PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO
PADA REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM
PENDIDIK SEBAYA DAN YANG TIDAK MENDAPAT
PROGRAM PENDIDIK SEBAYA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Jurusan Psikologi
Disusun Oleh :
M I SRI DEWI RETNO C
009114154
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
▸ Baca selengkapnya: kesan golongan muda tidak mendapat pendidikan yang sempurna
(2)MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Grew up in a small town And when the rain would fall down
I 'd just stare out my window D reaming of what could be And if I 'd end up happy
I would pray
Trying hard to reach out But when I tried to speak out Felt like no one could hear me
W anted to belong here But something felt so wrong here
So I 'd pray I could breakaway
I 'll spread my wings and I 'll learn how to fly
Buildings with a hundred floors Swinging with revolving doors M aybe I don't know where they'll take me
But gotta keep movin' on M ovin' on, fly away
Breakaway
(Kelly Clarkson – Breakaway)
KU PERSEMBAHKAN KARYA SED ERHAN AKU IN I UN TUK :
Kemuliaan-N ya, Semua yang kucinta dan mencintaiku, Papa, Mama, adik yang kusayangi, semua sahabat-sahabat terkasihku. Terima kasih untuk semua cinta
PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA
REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA
DENGAN YANG TIDAK MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat
perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik
Sebaya dan remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya.
Hipotesis yang diajukan adalah tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja
sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat
perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang tidak mendapat program
Pendidik Sebaya. Subjek penelitian ini berjumlah 120 orang yang berusia antara 15 -
18 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah kelas XI. Metode pengumpulan
data menggunakan skala Perilaku Seksual Beresiko. Teknik analisis data yang
digunakan adalah t-test. Berdasarkan hasil t-test diperoleh koefisien perbedaan (nilai
t) sebesar 3,155 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,01). Hal ini berarti tingkat perilaku
seksual beresiko remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih
rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak
mendapat program Pendidik Sebaya. Rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja
sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya(Mean=49,17) lebih rendah
dibandingkan rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak
mendapat program pendidik sebaya (Mean=74,17).
WITH OR WITHOUT PEER EDUCATOR PROGRAM: RISKY SEXUAL
BEHAVIOR LEVEL ESTIMATION IN SCHOOL TEENAGERS
ABSTRACT
The aim of this research is to find that the difference of risky sexual behavior
level estimation in school teenage rs with Peer Educator program and school
teenagers without Peer Educator program. The hypothesis of the research is the risky
sexual behavior level estimation in school teenage rs with Peer Educator program is
lower than the risky sexual behavior level estimation in school teenagers without
Peer Educator program. The sample of this research are 120 second year high school
students, range from 15 – 18 years old. The data is gathered by using the Risky
Sexual Behavior scale, and analyzed by using t-test. The t-test result shows that the
differential coefficient (t-score) is 3,155 with the significance of 0,001 (p < 0,01). In
other words, the risky sexual behavior level estimation of school teenager with Peer
Educator program is lower than the risky sexual behavior level estimation of school
teenager without Peer Educator program. The average of school teenager with Peer
Educator program (Mean=49,17) is lower than the risky sexual behavior level
estimation of school teenager without Peer Educator program (Mean=74,17).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kuucapkan pada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat, perlindungan,
dan bimbingan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik. Banyak halangan dan hambatan untuk menyelesaikan skripsi ini, sehingga
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.
Ucap syukur dan terima kasih kepada :
1. Ibu Tanti Arini, S.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi
bimbingan, petunjuk, dan saran-saran hingga penulisan skripsi ini selesai.
Terima kasih juga, ya bu, ima pernah dapat bonus konsultasi masalah pribadi
gratis. Hehehe.. J. Akhirnya dapat merasakan juga konsultasi dengan psikolog
profesional, thanks for the unconditional rewards, bu..
2. Pihak SMK Marsudi Luhur I, SMK Marsudi Luhur II, dan SMK Negri 3 yang
menjadi sampel penelitian. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan pengumpulan data.
3. PKBI DIY yang memberikan rekomendasi dan dukungannya. Thanks, guys..
4. Mamah-Papah, yang telah dengan sabar dan mendukung penuh sampai skripsi
ini selesai. Maaf, ya ma, pa skripsinya lama sekali.
5. Ites-ku yang selalu memberikan semangat dan mengingatkan untuk
6. Sahabat-sahabatku : Eve ‘ Thanks, ve statistiknya..’, Adis ‘Tiket PP ke Bali nya
keburu hangus kalo harus tunggu 3 tahun, jeng..’, Yuyun ‘Sampe bosen ya..
ngingetin ima buat skripsi..’, Yoke and the babarsari gank.
7. Bu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si trima kasih, bu.. atas bantuan dan dukungannya,
mau direpotkan ima yang selalu telat ngurus segala tentang kuliah, jadi
merepotkan sekali.
8. Mas Gandung, dan Mbak Nanik, trima kasih rela selalu direpotkan olehku
terutama kalau ima telat urus sesuatu. Pak Gik yang selalu bukakan pintu ruang
dosen kalau ku telat mengumpulkan tugas, juga bukakan lift kalau ima telat
masuk kuliah, hehe.. . Mas Muji yang selalu kurepotkan dengan telfon-telfon gak
penting tentang keberadaan dosen hihihi.., Mas Doni, Bapak-bapak parkiran
‘sampe bosen ya..kok ima belum pergi-pergi dari sadar. Hehe..’ dan semua
Sadhar crews, makasi atas bantuan dan dukungannya selama ini ya...!!
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis,
M. I Sri Dewi Retno C
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xv
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian... 8
BAB II. LANDASAN TEORI... 9
A. Remaja... 9
1. Pengertian dan batasan remaja... 9
2. Perkembangan pada masa remaja... 11
b. Perkembangan kognitif... 13
c. Perkembangan sosial...14
3. Minat seks... 16
B. Program Pendidik Sebaya (Peer Edocator)... 17
1. Pendidikan seksualitas secara umum ... 17
2. Program Pendidik Sebaya... 18
C. Perilaku Seksual Beresiko... 23
1. Pengertian perilaku seksual... 23
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual... 25
3. Bentuk perilaku seksual... 26
4. Bentuk perilaku seksual beresiko... 34
D. Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah... 37
Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Yang Tidak Mendapat Program Pendidik Sebaya E. Hipotesis... 42
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 43
A. Jenis Penelitian... 43
B. Identifikasi Variabel Penelitian... 43
C. Definisi Operasional... 43
D. Subjek Penelitian... 47
E. Metode Pengumpulan Data... 49
2. Pemberian Skor ... 54
3. Validitas dan Reliabilitas... 58
F. Metode Analisis Data... 59
G. Persiapan Penelitian... 59
1. Orientasi Kancah Penelitian...59
2. Perijinan Penelitian... 61
H. Pelaksanaan Penelitian... 62
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 65
A. Hasil Penelitian... 65
1. Karakteristik Subjek... 65
2. Deskripsi Data...66
3. Pengujian Prasyarat...67
a. Uji Normalitas...67
b. Uji Homogenitas... 68
4. Pengujian Hipotesis... 68
B. Pembahasan...70
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 75
A. Kesimpulan... 75
B. Saran... 75
LAMPIRAN
Lampiran A
1. Skala Penelitian...1
2. Tabulasi Jawaban Remaja Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik... 4
Sebaya 3. Tabulasi Jawaban Remaja Sekolah Yang Tidak Mendapat Program ... 6
Pendidik Sebaya 4. Skor Total Penelitian... 8
5. Frekuensi Dan Prosentase Respon Aitem Secara Keseluruhan... 10
6. Frekuensi Respon Aitem menurut Jenis Kelamin Dan Status Pacaran...11
Lampiran B 1. Uji Reliabilitas... 12
2. Uji Normalitas...13
3. Uji Homogenitas... 14
4. Uji Hipotesis... 15
Lampiran C 1. Surat Keterangan Penelitian...16
2. Surat Ijin Penelitian...17
3. Keterangan Penelitian Dari SMK Marsudi Luhur I Yogyakarta... 18
4. Keterangan Penelitian Dari SMK Marsudi Luhur II Yogyakarta... 19
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja... 41
Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Yang Tidak
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Spesifikasi Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Beresiko... 51
Tabel 2 Pemberian Skor Respon Jawaban “Pernah” Pada Skala Perilaku... 55
Seksual Beresiko Tabel 3 Karakteristik Subjek... 65
Tabel 4 Deskripsi Data Perilaku Seksual Beresiko. (N=120) ... 66
Tabel 5 Uji Normalitas ... 67
Tabel 6 Uji Homogenitas ... 68
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Kasus-kasus remaja yang berkaitan dengan masalah- masalah remaja
meningkat seiring perkembangan jaman. Beberapa penelitan menunjukkan
gambaran fenomena yang sangat memprihatinkan tentang meningkatnya
perilaku seksua l aktif di kalangan remaja. Hasil survey Kesehatan Reproduksi
Remaja Indonesia (SKRRI, 2004) menunjukkan bahwa angka aborsi di
kalangan remaja mencapai 700 sampai 800 kasus per tahun, sedangkan tingkat
kelahiran dari kalangan remaja mencapai 11 persen dari seluruh kelahiran.
Hanya 55 persen remaja yang mengetahui proses kehamilan dengan benar,
42 persen mengetahui tentang HIV/AIDS dan hanya 24 persen mengetahui
tentang penyakit menular seksual (PMS). Data dari Pusat Studi Seksualitas
(PSS) PKBI DIY mengungkapkan, angka konseling remaja KTD (Kehamilan
Tidak Diinginkan) dari bulan Januari-Desember 2005 di Yogyakarta mencapai
550 kasus. Dari angka tersebut untuk usia remaja 18 sampai 24 tahun
mencapai 465 kasus. Selain itu, merebaknya penularan HIV/AIDS di
Yogyakarta sampai bulan November 2006 mencapai 309 kasus.
Kasus-kasus di atas ini tidak lepas dari kurangnya pengetahuan remaja
akan masalah kesehatan reproduksinya, IMS dan HIV/AIDS. Pemberian
informasi yang jelas dan benar kepada remaja tentang kesehatan
hal yang sangat penting. Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi
di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya
anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan
seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar
masyarakat masih berpandangan bahwa pendidikan seks seolah sebagai suatu
hal yang vulgar.
Berdasarkan kesepakatan Internasional di Kairo (The Cairo Consensus,
1994) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184
negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi
para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang
upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual
dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk
bagi remaja.
Pentingnya remaja mendapatkan informasi tentang segala hal yang
berhubungan dengan seksualitas ini, dikarenakan meningkatnya minat remaja
terhadap seks sebagai salah satu perubahan yang terjadi selama masa remaja.
Meningkatnya minat pada seks, membuat remaja selalu berusaha mencari
lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap
bahwa seluk-beluk tentang seks dapat dipelajari dari orang tuanya. Oleh
karena itu, remaja mencari pelbagai sumber informasi yang mungkin dapat
diperoleh, misalnya dengan membahas dengan teman-teman, buku-buku
tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu,
Perubahan lain yang terjadi pada masa remaja adalah perubahan sosial.
Penyesuaian terhadap perkembangan sosialnya menjadi salah satu tugas
perkembangan yang tersulit yang dihadapi remaja. Remaja umumnya harus
menyesuaikan denga n lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum
ada. Lingkungan sosial pada masa remaja tidak lagi terbatas pada lingkungan
keluarga saja, tetapi semakin luas. Remaja harus mengadakan penyesuaian
sosial dengan orang di luar lingkungan keluarga, yaitu dengan lingkungan
teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis. Hal ini ditegaskan
Monks (1987) bahwa pada perkembangan sosial, remaja memperlihatkan dua
macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman
sebaya.
Dengan berkembangnya aspek sosial, remaja akan memperluas
pengalaman sosialnya dan mulai mempersiapkan tugas-tugas ya ng lebih
spesifik yang sesuai dengan orang dewasa. Bertambah luasnya lingkup sosial,
remaja semakin dituntut selalu menyesuaikan dan diharapkan mampu
membuat hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, serta mampu
bertingkah laku sosial yang bertanggung jawab (Havinghurst dalam Hurlock,
1991). Dalam proses penyesuaian diri tersebut, remaja sering manghadapi
masalah. Permasalahan remaja sebenarnya merupakan masalah yang
kompleks, merupakan hasil interaksi dari berbagai sebab, antara lain remaja
itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial dapat merupakan penyebab sekaligus sebagai sarana
permasalahan remaja dapat dilihat melalui konsep dan dukungan sosial (social
support). Dukungan sosial adalah sumber-sumber yang diberikan oleh orang
lain. Salah satu sumber dukungan sosial adalah kelompok teman sebaya.
Kelompok teman sebaya merupakan konteks yang paling alami dan aman bagi
remaja, karena hubungan dengan teman sebaya merupakan interaksi yang
mendalam (Sugianto, 1994).
Hasil studi dari Afiatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa remaja telah
melakukan berbaga i usaha mengatasi permasalahan yang dirasakan. Usaha
yang telah dilakukan tersebut sebagian besar mencoba mengemukakan
permasalahannya pada teman sebaya. Dengan sesama kelompok remaja
mereka merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya,
saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Maka
dari studi di atas dapat diasumsikan bahwa pendekatan kelompok teman
sebaya merupakan sarana yang cukup efektif untuk membantu remaja
memecahkan permasalahannya.
Studi yang dilakukan Afiatin tidak mengungkap secara langsung
pemecahan masalah seksualitas pada remaja yang diselesaikan dengan
mengemukakan permasalahannya dengan teman sebaya, akan tetapi survey
yang dilakukan oleh Youth Center PKBI di beberapa kota yaitu Cirebon,
Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang (2001) mengungkapkan
bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi
terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh pengetahuan dari televisi,
posisi setelah kedua sumber tadi. Oleh karena itulah, pengetahuan reproduksi
juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman
sebayanya (peer). Jika teman sebaya mempunyai pengetahuan yang memadai,
maka dia akan dapat memberikan pengetahuan ini kepada temannya.
Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan
reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, termasuk mitos- mitos yang
menyesatkan. Hal ini tentunya sangat membahayakan, apalagi mengingat
bahwa mitos yang menyesatkan tersebut dapat berakibat fatal terhadap masa
depan remaja itu sendiri.
Dengan menyadari hal ini, maka Youth Center PKBI seluruh Indonesia
mengembangkan program yang disebut Pendidik Sebaya, yaitu pendidikan
yang dilakukan dengan cara mengkader sekelompok orang untuk menjadi
Pendidik Sebaya bagi kelompok sebayanya. Para Pendidik Sebaya adalah
orang yang memberikan pendidikan kepada kelompok sebayanya. PKBI DIY
sampai saat ini telah mendampingi 17 sekolah tingkat menengah umum dan 5
sekolah tingkat menengah pertama. Konsep ini dikembangkan untuk
membantu remaja dalam menghadapi masalah-masalahnya. Salah satunya
dengan memenuhi kebutuhan remaja akan informasi tentang seksualitas.
Informasi tentang seksualitas adalah informasi tentang segala hal tentang
seksualitas, misalnya kesehatan reproduksi, resiko seksual aktif, dan penyakit
menular seksual ataupun HIV/AIDS. Dari pemenuhan kebutuhan remaja akan
dikehendaki seperti hubungan seksual pra nikah, kehamilan tidak dikehendaki,
aborsi, dan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS dapat dikurangi dan
dicegah.
Sebelum menjadi Pendidik Sebaya, para remaja ini mendapat
pendidikan dulu dari para ahli di PKBI mengenai seksualitas, kesehatan
reproduksi dan masalah- masalah remaja lainnya, termasuk tentang
NARKOBA dan penyalahgunaannya. Setelah itu, diharapkan mereka dapat
menularkan pengetahuannya tadi ke rekan-rekan sebayanya, serta
mempengaruhi mereka untuk mengambil keputusan yang sehat dan
bertanggung jawab.
Pada intinya Pendidik Sebaya berperan sebagai pemberi informasi atau
nara sumber bagi rekan sebayanya. Kegiatan yang dilakukan oleh Pendidik
Sebaya bermacam- macam dan dapat dilakukan di sekolah maupun si luar
sekolah, misalnya menfasilitasi diskusi kelompok, menyelenggarakan
sarasehan, mengisi majalah dinding (mading), memberikan informasi secara
interpersonal dengan konseling sebaya (peer counseling) dan menjadi
motivator untuk kegiatan-kegiatan remaja lainnya baik di sekolah ataupun di
lingkungannya, dan juga memberikan konseling sebaya (peer counseling).
Dalam hal ini Pendidik Sebaya berperan mengidentifikasi masalah-masalah
yang terjadi di antara rekan-rekan sebayanya, kemudian jika ada masalah yang
tidak dapat diselesaikan, merujuk rekan yang mengalami masalah tadi ke
didampingi oleh pihak sekolah dan divisi Pendamping Pendidik Sebaya PKBI
DIY.
Kecanggungan yang dialami remaja ketika membuka komunikasi
dengan orang lain diharapkan akan berkurang bila ia berada dalam
kelompoknya. Dengan sesama kelompok remaja ini, mereka akan dapat
merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya, saling
belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Kelompok
remaja ini dipandang memiliki sifat-sifat positif dalam hal memberikan
kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku dalam
hubungan-hubungan sosial. Dengan demikian, kelompok teman sebaya dapat
dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu
remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya dan berperilaku yang lebih
sehat terutama dalam kaitannya dengan seksualitas.
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini ingin melihat apakah
ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang
mendapat program Pendidik Sebaya (Peer Educator) dan remaja sekolah yang
tidak mendapat program Pendidik Sebaya (Peer Educator).
II. Rumus an Masalah
Apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja
sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang
III.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja
sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang
tidak mendapat program Pendidik Sebaya.
IV.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Dapat digunakan sebagai literatur dalam melakukan penelitian yang
relevan di masa yang akan datang khususnya dalam bidang psikologi
perkembangan khususnya remaja.
2. Manfaat Praktis
Sebagai evaluasi keefektifan program Pendidik Sebaya bagi PKBI DIY
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Remaja
1. Pengertian dan batasan remaja
Remaja atau adolescence berasal dari kata latin yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Ba nyak ahli berbeda-beda
dalam memberikan pengertian tentang remaja, contohnya adalah Hurlock
(1991) yang mengemukakan masa remaja sebagai masa peralihan dari
suatu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Pada masa
remaja seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu yang
bersifat kekanak-kanakan dan mulai mempelajari pola perilaku dan sikap
baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.
Erikson (1989), mengemukakan bahwa adolesensi adalah suatu
masa pertumbuhan yang berada di antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Pada masa ini tindakan dan perbuatan individu belum
menunjukan kedewasaan dan juga identitas masa depannya belum pasti.
Pada masa ini terjadi perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial.
Persoalan pokok masa adolesensi adalah berkembangnya suatu kesadaran
akan identitas dan konflik pokoknya adalah “krisis identitas”. Periode
yang merupakan bagian dari lingkaran hidup ini bermula pada waktu
setiap kaum muda mulai mencari bagi dirinya sendiri suatu pandanga n dan
berdasarkan sisa-sisa dari masa kanak-kanaknya dan harapan- harapan akan
masa dewasanya yang diantisipasikannya. Ia harus menemukan satu
kesamaan yang berarti antara bentuk identitas yang telah ia lihat dalam
dirinya sendiri dan bentuk identitasnya yang menurut kesadarannya yang
tajam diharapkan darinya oleh orang lain.
Mussen dkk (1969) menyatakan juga bahwa masa remaja
merupakan tahap kehidupan yang penuh tantangan dan kesulitan. Hal ini
disebabkan karena pada masa remaja selain terjadi perubahan fisik, psikis
dan kognitif juga terjadi perubahan dalam tuntutan sosial terhadap remaja.
Hampir sama dalam memberikan definisi, para ahli pun
berbeda-beda dalam memberikan batasan usia masa remaja. Monks (1987)
menyatakan masa remaja secara global berlangsung antara unur 12 sampai
21 tahun. Jersild (dalam Mappiare, 1982) menyebutkan bahwa masa
remaja berada pada usia sekitar 11 sampai 20 tahun. Gunarsa & Gunarsa
(1991) memberikan batasan masa remaja pada usia 12 sampai 22 tahun.
Sedangkan batasan usia remaja menurut WHO adalah antara usia 10
sampai 20 tahun dengan pembagian usia 10 sampai 14 tahun sebagai
remaja awal dan usia 15 sampai 20 tahun sebagai remaja akhir (sarwono,
1981). Batasan remaja tersebut hampir sama seperti yang dikemukakan
dalam PBB yang menetapkan usia 15 sampai 24 tahun sebagai usia
pemuda dan di Indonesia batasan remaja mendekati batasan PBB, yaitu
Dari beberapa pendapat di atas dapat peneliti menyimpulkan
bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke
dewasa dengan segala perubahan-perubahan yang dialami meliputi
perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial dengan batasan usia berkisar
antara usia 14 atau 15 tahun sampai usia 20 atau 24 tahun. Peneliti
menyimpulkan batasan usia remaja berdasarkan batasan yang
dikemukakan oleh PBB karena melihat penelitian ini dilakukan di
Indonesia.
2. Perkembangan pada masa remaja
Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masa remaja
menimbulkan berbagai macam perubahan seiring dengan
perkembangannya. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama
masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa
remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku
dan sikap juga berlangsung pesat. Begitu juga dengan sebaliknya, jika
perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku juga akan
menurun.
Perubahan-perubahan lainnya adalah meningginya emosi,
perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial,
serta nilai-nilai. Terhadap setiap perubahan ini, sebagian besar remaja
mereka masih takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan
kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
Berikut ini adalah berbagai macam perkembangan yang terjadi
pada masa remaja:
a. Perkembangan fisik
Pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna pada saat masa
puber berakhir, dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa
awal remaja. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan dan
perkembangan internal lebih menonjol daripada perkembangan
eksternal.
Berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan
tubuh yang baik. Misalnya, badan melebar dan memanjang sehingga
anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang. Organ seks baik
pria maupun wanita juga mencapai ukuran yang matang pada akhir
masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun
kedepan. Sedangkan ciri-ciri seks sekunder yang utama berada pada
tingkat perkembangan yang matang pada akhir masa remaja.
Dengan berkurangnya perubahan fisik, kecanggungan pada
masa puber dan awal masa remaja pada umumnya menghilang, karena
remaja yang lebih besar sudah mempunyai waktu tertentu untuk
mengawasi tubuhnyayang bertambah besar.
Hanya sedikit remaja yang mengalami kateksis-tubuh atau
beberapa bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis-tubuh
menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik
dan kurangnya harga diri selama masa remaja. Keprihatinan in timbul
karena adanya kesadaran bahwa daya tarik fisik berperan penting
dalam hubungan sosial (Hurlock, 1991).
b. Perkembangan kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) pemikiran masa remaja
berada pada tahap operasional formal. Pemikiran ini lebih abstrak
daripada pemikiran seorang anak. Remaja tidak lagi terbatas pada
pengalaman kongkret aktual sebagai dasar pemikiran, akan tetapi
mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan,
kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang labih
abstrak. Remaja semakin dapat berpikir tentang pemikiran itu sendiri.
Mereka dapat bertanya-tanya mengapa mereka memikirkan apa yang
sedang mereka pikirkan. Hal ini mencirikan bertambahnya minat
remaja pada memikiran itu sendiri dan keabstrakan pemikiran.
Selain itu, pemikiran remaja juga idealis. Mereka mulai
memikirkan tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain
serta membandingkan diri mereka dan orang lain dengan
standar-standar ideal ini. Selama masa remaja, pemikiran-pemikiran sering
berupa fantasi yang mengarah ke masa depan.
Pada saat yang bersamaan, ketika mereka berpikir lebih abstrak
Santrock, 2002). Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan yang
menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah- masalah dan
menguji pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis.
Dalam kognisi sosial, remaja mengembangkan suatu
egosentrisme khusus. Mereka mulai berpikir tentang kepribadian.
Pemikiran egosentrisme ini menurut Elkind (dalam Santrock, 2002)
ada dua bagian, yang pertama yaitu penonton khayalan. Bagian ini
adalah dimana remaja meyakini bahwa orang lain memperhatikan
dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Bagian yang kedua
adalah dongeng pribadi. Bagian ini meliputi perasaan unik seorang
anak remaja. Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa
tidak ada seorang pun yang dapat mengerti bagaimana perasaan
mereka yang sebenarnya.
c. Perkembangan sosial
Dalam perkembangannya, remaja harus menyesuaikan diri
dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah
ada dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar
lingkungan keluarga dan sekolah. Yang terpenting dan tersulit adalah
penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru,
nilai- nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam
dukungan dan penolakan sosial, serta nilai- nilai baru dalam seleksi
pada perkembangan sosial remaja memperlihatkan dua macam gerak,
yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman
sebaya.
Pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat,
penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.
Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1991) mengungkapkan
bahwa didalam kelompok sebaya remaja merumuskan dan
memperbaiki konsep dirinya. Mereka dinilai oleh orang lain yang
sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi
dunia dewasa yang ingin mereka dihindari. Nilai- nilai dalam kelompok
sebaya bukanlah nilai- nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa
melainkan oleh teman-teman seusianya. Dalam kelompok sebaya
inilah mereka memperoleh dukungan untuk memperjuangkan
emansipasi, dan disini jugalah mereka dapat menemukan dunia yang
memungkinkan mereka bertindak sebagai pemimpin apabila mampu
melakukannya.
Dalam hal memilih teman, remaja menginginkan teman yang
mempunyai minat dan nilai yang sama, yang dapat mengerti dan
membuatnya merasa aman, yang dapat mempercayakan
masalah-masalah dan membahas hal- hal yang tidak dapat dibicarakan dengan
orang tua maupun guru. Remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat
pada teman-teman sejenis. Minat terhadap lawan jenis bertambah besar
3. Minat seks
Untuk memenuhi tugas perkembangan dalam hal peran seksual,
Hurlock (1991) mengungkapkan minat terhadap seks meningkat pada
masa remaja. Hal ini membuat remaja selalu berusaha mencari lebih
banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap
bahwa segala informasi mengenai seks dapat dipelajari dari orang tuanya.
Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi yang dapat
diperoleh, misalnya dari pendidikan seks disekolah, membahas dengan
teman-teman, buku-buku dan situs internet tentang seks, atau mengadakan
percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu atau bersenggama. Survey
yang dilakukan ole h Youth Center PKBI di beberapa kota yaitu Cirebon,
Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang (2001)
mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan
kesehatan reproduksi terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh
pengetahuan dari televisi, majalah atau media cetak lain, sedangkan orang
tua dan guru menduduki posisi setelah kedua sumber tadi.
Telaah telaah tentang apa yang terutama ingin diketahui tentang
seks menunjukan bahwa perempuan sangat ingin tahu tentang keluarga
berencana, “pil antihamil”, pengguguran dan kehamilan. Di sisi lain,
laki-laki ingin mengetahui tentang penyakit kelamin, kenikmatan seks,
hubungan seks, dan keluarga berencana. Minat utama mereka tertuju pada
Untuk memenuhi tugas perkembangan membentuk hubungan baru
yang lebih matang dengan lawan jenis, remaja mulai mengembangkan
sikap yang baru pada lawan jenisnya dan selain mengembangkan minat
pada pelbagai kegiatan yang melibatkan laki- laki dan perempuan. Minat
ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk
memperoleh dukungan dari lawan jenis.
Remaja perempuan memiliki keinginan yang lebih kuat untuk
penjajakan keintiman dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja
laki- laki (Santrock, 2003). Berkencan bagi remaja ialah suatu konteks
dimana harapan- harapan peran yang berkaitan dengan gender meningkat.
Laki- laki merasakan tekanan untuk tampil secara “maskulin” dan
perempuan merasakan tekanan untuk tampil secara “feminin”.
B. Program Pendidik Sebaya
1. Pendidikan seksualitas secara umum
Menurut Sarlito (1994), secara umum pendidikan seksual adalah
suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan
benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai
kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek
kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual
yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan
yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang
bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual
ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan
seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Materi pendidikan seksual
ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya
tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain,
berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur
anak serta daya tangkap anak (Gunarsa, 2001). Dalam hal ini pendidikan
seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah,
mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri.
Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap
anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat
sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia
menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan
penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak
memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran
dunia pendidikan sangatlah besar (Mutadin, 2002).
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis selama menjadi
pendamping pendidik sebaya PKBI DIY selama hampir dua tahun, masih
banyak sekolah yang belum mempunyai jam pelajaran khusus tentang
seksualitas untuk menyampaikan materi seksualitas secara utuh. Materi
Konseling, Agama, Pendidikan Jasmani dan Biologi. Meninjau berbagai
fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di
masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah
hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk
berhubungan seks (Sumardi, 1976).
Dimensi biologis seksualitas, dalam hal ini tentang anatomi
terpaparkan dalam bab Anatomi Tubuh kelas XI (Syamsuri, 2007 dan Tia,
2008). Sehingga dapat terbayangkan siswa kelas X belum mendapatkan
materi tentang anatomi tubuh secara kurikulum.
Pendidikan Jasmani kelas XI berdasarkan observasi, ada beberapa
sekolah yang menjelaskan tentang berbagai macam penyakit menular
seksual dan pemeliharaan kesehatan organ reproduksi. Materi ini diberikan
guru untuk melengkapi materi pemeliharaan kesehatan (Mujahir, 1996).
Materi seksualitas yang behubungan dengan psikologis dan sosial
biasanya disampaikan melalui mata pelajaran Bimbingan Konseling dan
Agama, akan tetapi hal itu tergantung pada guru dan kebijakan sekolah
masing- masing (Riandari, 2007). Dari pengalaman peneliti selama hampir
dua tahun sebagai pendamping pendidik sebaya di sekolah, ada beberapa
sekolah yang mulai meniadakan mata pelajaran bimbingan konseling
mengingat, salah satu alasannya adalah, semakin padatnya materi
2. Program Pendidik Sebaya
Program Pendidik Sebaya adalah pengkaderan siswa sekolah untuk
menjadi pendidik sebaya bagi teman-temannya. Para Pendidik Sebaya
adalah orang yang me mberikan pendidikan kepada kelompok sebayanya.
Program ini adalah program dampingan PBKI DIY kepada
sekolah-sekolah di Yogyakarta yang nantinya ketika sekolah-sekolah sudah dapat
menjalankannya sendiri, PKBI akan melepas pendampingannya. Sampai
saat ini, sudah ada 17 sekolah tingkat menengah umum dan 5 sekolah
tingkat menengah pertama yang didampingi oleh PKBI DIY dengan 6
orang pendamping Pendidik Sebaya yang setiap orangnya mendampingi 3
sampai 4 sekolah.
Latar belakang program ini adalah karena remaja sangat kuat
dipengaruhi oleh kelompok sebayanya. Oleh karena itu akan lebih baik
jika pengaruh yang diberikan oleh kelompok sebaya merupakan pengaruh
yang positif dan membangun. Dalam kelompok sebaya inilah diharapkan
program ini dapat membantu remaja menyelesaikan masalahnya dalam hal
seksualitas.
Program ini bertujuan untuk membantu remaja dalam menghadapi
masalah- masalahnya seperti perilaku seksual pranikah, kehamilan yang
tidak diinginkan, aborsi, dan penularan penyakit menular seksual ataupun
HIV/AIDS. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan remaja akan
informasi tentang seksualitas. Program ini juga berfungsi untuk
diberikan oleh sekolah ataupun mengkoreksi jika ada informasi yang
salah. Sehingga, diharapkan kasus-kasus seksual yang tidak dikehendaki
seperti hubungan seksual pra nikah, KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan),
aborsi, IMS dan HIV/AIDS dapat dikurangi atau dicegah.
Para Pendidik sebaya dibekali informasi- informasi seputar
seksualitas melalui pelatihan selama 3 hari yang diselenggarakan PKBI
DIY setahun sekali. Berikut ini adalah topik-topik materi yang diberikan
pada para pendidik sebaya (Imran,2000):
a. Kesehatan reproduksi remaja
- Lonceng faali
- Menstruasi dan mimpi basah
- Pemeliharaan alat-alat reproduksi
- Masa subur dan kehamilan
- Mitos- mitos tentang kesehatan reproduksi
b. Perkembangan seksualitas remaja
- Jender atau Peran jenis kelamin
- Perilaku seksual remaja
- Perilaku seksual bertanggungjawab
- Perilaku seksual menyimpang
- Relasi heteroseksual
- Menunda hubungan seksual
c. Resiko reproduksi remaja
- Resiko hubungan seksual pranikah
- Resiko kehamilan remaja
- Aborsi pada kehamilan remaja
- Rentankah kamu terhadap HIV/AIDS?
- Gangguan saluran reproduksi akibat reproduksi pada masa remaja
- ”NOT NOW FOR SEX”. Gangguan psikoseksual akibat perilaku
seksual masa remaja
d. Penyakit menular seksual dan Infeksi saluran reproduksi
- Pengertian, penularan dan jenis-jenisnya
- Cara pengobatan dan pencegahan
e. NAPZA
- Pengertian dasar dan jenis-jenis NAPZA
- Dampak penyalahgunaan NAPZA
- Faktor pendorong penyalahgunaan NAPZA
- Metode pencegahan serta penanggulangan NAPZA
- Ketrampilan pengendalian diri serta mengatasi tekanan lingkungan
f. Pertumbuhan dan perkembangan
- Aspek-aspek perkembangan remaja
- Tugas-tugas perkembanga n remaja
g. Pengembangan diri
- Mengenal dan menerima diri
- Membuka diri
- Komunikasi interpersonal
- Mendengar aktif
- Konflik
- Strategi pemecahan masalah
- Merencanakan masa depan
h. Pendidik sebaya
- Pengertian dan tujuan
- Kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan sebagai pendidik
sebaya
- Bagaimana menyelenggarakan kegiatan pendidik sebaya
- Penyusunan program
Di tiap sekolah ada 5-10 pendidik sebaya untuk menjangkau semua
siswa yang ada. Pendaftaran untuk menjadi Pendidik Sebaya dibuka pada
setiap awal tahun ajaran dan terbuka bagi siswa-siswa yang berminat.
Penyeleksian untuk menjadi Pendidik Sebaya dilakukan dengan cara
wawancara yang dilakukan oleh guru pengampu mata pelajaran bimbingan
konseling dan wakil kepala sekolah. Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah
untuk mengetahui sejauhmana pengetahuan dasar tentang seksualitas dan
juga tentang kepribadian calon Pendidik Sebaya. Sarat-syarat kepribadian
yang harus dipenuhi sebagai seorang Pendidik Sebaya, yaitu:
- Aktif di kegiatan sosial dan populer di lingkungannya sehingga dapat
- Berminat secara pribadi dan mampu menyebarluaskan informasi
tentang seksualitas dan issu- issu remaja lainnya.
- Punya ciri-ciri kepribadian yang matang dan unggul, misalnya ramah,
dapat dipercaya, supel, kreatif, terbuka dan lancar dalam
mengemukakan pendapatnya.
Kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik sebaya di sekolah
adalah misalnya pembuatan mading dan leaflet, konseling sebaya (peer
counseling), sarasehan dan diskusi. Dalam konseling remaja, para pendidik
sebaya berperan mengidentifikasi masalah- masalah yang terjadi di antara
rekan-rekan sebayanya, kemudian jika ada masalah yang tidak dapat
diselesaikan, merujuk rekan yang mengalami masalah tadi ke konselor,
ahli yang ada di Youth Center. Dengan dampingan Pendamping Pendidik
Sebaya, satu kali dalam semingu mereka melakukan pertemuan rutin untuk
membahas program kegiatan dan mengevaluasinya. Mereka juga
memonitoring siswa-siswa yang telah mereka jangkau. Dalam pertemuan
ini pula mereka menambah dan memperbaharui (meng-update)
pengetahuan tentang seksualitas melalui pengayaan yang diberikan oleh
Pendamping Pendidik Sebaya.
C. Perilaku Seksual Beresiko
1. Pengertian perilaku seksual
Azwar (1998) menyatakan bahwa perilaku merupakan reaksi yang
belum tentu menimbulkan reaksi yang sama. Selanjutnya, pengertian
tentang perilaku seksual dikemukakan oleh Sarwono (1994) yang
mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama
jenis. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Imran (2000)
bahwa perilaku seksual adalah perilaku yang didasari oleh dorongan
seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui
berbagai perilaku. Lebih detil lagi Masters (1992) memberikan pengertian
perilaku seksualitas sebagai hasil dari dorongan kebutuhan biologis dan
kebutuhan psikososial. Yang dimaksud dengan psikososial di sini adalah
kombinasi dari keadaan psikologis seseorang meliputi emosi, pemikiran,
dan kepribadian dengan elemen sosial menyangkut bagaimana seseorang
berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Dari pengertian-pengertian yang disebut di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa perilaku seksual adalah tingkah laku yang didorong
oleh hasrat seksual baik lawan jenis maupun sesama jenis yang
dimunculkan individu sebagai reaksi terhadap stimulus seksual jasmani.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual
Hurlock (1991) menyatakan bahwa manifestasi dorongan seksual
dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh
a. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu
menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangk utan dan
hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.
b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar diri individu,
yang menimbulkan dorongan seksual sehingga menimbulkan perilaku
seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui
pengalama n kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan
teman, pengalaman masturbasi, buku-buku bacaan dan tontonan porno,
dorongan empati serta pengaruh orang dewasa lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual yaitu pengaruh biologis meliputi perkembangan fisik dan
hormon, kemampuan sosial kognitif, serta kepribadian. Pengaruh eksternal
meliputi pengalaman seksual, pemahaman dan pengahayatan nilai- nilai
keamanan serta pengetahuan tentang seksualitas, keluarga, serta teman
sebaya.
3. Bentuk perilaku seksual
Sarwono (1989) memandang bentuk perilaku seksual itu dapat
berupa perasaan tertarik, tingkah laku berkencan, bercumbu dan
berhubungan seksual. Objek seksualnya dapat berupa diri sendiri, orang
lain atau orang dalam kha yalan. Perilaku seksual remaja umumnya
dilakukan secara bertahap sebelum sampai pada tahap yang lebih berat.
Urutan perilaku seksual tersebut adalah dari belum berpengalaman sama
meraba tubuh di luar pakaian, saling meraba tubuh di dalam pakaian,
saling menempelkan alat kelamin dan berhubungan seksual. Secara
bertahap dijabarkan sebagai berikut:
a. Memegang tangan
- Bergandengan saat jalan-jalan
- Bergandengan tangan saat menyebrang jalan
- Memenggang tangan saat duduk berduaan
b. Mencium
- Mencim pipi
- Saling menempelkan bibir
- Berciuman
c. Memeluk
- Memeluk saat jalan-jalan
- Merangkul saat duduk berduaan
- Merangkul saat menyebrang jalan
- Memeluk saat berboncengan
- Berpelukan
d. Meraba tubuh
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba alat kelamin di dalam pakaian
e. Saling menempelkan alat kelamin (petting)
- Petting dengan masih berpakaian lengkap
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian
f. Masturbasi
- Masturbasi pada diri sendiri
- Saling memasturbasi dengan pasangannya
g. Berhubunga n seks
Mutadin (2002) mengurutkan perilaku seksual remaja antara lain
berpegangan tangan, berpelukan ringan sampai dengan yang berat,
berciuman ringan sampai yang berat, saling meraba payudara dan alat
kelamin secara ringan sampai yang berat, berpelukan tanpa pakaian, saling
menempelkan alat kelamin, saling memasturbasi dengan tangan samapi
dengan mulut, dan berhubungan seksual.
Selanjutnya, Imran (2000) menjelaskan bentuk-bentuk perilaku
seksual, yaitu sebagai berikut:
a. Berfantasi.
Adalah perilaku membayangkan atau mengimajinasikan aktivitas
seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.
Dampak perilaku seksual ini:
- Aktivitas seksual ini dapat berlanjut ke kegiatan lainnya, seperti
- Tidak beresiko tertular penyakit.
b. Berpegangan tangan
Aktivitas seksual ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba
aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual dapat tercapai).
Umumnya jika berpegangan tangan, maka muncul getaran-getaran
romantis atau perasaan-perasaan aman atau nyaman. Berpegangan
tangan juga merupakan bentuk pernyataan afeksi atau perasaan sayang
yang berupa sentuhan.
c. Cium Kering
Adalah aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi, pipi dengan
bibir. Dapak dari aktivitas ini yaitu:
- Imajinasi atau fantasi seksual jadi berkembang.
- Menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada saat-sat tertentu
dan bersifat sekilas.
- Menimbulkan keinginan untuk melanjutkan bentuk aktivitas
seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.
d. Cium Basah
Aktivitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir sampai
berciuman dalam (french kiss). Dampak dari aktivitas ini yaitu:
- Jantung menjadi lebih berdebar-debar.
- Dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang
akan mudah melakukan aktivitas seksual selanjutnya tanpa disadari
seperti cumbuan, petting bahkan sampai hubungan intim.
- Ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut
terus-menerus).
e. Meraba
Kegiatan meraba bagian-bagian sensitif rangsang seksual, seperti
payudara, leher, paha atas, vagina, penis, pantat dan lain- lain. Dampak
dari aktivitas ini adalah:
- Terangsang secara seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan
akal sehat, akibatnya dapat melakukan aktivitas seksual selanjutnya
seperti cumbuan berat dan hubungan intim.
- Ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut
terus-menerus).
- Muncul perasaan dilecehkan oleh pasangan.
f. Berpelukan
Dampak dari aktivitas ini adalah:
- Jantung menjadi berdegup lebih cepat.
- Menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang.
- Menimbulkan rangsangan seksual terutama jika mengenai daerah
erogenus.
g. Masturbasi
Adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan
- Luka bahkan infeksi terutama jika menggunakan alat-alat yang
membahayakan, seperti benda-benda tajam atau benda lain yang
tidak steril.
- Energi fisik dan psikis terkuras, biasanya orang menjadi mudah
lelah, sulit berkonsentrasi, malas melakukan aktivitas lain.
- Dapat merobek selaput dara.
- Pikiran terus- menerus ke arah fantasi seksual.
- Perasaan bersalah dan berdosa.
- Kemungkinan mengalami ejakulasi dini pada saat nantinya
berhubungan intim.
- Kurang bisa memuaskan pasangan karena terbiasa memuaskan diri
sendiri.
- Menimbulkan kepuasan diri.
- Menimbulkan ketagihan.
h. Oral
Adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan
kepuasan dengan menggunakan mulut. Perilaku ini berdampak:
- Dapat terkena bibit penyakit yang dapat menimbulkan radang
tenggorokan ataupun pencernaan dan juga dapat tertular penyakit
jika pasangan mengidap penyakit menular seksual (PMS).
- Menimbulkan ketagihan.
- Dapat berlanjut ke hubungan intim.
- Sanksi moral dan agama.
i. Petting
Adalah aktivitas menempelkan alat kelamin. Dampak dari perilaku ini
adalah:
- Menimbulkan ketagihan.
- Dapat memungkinkan terjadinya kehamilan.
- Dapat tertular penyakit menular seksual (PMS).
- Menimbulkan perasaan cemas dan bersalah.
- Memuaskan kebutuhan seksual.
- Dapat menyebabkan robeknya selaput dara.
- Sanksi moral dan agama.
j. Intercourse
Aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki- laki ke alat
kelamin wanita.
- Perasaan bersalah dan berdosa terutama pada saat melakukan
pertama kali.
- Ketagihan.
- Kemungkinan terjadinya hamil sangat tinggi.
- Dapat tertular penyakit menular seksual dan infeksi saluran
reproduksi.
- Resiko adanya gangguan fungsi seksual seperti frigiditas,
vaginismus ataupun dispareunia.
- Keperawanan dan keperjakaan hilang.
Sebagai kesimpulan bentuk perilaku seksual remaja, peneliti
menggabungkan uraian dari Sarwono (1989) dan Imran (2000) yang
dijabarkan sebagai berikut di bawah ini:
- Berfantasi seksual
- Masturbasi pada diri sendiri
- Berpegangan tangan
- Cium kering
- Cium basah
- Berpelukan
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba alat kelamin di luar pakaian
- Meraba alat kelamin di dalam pakaian
- Petting dengan masih berpakaian lengkap
- Saling memasturbasi dengan pasangannya
- Oral
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian
4. Bentuk perilaku seksual beresiko
Dari uraian sebelumnya tentang bentuk-bentuk perilaku seksual
menurut Imran (2000), terlihat bahwa setiap perilaku seksual mempunyai
resiko yang berbeda-beda. Sehubungan dengan tujuan program pendidik
sebaya yaitu untuk mengurangi dan mencegah perilaku hubungan seksual
pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, dan penularan
penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS, maka yang dimaksud
dengan perilaku seksual beresiko menurut penelitian ini adalah perilaku
seksual yang me mpunyai resiko untuk perilaku hubungan seksual
pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, dan penularan
penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS.
Untuk menyederhanakan dan memberikan batasan dari pengertian
di atas, peneliti mengkaji bahwa resiko untuk berperilaku hubungan
seksual pranikah akan terjadi jika ada kesempatan untuk melakukan
perilaku ketahap selanjutnya. Begitu pula dengan resiko aborsi, akan
terjadi jika adanya kehamilan yang tidak dikehandaki. Perilaku aborsi
belum tentu dilakukan oleh seseorang, karena perilaku aborsi adalah
sebuah pilihan tergantung dari penerimaan atas kehamilan dan apakah
kehamilan itu dikehendaki atau tidak. Dari kajian berikut dapat
disimpulkan bahwa perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang
mempunyai resiko untuk melakukan perilaku seksual tahap selanjutnya,
Penggunaan alat kontrasepsi juga dapat mempengaruhi resiko yang
akan diterima seseorang. Alat kontrasepsi KB seperti pil KB, tisu KB,
spiral, ataupun IUD saat melakukan hubungan seksual akan mengindari
seseorang dari resiko kehamilan. Alat kontrasepsi kondom dapat
mencegah seseorang dari resiko kehamilan dan penularan penyakit
menular ataupun HIV/AIDS.
Dari berbagai kajian di atas, dapat diambil kesimpulan bentuk
perilaku seksual beresiko adalah sebagai berikut:
a. Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan ketahap selanjutnya:
- Berfantasi
- Memasturbasi diri sendiri
- Berpegangan tangan
- Cium kering
- Cium basah
- Berpelukan
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba alat kelamin di luar pakaian
- Meraba alat kelamin di dalam pakaian
- Petting dengan masih berpakaian lengkap
- Oral dengan tidak menggunakan kondom
- Oral dengan menggunakan kondom
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom
- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat
kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,
tisu KB, atau spiral)
- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat
kontrasepsi KB lain
b. Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat
kontrasepsi KB lain
- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain
c. Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual
dan HIV/AIDS:
- Cium basah
- Oral dengan tidak menggunakan kondom
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat
- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat
kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,
tisu KB, atau spiral)
- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain
- Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah
kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)
D. Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah
Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Yang
Tidak Mendapat Program Pendidik Sebaya
Pada sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, remaja dapat
menambah, memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di
sekolah secara terpisah-pisah, dan mengkoreksi jika ada informasi yang salah
dengan kelompok sebayanya yang telah terlatih dan dibekali.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik sebaya seperti majalah dinding,
pembagian leaflet, sarasehan dan diskusi yang secara rutin dilakukan akan
memenuhi kebutuhan remaja akan informasi seksualitas. Dengan
penyampaian bahasa yang sama, informasi akan lebih mudah diterima dan
dicerna. Begitu pula dalam hal berdiskusi, karena adanya kesetaraan usia.
Kegiatan Peer Counseling (konseling remaja) yang dilakukan pun
akan sangat membantu remaja dalam menyelesaikan masalahnya, terutama
masalah tentang seksualitas seperti tentang hubungan seksual pranikah,
seksual ataupun HIV/AIDS. Kecanggungan yang dialami remaja ketika
membuka komunikasi dengan orang lain diharapkan akan berkurang bila ia
berada dalam kelompoknya.
Hasil studi dari Afiatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa remaja telah
melakukan berbagai usaha mengatasi permasalahan yang dirasakan. Usaha
yang telah dilakukan tersebut sebagian besar mencoba megemukakan
permasalahannya pada teman sebaya. Dengan sesama kelompok remaja
mereka merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya,
saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya.
Kelompok remaja ini dipandang memiliki sifat-sifat positif dalam hal
memberikan kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku
dalam hubungan- hubungan sosial. Sehingga, kelompok teman sebaya dapat
dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu
remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya. Dengan pendekatan ini
juga remaja dapat berlatih caranya bersikap dan berperilaku yang lebih sehat
terutama dalam kaitannya dengan seksualitas. Maka dari studi inilah dapat
diasumsikan bahwa pendekatan kelompok teman sebaya merupakan sarana
yang cukup efektif untuk membantu remaja memecahkan permasalahannya.
Di sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya, remaja
mendapat pengetahuan seksualitas dari pelajaran sekolah yang terpisah-pisah
dan sisanya mereka mencari sendiri dari berbagai sumber serta dari teman
sebayanya. Karena kelompok sebaya tidak terlatih, maka informasi yang ada
dipertangungjawabkan. Oleh karena itu remaja tidak dapat menambah,
memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara
terpisah-pisah, dan mengkoreksi jika ada informasi yang salah dengan
sebayanya serta kebutuhan remaja untuk mendapatkan informasi tentang
seksualitas tidak terpenuhi.
Kegiatan-kegiatan di sekolah yang bertujuan untuk menambah
pengetahuan seksualitas tidak dilakukan oleh kelompok sebayanya. Sehingga,
tidak ada informasi yang disampaikan dengan bahasa yang sama, sebagai
contoh yaitu tidak adanya konseling sebaya. Karena kelompok sebaya tidak
terlatih dan dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, maka
kelompok sebaya ini tidak dapat memberikan kesempatan luas untuk melatih
caranya bersikap, bertingkah laku dalam hubungan-hubungan sosial. Remaja
tidak dapat saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman
sebayanya. Sehingga, kelompok teman sebaya tidak dapat dijadikan sebagai
agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja itu sendiri untuk
memecahkan masalahnya.
Masalah seksualitas tergolong masalah yang sensitif, sehingga
terkadang tidak semuanya dapat remaja diskusikan atau ungkapkan pada orang
dewasa, yang dalam hal ini adalah orang tua atau guru. Mereka akan lebih
terbuka pada sebayanya dan seperti yang telah banyak banyak diulas
sebelumnya tentang pengaruh kelompok sebaya, maka tingkat pengetahuan
Jika kelompok sebaya mempunyai pengetahuan yang memadai, maka
kelompok sebaya ini akan dapat memberikan pengetahuan kepada temannya
dan dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat
membantu remaja untuk memecahkan masalahnya dan membantunya
berperilaku yang lebih sehat. Sebaliknya, apabila pengetahuan kelompok
sebaya tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang
beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan, misalnya seperti mitos- mitos yang menyesatkan, sehingga
kelompok sebaya tidak dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change
agent) yang dapat membantu remaja untuk memecahkan masalahnya. Hal ini
tentunya sangat membahayakan, karena dapat membawanya pada perilaku
yang salah atau tidak sehat dan beresiko.
Berdasarkan uraian tentang sekolah yang mendapat progaram Pendidik
Sebaya dan tidak mendapat program Pendidik Sebaya di atas, dapat
disimpulkan bahwa kedua lingkungan sekolah memiliki situasi dan kondisi
yang berbeda. Dinamika perbedaan dapat dilihat secara ringkas pada gambar
Gambar 1. Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Tidak Mendapat Program Pendidik
Sebaya
REMAJA
Sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya
Sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya
• Kebutuhan akan informasi yang benar tentang seksualitas terpenuhi
• Mendapat pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan dari sebayanya
• Dapat memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah
• Dapat melakukan Peer Counseling
(konseling sebaya)
• Ada agen perubahan (Change Agent) yang positif
• Tidak berkembang mitos- mitos seksual
• Kebutuhan akan informasi yang benar tentang seksualitas tidak terpenuhi
• Mendapat pengetahuan yang belum tentu semuanya dapat dipertanggungjawabkan dari sebayanya
• Tidak dapat memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah
• Tidak dapat melakukan Peer
Counseling (konseling sebaya)
• Tidak ada agen perubahan (Change Agent) yang positif
• Berkembang mitos- mitos seksual
E. Hipotesis
Tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat
program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Metode penelitian ini
digunakan karena dapat menemukan perbedaan-perbedaan tentang benda,
orang, prosedur kerja, ide- ide, kritik terhadap orang maupun kelompok
(Arikunto, 1986).
Penelitian komparatif ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat
perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat progaram
Pendidik Sebaya dan remaja sekolah tidak mendapat program Pendidik
Sebaya.
B. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas : Program Pendidik Sebaya
2. Variabel tergantung : Perilaku seksual beresiko
C. Definisi Operasional
1. Program Pendidik Sebaya
Program Pendidik Sebaya adalah pendidikan yang dilakukan
dengan cara mengkader sekelompok orang untuk menjadi Pendidik Sebaya
sekolah-sekolah. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan variabel ini ada kondisi
yang akan dibandingkan, yaitu
a. Sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, yaitu sekolah
dampingan yang diberikan program Pendidik Sebaya.
b. Sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya, yaitu sekolah
yang tidak didampingi sehingga tidak mendapat program Pendidik
Sebaya.
Data tentang sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan
sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya diperoleh dari data
yang ada di PKBI DIY divisi Pendamping Peer Educator (PPE)
2. Perilaku Seksual Beresiko
Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang mempunyai
resiko untuk melakukan perilaku seksual tahap selanjutnya, kehamilan,
dan penularan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS.
Tinggi rendahnya perilaku seksual beresiko akan diukur dengan
menggunakan skala bentuk perilaku seksual beresiko. Bentuk-bentuk
perilaku seksual beresiko, yaitu:
a. Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan perilaku seksual
tahap selanjutnya:
- Berfantasi
- Memasturbasi diri sendiri
- Cium kering
- Cium basah
- Berpelukan
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian
- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian
- Meraba alat kelamin di luar pakaian
- Meraba alat kelamin di dalam pakaian
- Petting dengan masih berpakaian lengkap
- Saling memasturbasi dengan pasangannya tanpa oral
- Oral dengan tidak menggunakan kondom
- Oral dengan menggunakan kondom
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom
- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat
kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,
tisu KB, atau spiral)
- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat
kontrasepsi KB lain
b. Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:
- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat
kontrasepsi KB lain
- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain
c. Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual
dan HIV/AIDS:
- Cium basah
- Oral dengan tidak menggunakan kondom
- Petting dengan hanya berpakaian dalam
- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat
kontrasepsi KB lain
- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat
kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,
tisu KB, atau spiral)
- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain
- Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah
kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)
Semakin tinggi skor total yang diperoleh dalam skala ini, menunjukkan
tingkat perilaku seksual beresiko yang dilakukan remaja sekolah semakin
tinggi terhadap dilakukannya hubungan seksual pranikah, penularan
penyakit menular seksual ataupun HIV / AIDS, dan terjadinya kehamilan.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh dalam
skala ini, menunjukan tingkat perilaku seksual beresiko yang dilakukan