• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA

YANG BERPACARAN

S K R I P S I

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH :

DWI HAIRANI

031301018

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2008

Dwi Hairani : 031301018

Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran

vii + 65 halaman + 15 tabel + 3 lampiran Bibliografi 27 (1972 – 2005)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja yang berpacaran. Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, mengatur keadaan jiwa, merasakan, memahami, dan menerapkan kepekaan emosi sehingga membuat orang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh usia, pengalaman.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15 sampai 18 tahun. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 302 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah skala kecerdasan emosi yang setiap aitemnya disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (Goleman, 2000). Validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan validitas content dan reliabilitasnya menggunakan koefisien korelasi Spearman’s rho moment. Hasil uji coba yang diperoleh dengan menggunakan bantuan program spss

version 12.00 for wnidows menunjukkan reliabilitas skala kecerdasan emosi sebesar

0.895 dengan validitas aitem bergerak dari 0,294 – 0,496.

Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program spss, Selain menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, peneliti juga melakukan pengujian dengan menggunakan scatter plot. Dengan menggunakan bantuan SPSS 12.00 for

windows yang menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi tidak berkorelasi secara

linier terhadap variabel perilaku seksual pranikah dengan persamaan regresi perilaku seksual pranikah = 50,84 + -0,03 * kecerdasan emosi.

Kata kunci: Kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah.

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan ridhoNya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang berpacaran” guna memenuhi persyaratan ujian Sarjana Psikologi. Terima kasih kepada kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril selama peneliti kuliah hingga skripsi ini selesai.

Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih pada:

1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, SpA(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Lili Garliah, M.Si dan Kak Liza Marini S.Psi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ide, kritik, saran, dan dorongan selama proses penyusunan skripsi ini.

3. Kakak dan adik-adikku tercinta, terimakasih buat kasih sayang, semangat dan dukungannya.

4. Sahabat-sahabat tercinta: Sari (teman seperjuangan), Ulan, Dewi, Fitri, Lia dan Dyna. Terima kasih buat semangat, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan persahabatan yang telah kalian berikan. Semoga kebersamaan kita selama di perkuliahan tidak pernah putus walaupun kita udah terpisah-pisah.

5. Seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2003 yang terus memberikan semangat.

6. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini.

(4)

kesempurnaan skripsi ini. Harapan peneliti skripsi ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya psikologi perkembangan.

Medan, Desember 2008

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI...……….. ii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian……….. 8

D. Manfaat Penelitian………. 9

E. Sistematika Penelitian……… 9

BAB II LANDASAN TEORI………... 12

A. Kecerdasan Emosi………....……….. 12

1. Pengertian kecerdasan emosi………... 12

2. Komponen kecerdasan emosi………... 13

3. Ciri-ciri kecerdasan emosi………... 16

B. Perilaku Seksual Pranikah ... 17

1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah ... 17

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah ... 18

3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah ... 22

C. Remaja……….... 23

1. Pengertian remaja………...…. 23

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 25

(6)

4. Perkembangan Emosi Remaja ... 26

5. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja... 27

D. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah 28 E. Hipotesis………. 31

BAB III METODE PENELITIAN………. 32

A. Identifikasi Variabel……….. 32

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian……….. 32

1. Defenisi operasional kecerdasan emosi……… 32

2. Defenisi operasional Perilaku Seksual Pranikah………. 34

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel……... 35

1. Populasi dan sampel………... 35

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 36

3. Jumlah sampel …... 36

D. Metode Pengumpulan Data……….. 36

1. Skala kecerdasan emosi………... 37

2. Skala perilaku seksual pranikah………... 39

E. Validitas dan Reliabilitas……….. 40

1. Validitas………... 40

2. Reliabilitas………... 41

3. Korelasi item total... 41

F. Hasil Uji Coba... 41

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 44

1. Tahap persiapan... 44

(7)

H. Metode Analisis Data………... 45

BAB IV ANALISA dan INTERPRETASI DATA... 47

A. Gambaran Subjek Penelitian... 47

1. Usia subjek penelitian... 47

2. Jenis kelamin... 48

B. Uji Asumsi... 48

1. Uji normalitas sebaran... 49

2. Uji linieritas hubungan... 50

3. Uji Hipotesa Utama... 51

C. Hasil Tambahan... 53

1. Kategorisasi data penelitian ... 53

2. Perilaku seksual ditinjau dari jenis kelamin ... 56

3. Perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan frekuensi... 57

D. Pembahasan ... 58

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN... 59

A. Kesimpulan... 59

B. Saran... 61

(8)
(9)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2008

Dwi Hairani : 031301018

Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran

vii + 65 halaman + 15 tabel + 3 lampiran Bibliografi 27 (1972 – 2005)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja yang berpacaran. Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, mengatur keadaan jiwa, merasakan, memahami, dan menerapkan kepekaan emosi sehingga membuat orang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh usia, pengalaman.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15 sampai 18 tahun. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 302 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah skala kecerdasan emosi yang setiap aitemnya disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (Goleman, 2000). Validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan validitas content dan reliabilitasnya menggunakan koefisien korelasi Spearman’s rho moment. Hasil uji coba yang diperoleh dengan menggunakan bantuan program spss

version 12.00 for wnidows menunjukkan reliabilitas skala kecerdasan emosi sebesar

0.895 dengan validitas aitem bergerak dari 0,294 – 0,496.

Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program spss, Selain menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, peneliti juga melakukan pengujian dengan menggunakan scatter plot. Dengan menggunakan bantuan SPSS 12.00 for

windows yang menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi tidak berkorelasi secara

linier terhadap variabel perilaku seksual pranikah dengan persamaan regresi perilaku seksual pranikah = 50,84 + -0,03 * kecerdasan emosi.

Kata kunci: Kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang

jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

Dengan terbukanya arus komunikasi dan informasi serta munculnya dorongan

seksual maka remaja juga dihadapkan pada hal-hal yang mendorong

keingintahuannya akan pengalaman seksual. Masalah seksual menjadi salah satu

isu penting pada masa remaja karena masa remaja dianggap sebagai periode

peralihan dalam rentang kehidupan seseorang. Setiap periode peralihan, status

individu menjadi tidak jelas dan terdapat keraguan tentang peranan yang harus

dilakukan. Pada masa ini seorang individu berada diantara dua tahap kehidupan

yang berbeda, yaitu masa kanak-kanak (childhood) dan masa dewasa (adult life)

(Hurlock, 1999). Perubahan yang terjadi meliputi perubahan dalam arti luas,

mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Piaget dalam Hurlock,

1999). Remaja akan mengalami hal-hal yang belum pernah mereka alami

sebelumnya, seperti menstruasi, mimpi basah, dorongan seksual, rasa tertarik atau

malu terhadap lawan jenis, lebih sensitif, lebih tertutup pada orang tua,

peningkatan kebutuhan akan kebebasan, lebih banyak memperhatikan penampilan

diri dan sebagainya (Triany, 1997).

Salah satu tugas perkembangan dalam masa remaja adalah pembentukan

(11)

memainkan peran yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya. Oleh karena itulah,

remaja harus memiliki konsep seks yang tepat untuk melaksanakan tugas

perkembangan tersebut dengan baik. Dorongan untuk melakukan hal ini datang

dari tekanan sosial misalnya pengaruh dari teman sebaya serta minat remaja pada

seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1999).

Dorongan seksual bisa diekspresikan dalam berbagai perilaku, namun

tentu saja tidak semua perilaku merupakan ekspresi dorongan seksual seseorang.

Ekspresi dorongan seksual atau perilaku seksual ada yang aman dan ada yang

tidak aman, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Setiap perilaku seksual

memiliki konsekuensi berbeda. Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul

karena adanya dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam

mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting sampai

berhubungan seks (Admin, 2008).

Fenomena yang terjadi saat ini adalah bahwa hubungan seksual pranikah

lebih banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Berpacaran berarti upaya

untuk mencari seorang teman dekat dan didalamnya terdapat hubungan belajar

mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses

pendewasaan kepribadian. Berpacaran biasanya dimulai dengan membuat janji,

kencan lalu membuat komitmen tertentu dan bila diantara remaja ada kecocokan,

maka akan dilanjutkan dengan berpacaran. Karena kurangnya informasi yang

benar mengenai pacaran yang sehat, maka tidak sedikit remaja saat berpacaran

unsur nafsu seksual menjadi dominan. Di samping itu, perkembangan jaman juga

(12)

misalnya dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun

yang lalu seperti berciuman dan bercumbu sekarang dibenarkan oleh remaja saat

ini. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan perilaku seks bebas.

Perubahan terhadap nilai ini misalnya terjadi dengan pandangan remaja terhadap

hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun yang lalu hanya 1,2 - 9,6

persen setuju dengan hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian

angka tersebut naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini

naik menjadi 17 persen yang setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen

yang setuju dengan perilaku seksual pranikah, hal ini menunjukkan kurangnya

pengetahuan remaja mengenai dampak dari perilaku seksual pranikah (Potret

Remaja, 2002).

Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap

berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15 juta remaja

berusia 15 – 19 tahun melahirkan. Sekitar 4 juta melakukan aborsi dan hampir 100

juta terinfeksi penyakit menular seksual di seluruh dunia (United Nation

Population Fund, 2000). Pada masa ini juga terbentuknya pola emosi pada remaja

sehigga mereka sering tidak mampu menempatkan emosinya dan tidak mampu

berpikir secara rasional dalam mengambil keputusan.

Sebanyak 70 persen kasus HIV/AIDS ternyata sebagian terjadi akibat

penyalahgunaan narkotika yang menggunakan jarum suntik secara bergantian dan

sisanya, akibat perilaku seks bebas. Para remaja terjebak pada seks bebas karena

tidak mendapatkan informasi tentang seks secara tepat dan benar. Berdasarkan

(13)

perilaku seks bebas pada remaja Indonesia terus meningkat (Ardiansyah, 2008).

BKKBN pernah meneliti 8.084 remaja usia 15-24 tahun di 20 kabupaten di Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Hasilnya, 39,65 persen remaja

yang disurvei pernah berhubungan seksual dan sekitar 46,2 persen di antara

remaja itu berkeyakinan bahwa melakukan hubungan seksual satu kali tidak akan

mengakibatkan kehamilan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita

tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali

remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika

harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut (Mu’tadin, 2002)

Contoh lain mengenai penyimpangan perilaku remaja, khususnya perilaku

seksual-nya yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja

(CMR) Medan, Sumatra Utara, diperoleh ada lima tahapan yang sering dilakukan

oleh remaja yaitu: dating, kissing, necking, petting dan coitus. Diperoleh data

bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Penelitian

PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 me-nunjukkan data angka sebesar 722

kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data

PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 15 %

diantaranya dilakukan oleh remaja (belum menikah). Faktor penyebab dari

perilaku tersebut antara lain yaitu: semakin panjangnya usia remaja, informasi

tentang seks yang terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan serta lemahnya

hubungan dengan orang tua (Yuwono, 2001).

Pacaran dianggap sebagai jalan masuk hubungan yang lebih dalam

(14)

yang sedang jatuh cinta (Hanifah, 2002). Permasalahannya, banyak

remaja kurang terampil dalam berpacaran sehingga mudah terjatuh dan

terlibat dalam tindakan seksual yang tidak semestinya dilakukan remaja

yang belum menikah (Subiyanto, 2007).

Menurut Sarwono (2005) bahwa sebagian besar dari hubungan seks remaja

diawali dengan agresivitas para remaja laki-laki dan selanjutnya remaja

perempuan lah yang menentukan sampai batas mana agresivitas tersebut dapat

dipenuhi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Hanifah (2002)

yang menunjukkan bahwa ternyata remaja laki-laki cenderung mempunyai

perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, gigih, terang-terangan, serta lebih

sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Akibatnya banyak remaja

perempuan mendapat pengalaman pertama hubungan seksual pranikah dari

pacarnya. Perilaku remaja laki-laki tersebut sebagai perwujudan nilai gender yang

dipercayainya sebagai lebih dominan, yaitu laki-laki harus aktif, berinisiatif,

berani, sedangkan perempuan harus pasif, penunggu, dan pemalu.

Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh

remaja yang berpacaran. Hal ini didukung oleh Hurlock (dalam Mayasari, 2000)

yang mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk

ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Rahman dan Hirmaningsih

(dalam Mayasari, 2000) juga mengemukakan bahwa adanya dorongan seksual dan

(15)

dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual

dalam pacaran.

Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai

perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan

aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996)

menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja dalam melakukan

perilaku seksual adalah berkaitan dengan upaya-upaya untuk pembuktian

perkembangan identitas diri; belajar menyelami anatomi lawan jenis, menguji

kejantanan, menikmati perasaan dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap

seseorang), peningkatan harga diri, mengatasi depresi, menikmati perasaan

berhasil menaklukkan lawan jenis, menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa

kesepian. Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual

yang pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam

mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke

kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.

Menurut Mu’tadin (2002) faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual

pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang melakukan

perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta dengan

didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya,

tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta merupakan salah

satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Dalam kondisi seperti ini, sudah

selayaknya remaja mempunyai kecerdasan emosi untuk mengendalikan

(16)

berat dan mengancam. Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang

paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam

menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain,

remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosi.

Weisinger (dalam May Yustika Sari, 2005) mengemukakan pengertian

kecerdasan emosi sebagai kecerdasan untuk menggunakan emosi sesuai keinginan

kita dan dapat mengendalikan perilaku dan cara berpikir yang membuat kita

mampu mencapai hasil yang baik. Kualitas kecerdasan emosi sangat penting

karena kecerdasan emosi juga akan mendukung terciptanya kemampuan

pengendalian diri atau kontrol diri. Pengendalian diri ini meliputi pengendalian

perilaku, pengendalian kognitif dan pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa,

1995).

Kemampuan mengontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui

pertimbangan kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif

(Lazarus, 1976). Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan

emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan

membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional.

Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu

untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan

baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat

mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan

(17)

dengan lancar dan efektif. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu

menghibur diri ketika mengalami kesedihan, dapat mengurangi kecemasan,

kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua

itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan

terus menerus berusaha melawan perasaan murung atau melarikan diri pada

hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri, salah satunya dengan melakukan

perilaku seksual pranikah (Goleman, 1995).

Hal ini sesuai dengan penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa

remaja yang cerdas secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka

sendiri maupun bersama orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri,

lebih banyak mengalami sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan

rekan-rekan sebaya, dan terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak

kriminal dan perilaku seks yang tidak aman.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada

hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku seksual pada remaja.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu apakah ada hubungan

kecerdasan emosi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja.

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kecerdasan emosi

(18)

D. Manfaat Penelitan

Dalam penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis

maupun praktis.

a. Manfaat teoritis

penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bersifat pengembangan ilmu

psikologi, khususnya dibidang psikologi perkembangan. Manfaat teoritis

ini diharapkan memperkaya pengetahuan dan wacana tentang psikologi

perkembangan. Khususnya mengenai kecerdasan emosi dalam kaitannya

dengan perilaku seksual pada remaja.

b. Manfaat praktis

 Bagi Remaja : remaja diharapkan mampu memberi kesan yang

baik tentang dirinya, mengendalikan perasaan dan emosi dirinya, serta

mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi

yang ada, sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan

lancar efektif sehingga remaja dapat cerdasa secara emosi.

 Bagi Orang tua : Menambah informasi kepada orang tua tentang

pentingnya kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari terutama

pada perkembangan kecerdasan emosi anak.

(19)

Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika

penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab I berisi tentang uraian latar belakang masalah, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teori tentang kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah dan

remaja. Dalam bab ini juga akan dikemukakan hubungan kecerdasan

emosi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja dan juga

hipotesis penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab III berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi

variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan

metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas

dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan

metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang

digunakan oleh peneliti dalam penelitian.

(20)

Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian,

dan deskripsi data penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil

(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Bar-On (dalam Goleman, 2000) mengatakan kecerdasan emosi sebagai

serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi

kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan

lingkungan.

Menurut Patton (2002), kecerdasan emosi itu mencakup beberapa

keterampilan yaitu menunda kepuasan dan mengendalikan impuls dalam diri,

tetap optimis jika menghadapi ketidakpastian atau kemalangan, menyalurkan

emosi secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri

dalam usaha mencapai tujuan , menangani kelemahan pribadi, menunjukkan rasa

empati kepada orang lain serta membangun kesadaran diri dan pemahaman

pribadi.

Goleman (2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi adalah

kemampuan untuk mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan

baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Dari berbagai defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi

adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan

(22)

dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga

seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi

Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosi menjadi 5

kemampuan pokok yang dibagi kedalam lima gugus umum yaitu :

1. Kemampuan Intrapersonal, meliputi :

a. Kesadaran diri emosional

Kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal

yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya.

b. Asertivitas

Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, keyakinan secara

terbuka, dan mempertahankan kebenaran tanpa berperilaku agresif.

c. Harga Diri

Kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang

baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek dan kemampuan positif

yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada

pada diri kita dan tetap menyukai diri sendiri.

d. Aktualisasi diri.

Kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri

adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan

dan bakat secara maksimal.

(23)

Kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri

dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara

emosional.

2. Kemampuan Interpersonal, meliputi :

a. Empati

Kemampuan menyadari, memahami dan menghargai perasaan orang lain

dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain.

b. Hubungan interpersonal

Kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling

memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan

menerima kasih sayang.

c. Tanggung jawab sosial

Kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta

berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen kecerdasan emosi ini

meliputi bertindak secara bertanggung jawab, meskipun kita tidak

mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi.

3. Penyesuaian diri, meliputi :

a. Pemecahan masalah

Kemampuan mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan

solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan

keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah

(24)

b. Uji realitas

Kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan

dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya, bukan

sebagaimana yang kita inginkan atau kita harapkan.

c. Fleksibilitas

Kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk merubah

situasi dan kondisi. Sikap fleksibel ini juga mencakup seluruh kemampuan

kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dan

dinamis.

4. Penanganan stress, meliputi :

a. Ketahanan menanggung stress

Kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi

stress dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stress tersebut.

Ketahanan menanggung stress ini berkaitan dengan kemampuan untuk

tetap tenang dan sabar.

b. Pengendalian impuls

Kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan

untuk bertindak.

5. Suasana hati, meliputi :

a. Kebahagiaan

Kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupannya, menikmati

(25)

b. Optimisme

Kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap

positif sekalipun dihadapkan dengan kesulitan. Optimisme

mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan.

3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi

Goleman (2000) mengkarakteristikkan orang yang memiliki kecerdasan

emosi tinggi dan rendah atas ciri-ciri yang khas, yaitu :

a. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.

1. Mampu melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan orang lain

ataupun situasi.

2. Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan

perasaan

3. Bertanggung jawab terhadap perasaan

4. Menggunakan perasaan untuk membantu dalam membuat suatu keputusan

5. Peduli terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain

6. Bersemangat dan tidak mudah marah

7. Mengakui perasaan orang lain

8. Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negatif

(26)

b. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi rendah

1. Tidak berani bertanggng jawab terhadap perasaan yang dimiliki tetapi

lebih menyalahkan orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya.

2. Berlebih ataupun menekan perasaan yang dimiliki

3. Cenderung menyerang, menyalahkan atau menilai orang lain

4. Kurang memiliki rasa empati.

5. Cenderung kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu aturan

yang sistematis agar merasa nyaman

6. Merasa tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain

7. Menghindari tanggung jawab dengan membela diri

8. Sistematis dan cenderung menganggap bahwa dunia tidak adil

9. Sering merasa kurang dihargai, kecewa, hambar atau merasa menjadi

korban.

B. Perilaku Seksual Pranikah

1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan

yang sah (Sarwono,2005).

Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan

perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut

(27)

Menurut Lestari (1999), perilaku seksual pranikah merupakan perilaku

seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut hukum

maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat

disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang

didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa

melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Mu’tadin (2002) bahwa perilaku seksual pranikah pada remaja

tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh faktor tertentu pada

diri remaja baik secara internal maupun eksternal.

1. Faktor internal

Pada seorang remaja, perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa

sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang

tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Selain itu,

faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks

pranikah karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba

segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada

umumnya, remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan

(28)

2. Faktor eksternal

a. Teman sebaya.

Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi

karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka

juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi

pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan

independensi.

b. Media dan televisi.

Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh remaja dalam

perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja

yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat

perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini

pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan

kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyakarat yang

berbeda.

c. Hubungan dalam keluarga khusunya orangtua.

Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua

terhadap aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi

pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Bila orangtua

mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada

remaja, maka remaja cenderung mengontrol perilaku seksualnya sesuai

dengan pemahaman yang diberikan orangtuanya (Sarwono, 2005).

(29)

(dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua

yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin

yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang

penting dalam tingginya perilaku seksual pranikah pada remaja. Konflik

dalam keluarga, atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan

dengan perilaku seksual pada remaja.

Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual pranikah pada remaja

juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Remaja laki-laki

cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta

lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal tersebut

sebagai wujud nilai jender dan adanya norma-norma yang memberikan

keleluasaan yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini

membuat laki-laki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam berbagai

macam bentuk perilaku seksual. Apalagi orientasi laki-laki berpacaran

lebih ke arah aktivitas seksual daripada mengutamakan afeksi, membuat

laki-laki cepat beraktivitas seksual tanpa melibatkan perasaan terlebih

(30)

Hajcak & Garwood (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyebutkan beberapa

motif yang digunakan oleh remaja untuk melakukan perilaku seksual, yaitu :

1. Menegaskan peran maskulin dan feminin

Bagi sebagian remaja, melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu

pasangan, merupakan bukti bahwa identitas seksualnya utuh.

2. Mendapatkan kasih sayang

Beberapa aspek dari perilaku seksual termasuk di dalamnya kontak fisik

sebagai bentuk kasih sayang, seperti memeluk, membelai dan mencium.

Bagi remaja yang hanya sedikit memperoleh bentuk afeksi ini, maka

hubungan seks yang dilakukan setimpal dengan afeksi yang mereka

dapatkan.

3. Sebagai bentuk perlawanan terhadap orang tua atau figur otoritas lainnya.

Konflik yang dialami dengan orang tua atau figur otoritas lainnya,

membuat remaja menggunakan seks sebagai bentuk pemberontakan,

bahkan sampai pada terjadinya kehamilan.

4. Meraih harga diri yang lebih tinggi

Ada remaja yang menganggap jika ada orang yang bersedia berhubungan

seks dengannya, maka ia akan memperoleh rasa hormat dan penghargaan

dari orang lain.

(31)

Seks dapat digunakan untuk menyakiti perasaan orang lain, misalnya

mantan pacar. Pada kasus yang ekstrim, hubungan yang dilakukan

bertujuan untuk memperkosa pasangan sebagai bentuk penghinaan

untuknya.

6. Melampiaskan kemarahan

Perilaku seksual merupakan sarana melampiaskan emosi yang ada,

termasuk rasa marah yang dirasakan. Remaja umumnya melakukan

masturbasi dengan tujuan ini.

7. Menghilangkan rasa bosan

Masturbasi umumnya dilakukan untuk menghilangkan kebosanan yang

dirasakan remaja.

8. Membuktikan kesetiaan pasangan

Beberapa remaja terlibat dalam perilaku seksual bukan atas keinginan

mereka sendiri tapi lebih dikarenakan ketakutan akan ditinggalkan oleh

pasangan bila mereka tidak bersedia melakukannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas

bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat

seksual, memiliki tujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual secara

fisik tetapi juga berbagai kebutuhan lain seperti afeksi, yang objeknya bisa diri

sendiri, orang lain ataupun benda tertentu, dimana ekspresi perilaku yang

ditampilkan dapat dipengaruhi oleh peran seks serta nilai tertentu yang diterima

(32)

3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Bentuk-bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari

perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama

(Sarwono, 2004).

Sedangkan DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003),

mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu :

a. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada.

b. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk

ciuman bibir antara dua orang.

c. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.

d. Meraba payudara.

e. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan

antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin

tidak bersentuhan secara langsung).

f. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan

organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.

g. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara

laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina

(33)

Dari uraian diatas perilaku seksual pada remaja dapat dilihat dalam

perilaku, berciuman di kening, dan pipi, lip kissing, deep kissing, necking, petting,

meraba payudara, oral sex, dan sexual intercourse.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara masa

kanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan

perubahan sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang

dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa.

Hurlock (1999) mengemukakan istilah Adolescence atau remaja

yang berasal dari bahasa latin adolescence yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa . Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan

saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,

emosional, sosial, atau fisik.

Menurut Monks (1998) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai

21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu:

1. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai 15 tahun

2. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai 18 tahun

(34)

Sementara itu, batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah

antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Dengan pertimbangan bahwa usia

11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai

tampak, sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk

individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial

maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlakukan

sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja

(Sarwono, 2000).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja

adalah periode perkembangan dari anak-anak ke dewasa awal yang mencakup

perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara

usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.

2. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja

dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku kekanak-kanakan dan

mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas

perkembangan masa remaja adalah :

a. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria

maupun wanita.

b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

c. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

(35)

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa

lainnya.

3. Ciri-ciri Masa Remaja Madya (15 – 18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada

kecenderungan narcisistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih

menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya.

Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus

memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau

pesimis dan sebagainya. Pada tahap inilah hubungan persahabatan dengan lawan

jenis mulai meningkat ( Genmbeck, Siebenbruner, Collins, 2004). Hubungan

persahabatan lawan jenis yang meningkat tersebut disebabkan karena adaptasi

remaja madya terhadap interaksi lawan jenis sudah berkembang dengan baik.

Interaksi lawan jenis yang dilakukan remaja madya dapat berupa teman

biasa, sahabat dan pacar. Umumnya pada usia remaja madya seseorang

berinteraksi dengan sebayanya. Demikian halnya untuk dijadikan sahabat, mereka

pada umumnya memilih teman sebaya, bisa teman di sekolah, di klub olah raga,

organisasi, dan komunitas lain dimana keduanya sering berkomunikasi ( Harvey,

2003)

4. Perkembangan emosi remaja

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and

(36)

sebagai akibat dari perubahan fisik. Meningginya keadaan emosi terutama karena

anak laki-laki dan wanita berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi

baru. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan

tampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan

perilaku emosional (Hurlock, 1998).

Menurut Gessel dkk (Hurlock, 1998), remaja yang berusia empat belas

tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung

meledak, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam

belas tahun mengatakan bahwa mereka tidak punya keprihatinan. Jadi adanya

badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa

remaja.

Masa remaja merupakan masa dimana emosi menjadi meningkat.

Intensitas emosi remaja biasanya terlihat tidak seimbang dengan keadaan mereka.

Seringnya remaja tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka dengan baik.

Terkadang mereka menjadikan orang tua atau saudara sebagai sasaran kemarahan

atau perasaan mereka terhadap orang lain (Santrok, 2002).

5. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja

Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual

dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini

menyebabkan masa remaja disebut juga dengan ”masa keaktifan seksual” yang

(37)

bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rasa ingin tahu tentang

masalah seksual (Imran, 2000).

Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi

oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan

progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh

terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat

Monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada

taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya

lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu

sendiri.

Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai

pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh

teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian

dimunculkan dalam bentuk berpacaran. Menurut Rahman dan Hirmaningsih

(dalam Mayasari, 2000) adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja

ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik

inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan seksual pada

remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang

seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan

perilaku-perilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual

merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan

(38)

seksual dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan remaja yang berpacaran

sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.

D. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual pada Remaja

Fase usia remaja merupakan masa dimana manusia sedang mengalami

perkembangan begitu pesat, baik fisik, psikologis dan sosial. Perkembangan

secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk

organ reproduksi. Kematangan secara seksual memiliki hubungan yang sejalan

dengan perkembangan fisik termasuk didalamnya aspek-aspek anatomis dan

fisiologis (Monks dkk, 1998).

Adanya kematangan fisik termasuk matangnya organ-organ seksual tanpa

diimbangi percepatan pematangan emosi dan adanya kebebasan yang kian

meningkat menyebabkan masalah seksualitas yang dialami remaja menjadi

semakin kompleks. Hal tersebut diperparah dengan maraknya pemberitaan di

media massa dan televisi yang menceritakan tentang pacaran dan cinta (Prihartini,

2002). Hal ini menyebabkan aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang

lazim dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (dalam Mayasari, 2000)

mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi

atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Hal-hal tersebut telah menempatkan

remaja pada posisi yang rentan. Menurut Pudjono (dalam Prihartini, 2002),

kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan

(39)

Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai

perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan

aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996)

menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja adalah berkaitan

dengan upaya-upaya untuk pembuktian perkembangan identitas diri; belajar

menyelami anatomi lawan jenis, menguji kejantanan, menikmati perasaan

dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap seseorang), peningkatan harga diri,

mengatasi depresi, menikmati perasaan berhasil menaklukkan lawan jenis,

menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa kesepian. Berbagai kegiatan yang

mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukan

tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk

mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat

dikerjakan.

Menurut Mu’tadin (2002) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku

seksual pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang

melakukan perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta

dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap

pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta

merupakan salah satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Remaja yang

perasaannya lebih didominasi oleh dorongan-dorongan seksual akan lebih

memudahkan mereka untuk melakukan perilaku seksual pranikah dengan

(40)

Remaja perlu untuk mengontrol semua bentuk perilaku negatif mereka,

salah satu hal yang dapat mengontrol perilaku negatif yang banyak dilakukan

remaja adalah dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, hal ini didukung

juga oleh penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa remaja yang cerdas

secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka sendiri maupun bersama

orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri, lebih banyak mengalami

sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan rekan-rekan sebaya, dan

terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak kriminal dan perilaku

seks yang tidak aman.

Menurut Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 1997) kecerdasan emosi juga

akan mendukung terciptanya kemampuan pengendalian diri atau kontrol diri.

Pengendalian diri ini meliputi pengendalian perilaku terutama perilaku-perilaku

yang mengarah kepada konsekuensi negatif, pengendalian kognitif dan

pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa, 1995). Selain itu, kemampuan

mengontrol diri juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing,

mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan

kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif (Lazarus, 1976).

Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan emosi yang tinggi,

dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan membuat remaja

sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa remaja yang

mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan

(41)

remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan

terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti

kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.

E. Hipotesa Penelitian

Adapun hipotesa penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara

kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja. Semakin positif

kecerdasan emosi maka akan semakin rendah perilaku seksual pranikah pada

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional.

Metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana

variasi-variasi pada suatu faktor yang berkaitan dengan variasi-variasi-variasi-variasi pada satu atau

lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2003). Dalam

hal ini peneliti ingin melihat bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan

perilaku seksual pada remaja.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini :

1. Variabel Bebas : Kecerdasan Emosi

2. Variabel Tergantung : Perilaku Seksual Pranikah

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan

sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi

(43)

Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi

yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek komponen-komponen

kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Goleman, 2000) yaitu :

1. Kemampuan intrapersonal yang meliputi :

a. Kesadaran diri emosional yaitu mampu mengenal perasaan diri.

b. Asertivitas yaitu mampu mengungkap perasaan.

c. Harga diri yaitu mampu menerima keadaan diri.

d. Aktualisasi diri yaitu mampu menyadari potensi diri dan

e. Kemandirian yaitu mampu mengarahkan diri.

2. Kemampuan interpersonal yang meliputi :

a. Empati yaitu mampu memahami perasaan orang lain

b. Hubungan interpersonal yaitu mampu menjalin hubungan dengan orang

lain dan

c. Tanggung jawab sosial yaitu mampu menunjukkan diri sendiri dan

bekerjasama dengan kelompok sosial

3. Penyesuaian diri yang meliputi :

a. Pemecahan masalah yaitu mampu melaksanakan solusi yang tepat untuk

suatu masalah

b. Uji realitas yaitu mampu menyesuaikan perasaan dan kenyataan, dan

c. Fleksibilitas yaitu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang

(44)

4. Penanganan stres yang meliputi :

a. Ketahanan menanggung stres yaitu mampu mengatasi stres dengan

sungguh-sungguh dan

b. Pengendalian impuls yaitu mampu menahan gerak hati.

5. Suasana hati yang meliputi :

a. Kebahagiaan yaitu mampu merasa puas dengan kehidupannya

b. Optimisme yaitu mampu melihat sisi terang dalam diri

2. Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat

seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses

pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.

Perilaku seksual diukur dengan menggunakan skala perilaku

seksual yang disusun oleh peneliti berdasarkan bentuk-bentuk perilaku

seksual yang dikemukakan oleh DeLamenter dan MacCorquodale (dalam

Santrok, 2003) dan hasil penelitian BKKBN (2005) yaitu :

1. Necking yaitu berciuman sampai ke daerah dada

2. Lip kissing yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk

ciuman bibir antara dua orang

3. Deep kissing yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah

(45)

5. Petting yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan

antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak

bersentuhan secara langsung)

6. Oral sex yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ

oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.

7. Sexual intercourse yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara laki-laki

dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina wanita hingga

terjadi orgasme/ejakulasi

8. Mencium/dicium kening

9. Mencium/dicium pipi

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi

dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu

sifat yang sama (Hadi, 2000). Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah

penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling

sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Remaja Tengah (Usia 15-18 tahun)

Alasan memilih sampel remaja tengah karena kecerdasan emosi

(46)

sama baik dibandingkan dengan remaja yang lebih muda dalam hal

penguasaan kemampuan diri memiliki kecerdasan emosi. Menurut

Goleman (dalam Papalia, 2001) pada saat remaja, kecerdasan emosi paling

besar dibentuk pada masa pertengahan remaja.

2. Sedang Berpacaran dan lama berpacaran

2. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah cluster

random sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan melakukan

randomisasi terhadap kelompok, bukan terhadap subjek secara individual (Azwar,

2004). Berdasarkan teknik cluster random sampling, dilakukan ramdomisasi

terhadap sekolah-sekolah yang ada di Kota Madya Binjai dan terpilih 2 sekolah

yaitu : SMA Negeri 3 Binjai dan SMA Negeri 1 Binjai. Randomisasi dilakukan

kembali pada seluruh kelas yang ada pada kedua sekolah tersebut, masing-masing

sekolah di ambil 4 kelas sehingga secara keseluruhan berjumlah 8 kelas,

kedelapan kelas inilah yang menjadi sampel dalam penelitian.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Jumlah total subjek penelitian diperkirakan 302 orang remaja. Untuk uji

coba diambil sampel sebanyak 100 orang. Semua subjek disesuaikan dengan

(47)

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang merupakan alat ukur pada penelitian ini

adalah skala yakni suatu jenis alat ukur untuk mengumpulkan data yang

disampaikan kepada subjek penelitian melalui suatu daftar yang berisikan suatu

rangkaian pertanyaan atau pernyataan dengan pilihan jawaban mengenai sesuatu

hal dalam sesuatu bidang (Sumardjan & Koentjoroningrat, 1985) yang disusun

berdasarkan komponen kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On

(Goleman, 2000) dan perilaku seksual pranikah yang dikemukakan oleh

DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrok, 2003). Metode ini menurut

Hadi (2000), mempunyai dasar self report, dimana subjek diminta untuk

menggambarkan perasaan atau keadaan dirinya.

1. Skala Kecerdasan Emosi

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi adalah skala

kecerdasan emosi yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan

komponen-komponen kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam

Goleman, 2000).

Skala disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari dua kategori aitem

yaitu aitem favorable dan aitem unfavorable, dan menyediakan empat alternatif

jawaban yang terdiri dari sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat

tidak sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk

item favorable, sedangkan untuk item unfavorable bergerak dari 1 sampai 4.

Jumlah item total untuk skala ini adalah 39 item yang terdiri dari 30 item

(48)

skala ini mengungkap komponen-komponen kecerdasan emosi, yaitu kemampuan

intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian diri, penanganan stress,

suasana hati.

Adapun blue-print yang digunakan dalam penyusunan skala yang

mengukur skala kecerdasan emosi adalah sebagai berikut:

Tabel 1.

Blue Print Skala Kecerdasan Emosi sebelum uji coba

No. Komponen-komponen Sub

komponen

1. kesadaran diri

emosional

2. asertivitas

3. harga diri

4. aktualisasi diri

5. kemandirian

4. Penanganan stress 1. ketahanan

menanggung stress

2. pengendalian

impuls

73, 74

41, 58, 60

35, 36, 75

(49)

5. Suasana hati 1. kebahagiaan

2. optimisme

31, 39,

63, 67

34, 38, 48

64, 70, 72 10

13,33

Total 30 45 75 100

2. Skala Perilaku Seksual Pranikah

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku seksual pranikah

adalah skala perilaku seksual pranikah yang dirancang sendiri oleh peneliti

dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk perilaku seksual menurut DeLamenter

dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003) dan BKKBN (2005).

Metode skala yang digunakan adalah skala Likert yang menyediakan

empat alternatif jawaban yang terdiri dari Sangat Sering (SS), Sering (S), Jarang

(J), Tidak Pernah (TP)..

Jumlah item total untuk skala ini adalah 48 item. Item-item yang terdapat

pada skala ini mengungkap beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul,

yaitu : necking, lip kissing, deep kissing, meraba payudara, petting, oral sex,

sexual intercourse, mencium/dicium pipi, mencium/dicium kening

Adapun blue-print yang digunakan dalam penyusunan skala yang

mengukur perilaku seksual pranikah adalah sebagai berikut:

Tabel 2.

Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Sebelum Ujicoba

No Bentuk Perilaku Nomor Item Jumlah

1. Necking 5, 14, 15 3

2. Lip kissing 2, 6, 17, 22 4

(50)

4. Meraba payudara 9, 16, 25, 27, 29, 33, 38, 46 8

5. Petting 19, 21, 23, 30, 31, 34 6

6. Oral sex 24, 26, 28, 36, 43, 45 6

7. Sexual intercourse 28, 32, 37, 39, 42, 47, 48 7

8. Mencium/dicium pipi 1, 4, 8, 10 4

9. Mencium/dicium kening 3, 7, 11, 13 4

Jumlah 48 48

E. Validitas, Reliabilitas dan Daya Beda Aitem

Alat ukur penelitian tersebut sebelum digunakan untuk memperoleh

data-data penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba agar diperoleh alat ukur yang

memiliki daya aitem tinggi, valid dan reliabel.

1. Validitas Alat Ukur

Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut mampu menghasilkan data

yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu langkah untuk

mendapatkan validitasnya.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan content validity, yaitu

penilaian secara subjektif mengenai kelayakan suatu aitem atau skala oleh

orang-orang yang memiliki pengetahuan mengenai masalah yang diajukan (Litwin,

2003). Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap

isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 2000).

Professional judgement di dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing

(51)

validitas suatu alat ukur karena memuat cakupan isi yang hendak diungkap.

Dimana alat ukur harus komprehensif isinya dan juga memuat isi yang relevan

dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa pelaksanaan

pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama, diperoleh hasil yang relatif

sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah

(Azwar, 1997). Jenis reliabilitas dalam penelitian ini adalah internal consistensy

reliability dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach (Cozby, 2004).

3. Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk melihat

sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu

yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2000).

Daya beda aitem pada penelitian ini dilihat dengan menggunakan koefisien

korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan komputerisasi dari program

SPSS version 15.0 for windows. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan

koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem. Setiap

butir aitem dalam skala dikorelasikan dengan skor total skala. Item yang lulus

(52)

F. Hasil Ujicoba Alat Ukur Penelitian

1. Hasil Ujicoba Alat Ukur Kecerdasan Emosi

Alat ukur kecerdasan Emosi di ujicobakan pada 100 orang remaja di kota

Binjai yang sesuai dengan karaktersitik subjek penelitian. Hasil ujicoba alat ukur

kecerdasan emosi menunjukkan bahwa alat ukur valid dan reliabel, dimana nilai

koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,895 dengan kisaran nilai corrected item total

correlation yang bergerak dari 0,294 – 0,496. Jumlah aitem yang di ujicobakan

adalah 75 aitem dan dari 75 aitem diperoleh 39 aitem yang sahih yang memiliki

koefisien korelasi rxx minimal 0,275.

Tabel 3

Blue Print Skala Kecerdasan Emosi setelah uji coba

(53)

4

2. Hasil Ujicoba Alat Ukur Perilaku Seksual Pranikah

Alat ukur perilaku seksual pranikah di ujicobakan pada 100 orang remaja

di kota Binjai yang sesuai dengan karaktersitik subjek penelitian. Hasil ujicoba

alat ukur perilaku seksual pranikah menunjukkan bahwa alat ukur valid dan

reliabel, dimana nilai koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,943 dengan kisaran

nilai corrected item total correlation yang bergerak dari 0,402 – 0,817. Jumlah

aitem yang di ujicobakan adalah 48 aitem dan dari 48 aitem diperoleh 30 item

yang sahih yang memiliki koefisien korelasi rxx minimal 0,275. Karena menurut

Azwar (2000), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,300,

daya pembedanya dianggap memuaskan

Tabel 4

Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Setelah Ujicoba

No Bentuk Perilaku Nomor Aitem Jumlah %

1. Lip kissing 5, 8, 9, 10, 14 5 16,67%

(54)

3. Necking 4, 12 2 6,66%

4. Petting 15, 17, 20, 22, 26 5 16,67%

5. Oral sex 18, 28 2 6,66%

6. Sexual intercourse 23, 24, 29, 30 4 13,34%

7. Mencium/dicium kening 2, 6, 11 3 10,00%

8. Mencium/dicium pipi 1, 3, 7 3 10,00%

9. Meraba payudara 13, 19, 21 3 10,00%

Jumlah 30 30 100%

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan

a. Menyusun alat ukur

Tahap persiapan diawali dengan menyusun alat ukur penelitian yaitu skala

kecerdasan emosi dan skala perilaku seksual pranikah.

b. Mengurus surat izin penelitian

Sebelum melakukan uji coba peneliti meminta surat izin dari fakultas untuk

melakukan pengambilan data di beberapa sekolah yang selanjutnya diserahkan

kepada Pemerintah Kota Binjai Sekretaris Daerah Kota. Setelah mendapat

persetujuan dari Dinas Pendidikan, peneliti datang ke sekolah untuk meminta

izin dan memberitahu proses yang akan dilaksanakan.

c. Uji coba alat ukur

Alat ukur penelitian terlebih dahulu diujicobakan kepada 100 orang remaja

berusia 15-18 tahun yang dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2008 sampai 16

Oktober 2008

(55)

Setelah ujicoba dilakukan maka selanjutnya peneliti menguji validitas dan

reliabilitas alat ukur, kemudian peneliti memilih aitem-aitem yang memenuhi

kriteria dan menyusunnya menjadi alat ukur yang nantinya akan digunakan

untuk mengambil data penelitian.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 November 2008 sampai

dengan 27 November 2008. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam

mengambil data penelitian adalah sebagai berikut:

a. Menentukan sampel penelitian

Peneliti melakukan kembali random untuk menentukan kelas mana yang akan

menjadi kelompok penelitian.

b. Penyebaran skala penelitian

Peneliti melaksanakan penelitian pada kelas yang terpilih menjadi kelompok

sampel. Peneliti melaksanakan penelitian pada jam yang telah ditentukan

pihak sekolah. Peneliti awalnya memberikan pengarahan tentang petunjuk

pengerjaan skala penelitian.

H. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan

menggunakan analisis statistik. Keseluruhan analisis dilakukan dengan

(56)

1. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian

masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Jika populasi dari

sampel yang diambil tidak bersifat normal maka tes statistik yang bergantung

pada asumsi normalitas itu menjadi cacat sehingga kesimpulannya tidak

berlaku (Kerlinger, 1995).

Pengukuran normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov. Data penelitian

dikatakan terdistribusi secara normal jika nilai p>α, dimana α = 0,05.

1. Uji Linieritas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah data pada variabel

bebas X (kecerdasan emosi) berkorelasi secara linear terhadap data pada variabel

tergantung Y (perilaku seksual pranikah). Apabila penyimpangan tersebut tidak

signifikan maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung

dinyatakan linier Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan analisa statistik uji

F dengan bantuan program komputer SPSS 12.0. kaidah yang digunakan untuk

mengetahui linier atau tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel

tergantung adalah jika p0,05 maka hubungan antara variabel bebas dengan

variabel tergantung dinyatakan linier, sebaliknya jika p  0,05 berarti hubungan

antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan tidak linier ( Hadi,

(57)

Selain menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, peneliti juga

melakukan pengujian dengan menggunakan scatter plot. Apabila uji asumsi

(58)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian.

Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian

dilanjutkan dengan analisa dan interpretasi data penelitian serta hasil penelitian.

A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 302 orang. Berdasarkan hal tersebut diperoleh

gambaran subjek penelitian berdasar usia dan jenis kelamin.

1. Usia subjek penelitian

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 5 Penyebaran

Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Perseentase

15 Tahun 40 13,25 %

16 Tahun 98 32,45 %

17 Tahun 120 39,73 %

18 Tahun 44 14,57 %

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3
Tabel  4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya semakin tidak harmonis hubungan suatu keluarga maka semakin tinggi intensitas perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja.. Kontribusi keharmonisan keluarga

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dampak perilaku seksual pranikah yang dirasakan oleh remaja lebih dominan pada dampak psikologis. Kata kunci: dampak,

Perilaku seksual pranikah pada remaja merupakan perilaku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis yang dilakukan tanpa

Perilaku seksual pranikah pada remaja merupakan perilaku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis yang dilakukan tanpa

Berdasarkan tabel statistik dari hasil uji korelasi antara power distance dan intensitas perilaku seksual pranikah pada remaja tersebut, dapat terilihat bahwa koefisien

Hasil (-0,667 ) menunjukkan hubungan negatif antara kontrol diri dengan intensitas perilaku seksual pranikah pada remaja.. Kata kunci: kontrol diri, intensi perilaku seksual

Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki remaja akhir maka akan semakin tinggi pula perilaku asertif yang dimiliki, begitu juga

Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa penelitian mengenai hubungan antara pola komunikasi masalah seksual dengan perilaku seksual pranikah remaja akhir yang