang bersangkutan.
Para SME (Subject Matter Experts) diminta menilai suatu aitem esensial dan relevan atau tidak dengan tujuan pengukuran skala, menggunakan lima tingkatan skala mulai dari 1 (yaitu sama sekali tidak esensial dan tidak relevan) sampai dengan 5 (yaitu sangat esensial dan sangat relevan). Aitem-aitem dalam skala penelitian ini yaitu skala perilaku seksual yang disusun sendiri oleh peneliti kemudian di uji cobakan kepada 400 subjek dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan program Lisrel 8.70.
Untuk melihat kesahihan item dalam penelitian ini di tetapkan dengan nilai p-value
> 0.50, nilai RMSEA < 0.05, nilai Error positif dan nilai T-value >1,96. Dengan demikian, semua pernyataan aitem-aitem yang memiliki nilai kurang dari 1,96 dapat disisihkan dan pernyataan-pernyataan yang memenuhi syarat adalah yang memiliki T-value 1,96