HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN
PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA
YANG BERPACARAN
S K R I P S I
Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH :
DWI HAIRANI
031301018
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Desember 2008
Dwi Hairani : 031301018
Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran
vii + 65 halaman + 15 tabel + 3 lampiran Bibliografi 27 (1972 – 2005)
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja yang berpacaran. Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, mengatur keadaan jiwa, merasakan, memahami, dan menerapkan kepekaan emosi sehingga membuat orang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh usia, pengalaman.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15 sampai 18 tahun. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 302 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah skala kecerdasan emosi yang setiap aitemnya disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (Goleman, 2000). Validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan validitas content dan reliabilitasnya menggunakan koefisien korelasi Spearman’s rho moment. Hasil uji coba yang diperoleh dengan menggunakan bantuan program spss
version 12.00 for wnidows menunjukkan reliabilitas skala kecerdasan emosi sebesar
0.895 dengan validitas aitem bergerak dari 0,294 – 0,496.
Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program spss, Selain menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, peneliti juga melakukan pengujian dengan menggunakan scatter plot. Dengan menggunakan bantuan SPSS 12.00 for
windows yang menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi tidak berkorelasi secara
linier terhadap variabel perilaku seksual pranikah dengan persamaan regresi perilaku seksual pranikah = 50,84 + -0,03 * kecerdasan emosi.
Kata kunci: Kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan ridhoNya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang berpacaran” guna memenuhi persyaratan ujian Sarjana Psikologi. Terima kasih kepada kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril selama peneliti kuliah hingga skripsi ini selesai.
Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih pada:
1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, SpA(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Ibu Lili Garliah, M.Si dan Kak Liza Marini S.Psi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ide, kritik, saran, dan dorongan selama proses penyusunan skripsi ini.
3. Kakak dan adik-adikku tercinta, terimakasih buat kasih sayang, semangat dan dukungannya.
4. Sahabat-sahabat tercinta: Sari (teman seperjuangan), Ulan, Dewi, Fitri, Lia dan Dyna. Terima kasih buat semangat, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan persahabatan yang telah kalian berikan. Semoga kebersamaan kita selama di perkuliahan tidak pernah putus walaupun kita udah terpisah-pisah.
5. Seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2003 yang terus memberikan semangat.
6. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini.
kesempurnaan skripsi ini. Harapan peneliti skripsi ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya psikologi perkembangan.
Medan, Desember 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI...……….. ii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang ………. 1
B. Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian……….. 8
D. Manfaat Penelitian………. 9
E. Sistematika Penelitian……… 9
BAB II LANDASAN TEORI………... 12
A. Kecerdasan Emosi………....……….. 12
1. Pengertian kecerdasan emosi………... 12
2. Komponen kecerdasan emosi………... 13
3. Ciri-ciri kecerdasan emosi………... 16
B. Perilaku Seksual Pranikah ... 17
1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah ... 17
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah ... 18
3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah ... 22
C. Remaja……….... 23
1. Pengertian remaja………...…. 23
2. Tugas Perkembangan Remaja ... 25
4. Perkembangan Emosi Remaja ... 26
5. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja... 27
D. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah 28 E. Hipotesis………. 31
BAB III METODE PENELITIAN………. 32
A. Identifikasi Variabel……….. 32
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian……….. 32
1. Defenisi operasional kecerdasan emosi……… 32
2. Defenisi operasional Perilaku Seksual Pranikah………. 34
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel……... 35
1. Populasi dan sampel………... 35
2. Teknik Pengambilan Sampel ... 36
3. Jumlah sampel …... 36
D. Metode Pengumpulan Data……….. 36
1. Skala kecerdasan emosi………... 37
2. Skala perilaku seksual pranikah………... 39
E. Validitas dan Reliabilitas……….. 40
1. Validitas………... 40
2. Reliabilitas………... 41
3. Korelasi item total... 41
F. Hasil Uji Coba... 41
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 44
1. Tahap persiapan... 44
H. Metode Analisis Data………... 45
BAB IV ANALISA dan INTERPRETASI DATA... 47
A. Gambaran Subjek Penelitian... 47
1. Usia subjek penelitian... 47
2. Jenis kelamin... 48
B. Uji Asumsi... 48
1. Uji normalitas sebaran... 49
2. Uji linieritas hubungan... 50
3. Uji Hipotesa Utama... 51
C. Hasil Tambahan... 53
1. Kategorisasi data penelitian ... 53
2. Perilaku seksual ditinjau dari jenis kelamin ... 56
3. Perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan frekuensi... 57
D. Pembahasan ... 58
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN... 59
A. Kesimpulan... 59
B. Saran... 61
ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Desember 2008
Dwi Hairani : 031301018
Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran
vii + 65 halaman + 15 tabel + 3 lampiran Bibliografi 27 (1972 – 2005)
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja yang berpacaran. Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, mengatur keadaan jiwa, merasakan, memahami, dan menerapkan kepekaan emosi sehingga membuat orang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh usia, pengalaman.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15 sampai 18 tahun. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 302 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah skala kecerdasan emosi yang setiap aitemnya disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (Goleman, 2000). Validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan validitas content dan reliabilitasnya menggunakan koefisien korelasi Spearman’s rho moment. Hasil uji coba yang diperoleh dengan menggunakan bantuan program spss
version 12.00 for wnidows menunjukkan reliabilitas skala kecerdasan emosi sebesar
0.895 dengan validitas aitem bergerak dari 0,294 – 0,496.
Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program spss, Selain menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, peneliti juga melakukan pengujian dengan menggunakan scatter plot. Dengan menggunakan bantuan SPSS 12.00 for
windows yang menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi tidak berkorelasi secara
linier terhadap variabel perilaku seksual pranikah dengan persamaan regresi perilaku seksual pranikah = 50,84 + -0,03 * kecerdasan emosi.
Kata kunci: Kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang
jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.
Dengan terbukanya arus komunikasi dan informasi serta munculnya dorongan
seksual maka remaja juga dihadapkan pada hal-hal yang mendorong
keingintahuannya akan pengalaman seksual. Masalah seksual menjadi salah satu
isu penting pada masa remaja karena masa remaja dianggap sebagai periode
peralihan dalam rentang kehidupan seseorang. Setiap periode peralihan, status
individu menjadi tidak jelas dan terdapat keraguan tentang peranan yang harus
dilakukan. Pada masa ini seorang individu berada diantara dua tahap kehidupan
yang berbeda, yaitu masa kanak-kanak (childhood) dan masa dewasa (adult life)
(Hurlock, 1999). Perubahan yang terjadi meliputi perubahan dalam arti luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Piaget dalam Hurlock,
1999). Remaja akan mengalami hal-hal yang belum pernah mereka alami
sebelumnya, seperti menstruasi, mimpi basah, dorongan seksual, rasa tertarik atau
malu terhadap lawan jenis, lebih sensitif, lebih tertutup pada orang tua,
peningkatan kebutuhan akan kebebasan, lebih banyak memperhatikan penampilan
diri dan sebagainya (Triany, 1997).
Salah satu tugas perkembangan dalam masa remaja adalah pembentukan
memainkan peran yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya. Oleh karena itulah,
remaja harus memiliki konsep seks yang tepat untuk melaksanakan tugas
perkembangan tersebut dengan baik. Dorongan untuk melakukan hal ini datang
dari tekanan sosial misalnya pengaruh dari teman sebaya serta minat remaja pada
seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1999).
Dorongan seksual bisa diekspresikan dalam berbagai perilaku, namun
tentu saja tidak semua perilaku merupakan ekspresi dorongan seksual seseorang.
Ekspresi dorongan seksual atau perilaku seksual ada yang aman dan ada yang
tidak aman, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Setiap perilaku seksual
memiliki konsekuensi berbeda. Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul
karena adanya dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam
mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting sampai
berhubungan seks (Admin, 2008).
Fenomena yang terjadi saat ini adalah bahwa hubungan seksual pranikah
lebih banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Berpacaran berarti upaya
untuk mencari seorang teman dekat dan didalamnya terdapat hubungan belajar
mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses
pendewasaan kepribadian. Berpacaran biasanya dimulai dengan membuat janji,
kencan lalu membuat komitmen tertentu dan bila diantara remaja ada kecocokan,
maka akan dilanjutkan dengan berpacaran. Karena kurangnya informasi yang
benar mengenai pacaran yang sehat, maka tidak sedikit remaja saat berpacaran
unsur nafsu seksual menjadi dominan. Di samping itu, perkembangan jaman juga
misalnya dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun
yang lalu seperti berciuman dan bercumbu sekarang dibenarkan oleh remaja saat
ini. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan perilaku seks bebas.
Perubahan terhadap nilai ini misalnya terjadi dengan pandangan remaja terhadap
hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun yang lalu hanya 1,2 - 9,6
persen setuju dengan hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian
angka tersebut naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini
naik menjadi 17 persen yang setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen
yang setuju dengan perilaku seksual pranikah, hal ini menunjukkan kurangnya
pengetahuan remaja mengenai dampak dari perilaku seksual pranikah (Potret
Remaja, 2002).
Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap
berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15 juta remaja
berusia 15 – 19 tahun melahirkan. Sekitar 4 juta melakukan aborsi dan hampir 100
juta terinfeksi penyakit menular seksual di seluruh dunia (United Nation
Population Fund, 2000). Pada masa ini juga terbentuknya pola emosi pada remaja
sehigga mereka sering tidak mampu menempatkan emosinya dan tidak mampu
berpikir secara rasional dalam mengambil keputusan.
Sebanyak 70 persen kasus HIV/AIDS ternyata sebagian terjadi akibat
penyalahgunaan narkotika yang menggunakan jarum suntik secara bergantian dan
sisanya, akibat perilaku seks bebas. Para remaja terjebak pada seks bebas karena
tidak mendapatkan informasi tentang seks secara tepat dan benar. Berdasarkan
perilaku seks bebas pada remaja Indonesia terus meningkat (Ardiansyah, 2008).
BKKBN pernah meneliti 8.084 remaja usia 15-24 tahun di 20 kabupaten di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Hasilnya, 39,65 persen remaja
yang disurvei pernah berhubungan seksual dan sekitar 46,2 persen di antara
remaja itu berkeyakinan bahwa melakukan hubungan seksual satu kali tidak akan
mengakibatkan kehamilan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita
tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali
remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika
harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut (Mu’tadin, 2002)
Contoh lain mengenai penyimpangan perilaku remaja, khususnya perilaku
seksual-nya yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja
(CMR) Medan, Sumatra Utara, diperoleh ada lima tahapan yang sering dilakukan
oleh remaja yaitu: dating, kissing, necking, petting dan coitus. Diperoleh data
bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Penelitian
PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 me-nunjukkan data angka sebesar 722
kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data
PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 15 %
diantaranya dilakukan oleh remaja (belum menikah). Faktor penyebab dari
perilaku tersebut antara lain yaitu: semakin panjangnya usia remaja, informasi
tentang seks yang terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan serta lemahnya
hubungan dengan orang tua (Yuwono, 2001).
Pacaran dianggap sebagai jalan masuk hubungan yang lebih dalam
yang sedang jatuh cinta (Hanifah, 2002). Permasalahannya, banyak
remaja kurang terampil dalam berpacaran sehingga mudah terjatuh dan
terlibat dalam tindakan seksual yang tidak semestinya dilakukan remaja
yang belum menikah (Subiyanto, 2007).
Menurut Sarwono (2005) bahwa sebagian besar dari hubungan seks remaja
diawali dengan agresivitas para remaja laki-laki dan selanjutnya remaja
perempuan lah yang menentukan sampai batas mana agresivitas tersebut dapat
dipenuhi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Hanifah (2002)
yang menunjukkan bahwa ternyata remaja laki-laki cenderung mempunyai
perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, gigih, terang-terangan, serta lebih
sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Akibatnya banyak remaja
perempuan mendapat pengalaman pertama hubungan seksual pranikah dari
pacarnya. Perilaku remaja laki-laki tersebut sebagai perwujudan nilai gender yang
dipercayainya sebagai lebih dominan, yaitu laki-laki harus aktif, berinisiatif,
berani, sedangkan perempuan harus pasif, penunggu, dan pemalu.
Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh
remaja yang berpacaran. Hal ini didukung oleh Hurlock (dalam Mayasari, 2000)
yang mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk
ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Rahman dan Hirmaningsih
(dalam Mayasari, 2000) juga mengemukakan bahwa adanya dorongan seksual dan
dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual
dalam pacaran.
Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai
perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan
aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996)
menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja dalam melakukan
perilaku seksual adalah berkaitan dengan upaya-upaya untuk pembuktian
perkembangan identitas diri; belajar menyelami anatomi lawan jenis, menguji
kejantanan, menikmati perasaan dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap
seseorang), peningkatan harga diri, mengatasi depresi, menikmati perasaan
berhasil menaklukkan lawan jenis, menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa
kesepian. Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual
yang pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam
mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke
kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.
Menurut Mu’tadin (2002) faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual
pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang melakukan
perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta dengan
didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya,
tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta merupakan salah
satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Dalam kondisi seperti ini, sudah
selayaknya remaja mempunyai kecerdasan emosi untuk mengendalikan
berat dan mengancam. Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang
paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam
menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain,
remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosi.
Weisinger (dalam May Yustika Sari, 2005) mengemukakan pengertian
kecerdasan emosi sebagai kecerdasan untuk menggunakan emosi sesuai keinginan
kita dan dapat mengendalikan perilaku dan cara berpikir yang membuat kita
mampu mencapai hasil yang baik. Kualitas kecerdasan emosi sangat penting
karena kecerdasan emosi juga akan mendukung terciptanya kemampuan
pengendalian diri atau kontrol diri. Pengendalian diri ini meliputi pengendalian
perilaku, pengendalian kognitif dan pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa,
1995).
Kemampuan mengontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui
pertimbangan kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif
(Lazarus, 1976). Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan
emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan
membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional.
Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu
untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan
baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat
mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan
dengan lancar dan efektif. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu
menghibur diri ketika mengalami kesedihan, dapat mengurangi kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua
itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan
terus menerus berusaha melawan perasaan murung atau melarikan diri pada
hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri, salah satunya dengan melakukan
perilaku seksual pranikah (Goleman, 1995).
Hal ini sesuai dengan penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa
remaja yang cerdas secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka
sendiri maupun bersama orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri,
lebih banyak mengalami sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan
rekan-rekan sebaya, dan terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak
kriminal dan perilaku seks yang tidak aman.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku seksual pada remaja.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu apakah ada hubungan
kecerdasan emosi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja.
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kecerdasan emosi
D. Manfaat Penelitan
Dalam penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
a. Manfaat teoritis
penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bersifat pengembangan ilmu
psikologi, khususnya dibidang psikologi perkembangan. Manfaat teoritis
ini diharapkan memperkaya pengetahuan dan wacana tentang psikologi
perkembangan. Khususnya mengenai kecerdasan emosi dalam kaitannya
dengan perilaku seksual pada remaja.
b. Manfaat praktis
Bagi Remaja : remaja diharapkan mampu memberi kesan yang
baik tentang dirinya, mengendalikan perasaan dan emosi dirinya, serta
mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi
yang ada, sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan
lancar efektif sehingga remaja dapat cerdasa secara emosi.
Bagi Orang tua : Menambah informasi kepada orang tua tentang
pentingnya kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari terutama
pada perkembangan kecerdasan emosi anak.
Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab I berisi tentang uraian latar belakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori tentang kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah dan
remaja. Dalam bab ini juga akan dikemukakan hubungan kecerdasan
emosi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja dan juga
hipotesis penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Bab III berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan
metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas
dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan
metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang
digunakan oleh peneliti dalam penelitian.
Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian,
dan deskripsi data penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Bar-On (dalam Goleman, 2000) mengatakan kecerdasan emosi sebagai
serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan.
Menurut Patton (2002), kecerdasan emosi itu mencakup beberapa
keterampilan yaitu menunda kepuasan dan mengendalikan impuls dalam diri,
tetap optimis jika menghadapi ketidakpastian atau kemalangan, menyalurkan
emosi secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri
dalam usaha mencapai tujuan , menangani kelemahan pribadi, menunjukkan rasa
empati kepada orang lain serta membangun kesadaran diri dan pemahaman
pribadi.
Goleman (2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Dari berbagai defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan
dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga
seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi
Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosi menjadi 5
kemampuan pokok yang dibagi kedalam lima gugus umum yaitu :
1. Kemampuan Intrapersonal, meliputi :
a. Kesadaran diri emosional
Kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal
yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya.
b. Asertivitas
Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, keyakinan secara
terbuka, dan mempertahankan kebenaran tanpa berperilaku agresif.
c. Harga Diri
Kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang
baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek dan kemampuan positif
yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada
pada diri kita dan tetap menyukai diri sendiri.
d. Aktualisasi diri.
Kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri
adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan
dan bakat secara maksimal.
Kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri
dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara
emosional.
2. Kemampuan Interpersonal, meliputi :
a. Empati
Kemampuan menyadari, memahami dan menghargai perasaan orang lain
dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain.
b. Hubungan interpersonal
Kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling
memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan
menerima kasih sayang.
c. Tanggung jawab sosial
Kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta
berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen kecerdasan emosi ini
meliputi bertindak secara bertanggung jawab, meskipun kita tidak
mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi.
3. Penyesuaian diri, meliputi :
a. Pemecahan masalah
Kemampuan mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan
solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan
keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah
b. Uji realitas
Kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan
dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya, bukan
sebagaimana yang kita inginkan atau kita harapkan.
c. Fleksibilitas
Kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk merubah
situasi dan kondisi. Sikap fleksibel ini juga mencakup seluruh kemampuan
kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dan
dinamis.
4. Penanganan stress, meliputi :
a. Ketahanan menanggung stress
Kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi
stress dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stress tersebut.
Ketahanan menanggung stress ini berkaitan dengan kemampuan untuk
tetap tenang dan sabar.
b. Pengendalian impuls
Kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan
untuk bertindak.
5. Suasana hati, meliputi :
a. Kebahagiaan
Kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupannya, menikmati
b. Optimisme
Kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap
positif sekalipun dihadapkan dengan kesulitan. Optimisme
mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan.
3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi
Goleman (2000) mengkarakteristikkan orang yang memiliki kecerdasan
emosi tinggi dan rendah atas ciri-ciri yang khas, yaitu :
a. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.
1. Mampu melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan orang lain
ataupun situasi.
2. Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan
perasaan
3. Bertanggung jawab terhadap perasaan
4. Menggunakan perasaan untuk membantu dalam membuat suatu keputusan
5. Peduli terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain
6. Bersemangat dan tidak mudah marah
7. Mengakui perasaan orang lain
8. Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negatif
b. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi rendah
1. Tidak berani bertanggng jawab terhadap perasaan yang dimiliki tetapi
lebih menyalahkan orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya.
2. Berlebih ataupun menekan perasaan yang dimiliki
3. Cenderung menyerang, menyalahkan atau menilai orang lain
4. Kurang memiliki rasa empati.
5. Cenderung kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu aturan
yang sistematis agar merasa nyaman
6. Merasa tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain
7. Menghindari tanggung jawab dengan membela diri
8. Sistematis dan cenderung menganggap bahwa dunia tidak adil
9. Sering merasa kurang dihargai, kecewa, hambar atau merasa menjadi
korban.
B. Perilaku Seksual Pranikah
1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan
yang sah (Sarwono,2005).
Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan
perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut
Menurut Lestari (1999), perilaku seksual pranikah merupakan perilaku
seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut hukum
maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang
didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa
melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Menurut Mu’tadin (2002) bahwa perilaku seksual pranikah pada remaja
tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh faktor tertentu pada
diri remaja baik secara internal maupun eksternal.
1. Faktor internal
Pada seorang remaja, perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa
sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang
tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Selain itu,
faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks
pranikah karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba
segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada
umumnya, remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan
2. Faktor eksternal
a. Teman sebaya.
Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi
karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka
juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi
pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan
independensi.
b. Media dan televisi.
Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh remaja dalam
perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja
yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat
perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini
pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan
kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyakarat yang
berbeda.
c. Hubungan dalam keluarga khusunya orangtua.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua
terhadap aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi
pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Bila orangtua
mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada
remaja, maka remaja cenderung mengontrol perilaku seksualnya sesuai
dengan pemahaman yang diberikan orangtuanya (Sarwono, 2005).
(dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua
yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin
yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang
penting dalam tingginya perilaku seksual pranikah pada remaja. Konflik
dalam keluarga, atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan
dengan perilaku seksual pada remaja.
Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual pranikah pada remaja
juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Remaja laki-laki
cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta
lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal tersebut
sebagai wujud nilai jender dan adanya norma-norma yang memberikan
keleluasaan yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini
membuat laki-laki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam berbagai
macam bentuk perilaku seksual. Apalagi orientasi laki-laki berpacaran
lebih ke arah aktivitas seksual daripada mengutamakan afeksi, membuat
laki-laki cepat beraktivitas seksual tanpa melibatkan perasaan terlebih
Hajcak & Garwood (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyebutkan beberapa
motif yang digunakan oleh remaja untuk melakukan perilaku seksual, yaitu :
1. Menegaskan peran maskulin dan feminin
Bagi sebagian remaja, melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu
pasangan, merupakan bukti bahwa identitas seksualnya utuh.
2. Mendapatkan kasih sayang
Beberapa aspek dari perilaku seksual termasuk di dalamnya kontak fisik
sebagai bentuk kasih sayang, seperti memeluk, membelai dan mencium.
Bagi remaja yang hanya sedikit memperoleh bentuk afeksi ini, maka
hubungan seks yang dilakukan setimpal dengan afeksi yang mereka
dapatkan.
3. Sebagai bentuk perlawanan terhadap orang tua atau figur otoritas lainnya.
Konflik yang dialami dengan orang tua atau figur otoritas lainnya,
membuat remaja menggunakan seks sebagai bentuk pemberontakan,
bahkan sampai pada terjadinya kehamilan.
4. Meraih harga diri yang lebih tinggi
Ada remaja yang menganggap jika ada orang yang bersedia berhubungan
seks dengannya, maka ia akan memperoleh rasa hormat dan penghargaan
dari orang lain.
Seks dapat digunakan untuk menyakiti perasaan orang lain, misalnya
mantan pacar. Pada kasus yang ekstrim, hubungan yang dilakukan
bertujuan untuk memperkosa pasangan sebagai bentuk penghinaan
untuknya.
6. Melampiaskan kemarahan
Perilaku seksual merupakan sarana melampiaskan emosi yang ada,
termasuk rasa marah yang dirasakan. Remaja umumnya melakukan
masturbasi dengan tujuan ini.
7. Menghilangkan rasa bosan
Masturbasi umumnya dilakukan untuk menghilangkan kebosanan yang
dirasakan remaja.
8. Membuktikan kesetiaan pasangan
Beberapa remaja terlibat dalam perilaku seksual bukan atas keinginan
mereka sendiri tapi lebih dikarenakan ketakutan akan ditinggalkan oleh
pasangan bila mereka tidak bersedia melakukannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas
bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual, memiliki tujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual secara
fisik tetapi juga berbagai kebutuhan lain seperti afeksi, yang objeknya bisa diri
sendiri, orang lain ataupun benda tertentu, dimana ekspresi perilaku yang
ditampilkan dapat dipengaruhi oleh peran seks serta nilai tertentu yang diterima
3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Bentuk-bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari
perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama
(Sarwono, 2004).
Sedangkan DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003),
mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu :
a. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada.
b. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
ciuman bibir antara dua orang.
c. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.
d. Meraba payudara.
e. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin
tidak bersentuhan secara langsung).
f. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan
organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.
g. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina
Dari uraian diatas perilaku seksual pada remaja dapat dilihat dalam
perilaku, berciuman di kening, dan pipi, lip kissing, deep kissing, necking, petting,
meraba payudara, oral sex, dan sexual intercourse.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan
perubahan sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang
dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa.
Hurlock (1999) mengemukakan istilah Adolescence atau remaja
yang berasal dari bahasa latin adolescence yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa . Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan
saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, atau fisik.
Menurut Monks (1998) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai
21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu:
1. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai 15 tahun
2. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai 18 tahun
Sementara itu, batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah
antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Dengan pertimbangan bahwa usia
11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai
tampak, sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk
individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial
maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlakukan
sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja
(Sarwono, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah periode perkembangan dari anak-anak ke dewasa awal yang mencakup
perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara
usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.
2. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja
dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku kekanak-kanakan dan
mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas
perkembangan masa remaja adalah :
a. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita.
b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
c. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa
lainnya.
3. Ciri-ciri Masa Remaja Madya (15 – 18 tahun)
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada
kecenderungan narcisistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih
menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya.
Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus
memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau
pesimis dan sebagainya. Pada tahap inilah hubungan persahabatan dengan lawan
jenis mulai meningkat ( Genmbeck, Siebenbruner, Collins, 2004). Hubungan
persahabatan lawan jenis yang meningkat tersebut disebabkan karena adaptasi
remaja madya terhadap interaksi lawan jenis sudah berkembang dengan baik.
Interaksi lawan jenis yang dilakukan remaja madya dapat berupa teman
biasa, sahabat dan pacar. Umumnya pada usia remaja madya seseorang
berinteraksi dengan sebayanya. Demikian halnya untuk dijadikan sahabat, mereka
pada umumnya memilih teman sebaya, bisa teman di sekolah, di klub olah raga,
organisasi, dan komunitas lain dimana keduanya sering berkomunikasi ( Harvey,
2003)
4. Perkembangan emosi remaja
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and
sebagai akibat dari perubahan fisik. Meningginya keadaan emosi terutama karena
anak laki-laki dan wanita berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi
baru. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan
tampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan
perilaku emosional (Hurlock, 1998).
Menurut Gessel dkk (Hurlock, 1998), remaja yang berusia empat belas
tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung
meledak, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam
belas tahun mengatakan bahwa mereka tidak punya keprihatinan. Jadi adanya
badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa
remaja.
Masa remaja merupakan masa dimana emosi menjadi meningkat.
Intensitas emosi remaja biasanya terlihat tidak seimbang dengan keadaan mereka.
Seringnya remaja tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka dengan baik.
Terkadang mereka menjadikan orang tua atau saudara sebagai sasaran kemarahan
atau perasaan mereka terhadap orang lain (Santrok, 2002).
5. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual
dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini
menyebabkan masa remaja disebut juga dengan ”masa keaktifan seksual” yang
bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rasa ingin tahu tentang
masalah seksual (Imran, 2000).
Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi
oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan
progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh
terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat
Monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada
taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya
lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu
sendiri.
Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh
teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian
dimunculkan dalam bentuk berpacaran. Menurut Rahman dan Hirmaningsih
(dalam Mayasari, 2000) adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja
ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik
inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan seksual pada
remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang
seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan
perilaku-perilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual
merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan
seksual dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan remaja yang berpacaran
sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.
D. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual pada Remaja
Fase usia remaja merupakan masa dimana manusia sedang mengalami
perkembangan begitu pesat, baik fisik, psikologis dan sosial. Perkembangan
secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk
organ reproduksi. Kematangan secara seksual memiliki hubungan yang sejalan
dengan perkembangan fisik termasuk didalamnya aspek-aspek anatomis dan
fisiologis (Monks dkk, 1998).
Adanya kematangan fisik termasuk matangnya organ-organ seksual tanpa
diimbangi percepatan pematangan emosi dan adanya kebebasan yang kian
meningkat menyebabkan masalah seksualitas yang dialami remaja menjadi
semakin kompleks. Hal tersebut diperparah dengan maraknya pemberitaan di
media massa dan televisi yang menceritakan tentang pacaran dan cinta (Prihartini,
2002). Hal ini menyebabkan aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang
lazim dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (dalam Mayasari, 2000)
mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi
atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Hal-hal tersebut telah menempatkan
remaja pada posisi yang rentan. Menurut Pudjono (dalam Prihartini, 2002),
kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan
Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai
perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan
aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996)
menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja adalah berkaitan
dengan upaya-upaya untuk pembuktian perkembangan identitas diri; belajar
menyelami anatomi lawan jenis, menguji kejantanan, menikmati perasaan
dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap seseorang), peningkatan harga diri,
mengatasi depresi, menikmati perasaan berhasil menaklukkan lawan jenis,
menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa kesepian. Berbagai kegiatan yang
mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukan
tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk
mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat
dikerjakan.
Menurut Mu’tadin (2002) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang
melakukan perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta
dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap
pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta
merupakan salah satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Remaja yang
perasaannya lebih didominasi oleh dorongan-dorongan seksual akan lebih
memudahkan mereka untuk melakukan perilaku seksual pranikah dengan
Remaja perlu untuk mengontrol semua bentuk perilaku negatif mereka,
salah satu hal yang dapat mengontrol perilaku negatif yang banyak dilakukan
remaja adalah dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, hal ini didukung
juga oleh penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa remaja yang cerdas
secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka sendiri maupun bersama
orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri, lebih banyak mengalami
sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan rekan-rekan sebaya, dan
terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak kriminal dan perilaku
seks yang tidak aman.
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 1997) kecerdasan emosi juga
akan mendukung terciptanya kemampuan pengendalian diri atau kontrol diri.
Pengendalian diri ini meliputi pengendalian perilaku terutama perilaku-perilaku
yang mengarah kepada konsekuensi negatif, pengendalian kognitif dan
pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa, 1995). Selain itu, kemampuan
mengontrol diri juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing,
mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan
kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif (Lazarus, 1976).
Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan emosi yang tinggi,
dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan membuat remaja
sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa remaja yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan
remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan
terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
E. Hipotesa Penelitian
Adapun hipotesa penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara
kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja. Semakin positif
kecerdasan emosi maka akan semakin rendah perilaku seksual pranikah pada
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional.
Metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana
variasi-variasi pada suatu faktor yang berkaitan dengan variasi-variasi-variasi-variasi pada satu atau
lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2003). Dalam
hal ini peneliti ingin melihat bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan
perilaku seksual pada remaja.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini :
1. Variabel Bebas : Kecerdasan Emosi
2. Variabel Tergantung : Perilaku Seksual Pranikah
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan
sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi
Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi
yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek komponen-komponen
kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Goleman, 2000) yaitu :
1. Kemampuan intrapersonal yang meliputi :
a. Kesadaran diri emosional yaitu mampu mengenal perasaan diri.
b. Asertivitas yaitu mampu mengungkap perasaan.
c. Harga diri yaitu mampu menerima keadaan diri.
d. Aktualisasi diri yaitu mampu menyadari potensi diri dan
e. Kemandirian yaitu mampu mengarahkan diri.
2. Kemampuan interpersonal yang meliputi :
a. Empati yaitu mampu memahami perasaan orang lain
b. Hubungan interpersonal yaitu mampu menjalin hubungan dengan orang
lain dan
c. Tanggung jawab sosial yaitu mampu menunjukkan diri sendiri dan
bekerjasama dengan kelompok sosial
3. Penyesuaian diri yang meliputi :
a. Pemecahan masalah yaitu mampu melaksanakan solusi yang tepat untuk
suatu masalah
b. Uji realitas yaitu mampu menyesuaikan perasaan dan kenyataan, dan
c. Fleksibilitas yaitu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
4. Penanganan stres yang meliputi :
a. Ketahanan menanggung stres yaitu mampu mengatasi stres dengan
sungguh-sungguh dan
b. Pengendalian impuls yaitu mampu menahan gerak hati.
5. Suasana hati yang meliputi :
a. Kebahagiaan yaitu mampu merasa puas dengan kehidupannya
b. Optimisme yaitu mampu melihat sisi terang dalam diri
2. Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses
pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
Perilaku seksual diukur dengan menggunakan skala perilaku
seksual yang disusun oleh peneliti berdasarkan bentuk-bentuk perilaku
seksual yang dikemukakan oleh DeLamenter dan MacCorquodale (dalam
Santrok, 2003) dan hasil penelitian BKKBN (2005) yaitu :
1. Necking yaitu berciuman sampai ke daerah dada
2. Lip kissing yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
ciuman bibir antara dua orang
3. Deep kissing yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah
5. Petting yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak
bersentuhan secara langsung)
6. Oral sex yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ
oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.
7. Sexual intercourse yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara laki-laki
dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina wanita hingga
terjadi orgasme/ejakulasi
8. Mencium/dicium kening
9. Mencium/dicium pipi
C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi
dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu
sifat yang sama (Hadi, 2000). Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah
penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling
sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Remaja Tengah (Usia 15-18 tahun)
Alasan memilih sampel remaja tengah karena kecerdasan emosi
sama baik dibandingkan dengan remaja yang lebih muda dalam hal
penguasaan kemampuan diri memiliki kecerdasan emosi. Menurut
Goleman (dalam Papalia, 2001) pada saat remaja, kecerdasan emosi paling
besar dibentuk pada masa pertengahan remaja.
2. Sedang Berpacaran dan lama berpacaran
2. Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah cluster
random sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan melakukan
randomisasi terhadap kelompok, bukan terhadap subjek secara individual (Azwar,
2004). Berdasarkan teknik cluster random sampling, dilakukan ramdomisasi
terhadap sekolah-sekolah yang ada di Kota Madya Binjai dan terpilih 2 sekolah
yaitu : SMA Negeri 3 Binjai dan SMA Negeri 1 Binjai. Randomisasi dilakukan
kembali pada seluruh kelas yang ada pada kedua sekolah tersebut, masing-masing
sekolah di ambil 4 kelas sehingga secara keseluruhan berjumlah 8 kelas,
kedelapan kelas inilah yang menjadi sampel dalam penelitian.
3. Jumlah Sampel Penelitian
Jumlah total subjek penelitian diperkirakan 302 orang remaja. Untuk uji
coba diambil sampel sebanyak 100 orang. Semua subjek disesuaikan dengan
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang merupakan alat ukur pada penelitian ini
adalah skala yakni suatu jenis alat ukur untuk mengumpulkan data yang
disampaikan kepada subjek penelitian melalui suatu daftar yang berisikan suatu
rangkaian pertanyaan atau pernyataan dengan pilihan jawaban mengenai sesuatu
hal dalam sesuatu bidang (Sumardjan & Koentjoroningrat, 1985) yang disusun
berdasarkan komponen kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On
(Goleman, 2000) dan perilaku seksual pranikah yang dikemukakan oleh
DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrok, 2003). Metode ini menurut
Hadi (2000), mempunyai dasar self report, dimana subjek diminta untuk
menggambarkan perasaan atau keadaan dirinya.
1. Skala Kecerdasan Emosi
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi adalah skala
kecerdasan emosi yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan
komponen-komponen kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam
Goleman, 2000).
Skala disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari dua kategori aitem
yaitu aitem favorable dan aitem unfavorable, dan menyediakan empat alternatif
jawaban yang terdiri dari sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat
tidak sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk
item favorable, sedangkan untuk item unfavorable bergerak dari 1 sampai 4.
Jumlah item total untuk skala ini adalah 39 item yang terdiri dari 30 item
skala ini mengungkap komponen-komponen kecerdasan emosi, yaitu kemampuan
intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian diri, penanganan stress,
suasana hati.
Adapun blue-print yang digunakan dalam penyusunan skala yang
mengukur skala kecerdasan emosi adalah sebagai berikut:
Tabel 1.
Blue Print Skala Kecerdasan Emosi sebelum uji coba
No. Komponen-komponen Sub
komponen
1. kesadaran diri
emosional
2. asertivitas
3. harga diri
4. aktualisasi diri
5. kemandirian
4. Penanganan stress 1. ketahanan
menanggung stress
2. pengendalian
impuls
73, 74
41, 58, 60
35, 36, 75
5. Suasana hati 1. kebahagiaan
2. optimisme
31, 39,
63, 67
34, 38, 48
64, 70, 72 10
13,33
Total 30 45 75 100
2. Skala Perilaku Seksual Pranikah
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku seksual pranikah
adalah skala perilaku seksual pranikah yang dirancang sendiri oleh peneliti
dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk perilaku seksual menurut DeLamenter
dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003) dan BKKBN (2005).
Metode skala yang digunakan adalah skala Likert yang menyediakan
empat alternatif jawaban yang terdiri dari Sangat Sering (SS), Sering (S), Jarang
(J), Tidak Pernah (TP)..
Jumlah item total untuk skala ini adalah 48 item. Item-item yang terdapat
pada skala ini mengungkap beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul,
yaitu : necking, lip kissing, deep kissing, meraba payudara, petting, oral sex,
sexual intercourse, mencium/dicium pipi, mencium/dicium kening
Adapun blue-print yang digunakan dalam penyusunan skala yang
mengukur perilaku seksual pranikah adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Sebelum Ujicoba
No Bentuk Perilaku Nomor Item Jumlah
1. Necking 5, 14, 15 3
2. Lip kissing 2, 6, 17, 22 4
4. Meraba payudara 9, 16, 25, 27, 29, 33, 38, 46 8
5. Petting 19, 21, 23, 30, 31, 34 6
6. Oral sex 24, 26, 28, 36, 43, 45 6
7. Sexual intercourse 28, 32, 37, 39, 42, 47, 48 7
8. Mencium/dicium pipi 1, 4, 8, 10 4
9. Mencium/dicium kening 3, 7, 11, 13 4
Jumlah 48 48
E. Validitas, Reliabilitas dan Daya Beda Aitem
Alat ukur penelitian tersebut sebelum digunakan untuk memperoleh
data-data penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba agar diperoleh alat ukur yang
memiliki daya aitem tinggi, valid dan reliabel.
1. Validitas Alat Ukur
Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut mampu menghasilkan data
yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu langkah untuk
mendapatkan validitasnya.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan content validity, yaitu
penilaian secara subjektif mengenai kelayakan suatu aitem atau skala oleh
orang-orang yang memiliki pengetahuan mengenai masalah yang diajukan (Litwin,
2003). Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap
isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 2000).
Professional judgement di dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing
validitas suatu alat ukur karena memuat cakupan isi yang hendak diungkap.
Dimana alat ukur harus komprehensif isinya dan juga memuat isi yang relevan
dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur.
2. Reliabilitas Alat Ukur
Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa pelaksanaan
pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama, diperoleh hasil yang relatif
sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah
(Azwar, 1997). Jenis reliabilitas dalam penelitian ini adalah internal consistensy
reliability dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach (Cozby, 2004).
3. Daya Beda Aitem
Uji daya beda aitem dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk melihat
sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu
yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2000).
Daya beda aitem pada penelitian ini dilihat dengan menggunakan koefisien
korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan komputerisasi dari program
SPSS version 15.0 for windows. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan
koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem. Setiap
butir aitem dalam skala dikorelasikan dengan skor total skala. Item yang lulus
F. Hasil Ujicoba Alat Ukur Penelitian
1. Hasil Ujicoba Alat Ukur Kecerdasan Emosi
Alat ukur kecerdasan Emosi di ujicobakan pada 100 orang remaja di kota
Binjai yang sesuai dengan karaktersitik subjek penelitian. Hasil ujicoba alat ukur
kecerdasan emosi menunjukkan bahwa alat ukur valid dan reliabel, dimana nilai
koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,895 dengan kisaran nilai corrected item total
correlation yang bergerak dari 0,294 – 0,496. Jumlah aitem yang di ujicobakan
adalah 75 aitem dan dari 75 aitem diperoleh 39 aitem yang sahih yang memiliki
koefisien korelasi rxx minimal 0,275.
Tabel 3
Blue Print Skala Kecerdasan Emosi setelah uji coba
4
2. Hasil Ujicoba Alat Ukur Perilaku Seksual Pranikah
Alat ukur perilaku seksual pranikah di ujicobakan pada 100 orang remaja
di kota Binjai yang sesuai dengan karaktersitik subjek penelitian. Hasil ujicoba
alat ukur perilaku seksual pranikah menunjukkan bahwa alat ukur valid dan
reliabel, dimana nilai koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,943 dengan kisaran
nilai corrected item total correlation yang bergerak dari 0,402 – 0,817. Jumlah
aitem yang di ujicobakan adalah 48 aitem dan dari 48 aitem diperoleh 30 item
yang sahih yang memiliki koefisien korelasi rxx minimal 0,275. Karena menurut
Azwar (2000), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,300,
daya pembedanya dianggap memuaskan
Tabel 4
Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Setelah Ujicoba
No Bentuk Perilaku Nomor Aitem Jumlah %
1. Lip kissing 5, 8, 9, 10, 14 5 16,67%
3. Necking 4, 12 2 6,66%
4. Petting 15, 17, 20, 22, 26 5 16,67%
5. Oral sex 18, 28 2 6,66%
6. Sexual intercourse 23, 24, 29, 30 4 13,34%
7. Mencium/dicium kening 2, 6, 11 3 10,00%
8. Mencium/dicium pipi 1, 3, 7 3 10,00%
9. Meraba payudara 13, 19, 21 3 10,00%
Jumlah 30 30 100%
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan
a. Menyusun alat ukur
Tahap persiapan diawali dengan menyusun alat ukur penelitian yaitu skala
kecerdasan emosi dan skala perilaku seksual pranikah.
b. Mengurus surat izin penelitian
Sebelum melakukan uji coba peneliti meminta surat izin dari fakultas untuk
melakukan pengambilan data di beberapa sekolah yang selanjutnya diserahkan
kepada Pemerintah Kota Binjai Sekretaris Daerah Kota. Setelah mendapat
persetujuan dari Dinas Pendidikan, peneliti datang ke sekolah untuk meminta
izin dan memberitahu proses yang akan dilaksanakan.
c. Uji coba alat ukur
Alat ukur penelitian terlebih dahulu diujicobakan kepada 100 orang remaja
berusia 15-18 tahun yang dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2008 sampai 16
Oktober 2008
Setelah ujicoba dilakukan maka selanjutnya peneliti menguji validitas dan
reliabilitas alat ukur, kemudian peneliti memilih aitem-aitem yang memenuhi
kriteria dan menyusunnya menjadi alat ukur yang nantinya akan digunakan
untuk mengambil data penelitian.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 November 2008 sampai
dengan 27 November 2008. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam
mengambil data penelitian adalah sebagai berikut:
a. Menentukan sampel penelitian
Peneliti melakukan kembali random untuk menentukan kelas mana yang akan
menjadi kelompok penelitian.
b. Penyebaran skala penelitian
Peneliti melaksanakan penelitian pada kelas yang terpilih menjadi kelompok
sampel. Peneliti melaksanakan penelitian pada jam yang telah ditentukan
pihak sekolah. Peneliti awalnya memberikan pengarahan tentang petunjuk
pengerjaan skala penelitian.
H. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan
menggunakan analisis statistik. Keseluruhan analisis dilakukan dengan
1. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian
masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Jika populasi dari
sampel yang diambil tidak bersifat normal maka tes statistik yang bergantung
pada asumsi normalitas itu menjadi cacat sehingga kesimpulannya tidak
berlaku (Kerlinger, 1995).
Pengukuran normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov. Data penelitian
dikatakan terdistribusi secara normal jika nilai p>α, dimana α = 0,05.
1. Uji Linieritas
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah data pada variabel
bebas X (kecerdasan emosi) berkorelasi secara linear terhadap data pada variabel
tergantung Y (perilaku seksual pranikah). Apabila penyimpangan tersebut tidak
signifikan maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung
dinyatakan linier Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan analisa statistik uji
F dengan bantuan program komputer SPSS 12.0. kaidah yang digunakan untuk
mengetahui linier atau tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel
tergantung adalah jika p0,05 maka hubungan antara variabel bebas dengan
variabel tergantung dinyatakan linier, sebaliknya jika p 0,05 berarti hubungan
antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan tidak linier ( Hadi,
Selain menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, peneliti juga
melakukan pengujian dengan menggunakan scatter plot. Apabila uji asumsi
BAB IV
ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian.
Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian
dilanjutkan dengan analisa dan interpretasi data penelitian serta hasil penelitian.
A. Gambaran Subjek Penelitian
Subjek penelitian berjumlah 302 orang. Berdasarkan hal tersebut diperoleh
gambaran subjek penelitian berdasar usia dan jenis kelamin.
1. Usia subjek penelitian
Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5 Penyebaran
Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Perseentase
15 Tahun 40 13,25 %
16 Tahun 98 32,45 %
17 Tahun 120 39,73 %
18 Tahun 44 14,57 %