• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program pendidik sebaya dan yang tidak mendapat program pendidik sebaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program pendidik sebaya dan yang tidak mendapat program pendidik sebaya."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA

REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

DENGAN YANG TIDAK MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya. Hipotesis yang diajukan adalah tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya. Subjek penelitian ini berjumlah 120 orang yang berusia antara 15 - 18 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah kelas XI. Metode pengumpulan data menggunakan skala Perilaku Seksual Beresiko. Teknik analisis data yang digunakan adalah t-test. Berdasarkan hasil t-test diperoleh koefisien perbedaan (nilai t) sebesar 3,155 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,01). Hal ini berarti tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya. Rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya(Mean=49,17) lebih rendah dibandingkan rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak mendapat program pendidik sebaya (Mean=74,17).

▸ Baca selengkapnya: kesan golongan muda tidak mendapat pendidikan yang sempurna

(2)

WITH OR WITHOUT PEER EDUCATOR PROGRAM: RISKY SEXUAL

BEHAVIOR LEVEL ESTIMATION IN SCHOOL TEENAGERS

ABSTRACT

The aim of this research is to find that the difference of risky sexual behavior level estimation in school teenage rs with Peer Educator program and school teenagers without Peer Educator program. The hypothesis of the research is the risky sexual behavior level estimation in school teenage rs with Peer Educator program is lower than the risky sexual behavior level estimation in school teenagers without Peer Educator program. The sample of this research are 120 second year high school students, range from 15 – 18 years old. The data is gathered by using the Risky Sexual Behavior scale, and analyzed by using t-test. The t-test result shows that the differential coefficient (t-score) is 3,155 with the significance of 0,001 (p < 0,01). In other words, the risky sexual behavior level estimation of school teenager with Peer Educator program is lower than the risky sexual behavior level estimation of school teenager without Peer Educator program. The average of school teenager with Peer Educator program (Mean=49,17) is lower than the risky sexual behavior level estimation of school teenager without Peer Educator program (Mean=74,17).

(3)

PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO

PADA REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM

PENDIDIK SEBAYA DAN YANG TIDAK MENDAPAT

PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Jurusan Psikologi

Disusun Oleh :

M I SRI DEWI RETNO C

009114154

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

(5)
(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Grew up in a small town And when the rain would fall down

I 'd just stare out my window D reaming of what could be And if I 'd end up happy

I would pray

Trying hard to reach out But when I tried to speak out Felt like no one could hear me

W anted to belong here But something felt so wrong here

So I 'd pray I could breakaway

I 'll spread my wings and I 'll learn how to fly

Buildings with a hundred floors Swinging with revolving doors M aybe I don't know where they'll take me

But gotta keep movin' on M ovin' on, fly away

Breakaway

(Kelly Clarkson – Breakaway)

KUPERSEMBAHKAN KARYA SED ERHANAKU INI UNTUK :

Kemuliaan-N ya, Semua yang kucinta dan mencintaiku, Papa, Mama, adik yang

kusayangi, semua sahabat-sahabat terkasihku. Terima kasih untuk semua cinta

(7)
(8)
(9)

PERBEDAAN TINGKAT PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA

REMAJA SEKOLAH YANG MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

DENGAN YANG TIDAK MENDAPAT PROGRAM PENDIDIK SEBAYA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya. Hipotesis yang diajukan adalah tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya. Subjek penelitian ini berjumlah 120 orang yang berusia antara 15 - 18 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah kelas XI. Metode pengumpulan data menggunakan skala Perilaku Seksual Beresiko. Teknik analisis data yang digunakan adalah t-test. Berdasarkan hasil t-test diperoleh koefisien perbedaan (nilai t) sebesar 3,155 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,01). Hal ini berarti tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya. Rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya(Mean=49,17) lebih rendah dibandingkan rerata tingkat perilaku seksual beresiko remaja sekolah yang tidak mendapat program pendidik sebaya (Mean=74,17).

(10)

WITH OR WITHOUT PEER EDUCATOR PROGRAM: RISKY SEXUAL

BEHAVIOR LEVEL ESTIMATION IN SCHOOL TEENAGERS

ABSTRACT

The aim of this research is to find that the difference of risky sexual behavior level estimation in school teenage rs with Peer Educator program and school teenagers without Peer Educator program. The hypothesis of the research is the risky sexual behavior level estimation in school teenage rs with Peer Educator program is lower than the risky sexual behavior level estimation in school teenagers without Peer Educator program. The sample of this research are 120 second year high school students, range from 15 – 18 years old. The data is gathered by using the Risky Sexual Behavior scale, and analyzed by using t-test. The t-test result shows that the differential coefficient (t-score) is 3,155 with the significance of 0,001 (p < 0,01). In other words, the risky sexual behavior level estimation of school teenager with Peer Educator program is lower than the risky sexual behavior level estimation of school teenager without Peer Educator program. The average of school teenager with Peer Educator program (Mean=49,17) is lower than the risky sexual behavior level estimation of school teenager without Peer Educator program (Mean=74,17).

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kuucapkan pada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat, perlindungan, dan bimbingan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Banyak halangan dan hambatan untuk menyelesaikan skripsi ini, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.

Ucap syukur dan terima kasih kepada :

1. Ibu Tanti Arini, S.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan, petunjuk, dan saran-saran hingga penulisan skripsi ini selesai. Terima kasih juga, ya bu, ima pernah dapat bonus konsultasi masalah pribadi gratis. Hehehe.. J. Akhirnya dapat merasakan juga konsultasi dengan psikolog profesional, thanks for the unconditional rewards, bu..

2. Pihak SMK Marsudi Luhur I, SMK Marsudi Luhur II, dan SMK Negri 3 yang menjadi sampel penelitian. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan pengumpulan data.

3. PKBI DIY yang memberikan rekomendasi dan dukungannya. Thanks, guys.. 4. Mamah-Papah, yang telah dengan sabar dan mendukung penuh sampai skripsi

ini selesai. Maaf, ya ma, pa skripsinya lama sekali.

(12)

6. Sahabat-sahabatku : Eve ‘ Thanks, ve statistiknya..’, Adis ‘Tiket PP ke Bali nya keburu hangus kalo harus tunggu 3 tahun, jeng..’, Yuyun ‘Sampe bosen ya.. ngingetin ima buat skripsi..’, Yoke and the babarsari gank.

7. Bu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si trima kasih, bu.. atas bantuan dan dukungannya, mau direpotkan ima yang selalu telat ngurus segala tentang kuliah, jadi merepotkan sekali.

8. Mas Gandung, dan Mbak Nanik, trima kasih rela selalu direpotkan olehku terutama kalau ima telat urus sesuatu. Pak Gik yang selalu bukakan pintu ruang dosen kalau ku telat mengumpulkan tugas, juga bukakan lift kalau ima telat masuk kuliah, hehe.. . Mas Muji yang selalu kurepotkan dengan telfon-telfon gak penting tentang keberadaan dosen hihihi.., Mas Doni, Bapak-bapak parkiran ‘sampe bosen ya..kok ima belum pergi-pergi dari sadar. Hehe..’ dan semua Sadhar crews, makasi atas bantuan dan dukungannya selama ini ya...!!

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis,

M. I Sri Dewi Retno C

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II. LANDASAN TEORI... 9

A. Remaja... 9

1. Pengertian dan batasan remaja... 9

2. Perkembangan pada masa remaja... 11

(14)

b. Perkembangan kognitif... 13

c. Perkembangan sosial...14

3. Minat seks... 16

B. Program Pendidik Sebaya (Peer Edocator)... 17

1. Pendidikan seksualitas secara umum ... 17

2. Program Pendidik Sebaya... 18

C. Perilaku Seksual Beresiko... 23

1. Pengertian perilaku seksual... 23

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual... 25

3. Bentuk perilaku seksual... 26

4. Bentuk perilaku seksual beresiko... 34

D. Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah... 37

Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Yang Tidak Mendapat Program Pendidik Sebaya E. Hipotesis... 42

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 43

A. Jenis Penelitian... 43

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 43

C. Definisi Operasional... 43

D. Subjek Penelitian... 47

E. Metode Pengumpulan Data... 49

(15)

2. Pemberian Skor ... 54

3. Validitas dan Reliabilitas... 58

F. Metode Analisis Data... 59

G. Persiapan Penelitian... 59

1. Orientasi Kancah Penelitian...59

2. Perijinan Penelitian... 61

H. Pelaksanaan Penelitian... 62

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 65

A. Hasil Penelitian... 65

1. Karakteristik Subjek... 65

2. Deskripsi Data...66

3. Pengujian Prasyarat...67

a. Uji Normalitas...67

b. Uji Homogenitas... 68

4. Pengujian Hipotesis... 68

B. Pembahasan...70

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 75

A. Kesimpulan... 75

B. Saran... 75

(16)

LAMPIRAN

Lampiran A

1. Skala Penelitian...1

2. Tabulasi Jawaban Remaja Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik... 4

Sebaya 3. Tabulasi Jawaban Remaja Sekolah Yang Tidak Mendapat Program ... 6

Pendidik Sebaya 4. Skor Total Penelitian... 8

5. Frekuensi Dan Prosentase Respon Aitem Secara Keseluruhan... 10

6. Frekuensi Respon Aitem menurut Jenis Kelamin Dan Status Pacaran...11

Lampiran B 1. Uji Reliabilitas... 12

2. Uji Normalitas...13

3. Uji Homogenitas... 14

4. Uji Hipotesis... 15

Lampiran C 1. Surat Keterangan Penelitian...16

2. Surat Ijin Penelitian...17

3. Keterangan Penelitian Dari SMK Marsudi Luhur I Yogyakarta... 18

4. Keterangan Penelitian Dari SMK Marsudi Luhur II Yogyakarta... 19

(17)

DAFTAR GAMBAR

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Spesifikasi Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Beresiko... 51

Tabel 2 Pemberian Skor Respon Jawaban “Pernah” Pada Skala Perilaku... 55

Seksual Beresiko Tabel 3 Karakteristik Subjek... 65

Tabel 4 Deskripsi Data Perilaku Seksual Beresiko. (N=120) ... 66

Tabel 5 Uji Normalitas ... 67

Tabel 6 Uji Homogenitas ... 68

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Kasus-kasus remaja yang berkaitan dengan masalah- masalah remaja meningkat seiring perkembangan jaman. Beberapa penelitan menunjukkan gambaran fenomena yang sangat memprihatinkan tentang meningkatnya perilaku seksua l aktif di kalangan remaja. Hasil survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2004) menunjukkan bahwa angka aborsi di kalangan remaja mencapai 700 sampai 800 kasus per tahun, sedangkan tingkat kelahiran dari kalangan remaja mencapai 11 persen dari seluruh kelahiran. Hanya 55 persen remaja yang mengetahui proses kehamilan dengan benar, 42 persen mengetahui tentang HIV/AIDS dan hanya 24 persen mengetahui tentang penyakit menular seksual (PMS). Data dari Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI DIY mengungkapkan, angka konseling remaja KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) dari bulan Januari-Desember 2005 di Yogyakarta mencapai 550 kasus. Dari angka tersebut untuk usia remaja 18 sampai 24 tahun mencapai 465 kasus. Selain itu, merebaknya penularan HIV/AIDS di Yogyakarta sampai bulan November 2006 mencapai 309 kasus.

(20)

hal yang sangat penting. Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih berpandangan bahwa pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.

Berdasarkan kesepakatan Internasional di Kairo (The Cairo Consensus, 1994) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi remaja.

(21)

Perubahan lain yang terjadi pada masa remaja adalah perubahan sosial. Penyesuaian terhadap perkembangan sosialnya menjadi salah satu tugas perkembangan yang tersulit yang dihadapi remaja. Remaja umumnya harus menyesuaikan denga n lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum ada. Lingkungan sosial pada masa remaja tidak lagi terbatas pada lingkungan keluarga saja, tetapi semakin luas. Remaja harus mengadakan penyesuaian sosial dengan orang di luar lingkungan keluarga, yaitu dengan lingkungan teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis. Hal ini ditegaskan Monks (1987) bahwa pada perkembangan sosial, remaja memperlihatkan dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman sebaya.

Dengan berkembangnya aspek sosial, remaja akan memperluas pengalaman sosialnya dan mulai mempersiapkan tugas-tugas ya ng lebih spesifik yang sesuai dengan orang dewasa. Bertambah luasnya lingkup sosial, remaja semakin dituntut selalu menyesuaikan dan diharapkan mampu membuat hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, serta mampu bertingkah laku sosial yang bertanggung jawab (Havinghurst dalam Hurlock, 1991). Dalam proses penyesuaian diri tersebut, remaja sering manghadapi masalah. Permasalahan remaja sebenarnya merupakan masalah yang kompleks, merupakan hasil interaksi dari berbagai sebab, antara lain remaja itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial.

(22)

permasalahan remaja dapat dilihat melalui konsep dan dukungan sosial (social support). Dukungan sosial adalah sumber-sumber yang diberikan oleh orang lain. Salah satu sumber dukungan sosial adalah kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya merupakan konteks yang paling alami dan aman bagi remaja, karena hubungan dengan teman sebaya merupakan interaksi yang mendalam (Sugianto, 1994).

Hasil studi dari Afiatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa remaja telah melakukan berbaga i usaha mengatasi permasalahan yang dirasakan. Usaha yang telah dilakukan tersebut sebagian besar mencoba mengemukakan permasalahannya pada teman sebaya. Dengan sesama kelompok remaja mereka merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya, saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Maka dari studi di atas dapat diasumsikan bahwa pendekatan kelompok teman sebaya merupakan sarana yang cukup efektif untuk membantu remaja memecahkan permasalahannya.

(23)

posisi setelah kedua sumber tadi. Oleh karena itulah, pengetahuan reproduksi juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman sebayanya (peer). Jika teman sebaya mempunyai pengetahuan yang memadai, maka dia akan dapat memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, termasuk mitos- mitos yang menyesatkan. Hal ini tentunya sangat membahayakan, apalagi mengingat bahwa mitos yang menyesatkan tersebut dapat berakibat fatal terhadap masa depan remaja itu sendiri.

(24)

dikehendaki seperti hubungan seksual pra nikah, kehamilan tidak dikehendaki, aborsi, dan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS dapat dikurangi dan dicegah.

Sebelum menjadi Pendidik Sebaya, para remaja ini mendapat pendidikan dulu dari para ahli di PKBI mengenai seksualitas, kesehatan reproduksi dan masalah- masalah remaja lainnya, termasuk tentang NARKOBA dan penyalahgunaannya. Setelah itu, diharapkan mereka dapat menularkan pengetahuannya tadi ke rekan-rekan sebayanya, serta mempengaruhi mereka untuk mengambil keputusan yang sehat dan bertanggung jawab.

(25)

didampingi oleh pihak sekolah dan divisi Pendamping Pendidik Sebaya PKBI DIY.

Kecanggungan yang dialami remaja ketika membuka komunikasi dengan orang lain diharapkan akan berkurang bila ia berada dalam kelompoknya. Dengan sesama kelompok remaja ini, mereka akan dapat merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya, saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Kelompok remaja ini dipandang memiliki sifat-sifat positif dalam hal memberikan kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku dalam hubungan-hubungan sosial. Dengan demikian, kelompok teman sebaya dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya dan berperilaku yang lebih sehat terutama dalam kaitannya dengan seksualitas.

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini ingin melihat apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya (Peer Educator) dan remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya (Peer Educator).

II. Rumus an Masalah

(26)

III.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya.

IV.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Dapat digunakan sebagai literatur dalam melakukan penelitian yang relevan di masa yang akan datang khususnya dalam bidang psikologi perkembangan khususnya remaja.

2. Manfaat Praktis

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja

1. Pengertian dan batasan remaja

Remaja atau adolescence berasal dari kata latin yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Ba nyak ahli berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang remaja, contohnya adalah Hurlock (1991) yang mengemukakan masa remaja sebagai masa peralihan dari suatu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Pada masa remaja seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mulai mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.

(28)

berdasarkan sisa-sisa dari masa kanak-kanaknya dan harapan- harapan akan masa dewasanya yang diantisipasikannya. Ia harus menemukan satu kesamaan yang berarti antara bentuk identitas yang telah ia lihat dalam dirinya sendiri dan bentuk identitasnya yang menurut kesadarannya yang tajam diharapkan darinya oleh orang lain.

Mussen dkk (1969) menyatakan juga bahwa masa remaja merupakan tahap kehidupan yang penuh tantangan dan kesulitan. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja selain terjadi perubahan fisik, psikis dan kognitif juga terjadi perubahan dalam tuntutan sosial terhadap remaja.

(29)

Dari beberapa pendapat di atas dapat peneliti menyimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa dengan segala perubahan-perubahan yang dialami meliputi perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial dengan batasan usia berkisar antara usia 14 atau 15 tahun sampai usia 20 atau 24 tahun. Peneliti menyimpulkan batasan usia remaja berdasarkan batasan yang dikemukakan oleh PBB karena melihat penelitian ini dilakukan di Indonesia.

2. Perkembangan pada masa remaja

Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masa remaja menimbulkan berbagai macam perubahan seiring dengan perkembangannya. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Begitu juga dengan sebaliknya, jika perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku juga akan menurun.

(30)

mereka masih takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

Berikut ini adalah berbagai macam perkembangan yang terjadi pada masa remaja:

a. Perkembangan fisik

Pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna pada saat masa puber berakhir, dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa awal remaja. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan dan perkembangan internal lebih menonjol daripada perkembangan eksternal.

Berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan tubuh yang baik. Misalnya, badan melebar dan memanjang sehingga anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang. Organ seks baik pria maupun wanita juga mencapai ukuran yang matang pada akhir masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun kedepan. Sedangkan ciri-ciri seks sekunder yang utama berada pada tingkat perkembangan yang matang pada akhir masa remaja.

Dengan berkurangnya perubahan fisik, kecanggungan pada masa puber dan awal masa remaja pada umumnya menghilang, karena remaja yang lebih besar sudah mempunyai waktu tertentu untuk mengawasi tubuhnyayang bertambah besar.

(31)

beberapa bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis-tubuh menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri selama masa remaja. Keprihatinan in timbul karena adanya kesadaran bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial (Hurlock, 1991).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) pemikiran masa remaja berada pada tahap operasional formal. Pemikiran ini lebih abstrak daripada pemikiran seorang anak. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman kongkret aktual sebagai dasar pemikiran, akan tetapi mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang labih abstrak. Remaja semakin dapat berpikir tentang pemikiran itu sendiri. Mereka dapat bertanya-tanya mengapa mereka memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan. Hal ini mencirikan bertambahnya minat remaja pada memikiran itu sendiri dan keabstrakan pemikiran.

Selain itu, pemikiran remaja juga idealis. Mereka mulai memikirkan tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain serta membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Selama masa remaja, pemikiran-pemikiran sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan.

(32)

Santrock, 2002). Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan yang menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah- masalah dan menguji pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis.

Dalam kognisi sosial, remaja mengembangkan suatu egosentrisme khusus. Mereka mulai berpikir tentang kepribadian. Pemikiran egosentrisme ini menurut Elkind (dalam Santrock, 2002) ada dua bagian, yang pertama yaitu penonton khayalan. Bagian ini adalah dimana remaja meyakini bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Bagian yang kedua adalah dongeng pribadi. Bagian ini meliputi perasaan unik seorang anak remaja. Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengerti bagaimana perasaan mereka yang sebenarnya.

c. Perkembangan sosial

(33)

pada perkembangan sosial remaja memperlihatkan dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman sebaya.

Pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1991) mengungkapkan bahwa didalam kelompok sebaya remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Mereka dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang ingin mereka dihindari. Nilai- nilai dalam kelompok sebaya bukanlah nilai- nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Dalam kelompok sebaya inilah mereka memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi, dan disini jugalah mereka dapat menemukan dunia yang memungkinkan mereka bertindak sebagai pemimpin apabila mampu melakukannya.

(34)

3. Minat seks

Untuk memenuhi tugas perkembangan dalam hal peran seksual, Hurlock (1991) mengungkapkan minat terhadap seks meningkat pada masa remaja. Hal ini membuat remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa segala informasi mengenai seks dapat dipelajari dari orang tuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi yang dapat diperoleh, misalnya dari pendidikan seks disekolah, membahas dengan teman-teman, buku-buku dan situs internet tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu atau bersenggama. Survey yang dilakukan ole h Youth Center PKBI di beberapa kota yaitu Cirebon, Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang (2001) mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh pengetahuan dari televisi, majalah atau media cetak lain, sedangkan orang tua dan guru menduduki posisi setelah kedua sumber tadi.

(35)

Untuk memenuhi tugas perkembangan membentuk hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis, remaja mulai mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan selain mengembangkan minat pada pelbagai kegiatan yang melibatkan laki- laki dan perempuan. Minat ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dari lawan jenis.

Remaja perempuan memiliki keinginan yang lebih kuat untuk penjajakan keintiman dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja laki- laki (Santrock, 2003). Berkencan bagi remaja ialah suatu konteks dimana harapan- harapan peran yang berkaitan dengan gender meningkat. Laki- laki merasakan tekanan untuk tampil secara “maskulin” dan perempuan merasakan tekanan untuk tampil secara “feminin”.

B. Program Pendidik Sebaya

1. Pendidikan seksualitas secara umum

(36)

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak (Gunarsa, 2001). Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar (Mutadin, 2002).

(37)

Konseling, Agama, Pendidikan Jasmani dan Biologi. Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks (Sumardi, 1976).

Dimensi biologis seksualitas, dalam hal ini tentang anatomi terpaparkan dalam bab Anatomi Tubuh kelas XI (Syamsuri, 2007 dan Tia, 2008). Sehingga dapat terbayangkan siswa kelas X belum mendapatkan materi tentang anatomi tubuh secara kurikulum.

Pendidikan Jasmani kelas XI berdasarkan observasi, ada beberapa sekolah yang menjelaskan tentang berbagai macam penyakit menular seksual dan pemeliharaan kesehatan organ reproduksi. Materi ini diberikan guru untuk melengkapi materi pemeliharaan kesehatan (Mujahir, 1996).

(38)

2. Program Pendidik Sebaya

Program Pendidik Sebaya adalah pengkaderan siswa sekolah untuk menjadi pendidik sebaya bagi teman-temannya. Para Pendidik Sebaya adalah orang yang me mberikan pendidikan kepada kelompok sebayanya. Program ini adalah program dampingan PBKI DIY kepada sekolah-sekolah di Yogyakarta yang nantinya ketika sekolah-sekolah sudah dapat menjalankannya sendiri, PKBI akan melepas pendampingannya. Sampai saat ini, sudah ada 17 sekolah tingkat menengah umum dan 5 sekolah tingkat menengah pertama yang didampingi oleh PKBI DIY dengan 6 orang pendamping Pendidik Sebaya yang setiap orangnya mendampingi 3 sampai 4 sekolah.

Latar belakang program ini adalah karena remaja sangat kuat dipengaruhi oleh kelompok sebayanya. Oleh karena itu akan lebih baik jika pengaruh yang diberikan oleh kelompok sebaya merupakan pengaruh yang positif dan membangun. Dalam kelompok sebaya inilah diharapkan program ini dapat membantu remaja menyelesaikan masalahnya dalam hal seksualitas.

(39)

diberikan oleh sekolah ataupun mengkoreksi jika ada informasi yang salah. Sehingga, diharapkan kasus-kasus seksual yang tidak dikehendaki seperti hubungan seksual pra nikah, KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan), aborsi, IMS dan HIV/AIDS dapat dikurangi atau dicegah.

Para Pendidik sebaya dibekali informasi- informasi seputar seksualitas melalui pelatihan selama 3 hari yang diselenggarakan PKBI DIY setahun sekali. Berikut ini adalah topik-topik materi yang diberikan pada para pendidik sebaya (Imran,2000):

a. Kesehatan reproduksi remaja - Lonceng faali

- Menstruasi dan mimpi basah - Pemeliharaan alat-alat reproduksi - Masa subur dan kehamilan

- Mitos- mitos tentang kesehatan reproduksi b. Perkembangan seksualitas remaja

- Jender atau Peran jenis kelamin - Perilaku seksual remaja

- Perilaku seksual bertanggungjawab - Perilaku seksual menyimpang - Relasi heteroseksual

(40)

c. Resiko reproduksi remaja

- Resiko hubungan seksual pranikah - Resiko kehamilan remaja

- Aborsi pada kehamilan remaja

- Rentankah kamu terhadap HIV/AIDS?

- Gangguan saluran reproduksi akibat reproduksi pada masa remaja - ”NOT NOW FOR SEX”. Gangguan psikoseksual akibat perilaku

seksual masa remaja

d. Penyakit menular seksual dan Infeksi saluran reproduksi - Pengertian, penularan dan jenis-jenisnya

- Cara pengobatan dan pencegahan e. NAPZA

- Pengertian dasar dan jenis-jenis NAPZA - Dampak penyalahgunaan NAPZA

- Faktor pendorong penyalahgunaan NAPZA

- Metode pencegahan serta penanggulangan NAPZA

- Ketrampilan pengendalian diri serta mengatasi tekanan lingkungan f. Pertumbuhan dan perkembangan

- Aspek-aspek perkembangan remaja - Tugas-tugas perkembanga n remaja g. Pengembangan diri

(41)

- Membuka diri

- Komunikasi interpersonal - Mendengar aktif

- Konflik

- Strategi pemecahan masalah - Merencanakan masa depan h. Pendidik sebaya

- Pengertian dan tujuan

- Kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan sebagai pendidik sebaya

- Bagaimana menyelenggarakan kegiatan pendidik sebaya - Penyusunan program

Di tiap sekolah ada 5-10 pendidik sebaya untuk menjangkau semua siswa yang ada. Pendaftaran untuk menjadi Pendidik Sebaya dibuka pada setiap awal tahun ajaran dan terbuka bagi siswa-siswa yang berminat. Penyeleksian untuk menjadi Pendidik Sebaya dilakukan dengan cara wawancara yang dilakukan oleh guru pengampu mata pelajaran bimbingan konseling dan wakil kepala sekolah. Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengetahui sejauhmana pengetahuan dasar tentang seksualitas dan juga tentang kepribadian calon Pendidik Sebaya. Sarat-syarat kepribadian yang harus dipenuhi sebagai seorang Pendidik Sebaya, yaitu:

(42)

- Berminat secara pribadi dan mampu menyebarluaskan informasi tentang seksualitas dan issu- issu remaja lainnya.

- Punya ciri-ciri kepribadian yang matang dan unggul, misalnya ramah, dapat dipercaya, supel, kreatif, terbuka dan lancar dalam mengemukakan pendapatnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik sebaya di sekolah adalah misalnya pembuatan mading dan leaflet, konseling sebaya (peer counseling), sarasehan dan diskusi. Dalam konseling remaja, para pendidik sebaya berperan mengidentifikasi masalah- masalah yang terjadi di antara rekan-rekan sebayanya, kemudian jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, merujuk rekan yang mengalami masalah tadi ke konselor, ahli yang ada di Youth Center. Dengan dampingan Pendamping Pendidik Sebaya, satu kali dalam semingu mereka melakukan pertemuan rutin untuk membahas program kegiatan dan mengevaluasinya. Mereka juga memonitoring siswa-siswa yang telah mereka jangkau. Dalam pertemuan ini pula mereka menambah dan memperbaharui (meng-update) pengetahuan tentang seksualitas melalui pengayaan yang diberikan oleh Pendamping Pendidik Sebaya.

C. Perilaku Seksual Beresiko

1. Pengertian perilaku seksual

(43)

belum tentu menimbulkan reaksi yang sama. Selanjutnya, pengertian tentang perilaku seksual dikemukakan oleh Sarwono (1994) yang mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Imran (2000) bahwa perilaku seksual adalah perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Lebih detil lagi Masters (1992) memberikan pengertian perilaku seksualitas sebagai hasil dari dorongan kebutuhan biologis dan kebutuhan psikososial. Yang dimaksud dengan psikososial di sini adalah kombinasi dari keadaan psikologis seseorang meliputi emosi, pemikiran, dan kepribadian dengan elemen sosial menyangkut bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Dari pengertian-pengertian yang disebut di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku seksual adalah tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik lawan jenis maupun sesama jenis yang dimunculkan individu sebagai reaksi terhadap stimulus seksual jasmani.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual

Hurlock (1991) menyatakan bahwa manifestasi dorongan seksual dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh

(44)

menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangk utan dan hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.

b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar diri individu, yang menimbulkan dorongan seksual sehingga menimbulkan perilaku seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui pengalama n kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, buku-buku bacaan dan tontonan porno, dorongan empati serta pengaruh orang dewasa lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu pengaruh biologis meliputi perkembangan fisik dan hormon, kemampuan sosial kognitif, serta kepribadian. Pengaruh eksternal meliputi pengalaman seksual, pemahaman dan pengahayatan nilai- nilai keamanan serta pengetahuan tentang seksualitas, keluarga, serta teman sebaya.

3. Bentuk perilaku seksual

(45)

meraba tubuh di luar pakaian, saling meraba tubuh di dalam pakaian, saling menempelkan alat kelamin dan berhubungan seksual. Secara bertahap dijabarkan sebagai berikut:

a. Memegang tangan

- Bergandengan saat jalan-jalan

- Bergandengan tangan saat menyebrang jalan

- Memenggang tangan saat duduk berduaan b. Mencium

- Mencim pipi

- Saling menempelkan bibir

- Berciuman c. Memeluk

- Memeluk saat jalan-jalan

- Merangkul saat duduk berduaan

- Merangkul saat menyebrang jalan

- Memeluk saat berboncengan

- Berpelukan d. Meraba tubuh

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

(46)

- Meraba alat kelamin di dalam pakaian e. Saling menempelkan alat kelamin (petting)

- Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian f. Masturbasi

- Masturbasi pada diri sendiri

- Saling memasturbasi dengan pasangannya g. Berhubunga n seks

Mutadin (2002) mengurutkan perilaku seksual remaja antara lain berpegangan tangan, berpelukan ringan sampai dengan yang berat, berciuman ringan sampai yang berat, saling meraba payudara dan alat kelamin secara ringan sampai yang berat, berpelukan tanpa pakaian, saling menempelkan alat kelamin, saling memasturbasi dengan tangan samapi dengan mulut, dan berhubungan seksual.

Selanjutnya, Imran (2000) menjelaskan bentuk-bentuk perilaku seksual, yaitu sebagai berikut:

a. Berfantasi.

Adalah perilaku membayangkan atau mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme. Dampak perilaku seksual ini:

(47)

- Tidak beresiko tertular penyakit. b. Berpegangan tangan

Aktivitas seksual ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual dapat tercapai). Umumnya jika berpegangan tangan, maka muncul getaran-getaran romantis atau perasaan-perasaan aman atau nyaman. Berpegangan tangan juga merupakan bentuk pernyataan afeksi atau perasaan sayang yang berupa sentuhan.

c. Cium Kering

Adalah aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi, pipi dengan bibir. Dapak dari aktivitas ini yaitu:

- Imajinasi atau fantasi seksual jadi berkembang.

- Menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada saat-sat tertentu dan bersifat sekilas.

- Menimbulkan keinginan untuk melanjutkan bentuk aktivitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.

d. Cium Basah

Aktivitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir sampai berciuman dalam (french kiss). Dampak dari aktivitas ini yaitu:

- Jantung menjadi lebih berdebar-debar.

(48)

akan mudah melakukan aktivitas seksual selanjutnya tanpa disadari seperti cumbuan, petting bahkan sampai hubungan intim.

- Ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut terus-menerus).

e. Meraba

Kegiatan meraba bagian-bagian sensitif rangsang seksual, seperti payudara, leher, paha atas, vagina, penis, pantat dan lain- lain. Dampak dari aktivitas ini adalah:

- Terangsang secara seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan akal sehat, akibatnya dapat melakukan aktivitas seksual selanjutnya seperti cumbuan berat dan hubungan intim.

- Ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut terus-menerus).

- Muncul perasaan dilecehkan oleh pasangan. f. Berpelukan

Dampak dari aktivitas ini adalah:

- Jantung menjadi berdegup lebih cepat.

- Menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang.

- Menimbulkan rangsangan seksual terutama jika mengenai daerah erogenus.

g. Masturbasi

(49)

- Luka bahkan infeksi terutama jika menggunakan alat-alat yang membahayakan, seperti benda-benda tajam atau benda lain yang tidak steril.

- Energi fisik dan psikis terkuras, biasanya orang menjadi mudah lelah, sulit berkonsentrasi, malas melakukan aktivitas lain.

- Dapat merobek selaput dara.

- Pikiran terus- menerus ke arah fantasi seksual. - Perasaan bersalah dan berdosa.

- Kemungkinan mengalami ejakulasi dini pada saat nantinya berhubungan intim.

- Kurang bisa memuaskan pasangan karena terbiasa memuaskan diri sendiri.

- Menimbulkan kepuasan diri. - Menimbulkan ketagihan. h. Oral

Adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan dengan menggunakan mulut. Perilaku ini berdampak:

- Dapat terkena bibit penyakit yang dapat menimbulkan radang tenggorokan ataupun pencernaan dan juga dapat tertular penyakit jika pasangan mengidap penyakit menular seksual (PMS).

- Menimbulkan ketagihan.

(50)

- Sanksi moral dan agama. i. Petting

Adalah aktivitas menempelkan alat kelamin. Dampak dari perilaku ini adalah:

- Menimbulkan ketagihan.

- Dapat memungkinkan terjadinya kehamilan. - Dapat tertular penyakit menular seksual (PMS). - Menimbulkan perasaan cemas dan bersalah. - Memuaskan kebutuhan seksual.

- Dapat menyebabkan robeknya selaput dara. - Sanksi moral dan agama.

j. Intercourse

Aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki- laki ke alat kelamin wanita.

- Perasaan bersalah dan berdosa terutama pada saat melakukan pertama kali.

- Ketagihan.

- Kemungkinan terjadinya hamil sangat tinggi.

- Dapat tertular penyakit menular seksual dan infeksi saluran reproduksi.

- Resiko adanya gangguan fungsi seksual seperti frigiditas, vaginismus ataupun dispareunia.

(51)

- Keperawanan dan keperjakaan hilang.

Sebagai kesimpulan bentuk perilaku seksual remaja, peneliti menggabungkan uraian dari Sarwono (1989) dan Imran (2000) yang dijabarkan sebagai berikut di bawah ini:

- Berfantasi seksual

- Masturbasi pada diri sendiri - Berpegangan tangan

- Cium kering - Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian - Meraba alat kelamin di dalam pakaian - Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Saling memasturbasi dengan pasangannya

- Oral

- Petting dengan hanya berpakaian dalam - Petting dengan tanpa pakaian

(52)

4. Bentuk perilaku seksual beresiko

Dari uraian sebelumnya tentang bentuk-bentuk perilaku seksual menurut Imran (2000), terlihat bahwa setiap perilaku seksual mempunyai resiko yang berbeda-beda. Sehubungan dengan tujuan program pendidik sebaya yaitu untuk mengurangi dan mencegah perilaku hubungan seksual pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, dan penularan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS, maka yang dimaksud dengan perilaku seksual beresiko menurut penelitian ini adalah perilaku seksual yang me mpunyai resiko untuk perilaku hubungan seksual pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, dan penularan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS.

(53)

Penggunaan alat kontrasepsi juga dapat mempengaruhi resiko yang akan diterima seseorang. Alat kontrasepsi KB seperti pil KB, tisu KB, spiral, ataupun IUD saat melakukan hubungan seksual akan mengindari seseorang dari resiko kehamilan. Alat kontrasepsi kondom dapat mencegah seseorang dari resiko kehamilan dan penularan penyakit menular ataupun HIV/AIDS.

Dari berbagai kajian di atas, dapat diambil kesimpulan bentuk perilaku seksual beresiko adalah sebagai berikut:

a. Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan ketahap selanjutnya: - Berfantasi

- Memasturbasi diri sendiri - Berpegangan tangan

- Cium kering - Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian - Meraba alat kelamin di dalam pakaian - Petting dengan masih berpakaian lengkap

(54)

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Oral dengan menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

b. Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain c. Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual

dan HIV/AIDS: - Cium basah

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

(55)

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain - Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah

kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

D. Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah

Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Yang

Tidak Mendapat Program Pendidik Sebaya

Pada sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, remaja dapat menambah, memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah, dan mengkoreksi jika ada informasi yang salah dengan kelompok sebayanya yang telah terlatih dan dibekali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik sebaya seperti majalah dinding, pembagian leaflet, sarasehan dan diskusi yang secara rutin dilakukan akan memenuhi kebutuhan remaja akan informasi seksualitas. Dengan penyampaian bahasa yang sama, informasi akan lebih mudah diterima dan dicerna. Begitu pula dalam hal berdiskusi, karena adanya kesetaraan usia.

(56)

seksual ataupun HIV/AIDS. Kecanggungan yang dialami remaja ketika membuka komunikasi dengan orang lain diharapkan akan berkurang bila ia berada dalam kelompoknya.

Hasil studi dari Afiatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa remaja telah melakukan berbagai usaha mengatasi permasalahan yang dirasakan. Usaha yang telah dilakukan tersebut sebagian besar mencoba megemukakan permasalahannya pada teman sebaya. Dengan sesama kelompok remaja mereka merasa aman karena dapat bebas mengemukakan permasalahannya, saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Kelompok remaja ini dipandang memiliki sifat-sifat positif dalam hal memberikan kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku dalam hubungan- hubungan sosial. Sehingga, kelompok teman sebaya dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya. Dengan pendekatan ini juga remaja dapat berlatih caranya bersikap dan berperilaku yang lebih sehat terutama dalam kaitannya dengan seksualitas. Maka dari studi inilah dapat diasumsikan bahwa pendekatan kelompok teman sebaya merupakan sarana yang cukup efektif untuk membantu remaja memecahkan permasalahannya.

(57)

dipertangungjawabkan. Oleh karena itu remaja tidak dapat menambah, memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah, dan mengkoreksi jika ada informasi yang salah dengan sebayanya serta kebutuhan remaja untuk mendapatkan informasi tentang seksualitas tidak terpenuhi.

Kegiatan-kegiatan di sekolah yang bertujuan untuk menambah pengetahuan seksualitas tidak dilakukan oleh kelompok sebayanya. Sehingga, tidak ada informasi yang disampaikan dengan bahasa yang sama, sebagai contoh yaitu tidak adanya konseling sebaya. Karena kelompok sebaya tidak terlatih dan dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, maka kelompok sebaya ini tidak dapat memberikan kesempatan luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku dalam hubungan-hubungan sosial. Remaja tidak dapat saling belajar dan saling mendapat umpan balik dari teman sebayanya. Sehingga, kelompok teman sebaya tidak dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja itu sendiri untuk memecahkan masalahnya.

(58)

Jika kelompok sebaya mempunyai pengetahuan yang memadai, maka kelompok sebaya ini akan dapat memberikan pengetahuan kepada temannya dan dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja untuk memecahkan masalahnya dan membantunya berperilaku yang lebih sehat. Sebaliknya, apabila pengetahuan kelompok sebaya tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, misalnya seperti mitos- mitos yang menyesatkan, sehingga kelompok sebaya tidak dapat dijadikan sebagai agen perubahan (change agent) yang dapat membantu remaja untuk memecahkan masalahnya. Hal ini tentunya sangat membahayakan, karena dapat membawanya pada perilaku yang salah atau tidak sehat dan beresiko.

(59)

Gambar 1. Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah Yang Mendapat Program Pendidik Sebaya Dan Remaja Sekolah Tidak Mendapat Program Pendidik

Sebaya

REMAJA

Sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya

Sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya

• Kebutuhan akan informasi yang benar tentang seksualitas terpenuhi

• Mendapat pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan dari sebayanya

• Dapat memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah

• Dapat melakukan Peer Counseling

(konseling sebaya)

• Ada agen perubahan (Change Agent) yang positif

• Tidak berkembang mitos- mitos seksual

• Kebutuhan akan informasi yang benar tentang seksualitas tidak terpenuhi

• Mendapat pengetahuan yang belum tentu semuanya dapat dipertanggungjawabkan dari sebayanya

• Tidak dapat memperbaharui (meng-update) informasi yang disampaikan di sekolah secara terpisah-pisah

• Tidak dapat melakukan Peer Counseling (konseling sebaya)

• Tidak ada agen perubahan (Change Agent) yang positif

• Berkembang mitos- mitos seksual

(60)

E. Hipotesis

(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Metode penelitian ini digunakan karena dapat menemukan perbedaan-perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide- ide, kritik terhadap orang maupun kelompok (Arikunto, 1986).

Penelitian komparatif ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat progaram Pendidik Sebaya dan remaja sekolah tidak mendapat program Pendidik Sebaya.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Program Pendidik Sebaya 2. Variabel tergantung : Perilaku seksual beresiko

C. Definisi Operasional

1. Program Pendidik Sebaya

(62)

sekolah-sekolah. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan variabel ini ada kondisi yang akan dibandingkan, yaitu

a. Sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, yaitu sekolah dampingan yang diberikan program Pendidik Sebaya.

b. Sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya, yaitu sekolah yang tidak didampingi sehingga tidak mendapat program Pendidik Sebaya.

Data tentang sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya dan sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya diperoleh dari data yang ada di PKBI DIY divisi Pendamping Peer Educator (PPE)

2. Perilaku Seksual Beresiko

Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang mempunyai resiko untuk melakukan perilaku seksual tahap selanjutnya, kehamilan, dan penularan penyakit menular seksual ataupun HIV/AIDS.

Tinggi rendahnya perilaku seksual beresiko akan diukur dengan menggunakan skala bentuk perilaku seksual beresiko. Bentuk-bentuk perilaku seksual beresiko, yaitu:

a. Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan perilaku seksual tahap selanjutnya:

- Berfantasi

(63)

- Cium kering - Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian - Meraba alat kelamin di dalam pakaian - Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Saling memasturbasi dengan pasangannya tanpa oral

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Oral dengan menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

b. Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:

(64)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain c. Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual

dan HIV/AIDS: - Cium basah

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain - Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah

(65)

pranikah, penularan penyakit menular seksual ataupun HIV / AIDS, dan terjadinya kehamilan.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi yang bersekolah di SMK Marsudi Luhur I, SMK Marsudi Luhur II yang mewakili beberapa sekolah tingkat menengah yang mendapat program Pendidik Sebaya dari PKBI DIY. Kedua sekolah ini dipilih berdasarkan rekomendasi dari PKBI DIY, dengan melihat keaktifan program para Pendidik Sebaya di sekolah tersebut. SMK N 3 mewakili sekolah-sekolah tingkat menengah yang tidak program Pend idik Sebaya dari PKBI DIY. Sekolah ini dipilih berdasarkan rekomendasi dari PKBI DIY dan kepala sekolah SMK Marsudi Luhur I dan SMK Marsudi Luhur II, dengan memperhatikan keseimbangan prestasi dan karakteristik sekolah. Ciri-ciri subjek yang akan diteliti berdasarkan pertimbangan praktis dan teoritis, yaitu:

(66)

2. Remaja yang duduk di kelas XI. Diasumsikan mereka sudah cukup mengenal teman-temannya, memahami dan mulai terbiasa dengan kondisi serta lingkungan di sekolahnya. Mereka juga telah mendapat informasi tentang seksualitas dari beberapa pelajaran sekolah secara terpisah. Pada sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya, para pendidik sebaya juga telah mempunyai kesempatan untuk berkegiatan selama satu tahun, sela ma mereka masih duduk di kelas X.

3. Untuk mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual beresiko, maka dibuat batasan subjek penelitian sebagai berikut:

a. Berperilaku seksual aktif, yaitu pernah melakukan atau merasakan perilaku seksual. Hal ini dilakukan dengan cara memilih subjek yang memberikan respon jawaban pernah dalam satu tahun terakhir. Apabila ada subjek yang merespon skala tidak pernah dalam satu tahun terakhir di semua aitem skala, subjek akan dinyatakan gugur.

b. Umur yang sama, yaitu umur 15 – 18 tahun (kelas XI), untuk mendapatkan keseragaman kondisi perkembangan biologis. Hal ini menyangkut faktor perkembangan hormon yang akan mempengaruhi dorongan seksual. Apabila ada subjek yang berumur kurang dari 15 tahun dan lebih dari 18 tahun, akan dinyatakan gugur.

c. Pengontrolan faktor jenis kelamin dilakukan dengan cara penentuan jumlah yang relatif sama pada tiap sekolah.

(67)

untuk melihat pengaruh kelompok sebaya dalam melengkapi informasi seksual dari sekolah yang terpisah-pisah sehingga kondisi pengetahuan tentang seksualitas yang dimiliki oleh subjek, diasumsikan sama. Data atas ada tidaknya mata pelajaran Kesehatan Reproduksi ini diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara dari Kepala Sekolah dan guru pengampu mata pelajaran Bimbingan Konseling.

e. Lingkungan kedua sekolah yang dipilih relatif sama, yaitu berada ditengah kota. Pembatasan ini dilakukan untuk mengontrol faktor pengaksesan media tentang seksualitas. Sehingga informasi seksualitas yang didapat dari luar lingkungan sekolah dan kelompok sebaya diasumsikan kurang lebih sama. Pembatasan ini juga dilakukan untuk mengontrol latar belakang keluarga dan lingkungan sosial lain.

Dengan demikian, teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purpose sampling, yait u cara-cara pengambilan sampel yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu, yang sudah diketahui atau ditentukan sebelumnya.

E. Metode Pengumpulan Data

(68)

dilakukannya perilaku hubungan seksual pranikah, penularan penyakit menular seksual ataupun HIV / AIDS, dan terjadinya kehamilan dengan subjek yang berperilaku seksual beresiko tinggi terhadap dilakukannya perilaku hubungan seksual pranikah, penularan penyakit menular seksual ataupun HIV / AIDS, dan terjadinya kehamilan.

Upaya untuk mengurangi terjadinya ketidakjujuran atau facking

dilakukan dengan cara:

- Menjelaskan tujuan penelitian dan bahwa penelitian ini tidak ada kaitannya dengan prestasi akademik di sekolah.

- Menjelaskan bahwa dalam penelitian ini tidak ada benar dan salah.

- Menyampaikan permohonan untuk menjawab dengan jujur sesuai dengan keadaan masing- masing.

- Menjelaskan bahwa indentitas dirahasiakan, sehingga tidak diperlukan memberikan informasi data pribadi selain umur, jenis kelamin dan status pacaran.

- Pengumpulan skala yang telah terisi dilakukan secara satu-persatu dan dilakukan oleh peneliti sendiri. Subjek menyerahkan skala dengan cara meletakan lembar daftar istilah sulit di belakang skala yang telah terisi. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan data.

1. Penyusunan Aitem

(69)

rating yang dijumlahkan (Summated Rating). Dalam skala yang menggunakan rating yang dijumlahkan ini, subjek diminta untuk merespon pernyataan-pernyataan yang dirumuskan, dimana obyek dalam skala ini adalah perilaku seksual beresiko.

Butir-butir pernyataan yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk perilaku seksual beresiko yang terdiri dari 23 bentuk perilaku seksual beresiko. Dalam penyusunan item, tabel spesifikasi akan memberikan gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman untuk tetap berada dalam lingkup ukur yang benar. Usaha untuk berpegang pada tabel spesifiksi dalam penyusunan item, akan mendukung validitas isi skala. Untuk lebih lanjutnya, tabel spesifikasi akan disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Bentuk-bentuk perilaku seksual beresiko

Perilaku seksual yang beresiko untuk melanjutkan ketahap selanjutnya: - Berfantasi seksual

- Memasturbasi diri sendiri - Berpegangan tangan

- Cium kering - Cium basah

- Berpelukan

- Meraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

(70)

- Meraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

- Meraba alat kelamin di luar pakaian - Meraba alat kelamin di dalam pakaian - Petting dengan masih berpakaian lengkap

- Saling memasturbasi dengan pasangannya tanpa oral

- Oral dengan tidak menggunakan kondom

- Oral dengan menggunakan kondom

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dengan menggunakan kondom

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

Perilaku seksual yang beresiko terjadi kehamilan:

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

Perilaku seksual yang beresiko tertularnya penyakit menular seksual dan HIV/AIDS:

- Cium basah

(71)

- Petting dengan hanya berpakaian dalam

- Petting dengan tanpa pakaian dan tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

- Petting dengan tanpa pakaian tetapi hanya menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Berhubungan seks tetapi menggunakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan selain kondom (misalnya pil KB, tisu KB, atau spiral)

- Berhubungan seks tanpa kondom ataupun alat kontrasepsi KB lain

Tabel 1. Spesifikasi Bentuk-bentuk Perilaku Seksual beresiko.

Berdasarkan tabel spesifikasi di atas dan ditambah dengan penyederhanaan bahasa, aitem-aitem dalam skala Perilaku Seksual Beresiko adalah sebagai berikut:

1. Berfantasi seksual

2. Masturbasi pada diri sendiri 3. Berpegangan tangan

4. Cium kering / dicium kering 5. Cium basah (frech kiss) 6. Berpelukan

(72)

11.Meraba / diraba alat kelamin di luar pakaian 12.Meraba / diraba alat kelamin di dalam pakaian 13.Petting dengan masih berpakaian lengkap

14.Memasturbasi / merasakan dimasturbasi dengan pasangannya tanpa oral

15.Melakukan / merasakan seks oral dengan kondom 16.Melakukan / merasakan seks oral tanpa kondom 17.Petting dengan masih berpakaian dalam

18.Petting tanpa pakaian menggunakan kondom 19.Berhubungan seks menggunakan kondom

20.Petting tanpa pakaian dan tanpa kondom, tapi menggunakan pencegah kehamilan

21.Petting tanpa kondom

22.Berhub ungan seks tanpa kondom, tapi menggunakan pencegah kehamilan

23.Berhubungan seks tanpa kondom

2. Pemberian Skor

(73)

AIDS, dan terjadinya kehamilan. Skor respon jawaban pernah berentang satu sampai tiga puluh tiga. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Skor respon jawaban ”Pernah”

Bentuk Perilaku

Cium kering / dicium kering

4 4

Cium basah (frech kiss) 5 + 1 6

Berpelukan 6 6

Meraba / diraba tubuh bagian atas yang sensitif di luar pakaian

7 7

Meraba / diraba tubuh bagian bawah yang sensitif di luar pakaian

(74)

Meraba / diraba tubuh bagian atas yang sensitif di dalam pakaian

9 9

Meraba / diraba tubuh bagian bawah yang sensitif di dalam pakaian

10 10

Meraba / diraba alat kelamin di luar pakaian

11 11

Meraba / diraba alat kelamin di dalam pakaian

12 12

Petting dengan masih berpakaian lengkap seks oral tanpa kondom

(75)

Petting dengan masih berpakaian dalam

17 + 3 + 1 21

Petting tanpa pakaian menggunakan kondom

18 18

Berhubungan seks menggunakan kondom

19 + 4 23

Petting tanpa pakaian dan tanpa kondom, tapi menggunakan pencegah

Tabel 2. Pemberian Skor Respon Jawaban ”Pernah” Pada Skala Perilaku

Seksual beresiko.

(76)

bahwa tingkat perilaku seksual beresiko subjek rendah terhadap dilakukannya hubungan seksual pranikah, penularan HIV / AIDS dan PMS serta terjadinya kehamilan.

3. Validitas dan Reliabilitas

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa validitas adalah sejauh mana skala tersebut mampu mengungkap apa yang hendak diungkapkan (Azwar, 2000). Validitas skala perilaku seksual beresiko ini didasarkan pada validitas isi (content validity) yang disusun dan dikembangkan berdasarkan definisi operasional perilaku seksual beresiko. Validitas isi ini dilakukan dengan cara Profesional Judgement, yaitu penilaian dari orang yang dianggap memahami tentang hal itu. Validitas ini dilakukan dengan bantuan dosen pembimbing dan kepala divisi pendamping Pendidik Sebaya.

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi atau kepercayaan hasil ukur. Pengukuran yang reliabel akan menghasilkan skor yang dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor perbedaan yang sesungguhnya daripada faktor kesalahan (eror) (Azwar, 2001). Uji reliabilitas ini dihitung dengan menggunakan rumus koefisien reliabilitas alpha (Azwar, 2001).

(77)

kepercayaan sebesar 80,1%. Hal ini menyatakan bahwa Skala Perilaku Seksual Beresiko reliabel (0,801 > 0,60). Dari hasil uji reliabilitas didapat beberapa item tidak memenuhi syarat uji beda item yaitu pada aitem 1, 2, 3, 4, 8, 19, 20, dan 22, akan tetapi aitem-aitem ini tetap dipakai dalam penelitian karena mengingat tujuan penelitian yang akan mengetahui perilaku beresiko pada remaja.

F. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk mengolah data hasil penelitian yang masih berupa data kasar menjadi data yang lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan. Metode yang digunakan adalah uji-t dengan menggunakan program Independent Sample t-test dari SPSS 11 for windows. Uji-t digunakan agar dapat melihat apakah tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang mendapat program Pendidik Sebaya lebih rendah dari pada tingkat perilaku seksual beresiko pada remaja sekolah yang tidak mendapat program Pendidik Sebaya dengan melihat perbedaan mean antara kedua sampel tersebut pada variabel tergantungnya.

G. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

Gambar

Gambar 1 Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja...... 41
Tabel 1 Spesifikasi Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Beresiko......................... 51
Gambar 1. Skema Perbedaan Tingkat Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Sekolah Yang
gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman untuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

In this chapter, we have seen the different types of sources from which data can be loaded into Splunk.. We discussed in detail how to get data using the Files &amp; Directories

Persoalan skripsi ini adalah bagaimana Sekolah Katolik mengambil peranan yang strategis untuk mengembangkan kepedulian sosial pada diri remaja usia SMA.. Sekolah

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mencari jawaban bagaimana pengaruh terpaan media, dalam hal ini artikel dalam rubrik Heroes Among Us dalam majalah HAI terhadap

[r]

Analisis korelasi adalah alat statistik yang dapat digunakan untuk mengetahui. derajat hubungan linier antara satu variabel dengan variabel

Dalam analisis finansial dilakukan penilaian antara biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan menjalankan kegiatan produksi pengolahan coklat dengan pendapatan yang didapat

terdapat dua variabel yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu variabel kurs rupiah terhadap dollar dan nilai RCA CPO Indonesia di India sedangkan

1) Kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyyah al-mualaqah), yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun