• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program pendidik sebaya dan yang tidak mendapat program pendidik sebaya - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program pendidik sebaya dan yang tidak mendapat program pendidik sebaya - USD Repository"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO

PADA REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM

PENDIDIK SEBAYA DAN YANG TIDAK MENDAPAT

PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Jurusan Psikologi

Disusun Oleh :

M I SRI DEWI RETNO C

009114154

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

▸ Baca selengkapnya: kesan golongan muda tidak mendapat pendidikan yang sempurna

(2)

(3)
(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Grew up in a small town And when the rain would fall down

I 'd just stare out my window D reaming of what could be And if I 'd end up happy

I would pray

Trying hard to reach out But when I tried to speak out Felt like no one could hear me

W anted to belong here But something felt so wrong here

So I 'd pray I could breakaway

I 'll spread my wings and I 'll learn how to fly

Buildings with a hundred floors Swinging with revolving doors M aybe I don't know where they'll take me

But gotta keep movin' on M ovin' on, fly away

Breakaway

(Kelly Clarkson – Breakaway)

KU PERSEMBAHKAN KARYA SED ERHAN AKU IN I UN TUK :

Kemuliaan-N ya, Semua yang kucinta dan mencintaiku, Papa, Mama, adik yang kusayangi, semua sahabat-sahabat terkasihku. Terima kasih untuk semua cinta

(5)
(6)
(7)

PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA

REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

DENGAN YANG TIDAK MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat

perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik

Sebaya dan remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya.

Hipotesis yang diajukan adalah tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja

sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat

perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang tidak mendapat program

Pendidik Sebaya. Subjek penelitian ini berjumlah 120 orang yang berusia antara 15 -

18 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah kelas XI. Metode pengumpulan

data menggunakan skala Perilaku Seksual Beresiko. Teknik analisis data yang

digunakan adalah t-test. Berdasarkan hasil t-test diperoleh koefisien perbedaan (nilai

t) sebesar 3,155 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,01). Hal ini berarti tingkat perilaku

seksual beresiko remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih

rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak

mendapat program Pendidik Sebaya. Rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja

sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya(Mean=49,17) lebih rendah

dibandingkan rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak

mendapat program pendidik sebaya (Mean=74,17).

(8)

WITH OR WITHOUT PEER EDUCATOR PROGRAM: RISKY SEXUAL

BEHAVIOR LEVEL ESTIMATION IN SCHOOL TEENAGERS

ABSTRACT

The aim of this research is to find that the difference of risky sexual behavior

level estimation in school teenage rs with Peer Educator program and school

teenagers without Peer Educator program. The hypothesis of the research is the risky

sexual behavior level estimation in school teenage rs with Peer Educator program is

lower than the risky sexual behavior level estimation in school teenagers without

Peer Educator program. The sample of this research are 120 second year high school

students, range from 15 – 18 years old. The data is gathered by using the Risky

Sexual Behavior scale, and analyzed by using t-test. The t-test result shows that the

differential coefficient (t-score) is 3,155 with the significance of 0,001 (p < 0,01). In

other words, the risky sexual behavior level estimation of school teenager with Peer

Educator program is lower than the risky sexual behavior level estimation of school

teenager without Peer Educator program. The average of school teenager with Peer

Educator program (Mean=49,17) is lower than the risky sexual behavior level

estimation of school teenager without Peer Educator program (Mean=74,17).

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kuucapkan pada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat, perlindungan,

dan bimbingan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik. Banyak halangan dan hambatan untuk menyelesaikan skripsi ini, sehingga

dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.

Ucap syukur dan terima kasih kepada :

1. Ibu Tanti Arini, S.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi

bimbingan, petunjuk, dan saran-saran hingga penulisan skripsi ini selesai.

Terima kasih juga, ya bu, ima pernah dapat bonus konsultasi masalah pribadi

gratis. Hehehe.. J. Akhirnya dapat merasakan juga konsultasi dengan psikolog

profesional, thanks for the unconditional rewards, bu..

2. Pihak SMK Marsudi Luhur I, SMK Marsudi Luhur II, dan SMK Negri 3 yang

menjadi sampel penelitian. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk melakukan pengumpulan data.

3. PKBI DIY yang memberikan rekomendasi dan dukungannya. Thanks, guys..

4. Mamah-Papah, yang telah dengan sabar dan mendukung penuh sampai skripsi

ini selesai. Maaf, ya ma, pa skripsinya lama sekali.

5. Ites-ku yang selalu memberikan semangat dan mengingatkan untuk

(10)

6. Sahabat-sahabatku : Eve ‘ Thanks, ve statistiknya..’, Adis ‘Tiket PP ke Bali nya

keburu hangus kalo harus tunggu 3 tahun, jeng..’, Yuyun ‘Sampe bosen ya..

ngingetin ima buat skripsi..’, Yoke and the babarsari gank.

7. Bu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si trima kasih, bu.. atas bantuan dan dukungannya,

mau direpotkan ima yang selalu telat ngurus segala tentang kuliah, jadi

merepotkan sekali.

8. Mas Gandung, dan Mbak Nanik, trima kasih rela selalu direpotkan olehku

terutama kalau ima telat urus sesuatu. Pak Gik yang selalu bukakan pintu ruang

dosen kalau ku telat mengumpulkan tugas, juga bukakan lift kalau ima telat

masuk kuliah, hehe.. . Mas Muji yang selalu kurepotkan dengan telfon-telfon gak

penting tentang keberadaan dosen hihihi.., Mas Doni, Bapak-bapak parkiran

‘sampe bosen ya..kok ima belum pergi-pergi dari sadar. Hehe..’ dan semua

Sadhar crews, makasi atas bantuan dan dukungannya selama ini ya...!!

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis,

M. I Sri Dewi Retno C

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II. LANDASAN TEORI... 9

A. Remaja... 9

1. Pengertian dan batasan remaja... 9

2. Perkembangan pada masa remaja... 11

(12)

b. Perkembangan kognitif... 13

c. Perkembangan sosial...14

3. Minat seks... 16

B. Program Pendidik Sebaya (Peer Edocator)... 17

1. Pendidikan seksualitas secara umum ... 17

2. Program Pendidik Sebaya... 18

C. Perilaku Seksual Beresiko... 23

1. Pengertian perilaku seksual... 23

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual... 25

3. Bentuk perilaku seksual... 26

4. Bentuk perilaku seksual beresiko... 34

D. Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah... 37

Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Yang Tidak Mendapat Program Pendidik Sebaya E. Hipotesis... 42

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 43

A. Jenis Penelitian... 43

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 43

C. Definisi Operasional... 43

D. Subjek Penelitian... 47

E. Metode Pengumpulan Data... 49

(13)

2. Pemberian Skor ... 54

3. Validitas dan Reliabilitas... 58

F. Metode Analisis Data... 59

G. Persiapan Penelitian... 59

1. Orientasi Kancah Penelitian...59

2. Perijinan Penelitian... 61

H. Pelaksanaan Penelitian... 62

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 65

A. Hasil Penelitian... 65

1. Karakteristik Subjek... 65

2. Deskripsi Data...66

3. Pengujian Prasyarat...67

a. Uji Normalitas...67

b. Uji Homogenitas... 68

4. Pengujian Hipotesis... 68

B. Pembahasan...70

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 75

A. Kesimpulan... 75

B. Saran... 75

(14)

LAMPIRAN

Lampiran A

1. Skala Penelitian...1

2. Tabulasi Jawaban Remaja Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik... 4

Sebaya 3. Tabulasi Jawaban Remaja Sekolah Yang Tidak Mendapat Program ... 6

Pendidik Sebaya 4. Skor Total Penelitian... 8

5. Frekuensi Dan Prosentase Respon Aitem Secara Keseluruhan... 10

6. Frekuensi Respon Aitem menurut Jenis Kelamin Dan Status Pacaran...11

Lampiran B 1. Uji Reliabilitas... 12

2. Uji Normalitas...13

3. Uji Homogenitas... 14

4. Uji Hipotesis... 15

Lampiran C 1. Surat Keterangan Penelitian...16

2. Surat Ijin Penelitian...17

3. Keterangan Penelitian Dari SMK Marsudi Luhur I Yogyakarta... 18

4. Keterangan Penelitian Dari SMK Marsudi Luhur II Yogyakarta... 19

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja... 41

Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Yang Tidak

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Spesifikasi Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Beresiko... 51

Tabel 2 Pemberian Skor Respon Jawaban “Pernah” Pada Skala Perilaku... 55

Seksual Beresiko Tabel 3 Karakteristik Subjek... 65

Tabel 4 Deskripsi Data Perilaku Seksual Beresiko. (N=120) ... 66

Tabel 5 Uji Normalitas ... 67

Tabel 6 Uji Homogenitas ... 68

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Kasus-kasus remaja yang berkaitan dengan masalah- masalah remaja

meningkat seiring perkembangan jaman. Beberapa penelitan menunjukkan

gambaran fenomena yang sangat memprihatinkan tentang meningkatnya

perilaku seksua l aktif di kalangan remaja. Hasil survey Kesehatan Reproduksi

Remaja Indonesia (SKRRI, 2004) menunjukkan bahwa angka aborsi di

kalangan remaja mencapai 700 sampai 800 kasus per tahun, sedangkan tingkat

kelahiran dari kalangan remaja mencapai 11 persen dari seluruh kelahiran.

Hanya 55 persen remaja yang mengetahui proses kehamilan dengan benar,

42 persen mengetahui tentang HIV/AIDS dan hanya 24 persen mengetahui

tentang penyakit menular seksual (PMS). Data dari Pusat Studi Seksualitas

(PSS) PKBI DIY mengungkapkan, angka konseling remaja KTD (Kehamilan

Tidak Diinginkan) dari bulan Januari-Desember 2005 di Yogyakarta mencapai

550 kasus. Dari angka tersebut untuk usia remaja 18 sampai 24 tahun

mencapai 465 kasus. Selain itu, merebaknya penularan HIV/AIDS di

Yogyakarta sampai bulan November 2006 mencapai 309 kasus.

Kasus-kasus di atas ini tidak lepas dari kurangnya pengetahuan remaja

akan masalah kesehatan reproduksinya, IMS dan HIV/AIDS. Pemberian

informasi yang jelas dan benar kepada remaja tentang kesehatan

(18)

hal yang sangat penting. Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi

di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya

anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan

seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar

masyarakat masih berpandangan bahwa pendidikan seks seolah sebagai suatu

hal yang vulgar.

Berdasarkan kesepakatan Internasional di Kairo (The Cairo Consensus,

1994) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184

negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi

para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang

upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual

dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk

bagi remaja.

Pentingnya remaja mendapatkan informasi tentang segala hal yang

berhubungan dengan seksualitas ini, dikarenakan meningkatnya minat remaja

terhadap seks sebagai salah satu perubahan yang terjadi selama masa remaja.

Meningkatnya minat pada seks, membuat remaja selalu berusaha mencari

lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap

bahwa seluk-beluk tentang seks dapat dipelajari dari orang tuanya. Oleh

karena itu, remaja mencari pelbagai sumber informasi yang mungkin dapat

diperoleh, misalnya dengan membahas dengan teman-teman, buku-buku

tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu,

(19)

Perubahan lain yang terjadi pada masa remaja adalah perubahan sosial.

Penyesuaian terhadap perkembangan sosialnya menjadi salah satu tugas

perkembangan yang tersulit yang dihadapi remaja. Remaja umumnya harus

menyesuaikan denga n lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum

ada. Lingkungan sosial pada masa remaja tidak lagi terbatas pada lingkungan

keluarga saja, tetapi semakin luas. Remaja harus mengadakan penyesuaian

sosial dengan orang di luar lingkungan keluarga, yaitu dengan lingkungan

teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis. Hal ini ditegaskan

Monks (1987) bahwa pada perkembangan sosial, remaja memperlihatkan dua

macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman

sebaya.

Dengan berkembangnya aspek sosial, remaja akan memperluas

pengalaman sosialnya dan mulai mempersiapkan tugas-tugas ya ng lebih

spesifik yang sesuai dengan orang dewasa. Bertambah luasnya lingkup sosial,

remaja semakin dituntut selalu menyesuaikan dan diharapkan mampu

membuat hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, serta mampu

bertingkah laku sosial yang bertanggung jawab (Havinghurst dalam Hurlock,

1991). Dalam proses penyesuaian diri tersebut, remaja sering manghadapi

masalah. Permasalahan remaja sebenarnya merupakan masalah yang

kompleks, merupakan hasil interaksi dari berbagai sebab, antara lain remaja

itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial.

Lingkungan sosial dapat merupakan penyebab sekaligus sebagai sarana

(20)

permasalahan remaja dapat dilihat melalui konsep dan dukungan sosial (social

support). Dukungan sosial adalah sumber-sumber yang diberikan oleh orang

lain. Salah satu sumber dukungan sosial adalah kelompok teman sebaya.

Kelompok teman sebaya merupakan konteks yang paling alami dan aman bagi

remaja, karena hubungan dengan teman sebaya merupakan interaksi yang

mendalam (Sugianto, 1994).

Hasil studi dari Afiatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa remaja telah

melakukan berbaga i usaha mengatasi permasalahan yang dirasakan. Usaha

yang telah dilakukan tersebut sebagian besar mencoba mengemukakan

permasalahannya pada teman sebaya. Dengan sesama kelompok remaja

mereka merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya,

saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Maka

dari studi di atas dapat diasumsikan bahwa pendekatan kelompok teman

sebaya merupakan sarana yang cukup efektif untuk membantu remaja

memecahkan permasalahannya.

Studi yang dilakukan Afiatin tidak mengungkap secara langsung

pemecahan masalah seksualitas pada remaja yang diselesaikan dengan

mengemukakan permasalahannya dengan teman sebaya, akan tetapi survey

yang dilakukan oleh Youth Center PKBI di beberapa kota yaitu Cirebon,

Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang (2001) mengungkapkan

bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi

terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh pengetahuan dari televisi,

(21)

posisi setelah kedua sumber tadi. Oleh karena itulah, pengetahuan reproduksi

juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman

sebayanya (peer). Jika teman sebaya mempunyai pengetahuan yang memadai,

maka dia akan dapat memberikan pengetahuan ini kepada temannya.

Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan

reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi

yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, termasuk mitos- mitos yang

menyesatkan. Hal ini tentunya sangat membahayakan, apalagi mengingat

bahwa mitos yang menyesatkan tersebut dapat berakibat fatal terhadap masa

depan remaja itu sendiri.

Dengan menyadari hal ini, maka Youth Center PKBI seluruh Indonesia

mengembangkan program yang disebut Pendidik Sebaya, yaitu pendidikan

yang dilakukan dengan cara mengkader sekelompok orang untuk menjadi

Pendidik Sebaya bagi kelompok sebayanya. Para Pendidik Sebaya adalah

orang yang memberikan pendidikan kepada kelompok sebayanya. PKBI DIY

sampai saat ini telah mendampingi 17 sekolah tingkat menengah umum dan 5

sekolah tingkat menengah pertama. Konsep ini dikembangkan untuk

membantu remaja dalam menghadapi masalah-masalahnya. Salah satunya

dengan memenuhi kebutuhan remaja akan informasi tentang seksualitas.

Informasi tentang seksualitas adalah informasi tentang segala hal tentang

seksualitas, misalnya kesehatan reproduksi, resiko seksual aktif, dan penyakit

menular seksual ataupun HIV/AIDS. Dari pemenuhan kebutuhan remaja akan

(22)

dikehendaki seperti hubungan seksual pra nikah, kehamilan tidak dikehendaki,

aborsi, dan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS dapat dikurangi dan

dicegah.

Sebelum menjadi Pendidik Sebaya, para remaja ini mendapat

pendidikan dulu dari para ahli di PKBI mengenai seksualitas, kesehatan

reproduksi dan masalah- masalah remaja lainnya, termasuk tentang

NARKOBA dan penyalahgunaannya. Setelah itu, diharapkan mereka dapat

menularkan pengetahuannya tadi ke rekan-rekan sebayanya, serta

mempengaruhi mereka untuk mengambil keputusan yang sehat dan

bertanggung jawab.

Pada intinya Pendidik Sebaya berperan sebagai pemberi informasi atau

nara sumber bagi rekan sebayanya. Kegiatan yang dilakukan oleh Pendidik

Sebaya bermacam- macam dan dapat dilakukan di sekolah maupun si luar

sekolah, misalnya menfasilitasi diskusi kelompok, menyelenggarakan

sarasehan, mengisi majalah dinding (mading), memberikan informasi secara

interpersonal dengan konseling sebaya (peer counseling) dan menjadi

motivator untuk kegiatan-kegiatan remaja lainnya baik di sekolah ataupun di

lingkungannya, dan juga memberikan konseling sebaya (peer counseling).

Dalam hal ini Pendidik Sebaya berperan mengidentifikasi masalah-masalah

yang terjadi di antara rekan-rekan sebayanya, kemudian jika ada masalah yang

tidak dapat diselesaikan, merujuk rekan yang mengalami masalah tadi ke

(23)

didampingi oleh pihak sekolah dan divisi Pendamping Pendidik Sebaya PKBI

DIY.

Kecanggungan yang dialami remaja ketika membuka komunikasi

dengan orang lain diharapkan akan berkurang bila ia berada dalam

kelompoknya. Dengan sesama kelompok remaja ini, mereka akan dapat

merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya, saling

belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Kelompok

remaja ini dipandang memiliki sifat-sifat positif dalam hal memberikan

kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku dalam

hubungan-hubungan sosial. Dengan demikian, kelompok teman sebaya dapat

dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu

remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya dan berperilaku yang lebih

sehat terutama dalam kaitannya dengan seksualitas.

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini ingin melihat apakah

ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang

mendapat program Pendidik Sebaya (Peer Educator) dan remaja sekolah yang

tidak mendapat program Pendidik Sebaya (Peer Educator).

II. Rumus an Masalah

Apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja

sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang

(24)

III.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

melihat apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja

sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang

tidak mendapat program Pendidik Sebaya.

IV.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Dapat digunakan sebagai literatur dalam melakukan penelitian yang

relevan di masa yang akan datang khususnya dalam bidang psikologi

perkembangan khususnya remaja.

2. Manfaat Praktis

Sebagai evaluasi keefektifan program Pendidik Sebaya bagi PKBI DIY

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja

1. Pengertian dan batasan remaja

Remaja atau adolescence berasal dari kata latin yang berarti

“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Ba nyak ahli berbeda-beda

dalam memberikan pengertian tentang remaja, contohnya adalah Hurlock

(1991) yang mengemukakan masa remaja sebagai masa peralihan dari

suatu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Pada masa

remaja seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu yang

bersifat kekanak-kanakan dan mulai mempelajari pola perilaku dan sikap

baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.

Erikson (1989), mengemukakan bahwa adolesensi adalah suatu

masa pertumbuhan yang berada di antara masa kanak-kanak dan masa

dewasa. Pada masa ini tindakan dan perbuatan individu belum

menunjukan kedewasaan dan juga identitas masa depannya belum pasti.

Pada masa ini terjadi perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial.

Persoalan pokok masa adolesensi adalah berkembangnya suatu kesadaran

akan identitas dan konflik pokoknya adalah “krisis identitas”. Periode

yang merupakan bagian dari lingkaran hidup ini bermula pada waktu

setiap kaum muda mulai mencari bagi dirinya sendiri suatu pandanga n dan

(26)

berdasarkan sisa-sisa dari masa kanak-kanaknya dan harapan- harapan akan

masa dewasanya yang diantisipasikannya. Ia harus menemukan satu

kesamaan yang berarti antara bentuk identitas yang telah ia lihat dalam

dirinya sendiri dan bentuk identitasnya yang menurut kesadarannya yang

tajam diharapkan darinya oleh orang lain.

Mussen dkk (1969) menyatakan juga bahwa masa remaja

merupakan tahap kehidupan yang penuh tantangan dan kesulitan. Hal ini

disebabkan karena pada masa remaja selain terjadi perubahan fisik, psikis

dan kognitif juga terjadi perubahan dalam tuntutan sosial terhadap remaja.

Hampir sama dalam memberikan definisi, para ahli pun

berbeda-beda dalam memberikan batasan usia masa remaja. Monks (1987)

menyatakan masa remaja secara global berlangsung antara unur 12 sampai

21 tahun. Jersild (dalam Mappiare, 1982) menyebutkan bahwa masa

remaja berada pada usia sekitar 11 sampai 20 tahun. Gunarsa & Gunarsa

(1991) memberikan batasan masa remaja pada usia 12 sampai 22 tahun.

Sedangkan batasan usia remaja menurut WHO adalah antara usia 10

sampai 20 tahun dengan pembagian usia 10 sampai 14 tahun sebagai

remaja awal dan usia 15 sampai 20 tahun sebagai remaja akhir (sarwono,

1981). Batasan remaja tersebut hampir sama seperti yang dikemukakan

dalam PBB yang menetapkan usia 15 sampai 24 tahun sebagai usia

pemuda dan di Indonesia batasan remaja mendekati batasan PBB, yaitu

(27)

Dari beberapa pendapat di atas dapat peneliti menyimpulkan

bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke

dewasa dengan segala perubahan-perubahan yang dialami meliputi

perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial dengan batasan usia berkisar

antara usia 14 atau 15 tahun sampai usia 20 atau 24 tahun. Peneliti

menyimpulkan batasan usia remaja berdasarkan batasan yang

dikemukakan oleh PBB karena melihat penelitian ini dilakukan di

Indonesia.

2. Perkembangan pada masa remaja

Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masa remaja

menimbulkan berbagai macam perubahan seiring dengan

perkembangannya. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama

masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa

remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku

dan sikap juga berlangsung pesat. Begitu juga dengan sebaliknya, jika

perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku juga akan

menurun.

Perubahan-perubahan lainnya adalah meningginya emosi,

perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial,

serta nilai-nilai. Terhadap setiap perubahan ini, sebagian besar remaja

(28)

mereka masih takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan

kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

Berikut ini adalah berbagai macam perkembangan yang terjadi

pada masa remaja:

a. Perkembangan fisik

Pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna pada saat masa

puber berakhir, dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa

awal remaja. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan dan

perkembangan internal lebih menonjol daripada perkembangan

eksternal.

Berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan

tubuh yang baik. Misalnya, badan melebar dan memanjang sehingga

anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang. Organ seks baik

pria maupun wanita juga mencapai ukuran yang matang pada akhir

masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun

kedepan. Sedangkan ciri-ciri seks sekunder yang utama berada pada

tingkat perkembangan yang matang pada akhir masa remaja.

Dengan berkurangnya perubahan fisik, kecanggungan pada

masa puber dan awal masa remaja pada umumnya menghilang, karena

remaja yang lebih besar sudah mempunyai waktu tertentu untuk

mengawasi tubuhnyayang bertambah besar.

Hanya sedikit remaja yang mengalami kateksis-tubuh atau

(29)

beberapa bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis-tubuh

menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik

dan kurangnya harga diri selama masa remaja. Keprihatinan in timbul

karena adanya kesadaran bahwa daya tarik fisik berperan penting

dalam hubungan sosial (Hurlock, 1991).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) pemikiran masa remaja

berada pada tahap operasional formal. Pemikiran ini lebih abstrak

daripada pemikiran seorang anak. Remaja tidak lagi terbatas pada

pengalaman kongkret aktual sebagai dasar pemikiran, akan tetapi

mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan,

kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang labih

abstrak. Remaja semakin dapat berpikir tentang pemikiran itu sendiri.

Mereka dapat bertanya-tanya mengapa mereka memikirkan apa yang

sedang mereka pikirkan. Hal ini mencirikan bertambahnya minat

remaja pada memikiran itu sendiri dan keabstrakan pemikiran.

Selain itu, pemikiran remaja juga idealis. Mereka mulai

memikirkan tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain

serta membandingkan diri mereka dan orang lain dengan

standar-standar ideal ini. Selama masa remaja, pemikiran-pemikiran sering

berupa fantasi yang mengarah ke masa depan.

Pada saat yang bersamaan, ketika mereka berpikir lebih abstrak

(30)

Santrock, 2002). Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan yang

menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah- masalah dan

menguji pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis.

Dalam kognisi sosial, remaja mengembangkan suatu

egosentrisme khusus. Mereka mulai berpikir tentang kepribadian.

Pemikiran egosentrisme ini menurut Elkind (dalam Santrock, 2002)

ada dua bagian, yang pertama yaitu penonton khayalan. Bagian ini

adalah dimana remaja meyakini bahwa orang lain memperhatikan

dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Bagian yang kedua

adalah dongeng pribadi. Bagian ini meliputi perasaan unik seorang

anak remaja. Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa

tidak ada seorang pun yang dapat mengerti bagaimana perasaan

mereka yang sebenarnya.

c. Perkembangan sosial

Dalam perkembangannya, remaja harus menyesuaikan diri

dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah

ada dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar

lingkungan keluarga dan sekolah. Yang terpenting dan tersulit adalah

penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya,

perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru,

nilai- nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam

dukungan dan penolakan sosial, serta nilai- nilai baru dalam seleksi

(31)

pada perkembangan sosial remaja memperlihatkan dua macam gerak,

yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman

sebaya.

Pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat,

penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.

Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1991) mengungkapkan

bahwa didalam kelompok sebaya remaja merumuskan dan

memperbaiki konsep dirinya. Mereka dinilai oleh orang lain yang

sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi

dunia dewasa yang ingin mereka dihindari. Nilai- nilai dalam kelompok

sebaya bukanlah nilai- nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa

melainkan oleh teman-teman seusianya. Dalam kelompok sebaya

inilah mereka memperoleh dukungan untuk memperjuangkan

emansipasi, dan disini jugalah mereka dapat menemukan dunia yang

memungkinkan mereka bertindak sebagai pemimpin apabila mampu

melakukannya.

Dalam hal memilih teman, remaja menginginkan teman yang

mempunyai minat dan nilai yang sama, yang dapat mengerti dan

membuatnya merasa aman, yang dapat mempercayakan

masalah-masalah dan membahas hal- hal yang tidak dapat dibicarakan dengan

orang tua maupun guru. Remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat

pada teman-teman sejenis. Minat terhadap lawan jenis bertambah besar

(32)

3. Minat seks

Untuk memenuhi tugas perkembangan dalam hal peran seksual,

Hurlock (1991) mengungkapkan minat terhadap seks meningkat pada

masa remaja. Hal ini membuat remaja selalu berusaha mencari lebih

banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap

bahwa segala informasi mengenai seks dapat dipelajari dari orang tuanya.

Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi yang dapat

diperoleh, misalnya dari pendidikan seks disekolah, membahas dengan

teman-teman, buku-buku dan situs internet tentang seks, atau mengadakan

percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu atau bersenggama. Survey

yang dilakukan ole h Youth Center PKBI di beberapa kota yaitu Cirebon,

Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang (2001)

mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan

kesehatan reproduksi terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh

pengetahuan dari televisi, majalah atau media cetak lain, sedangkan orang

tua dan guru menduduki posisi setelah kedua sumber tadi.

Telaah telaah tentang apa yang terutama ingin diketahui tentang

seks menunjukan bahwa perempuan sangat ingin tahu tentang keluarga

berencana, “pil antihamil”, pengguguran dan kehamilan. Di sisi lain,

laki-laki ingin mengetahui tentang penyakit kelamin, kenikmatan seks,

hubungan seks, dan keluarga berencana. Minat utama mereka tertuju pada

(33)

Untuk memenuhi tugas perkembangan membentuk hubungan baru

yang lebih matang dengan lawan jenis, remaja mulai mengembangkan

sikap yang baru pada lawan jenisnya dan selain mengembangkan minat

pada pelbagai kegiatan yang melibatkan laki- laki dan perempuan. Minat

ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk

memperoleh dukungan dari lawan jenis.

Remaja perempuan memiliki keinginan yang lebih kuat untuk

penjajakan keintiman dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja

laki- laki (Santrock, 2003). Berkencan bagi remaja ialah suatu konteks

dimana harapan- harapan peran yang berkaitan dengan gender meningkat.

Laki- laki merasakan tekanan untuk tampil secara “maskulin” dan

perempuan merasakan tekanan untuk tampil secara “feminin”.

B. Program Pendidik Sebaya

1. Pendidikan seksualitas secara umum

Menurut Sarlito (1994), secara umum pendidikan seksual adalah

suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan

benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai

kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek

kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual

yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di

masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana

(34)

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan

yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang

bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual

ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan

seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Materi pendidikan seksual

ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya

tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain,

berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur

anak serta daya tangkap anak (Gunarsa, 2001). Dalam hal ini pendidikan

seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah,

mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri.

Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap

anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat

sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia

menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan

penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak

memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran

dunia pendidikan sangatlah besar (Mutadin, 2002).

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis selama menjadi

pendamping pendidik sebaya PKBI DIY selama hampir dua tahun, masih

banyak sekolah yang belum mempunyai jam pelajaran khusus tentang

seksualitas untuk menyampaikan materi seksualitas secara utuh. Materi

(35)

Konseling, Agama, Pendidikan Jasmani dan Biologi. Meninjau berbagai

fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di

masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah

hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk

berhubungan seks (Sumardi, 1976).

Dimensi biologis seksualitas, dalam hal ini tentang anatomi

terpaparkan dalam bab Anatomi Tubuh kelas XI (Syamsuri, 2007 dan Tia,

2008). Sehingga dapat terbayangkan siswa kelas X belum mendapatkan

materi tentang anatomi tubuh secara kurikulum.

Pendidikan Jasmani kelas XI berdasarkan observasi, ada beberapa

sekolah yang menjelaskan tentang berbagai macam penyakit menular

seksual dan pemeliharaan kesehatan organ reproduksi. Materi ini diberikan

guru untuk melengkapi materi pemeliharaan kesehatan (Mujahir, 1996).

Materi seksualitas yang behubungan dengan psikologis dan sosial

biasanya disampaikan melalui mata pelajaran Bimbingan Konseling dan

Agama, akan tetapi hal itu tergantung pada guru dan kebijakan sekolah

masing- masing (Riandari, 2007). Dari pengalaman peneliti selama hampir

dua tahun sebagai pendamping pendidik sebaya di sekolah, ada beberapa

sekolah yang mulai meniadakan mata pelajaran bimbingan konseling

mengingat, salah satu alasannya adalah, semakin padatnya materi

(36)

2. Program Pendidik Sebaya

Program Pendidik Sebaya adalah pengkaderan siswa sekolah untuk

menjadi pendidik sebaya bagi teman-temannya. Para Pendidik Sebaya

adalah orang yang me mberikan pendidikan kepada kelompok sebayanya.

Program ini adalah program dampingan PBKI DIY kepada

sekolah-sekolah di Yogyakarta yang nantinya ketika sekolah-sekolah sudah dapat

menjalankannya sendiri, PKBI akan melepas pendampingannya. Sampai

saat ini, sudah ada 17 sekolah tingkat menengah umum dan 5 sekolah

tingkat menengah pertama yang didampingi oleh PKBI DIY dengan 6

orang pendamping Pendidik Sebaya yang setiap orangnya mendampingi 3

sampai 4 sekolah.

Latar belakang program ini adalah karena remaja sangat kuat

dipengaruhi oleh kelompok sebayanya. Oleh karena itu akan lebih baik

jika pengaruh yang diberikan oleh kelompok sebaya merupakan pengaruh

yang positif dan membangun. Dalam kelompok sebaya inilah diharapkan

program ini dapat membantu remaja menyelesaikan masalahnya dalam hal

seksualitas.

Program ini bertujuan untuk membantu remaja dalam menghadapi

masalah- masalahnya seperti perilaku seksual pranikah, kehamilan yang

tidak diinginkan, aborsi, dan penularan penyakit menular seksual ataupun

HIV/AIDS. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan remaja akan

informasi tentang seksualitas. Program ini juga berfungsi untuk

(37)

diberikan oleh sekolah ataupun mengkoreksi jika ada informasi yang

salah. Sehingga, diharapkan kasus-kasus seksual yang tidak dikehendaki

seperti hubungan seksual pra nikah, KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan),

aborsi, IMS dan HIV/AIDS dapat dikurangi atau dicegah.

Para Pendidik sebaya dibekali informasi- informasi seputar

seksualitas melalui pelatihan selama 3 hari yang diselenggarakan PKBI

DIY setahun sekali. Berikut ini adalah topik-topik materi yang diberikan

pada para pendidik sebaya (Imran,2000):

a. Kesehatan reproduksi remaja

- Lonceng faali

- Menstruasi dan mimpi basah

- Pemeliharaan alat-alat reproduksi

- Masa subur dan kehamilan

- Mitos- mitos tentang kesehatan reproduksi

b. Perkembangan seksualitas remaja

- Jender atau Peran jenis kelamin

- Perilaku seksual remaja

- Perilaku seksual bertanggungjawab

- Perilaku seksual menyimpang

- Relasi heteroseksual

- Menunda hubungan seksual

(38)

c. Resiko reproduksi remaja

- Resiko hubungan seksual pranikah

- Resiko kehamilan remaja

- Aborsi pada kehamilan remaja

- Rentankah kamu terhadap HIV/AIDS?

- Gangguan saluran reproduksi akibat reproduksi pada masa remaja

- ”NOT NOW FOR SEX”. Gangguan psikoseksual akibat perilaku

seksual masa remaja

d. Penyakit menular seksual dan Infeksi saluran reproduksi

- Pengertian, penularan dan jenis-jenisnya

- Cara pengobatan dan pencegahan

e. NAPZA

- Pengertian dasar dan jenis-jenis NAPZA

- Dampak penyalahgunaan NAPZA

- Faktor pendorong penyalahgunaan NAPZA

- Metode pencegahan serta penanggulangan NAPZA

- Ketrampilan pengendalian diri serta mengatasi tekanan lingkungan

f. Pertumbuhan dan perkembangan

- Aspek-aspek perkembangan remaja

- Tugas-tugas perkembanga n remaja

g. Pengembangan diri

- Mengenal dan menerima diri

(39)

- Membuka diri

- Komunikasi interpersonal

- Mendengar aktif

- Konflik

- Strategi pemecahan masalah

- Merencanakan masa depan

h. Pendidik sebaya

- Pengertian dan tujuan

- Kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan sebagai pendidik

sebaya

- Bagaimana menyelenggarakan kegiatan pendidik sebaya

- Penyusunan program

Di tiap sekolah ada 5-10 pendidik sebaya untuk menjangkau semua

siswa yang ada. Pendaftaran untuk menjadi Pendidik Sebaya dibuka pada

setiap awal tahun ajaran dan terbuka bagi siswa-siswa yang berminat.

Penyeleksian untuk menjadi Pendidik Sebaya dilakukan dengan cara

wawancara yang dilakukan oleh guru pengampu mata pelajaran bimbingan

konseling dan wakil kepala sekolah. Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah

untuk mengetahui sejauhmana pengetahuan dasar tentang seksualitas dan

juga tentang kepribadian calon Pendidik Sebaya. Sarat-syarat kepribadian

yang harus dipenuhi sebagai seorang Pendidik Sebaya, yaitu:

- Aktif di kegiatan sosial dan populer di lingkungannya sehingga dapat

(40)

- Berminat secara pribadi dan mampu menyebarluaskan informasi

tentang seksualitas dan issu- issu remaja lainnya.

- Punya ciri-ciri kepribadian yang matang dan unggul, misalnya ramah,

dapat dipercaya, supel, kreatif, terbuka dan lancar dalam

mengemukakan pendapatnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik sebaya di sekolah

adalah misalnya pembuatan mading dan leaflet, konseling sebaya (peer

counseling), sarasehan dan diskusi. Dalam konseling remaja, para pendidik

sebaya berperan mengidentifikasi masalah- masalah yang terjadi di antara

rekan-rekan sebayanya, kemudian jika ada masalah yang tidak dapat

diselesaikan, merujuk rekan yang mengalami masalah tadi ke konselor,

ahli yang ada di Youth Center. Dengan dampingan Pendamping Pendidik

Sebaya, satu kali dalam semingu mereka melakukan pertemuan rutin untuk

membahas program kegiatan dan mengevaluasinya. Mereka juga

memonitoring siswa-siswa yang telah mereka jangkau. Dalam pertemuan

ini pula mereka menambah dan memperbaharui (meng-update)

pengetahuan tentang seksualitas melalui pengayaan yang diberikan oleh

Pendamping Pendidik Sebaya.

C. Perilaku Seksual Beresiko

1. Pengertian perilaku seksual

Azwar (1998) menyatakan bahwa perilaku merupakan reaksi yang

(41)

belum tentu menimbulkan reaksi yang sama. Selanjutnya, pengertian

tentang perilaku seksual dikemukakan oleh Sarwono (1994) yang

mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala tingkah laku yang

didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama

jenis. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Imran (2000)

bahwa perilaku seksual adalah perilaku yang didasari oleh dorongan

seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui

berbagai perilaku. Lebih detil lagi Masters (1992) memberikan pengertian

perilaku seksualitas sebagai hasil dari dorongan kebutuhan biologis dan

kebutuhan psikososial. Yang dimaksud dengan psikososial di sini adalah

kombinasi dari keadaan psikologis seseorang meliputi emosi, pemikiran,

dan kepribadian dengan elemen sosial menyangkut bagaimana seseorang

berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Dari pengertian-pengertian yang disebut di atas, peneliti

menyimpulkan bahwa perilaku seksual adalah tingkah laku yang didorong

oleh hasrat seksual baik lawan jenis maupun sesama jenis yang

dimunculkan individu sebagai reaksi terhadap stimulus seksual jasmani.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual

Hurlock (1991) menyatakan bahwa manifestasi dorongan seksual

dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh

a. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu

(42)

menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangk utan dan

hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.

b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar diri individu,

yang menimbulkan dorongan seksual sehingga menimbulkan perilaku

seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui

pengalama n kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan

teman, pengalaman masturbasi, buku-buku bacaan dan tontonan porno,

dorongan empati serta pengaruh orang dewasa lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku seksual yaitu pengaruh biologis meliputi perkembangan fisik dan

hormon, kemampuan sosial kognitif, serta kepribadian. Pengaruh eksternal

meliputi pengalaman seksual, pemahaman dan pengahayatan nilai- nilai

keamanan serta pengetahuan tentang seksualitas, keluarga, serta teman

sebaya.

3. Bentuk perilaku seksual

Sarwono (1989) memandang bentuk perilaku seksual itu dapat

berupa perasaan tertarik, tingkah laku berkencan, bercumbu dan

berhubungan seksual. Objek seksualnya dapat berupa diri sendiri, orang

lain atau orang dalam kha yalan. Perilaku seksual remaja umumnya

dilakukan secara bertahap sebelum sampai pada tahap yang lebih berat.

Urutan perilaku seksual tersebut adalah dari belum berpengalaman sama

(43)

meraba tubuh di luar pakaian, saling meraba tubuh di dalam pakaian,

saling menempelkan alat kelamin dan berhubungan seksual. Secara

bertahap dijabarkan sebagai berikut:

a. Memegang tangan

- Bergandengan saat jalan-jalan

- Bergandengan tangan saat menyebrang jalan

- Memenggang tangan saat duduk berduaan

b. Mencium

- Mencim pipi

- Saling menempelkan bibir

- Berciuman

c. Memeluk

- Memeluk saat jalan-jalan

- Merangkul saat duduk berduaan

- Merangkul saat menyebrang jalan

- Memeluk saat berboncengan

- Berpelukan

d. Meraba tubuh

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

(44)

- Meraba alat kelamin di dalam pakaian

e. Saling menempelkan alat kelamin (petting)

- Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian

f. Masturbasi

- Masturbasi pada diri sendiri

- Saling memasturbasi dengan pasangannya

g. Berhubunga n seks

Mutadin (2002) mengurutkan perilaku seksual remaja antara lain

berpegangan tangan, berpelukan ringan sampai dengan yang berat,

berciuman ringan sampai yang berat, saling meraba payudara dan alat

kelamin secara ringan sampai yang berat, berpelukan tanpa pakaian, saling

menempelkan alat kelamin, saling memasturbasi dengan tangan samapi

dengan mulut, dan berhubungan seksual.

Selanjutnya, Imran (2000) menjelaskan bentuk-bentuk perilaku

seksual, yaitu sebagai berikut:

a. Berfantasi.

Adalah perilaku membayangkan atau mengimajinasikan aktivitas

seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.

Dampak perilaku seksual ini:

- Aktivitas seksual ini dapat berlanjut ke kegiatan lainnya, seperti

(45)

- Tidak beresiko tertular penyakit.

b. Berpegangan tangan

Aktivitas seksual ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan

seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba

aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual dapat tercapai).

Umumnya jika berpegangan tangan, maka muncul getaran-getaran

romantis atau perasaan-perasaan aman atau nyaman. Berpegangan

tangan juga merupakan bentuk pernyataan afeksi atau perasaan sayang

yang berupa sentuhan.

c. Cium Kering

Adalah aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi, pipi dengan

bibir. Dapak dari aktivitas ini yaitu:

- Imajinasi atau fantasi seksual jadi berkembang.

- Menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada saat-sat tertentu

dan bersifat sekilas.

- Menimbulkan keinginan untuk melanjutkan bentuk aktivitas

seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.

d. Cium Basah

Aktivitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir sampai

berciuman dalam (french kiss). Dampak dari aktivitas ini yaitu:

- Jantung menjadi lebih berdebar-debar.

- Dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang

(46)

akan mudah melakukan aktivitas seksual selanjutnya tanpa disadari

seperti cumbuan, petting bahkan sampai hubungan intim.

- Ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut

terus-menerus).

e. Meraba

Kegiatan meraba bagian-bagian sensitif rangsang seksual, seperti

payudara, leher, paha atas, vagina, penis, pantat dan lain- lain. Dampak

dari aktivitas ini adalah:

- Terangsang secara seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan

akal sehat, akibatnya dapat melakukan aktivitas seksual selanjutnya

seperti cumbuan berat dan hubungan intim.

- Ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut

terus-menerus).

- Muncul perasaan dilecehkan oleh pasangan.

f. Berpelukan

Dampak dari aktivitas ini adalah:

- Jantung menjadi berdegup lebih cepat.

- Menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang.

- Menimbulkan rangsangan seksual terutama jika mengenai daerah

erogenus.

g. Masturbasi

Adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan

(47)

- Luka bahkan infeksi terutama jika menggunakan alat-alat yang

membahayakan, seperti benda-benda tajam atau benda lain yang

tidak steril.

- Energi fisik dan psikis terkuras, biasanya orang menjadi mudah

lelah, sulit berkonsentrasi, malas melakukan aktivitas lain.

- Dapat merobek selaput dara.

- Pikiran terus- menerus ke arah fantasi seksual.

- Perasaan bersalah dan berdosa.

- Kemungkinan mengalami ejakulasi dini pada saat nantinya

berhubungan intim.

- Kurang bisa memuaskan pasangan karena terbiasa memuaskan diri

sendiri.

- Menimbulkan kepuasan diri.

- Menimbulkan ketagihan.

h. Oral

Adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan

kepuasan dengan menggunakan mulut. Perilaku ini berdampak:

- Dapat terkena bibit penyakit yang dapat menimbulkan radang

tenggorokan ataupun pencernaan dan juga dapat tertular penyakit

jika pasangan mengidap penyakit menular seksual (PMS).

- Menimbulkan ketagihan.

- Dapat berlanjut ke hubungan intim.

(48)

- Sanksi moral dan agama.

i. Petting

Adalah aktivitas menempelkan alat kelamin. Dampak dari perilaku ini

adalah:

- Menimbulkan ketagihan.

- Dapat memungkinkan terjadinya kehamilan.

- Dapat tertular penyakit menular seksual (PMS).

- Menimbulkan perasaan cemas dan bersalah.

- Memuaskan kebutuhan seksual.

- Dapat menyebabkan robeknya selaput dara.

- Sanksi moral dan agama.

j. Intercourse

Aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki- laki ke alat

kelamin wanita.

- Perasaan bersalah dan berdosa terutama pada saat melakukan

pertama kali.

- Ketagihan.

- Kemungkinan terjadinya hamil sangat tinggi.

- Dapat tertular penyakit menular seksual dan infeksi saluran

reproduksi.

- Resiko adanya gangguan fungsi seksual seperti frigiditas,

vaginismus ataupun dispareunia.

(49)

- Keperawanan dan keperjakaan hilang.

Sebagai kesimpulan bentuk perilaku seksual remaja, peneliti

menggabungkan uraian dari Sarwono (1989) dan Imran (2000) yang

dijabarkan sebagai berikut di bawah ini:

- Berfantasi seksual

- Masturbasi pada diri sendiri

- Berpegangan tangan

- Cium kering

- Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian

- Meraba alat kelamin di dalam pakaian

- Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Saling memasturbasi dengan pasangannya

- Oral

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian

(50)

4. Bentuk perilaku seksual beresiko

Dari uraian sebelumnya tentang bentuk-bentuk perilaku seksual

menurut Imran (2000), terlihat bahwa setiap perilaku seksual mempunyai

resiko yang berbeda-beda. Sehubungan dengan tujuan program pendidik

sebaya yaitu untuk mengurangi dan mencegah perilaku hubungan seksual

pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, dan penularan

penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS, maka yang dimaksud

dengan perilaku seksual beresiko menurut penelitian ini adalah perilaku

seksual yang me mpunyai resiko untuk perilaku hubungan seksual

pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, dan penularan

penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS.

Untuk menyederhanakan dan memberikan batasan dari pengertian

di atas, peneliti mengkaji bahwa resiko untuk berperilaku hubungan

seksual pranikah akan terjadi jika ada kesempatan untuk melakukan

perilaku ketahap selanjutnya. Begitu pula dengan resiko aborsi, akan

terjadi jika adanya kehamilan yang tidak dikehandaki. Perilaku aborsi

belum tentu dilakukan oleh seseorang, karena perilaku aborsi adalah

sebuah pilihan tergantung dari penerimaan atas kehamilan dan apakah

kehamilan itu dikehendaki atau tidak. Dari kajian berikut dapat

disimpulkan bahwa perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang

mempunyai resiko untuk melakukan perilaku seksual tahap selanjutnya,

(51)

Penggunaan alat kontrasepsi juga dapat mempengaruhi resiko yang

akan diterima seseorang. Alat kontrasepsi KB seperti pil KB, tisu KB,

spiral, ataupun IUD saat melakukan hubungan seksual akan mengindari

seseorang dari resiko kehamilan. Alat kontrasepsi kondom dapat

mencegah seseorang dari resiko kehamilan dan penularan penyakit

menular ataupun HIV/AIDS.

Dari berbagai kajian di atas, dapat diambil kesimpulan bentuk

perilaku seksual beresiko adalah sebagai berikut:

a. Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan ketahap selanjutnya:

- Berfantasi

- Memasturbasi diri sendiri

- Berpegangan tangan

- Cium kering

- Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian

- Meraba alat kelamin di dalam pakaian

- Petting dengan masih berpakaian lengkap

(52)

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Oral dengan menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat

kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,

tisu KB, atau spiral)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat

kontrasepsi KB lain

b. Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat

kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

c. Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual

dan HIV/AIDS:

- Cium basah

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat

(53)

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat

kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,

tisu KB, atau spiral)

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah

kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

D. Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah

Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Yang

Tidak Mendapat Program Pendidik Sebaya

Pada sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, remaja dapat

menambah, memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di

sekolah secara terpisah-pisah, dan mengkoreksi jika ada informasi yang salah

dengan kelompok sebayanya yang telah terlatih dan dibekali.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik sebaya seperti majalah dinding,

pembagian leaflet, sarasehan dan diskusi yang secara rutin dilakukan akan

memenuhi kebutuhan remaja akan informasi seksualitas. Dengan

penyampaian bahasa yang sama, informasi akan lebih mudah diterima dan

dicerna. Begitu pula dalam hal berdiskusi, karena adanya kesetaraan usia.

Kegiatan Peer Counseling (konseling remaja) yang dilakukan pun

akan sangat membantu remaja dalam menyelesaikan masalahnya, terutama

masalah tentang seksualitas seperti tentang hubungan seksual pranikah,

(54)

seksual ataupun HIV/AIDS. Kecanggungan yang dialami remaja ketika

membuka komunikasi dengan orang lain diharapkan akan berkurang bila ia

berada dalam kelompoknya.

Hasil studi dari Afiatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa remaja telah

melakukan berbagai usaha mengatasi permasalahan yang dirasakan. Usaha

yang telah dilakukan tersebut sebagian besar mencoba megemukakan

permasalahannya pada teman sebaya. Dengan sesama kelompok remaja

mereka merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya,

saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya.

Kelompok remaja ini dipandang memiliki sifat-sifat positif dalam hal

memberikan kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku

dalam hubungan- hubungan sosial. Sehingga, kelompok teman sebaya dapat

dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu

remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya. Dengan pendekatan ini

juga remaja dapat berlatih caranya bersikap dan berperilaku yang lebih sehat

terutama dalam kaitannya dengan seksualitas. Maka dari studi inilah dapat

diasumsikan bahwa pendekatan kelompok teman sebaya merupakan sarana

yang cukup efektif untuk membantu remaja memecahkan permasalahannya.

Di sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya, remaja

mendapat pengetahuan seksualitas dari pelajaran sekolah yang terpisah-pisah

dan sisanya mereka mencari sendiri dari berbagai sumber serta dari teman

sebayanya. Karena kelompok sebaya tidak terlatih, maka informasi yang ada

(55)

dipertangungjawabkan. Oleh karena itu remaja tidak dapat menambah,

memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara

terpisah-pisah, dan mengkoreksi jika ada informasi yang salah dengan

sebayanya serta kebutuhan remaja untuk mendapatkan informasi tentang

seksualitas tidak terpenuhi.

Kegiatan-kegiatan di sekolah yang bertujuan untuk menambah

pengetahuan seksualitas tidak dilakukan oleh kelompok sebayanya. Sehingga,

tidak ada informasi yang disampaikan dengan bahasa yang sama, sebagai

contoh yaitu tidak adanya konseling sebaya. Karena kelompok sebaya tidak

terlatih dan dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, maka

kelompok sebaya ini tidak dapat memberikan kesempatan luas untuk melatih

caranya bersikap, bertingkah laku dalam hubungan-hubungan sosial. Remaja

tidak dapat saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman

sebayanya. Sehingga, kelompok teman sebaya tidak dapat dijadikan sebagai

agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja itu sendiri untuk

memecahkan masalahnya.

Masalah seksualitas tergolong masalah yang sensitif, sehingga

terkadang tidak semuanya dapat remaja diskusikan atau ungkapkan pada orang

dewasa, yang dalam hal ini adalah orang tua atau guru. Mereka akan lebih

terbuka pada sebayanya dan seperti yang telah banyak banyak diulas

sebelumnya tentang pengaruh kelompok sebaya, maka tingkat pengetahuan

(56)

Jika kelompok sebaya mempunyai pengetahuan yang memadai, maka

kelompok sebaya ini akan dapat memberikan pengetahuan kepada temannya

dan dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat

membantu remaja untuk memecahkan masalahnya dan membantunya

berperilaku yang lebih sehat. Sebaliknya, apabila pengetahuan kelompok

sebaya tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang

beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan, misalnya seperti mitos- mitos yang menyesatkan, sehingga

kelompok sebaya tidak dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change

agent) yang dapat membantu remaja untuk memecahkan masalahnya. Hal ini

tentunya sangat membahayakan, karena dapat membawanya pada perilaku

yang salah atau tidak sehat dan beresiko.

Berdasarkan uraian tentang sekolah yang mendapat progaram Pendidik

Sebaya dan tidak mendapat program Pendidik Sebaya di atas, dapat

disimpulkan bahwa kedua lingkungan sekolah memiliki situasi dan kondisi

yang berbeda. Dinamika perbedaan dapat dilihat secara ringkas pada gambar

(57)

Gambar 1. Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Tidak Mendapat Program Pendidik

Sebaya

REMAJA

Sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya

Sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya

• Kebutuhan akan informasi yang benar tentang seksualitas terpenuhi

• Mendapat pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan dari sebayanya

• Dapat memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah

• Dapat melakukan Peer Counseling

(konseling sebaya)

• Ada agen perubahan (Change Agent) yang positif

• Tidak berkembang mitos- mitos seksual

• Kebutuhan akan informasi yang benar tentang seksualitas tidak terpenuhi

• Mendapat pengetahuan yang belum tentu semuanya dapat dipertanggungjawabkan dari sebayanya

• Tidak dapat memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah

• Tidak dapat melakukan Peer

Counseling (konseling sebaya)

• Tidak ada agen perubahan (Change Agent) yang positif

• Berkembang mitos- mitos seksual

(58)

E. Hipotesis

Tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat

program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual

(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Metode penelitian ini

digunakan karena dapat menemukan perbedaan-perbedaan tentang benda,

orang, prosedur kerja, ide- ide, kritik terhadap orang maupun kelompok

(Arikunto, 1986).

Penelitian komparatif ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat

perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat progaram

Pendidik Sebaya dan remaja sekolah tidak mendapat program Pendidik

Sebaya.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Program Pendidik Sebaya

2. Variabel tergantung : Perilaku seksual beresiko

C. Definisi Operasional

1. Program Pendidik Sebaya

Program Pendidik Sebaya adalah pendidikan yang dilakukan

dengan cara mengkader sekelompok orang untuk menjadi Pendidik Sebaya

(60)

sekolah-sekolah. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan variabel ini ada kondisi

yang akan dibandingkan, yaitu

a. Sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, yaitu sekolah

dampingan yang diberikan program Pendidik Sebaya.

b. Sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya, yaitu sekolah

yang tidak didampingi sehingga tidak mendapat program Pendidik

Sebaya.

Data tentang sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan

sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya diperoleh dari data

yang ada di PKBI DIY divisi Pendamping Peer Educator (PPE)

2. Perilaku Seksual Beresiko

Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang mempunyai

resiko untuk melakukan perilaku seksual tahap selanjutnya, kehamilan,

dan penularan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS.

Tinggi rendahnya perilaku seksual beresiko akan diukur dengan

menggunakan skala bentuk perilaku seksual beresiko. Bentuk-bentuk

perilaku seksual beresiko, yaitu:

a. Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan perilaku seksual

tahap selanjutnya:

- Berfantasi

- Memasturbasi diri sendiri

(61)

- Cium kering

- Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian

- Meraba alat kelamin di dalam pakaian

- Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Saling memasturbasi dengan pasangannya tanpa oral

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Oral dengan menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat

kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,

tisu KB, atau spiral)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat

kontrasepsi KB lain

b. Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:

(62)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat

kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

c. Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual

dan HIV/AIDS:

- Cium basah

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat

kontrasepsi KB lain

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat

kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB,

tisu KB, atau spiral)

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah

kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

Semakin tinggi skor total yang diperoleh dalam skala ini, menunjukkan

tingkat perilaku seksual beresiko yang dilakukan remaja sekolah semakin

tinggi terhadap dilakukannya hubungan seksual pranikah, penularan

penyakit menular seksual ataupun HIV / AIDS, dan terjadinya kehamilan.

Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh dalam

skala ini, menunjukan tingkat perilaku seksual beresiko yang dilakukan

Gambar

Gambar 1 Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja...... 41
Tabel 1 Spesifikasi Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Beresiko......................... 51
Gambar 1. Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah Yang
gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman untuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di Kabupaten Mura Enim, tanaman sakit HDB terdapat di Kecamatan Tanjung Agung pada varietas Ciherang stadia pengisian dengan skor 1, pada varietas Ciliwung stadia berbunga

26 Tahun 2000, yaitu: pembunuhan; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

ThebeliefthattheAssassinscouldstrikeeverywhereandany­ wherespreadthroughouttheChristianandMoslemworld.TheFrench chroniclerGuillaumedeNangistellsofhowtheOldManofthe Mountain sent

Buku ini menggunakan istilah manajemen sekolah, terjemahan dari “school management”, dan akan melihat bagaimana manajemen subtansi-substansi pendidikan di suatu

Di Kabupaten Serdang Bedagai terdapat Pulau Berhala yang memiliki objek wisata keindahan alam yang sangat menarik yang suasananya tenang dan jauh dari keriuhan,

Untuk ini maka langkah pertama yang harus dilakukan mengkaji situasi dan memutuskan dengan pasti tentang masalah yang akan dikomputerisasi dan apakah dengan sistem pakar

Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor I04, Tambahanb. Lembaran Negara Republik Indonesia