PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Lucia Dipa Saraswati 129114051
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTO
“
KEEP MOVING FORWARD
”
“
YOU CAN
’
T CHANGE THE PAST BUT YOU CAN LEARN
FROM IT
”
"Remember you
’
re the one who can fill the world with sunshine."
"The flower that blooms in adversity is the most rare and beautiful
of all."
"You are braver than you believe, stronger than you seem, and
smarter than you think."
"Hakuna matata."
"Sometimes the right path is not the easiest one.
”
"Always let your conscience be your guide."
"Nothing's impossible."
“The only way to achieve the impossible is to believe it is possible.”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur dan rasa terima kasih yang sangat besar saya panjatkan kepada Tuhan
Yesus Kristus yang selalu mendampingi, memberi kesabaran, kekuatan dan
menuntun saya dalam pengerjaan tugas akhir ini. Tanpa-Nya, tugas akhir ini tidak
akan mampu saya selesaikan.
Skripsi ini juga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, papa dan mama
yang sudah dengan sabar mendengarkan setiap keluh kesah, mendukung setiap
pilihan yang saya buat, menuntun dan menunggu penyelesaian tugas akhir ini
sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan dan menjadi salah satu cara mengurangi
beban papa dan mama. Terima kasih juga saya ucapkan kepada saudariku yang
sudah menjadi panutan dan memberi semangat serta motivasi dalam penyelesaian
skripsi ini.
Untuk pacar saya yang sudah membantu, memotivasi, mendengarkan keluh kesah
dan mendukung penyelesaian skripsi ini, saya ucapkan terima kasih yang sangat
besar atas kesabaran dan usahanya.
Teruntuk teman-teman dan saudara saudari yang sudah mendukung dan
membantu terselesaiknnya skripsi ini baik membantu dalam penulisan,
penghitungan, teori, dan pengisian skala, saya ucapkan terima kasih pula yang
sebesar-besarnya karena tanpa bantuan teman-teman dan saudara-saudari, skripsi
vii
Hubungan Power distance dan Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja
Lucia Dipa Saraswati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara power distance dan bentuk perilaku seksual pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan negatif antara power distance dan perilaku seksual pada remaja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah 206 orang remaja dengan usia 19 sampai 24 tahun dan sedang menjalin relasi romantis. Metode yang digunakan dalam pemilihan subyek adalah metode convenience. Skala yang digunakan untuk mengukur power distance remaja adalah Personal Cultural Orientations yang sudah diadaptasi, sedangkan skala untuk mengetahui perilaku seksual dibuat dengan menggunakan metode survey. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji hipotesis korelasional spearman’s rho. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara power distance dan bentuk perilaku seksual (r = - 0,106 , p = 0,128). Selain itu penelitian ini juga mengatakan bahwa hubungan antara power distance dan intensitas perilaku seksual bersifat negatif namun tidak signifikan (r = - 0,066 , p = 0,347).
viii
Correlation Between Power Distance And Pre-marital Sexual Behavior in
Adolescent
Lucia Dipa Saraswati
ABSTRACT
The aim of this study is to perceive the relation between power distance and forms of sexual bahavior in adolescent. The hypothesis of this study is there is a negative relation between power distance and sexual behavior in adolescent.The method which is used to analyze the study is correlational quantitative. Certains teenagers who are undergoing their love story ,with the amount of 206 at the age of 19 to 24 are the subject of this study. The method used in subject choosing is sconvenience method. The scale which is used to measure off adolescent power distance is the adapted Personal Cultural Orientations. Whereas, the scale which is used to find out the sexual behavior is made by survey methods. The analysis used in this study is spearman rho correlational hypothesis test. The result of the study stated that there is no significant relation between power distance and forms of sexual behavior (r = - 0,106 , p = 0,128). Beside that, this study also stated that the relation between power distance and intensity of sexual behavior is negative and insignificant (r = - 0,066 , p = 0,347).
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang luar biasa saya panjatkan kepasa Tuhan Yesus Kristus
yang selalu mendampingi saya dalam penegrjaan skripsi, memberi kesabaran dan
ketabahan ketika saya merasa lelah selama masa pengerjaan karena adanya
berbagai tantangan dan halangan. Terima kasih juga atas kekuatan yang sudah
diberikan sehingga mampu mengatasi tantangan dan melalui setiap halangan yang
saya hadapi serta menuntun saya dalam pengerjaan skripsi. Tanpa-Nya, saya
mungkin sudah menyerah atau mungkin tidak akan mampu menyelesaikan skripsi
ini karena banyaknya hambatan baik dari diri saya maupun banyaknya godaan
dari luar. Ketika saya sudah mulai menyerah dalam pengerjaan, Engkau
mengingatkan kembali akan tugas dan tanggung jawab ini sebagai salah satu cara
untuk membahagiakan kedua orang tua saya serta membuktikan kepada diri
sendiri dan orang tua akan kemampuan diri.
Rasa terima kasih yang sangat besar saya ucapkan kepada keluarga saya,
papa, mama dan kakak dalam pengerjaan dan penyelesaian skripsi. Kata maaf
saya ucapkan karena tidak mampu menyelesaikan secepat yang diinginkan
keluarga namun rasa terima kasih yang besar ini saya ucapkan karena kesabaran
papa, mama, dan kakak yang sudah memberi motivasi dan terus mengingatkan
saya betapa banyak pelajaran positif dari berbagai hal yang saya alami selama
pengerjaan skripsi ini. Kepada papa, terima kasih untuk motivasi yang diberikan
dalam bentuk yang belum saya ketahui pada awalnya, kini saya memahami hal
xi
Kepada mama, saya ucapkan rasa terima kasih atas kesabarannya untuk
mendengarkan keluh kesah saya selama satu tahun ini untuk menyelesaikan
skripsi ini, dan untuk kakak saya yang sudah menjadi teman dan pendengar serta
menjadi seorang yang selalu mendorong saya untuk melihat lebih jauh bahwa
pekerjaan yang saya anggap sebagai hambatan dan halangan dalam pengerjaan
skripsi adalah pengalaman berharga untuk masa depan.
Saya ucapkan terima kasih Kepada jajaran jajaran dekanat, Bapak Dr. T.
Priyo Widiyanto, M. Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi, kepada Bapak P. Eddy
Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi Faskultas Psikologi, dan Ibu
Passchedona Henrietta Puji Astuti Dian Sabbati S.Psi, M.A., selaku Wakil Kepala
Program Studi Fakultas Psikologi. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing
Akademik saya selama ini, Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si.
Terima kasih juga saya ucapkan untuk bapak C. Siswa Widyatmoko,
M.Psi yang telah bersabar dalam membantu saya menyelesaikan skripsi ini mulai
dari memberikan pertimbangan judul yang sesuai dengan topik yang saya
inginkan sampai pada akhir skripsi hingga akhirnya dapat saya selesaikan. Terima
kasih atas nasehat, ketenangan dan saran dari bapak selama saya menghadapi
skripsi yang penuh dengan kecemasan dan kepanikan.
Terima kasih juga saya ucapkan untuk dosen lain yang sudah membantu
saya dalam menyelesaikan skripsi saya Romo Dr. A. Priyono Marwan, SJ, Bapak
Prof. A. Supratiknya, Bapak Agung Santoso M.A. Terima kasih atas semua ilmu
xii
Rasa terima kasih yang paling besar saya ucapkan untuk I Made Bayu Gunawan
yang sudah membantu saya layaknya dosen pembimbing, mendengarkan keluh
kesah, memberikan saran serta membantu ketika saya kesulitan menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih atas waktu, tenaga dan kesabarannya terutama ketika
saya mengalami kepanikan.
Terima kasih pula saya ucapkan untuk Melati Maharani, Ade Tri Ayu
Sakona, Andhika Oktafaria, Stephanus Tan, Cakasana Peduk, Tahia Azira,
Nabiella Piguna, Cynthia Budiarti, Rizky Anugrah, Deyla Prajna dan semua
teman-teman Starbucks Empire XXI, terima kasih untuk segala bantuan, doa,
dorongannya dalam menyelesaikan skripsi ini dalam jadwal kerja yang padat
karena banyaknya promo namun sedikitnya partner. Terima kasih untuk MAP
terutama Starbucks atas pengalaman selama 14 bulan yang sempat menghambat
skripsi ini, namun pengalaman yang saya dapatkan tidak dapat terganti dan
semoga apa yang saya dapatkan selama 14 bulan dapat membantu saya ke
depannya dalam meraih apa yang saya inginkan. Untuk Strabuck empire XXI,
terima kasih atas kenyamanan tempat yang mampu membuat saya menyelesaikan
skripsi ini sampai berjam-jam .
Rasa terima kasih yang besar juga saya berikan untuk Bernadeth Bellanita
Astri dan Brigitta Ajeng Hilarysa Pramesti yang sudah memberikan saran dan
bantuan serta dorongan dalam jatuh bangun mnyelesaikan skripsi karena adanya
berbagai halangan yang muncul. Terima kasih selalu ada dan menyiapkan diri dan
telingan dalam mendengarkan berbagai keluh kesah.
xiii
Benedictus Febriyanto, yang sudah menemani dan memberikan pengalaman
berharga dengan cara yang jauh dari yang saya pikirkan. Mungkin bukan cara
yang menyenangkan namun terima kasih atas segala bantuan dan dorongannya
beberapa bulan terahir ini sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan.
Terima kasih untuk teman-teman “kontrakan hijau”, Robert Ryan Haryogi,
Videlia Dipna, Rara, Deni Priambodo, Rizza Chandra, Reinard, Galih, dan Agus
Mega yang sudah membantu saya, memberikan tempat selama pengerjaan,
memberikan ide dan bantuan dalam menyusun skala. Terima kasih untuk group
angkatan SD Kanisius Demangan Baru, SMP Stella Duce 1, SMA Stella Duce 1,
Psikologi angkatan 2012 yang sudah banyak membantu dalam mengisi skala.
Terima kasih untuk Erlin, Narisaa, Zelda, Wenita, Intan, Teteh, Bella,
Gung Is, Reka, Agatha, Melan, Tiara, dan semua teman-teman yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua bantuan, dorongan dan
semua hal yang sudah kalian lakukan dalam membantu saya menyelesaikan
skripsi ini. Terus berjuang bagi teman-teman yang sudah lulus karena perjuangan
belum selesai hanya sampai lulus saja karena pengalaman selanjutnya bisa
mnejadi hal yang lebih berat dari yang kita pikirkan. Untuk teman-teman yang
masih bejruang, semangat, jangan berkecil hati karena banyak yang sudah
mendahului karena semua ada hal positifnya.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman yang jauh
disana, Bimo, Niko, Mellisa, Adhi, mereka yang selalu mendukung, membantu,
dna mendengarkan segala cerita dan keluh kesah selama pengerjaan skripsi.
xiv
kasih atas dukungannya baik secara emosional maupun fisik dengan membantu
pengerjaan skala.
Akhir kata saya berharap skripsi ini dapat menjadi berguna bagi semua
kalangan. Skripsi ini memang maish jauh dari sempurna dan masih terdapat
banyak kekurangan, namun saya sudah melakukan yang terbaik dalam
penyelesaian skripsi ini. Maka, dengan segala kerendahan hati saya memohon
saran dan kritik agar skripsi ini menjadi lebih sempurna di kemudian hari.
Yogyakarta, 15 Mei 2017
Peneliti
xv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAM PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
DAFTAR GAMBAR ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
xvi
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Teoritis ... 9
2. Manfaat Praktis ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. Dimensi Budaya ... 10
1. Definisi Dimensi Budaya ... 10
2. Macam Dimensi Budaya ... 12
3. Karakteristik Dimensi Budaya ... 14
4. Dampak Dimensi Budaya ... 18
B. Perilaku Seksual ... 20
1. Definisi Perilaku Seksual ... 20
2. Bentuk Perilaku Seksual ... 22
3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual ... 26
C. Remaja ... 28
1. Definisi Remaja ... 28
2. Tahap Perkembangan Remaja ... 30
3. Remaja dan Perilaku Seksual ... 31
4. Remaja dan Relasi Romantis ... 33
D. Hubungan Antar Variabel ... 34
xvii
F. Hipotesis ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
B. Identifikasi Variabel ... 41
C. Definisi Operasional ... 41
D. Subyek Penelitian ... 42
E. Prosedur Penelitian ... 43
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 44
1. Metode ... 44
2. Alat Pengumpulan Data ... 44
G. Validitas dan Reliabilitas ... 48
1. Validitas Skala ... 48
2. Reliabilitas Skala ... 51
H. Metode Analisis Data ... 52
I. Teknik Analisis Data ... 53
1. Uji Asumsi ... 53
2. Uji Hipotesis ... 54
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 56
A. Persiapan Penelitian ... 56
xviii
C. Deskripsi Subyek Penelitian ... 58
D. Deskripsi penelitian ... 60
E. Hasil Penelitian ... 61
1. Uji Normalitas ... 61
2. Uji Linearitas ... 65
3. Uji Hipotesis ... 67
4. Analisis Tambahan ... 69
F. Pembahasan ... 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Keterbatasan Penelitian ... 78
B. Kesimpulan ... 79
C. Saran ... 79
1. Bagi Orang Tua ... 79
2. Bagi Remaja ... 80
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 81
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Daftar Pernyataan Skala Power Distance ... 45
Tabel 3.2 Bobot nilai item perilaku seksual ... 47
Table 4.1 Tabel Deskripsi Rentang Usia ... 59
Tabel 4.2 Tabel Deskripsi Agama ... 59
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Deskripsi Power Distance ... 60
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Deskripsi Perilaku Seksual ... 61
Tabel 4.5 Uji Normalitas Power Distance ... 63
Tabel 4.6 Uji Normalitas Perilaku Seksual ... 65
Tabel 4.7 Uji Linearitas ... 67
Tabel 4.8 Uji Hipotesis Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual ... 68
Tabel 4.9 Pengelompokkan Data Intensitas Perilaku Seksual ... 69
Tabel 4.10 Tabel Persebaran Intensitas Perilaku Seksual ... 70
xx
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Informed Consent ... 88
LAMPIRAN 2. Skala Penelitian ... 89
LAMPIRAN 3. Reliabilitas Skala ... 92
LAMPIRAN 4. Uji Normalitas ... 93
LAMPIRAN 5. Uji Linearitas Skala Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual ... 94
LAMPIRAN 6. Uji Korelasi Skala Power Distance dan Bentuk Perilaku Seksual ... 94
xxi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema ... 39
Gambar 4.1 Histogram Uji Normalitas Power Distance ... 62
Gambar 4.2 Histogram Uji Normalitas Perilaku Seksual ... 64
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa transisi seorang individu dari anak-anak
menuju dewasa. Pada masa remaja ini seorang individu mengalami pubertas
yang ditandai dengan kematangan organ seksual dan meningkatnya hormon
secara biologis sehingga mendorong remaja untuk tertarik dengan orang lain,
umumnya lawan jenis, dan mendorong remaja melakukan perilaku seksual
(Steinberg, 2002). Selain perubahan hormon, masa remaja identik dengan
beberapa tugas perkembangan seperti pemilihan pasangan hidup. Dalam
pemilihan pasangan, seorang remaja akan mengalami relasi romantis atau
berkencan.
Relasi romantis atau berkencan merupakan tahap awal seorang remaja
dalam pemilihan pasangan dan merupakan dampak dari pubertas serta
perkembangan hormon biologis (Sullivan, 1953, dalam Steinberg, 2002).
Dalam menjalin relasi romantis, seorang remaja memiliki 3 bentuk relasi
romantis dan diikuti oleh usia remaja itu sendiri. Pada masa remaja awal,
perilaku berkencan masih dilakukan dalam kelompok. Pada masa remaja
tengah, perilaku berkencan sudah dilakukan secara pribadi namun juga
terkadang masih dilakukan dalam kelompok. Pada masa remaja akhir, relasi
romantis sudah berada pada tahap yang lebih serius dan berkencan sudah
jarang dilakukan dalam kelompok (Connolly and McIsaac, 2009, dalam
Dalam menjalin relasi romantis, terdapat berbagai bentuk kegiatan yang
dilakukan seperti misalnya, jika remaja cenderung berkencan dalam
kelompok maka mereka akan melakukan kegiatan yang dapat dilakukan
bersama seperti menonton film. Begitu juga jika melihat pada perilaku
berkencan yang dilakukan secara pribadi, tidak dalam kelompok. Berbagai
bentuk kegiatan dapat dilakukan seperti misalnya makan malam bersama.
Berbagai kegiatan yang dilakukan selama berkencan ini dianggap sebagai
ungkapan dari rasa cinta yang dirasakan pada pasangan, namun kemudian hal
ini juga dijadikan alasan pada perilaku seksual yang dilakukan pada remaja.
Selain itu, meningkatnya perilaku seksual pada remaja juga menjadi bukti
bahwa perilaku seksual sudah banyak dilakukan oleh remaja. Hurlock (2003)
mengungkapkan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk
ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta.
Perilaku seksual itu sendiri merupakan segala bentuk perilaku yang
didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan
sesama jenis (Sarwono, 2008). Pada masa remaja, perilaku seksual menjadi
sesuatu yang mungkin karena adanya perkembangan hormon sehingga dapat
mendorong ketertarikan dan keinginan seksual pada remaja. Selain itu,
perilaku seksual yang dilakukan pada remaja juga dapat terjadi karena hal-hal
dari luar itu sendiri. Soetjiningsih (2008) mengemukakan, perilaku seksual
pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat
seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka
dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Adapun faktor eksternal yang
dapat mempengaruhi perilaku seksual pada remaja seperti pengetahuan terkait
seksual, meningkatnya libido seksual, media informasi, norma agama, orang
tua, dan pergaulan yang semakin bebas (Sarwono, 2008).
Terdapat berbagai bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja,
baik dari bentuk perilaku seksual yang ringan dan umum dilakukan oleh
remaja itu seperti berpegangan tangan, sampai bentuk perilaku seksual yang
berat dan beresiko seperti senggama (L’engle et.al. 2005, dalam
Tjiptaningrum, 2009). Walau termasuk dalam kategori berat, bentuk perilaku
seksual beresiko sendiri sudah banyak dilakukan oleh remaja terutama di
sekitar peneliti. Remaja yang melakukan senggama dengan pasangannya
memberikan beberapa alasan bahwa mereka melakukan hal tersebut sebagai
bentuk ungkapan rasa cinta dan keinginan sepenuhnya dari masing-masing
individu. Walau begitu, terdapat alasan yang menyatakan bahwa perilaku ini
dilakukan karena terpaksa dan sebagai bentuk kepatuhan terhadap
pasangannya karena mereka merasa bahwa pasangannya memiliki kuasa.
Selain itu, beberapa remaja juga menyatakan bahwa ia melakukan senggama
karena takut mengecewakan pasangannya atau dituduh tidak cinta jika ia
tidak ingin melakukan hal tersebut. Beberapa alasan yang menggambarkan
keterpaksaan karena adanya individu yang lebih memiliki kuasa
menunjukkan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual
Strata yang terdapat dalam pergaulan remaja merupakan hal yang
banyak ditemui di masyarakat. Adanya sosok atau individu yang memiliki
kuasa cenderung lebih tinggi dapat ditemukan dalam keluarga seperti anak
dan orang tua, dalam masyarakat yang lebih luas dimana adanya tokoh-tokoh
agama, aparat, dan masyarakat, namun juga dapat ditemukan antar individu
sendiri seperti antar laki-laki dan perempuan dimana umumnya laki-laki
cenderung memiliki kuasa pada perilaku seksual yang dilakukan (Van
Devanter et al, 2011). Pandangan terkait dengan kuasa yang ada di
masyarakat dan penerimaan atas persebaran kekuasaan dalam masyarakat ini
terdapat pada budaya khususnya pada dimensi power distance. Munculnya budaya sebagai faktor pendorong perilaku seksual remaja didukung oleh
penelitian yang dilakukan Lakshmi, Gupta, and Kumar (2007) di India yang
menyebutkan bahwa sosial budaya merupakan faktor yang paling utama
terbentuknya perilaku seksual dibandingkan psikologis.
Power distance awalnya banyak ditemukan dalam istilah organisasi atau perusahaan, maka belum banyak penelitin sosial terkait dengan power distance. Namun saat ini power distance berkembang dan banyak diteliti dengan dikaitkan pada perilaku-perilaku sosial. Power distance merupakan suatu dimensi budaya yang berarti sejauh mana anggota yang kurang kuat
dari masyarakat menerima dan berharap bahwa kekuasaan didistribusikan
tidak merata (Hofstede, 2011). Dimensi ini merupakan dimensi yang
mencerminkan sejauh mana kelompok dari orang yang dianggap memiliki
menerima distribusi kekuasaan yang tidak adil dan tidak setara sebagai
sesuatu yang normal (Rinuastuti, et al, 2014). Masyarakat yang memiliki
tingkat power distance lebih tinggi akan menghargai status dan hierarki dalam masyarakat sedangkan masyarakat yang memiliki tingkat power distance rendah kurang menghargai status atau hirarki dalam masyarakat (Tsujimura 1987, dalam Richardson & Smith, 2007). Keadaan ini bisa
memberi dampak pada cara masyarakat bersikap dan berperilaku terhadap
orang-orang di sekitarnya. Masyarakat yang tinggal pada budaya yang
memiliki power distance yang tinggi memiliki berbagai cara untuk menghormati dan menghargai mereka yang berada pada status yang lebih
tinggi, sedangkan mereka yang memiliki status lebih tinggi cenderung dapat
berlaku semaunya tanpa memikirkan status ataupun keadaan yang dialami
orang tersebut.
Hasil penelitian di beberapa negara yang terdapat dalam itim internasional menyatakan adanya perbedaan tingkat power distance pada beberapa negara terutama negara dengan budaya timur dan barat. Dalam
penelitian tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki tingkat power distance sebesar 78 dan Amerika sebesar 40 angka. Hasil tersbeut menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
angka power distance cenderung tinggi sedangkan Amerika memiliki power ditsance yang cenderung rendah. Hal ini berarti Indonesia memiliki
masyarakat yang cenderung menerima distribusi kekuasaan dan menghargai
Indonesia, Amerika memiliki angka power distance yang rendah cenderung memiliki masyarakat yang kurang menerima adanya distribusi kekuasaan
sehingga tingkat penghargaan masyarakat Amerika pada orang-orang mereka
yang memiliki status lebih tinggi cenderung kurang.
Kedua jenis power distance memberikan dampak pada sikap dan perilaku seseorang. Dampak power distance yang cenderung tinggi pada sikap individu seperti misalnya, masyarakat yang memiliki power distance tinggi cenderung kaku dan kurang terbuka pada hal di sekitarnya. Sebaliknya,
masyarakat yang memiliki power distance rendah cenderung fleksibel dan terbuka (Santili dan Miller, 2011). Masyarakat dengan power distance tinggi cenderung lebih taat dengan norma masyarakat karena norma budaya yang
masih kuat dan kurang mau menerima hal-hal baru dari luar. Sebaliknya,
masyarakat dengan power distance rendah cenderung memiliki norma budaya
yang lebih longgar sehingga masayrakatnya lebih menerima budaya dari luar
yang masuk. Selain itu dampak power distance terhadap perilaku juga dapat
dilihat dalam sebuah keluarga dan kehidupan sehari-hari dimana setiap
individunya tidak dapat mengekspresikan emosinya secara bebas (Smith &
Bond 1993, dalam Ubilos, 2000). Berbeda dengan mereka yang memiliki
power distance yang cenderung rendah, maka individu akan lebih mudah mengekspresikan emosi karena ekspresi emosi merupakan memberi dampak
pada rendahnya perbedaan yang ada (Basabe et al., 1999, dalam Ubilos,
Perbedan perilaku dari kedua jenis power distance juga terlihat dari cara berkomunikasi antar tingkat hirarki. Masyarakat dengan power distance rendah memiliki bentuk komunikasi yang cenderung sama antara individu.
Mereka tidak membedakan bentuk komunikasi yang digunakan karena
menganggap semua individu berada pada status yang sama. Berbeda dengan
masyarakat dengan power distance tinggi berkomunikasi dengan memperlihatkan status kekuatan yang ia miliki. Individu dengan status
kekuasaan yang lebih cenderung menonjolkan dirinya dan mereka yang
memiliki kekuatan. (Santili & Miller, 2011)
Jenis power distance tinggi dan rendah juga memberikan dampak pada
beberapa perilaku khusus seperti misalnya perilaku seksual. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Ubilos (2000) terkait dengan budaya dan perilaku
seksual, power distance, sebagai bagian dari dimensi budaya, memberikan
pengaruh pada perilaku seksual yang dilakukan pada subjek penelitian
tersebut lebih khususnya terkait dengan intensitas perilaku seksual. Selain itu,
penelitian yang dilakukan Lakshmi, Gupta, and Kumar (2007) di India terkait
dengan budaya dan perilaku seksual menunjukkan 6 dari 257 subjek sudah
melakukan senggama dan 34 dari 257 subjek sudah melakukan kontak fisik
lainnya. Rendahnya perilaku seksual pada remaja di India dipengaruhi oleh
ketaatan pada norma masyarakat yang menjadis alah satu karakteristik
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara tersebut
dapat disimpulkan bahwa power distance memberikan dampak pada perilaku
seksual dimana masyarakat dengan power distance tinggi memiliki bentuk dan intensitas perilaku seksual yang rendah. Sebaliknya, mereka yang
memiliki power distance rendah cenderung memiliki bentuk dan intensitas perilaku seksual tinggi walaupun hubungan keduanya cenderung lemah
karena masih kurangnya penelitian terkait power distance dan perilaku seksual. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia
khususnya pada remaja.
Belum adanya penelitian terkait power distance dan perilaku seksual remaja di Indonesia membuat peneliti ingin melihat hubungan kedua variabel
tersebut pada remaja khususnya di Indonesia. Keinginan ini juga diperkuat
dengan adanya alasan dari beberapa remaja di sekitar peneliti yang
menyatakan bahwa mereka terpaksa melakukan perilaku seksual dengan
pasangan karena takut mengecewakan dan takut dituduh tidak mencintai
pasangan dimana. Kedua alasan tersebut merupakan gambaran keterpaksaan
dalam melakukan perilaku seksual serta menunjukkan jarak kekuasaan atau
strata yang ada pada remaja, sehingga peneliti melakukan penelitian dengan
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan negatif antara power distance dan perilaku seksual pada remaja?
C. Tujuan Penelitian
1. Melihat ada tidaknya hubungan negatif antara power distance dan
perilaku seksual pada remaja .
2. Menjelaskan hubungan antara power distance dan perilaku seksual pada
remaja.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Mengembangkan ilmu psikologi khususnya remaja, budaya,
dan perilaku seksual untuk mengurangi angka perilaku seksual
pranikah pada remaja serta resikonya.
b. Menambah informasi terkait budaya dan perilaku seksual pranikah
pada remaja.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dhrapakan dapat membeirkan gambaran yang
sebernarnya terkait hubungan power distance dan perilaku seksual
pada remaja di Indonesia khususnya pada remaja akhir
b. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dalam memberikan
pengetahuan serta mengawasi perilaku pada khususnya perilaku
10 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Dimensi Budaya
1. Definisi Dimensi Budaya
Budaya berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal yang
dikaitkan dengan akal, budi dan pikiran manusia. Budaya merupakan
cara ataupun gaya hidup suatu kelompok masyarakat yang diputuskan
secara bersama-sama. Hal ini terdiri dari pola dan cara berpikir,
merasakan dan bersikap yang menjadi ciri khas tersendiri dari suatu
masyarakat (Harris, dalam Birukou et al., 2009). Selain itu, Valentini
(2005) menyatakan bahwa budaya adalah tempat keyakinan,
pengetahuan, makna, hirarki, agama, waktu, peran, pandangan dunia,
benda fisik dan harta yang diperoleh dan dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat.
Dalam KBBI, dimensi merupakan segi ilmu yang dapat dijadikan
tinjauan ilmiah. Beradasarkan kedua hal ini, dimensi budaya dapat
dikatakan sebagai segi ilmu yang dapat dijadikan tinjauan ilmiah terkait
dengan suatu sistem dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang ada di
pikiran anggota masyarakat. Dimensi budaya berlaku secara global dan
tercermin dalam setiap aspek kehidupan serta memberikan penagruh
Hofstede (1991, dalam Rinuastuti 2014) melihat budaya sebagai
suatu pemrograman kolektif pikiran yang membedakan anggota satu
kelompok atau kategori orang dari orang lain. Dalam budaya tersebut,
Hofstede membaginya menjadi enam dimensi budaya nasional. Keenam
dimensi tersebut didasarkan pada penelitian yang luas dilakukan oleh
Profesor Geert Hofstede, Gert Jan Hofstede, Michael Minkov beserta tim
peneliti.
Banyak orang melihat bahwa budaya berasal dari luar dan bukan
hal yang berasal dari dalam diri individu sehingga hal ini mempengaruhi
cara berpikir, merasa dan berperilaku pada seseorang (Berry et al., 1992;
Segall et al., 1990, dalam Matsumoto, 2001). Anggapan dan pandangan
tersebut berbeda dengan pernyataan bahwa psikolog atau orang yang
mempelajari psikologi lebih melihat bahwa budaya berasal dari dalam
diri individu (Fiske et, al. 1998 dalam Matsumoto, 2001). Budaya
merupakan suatu hal yang mendasar dan dimiliki secara alami oleh
individu serta menentukan bagaiaman seorang individu berfikir,
berperilaku, merasa, dan berinteraksi dengan realita. (Shweder, 1991).
Individu melakukan segala hal berdasarkan budaya yang dimiliki secara
degeneratif dan kreatif (Bandura, 1997; Harre ́ , 1999; Kim, 1999, dalam
Matsumoto, 2001).
2. Macam Dimensi Budaya
Hofstede memiliki 5 dimensi budaya berdasar pada penelitian
besar yang dilakukan sebelumnya (Hofstede, 2001). Kemudian,
penelitian yang dilakukan oleh Michael Minkov (2007) dengan
menggunakan data yang didapatkan dari World Value Survey
memungkinkan adanya perhitungan baru dari lima, dimensi menjadi
enam dimensi (Hofstede 2011). Adapun keenam dimensi tersebut adalah:
a. Power distance
Dimensi ini terkait dengan perbedaan solusi pada masalah
mendasar terkait dengan ketidaksetaraan manusia (Hofstede, 2011).
Dimensi ini merupakan suatu dimensi budaya yang mencerminkan
sejauh mana kelompok orang-orang yang lemah (memiliki daya
yang lebih kecil) dalam suatu budaya untuk menerima ketidakadilan
dan ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan sebagai situasi yang
normal (Rinuastuti, et al, 2014). Distribusi kekuasaan dalam
masyarakat memang tidak sama, namun beberapa daerah memiliki
kesenjangan distribusi kekuasaan yang cukup tinggi. (Hofstede,
2011)
b. Uncertainty Aviodance
Dimensi ini terkait dengan tingkat stres pada masyarakat
dalam menghadapi masa depan yang tidak diketahui (Hofstede,
2011). Dimensi ini mencerminkan sejauh mana seseorang yang
situasi yang tidak pasti, dalam arti tidak jelas dan tidak dapat
diprediksi (Rinuastuti, et al, 2014).
c. Individualism vs Collectivism
Dimensi ini mencerminkan sejauh mana individu
mementingkan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan
keluarga dan kepentingan sosial lainnya, atau sejauh mana seseorang
dalam suatu negara lebih memilih untuk bertindak terkait dengan
dirinya sendiri dan bukan sebagai anggota dari kelompok masyarakat
dalam negara tersebut. (Rinuastuti, et al, 2014).
d. Masculinity vs Femininity
Masculinity dan feminity merupakan dimensi yang terkait dengan pembagian peran emosional antara perempuan dan laki-laki
(Hofstede, 2011).
e. Long Term vs Short Term Orientation,
Dimensi ini melihat pada sejauh mana budaya memiliki sudut
pandang pragmatis jangka panjang atau orientasi sejarah jangka
pendek. (Rinuastuti, et al, 2014).
f. Indulgence vs Restraint,
Dimensi ini terkait dengan kontrol pada keinginan mendasar
yang ada pada manusia terkait dengan menikmati hidup seperti
Berdasarkan dimensi budaya tersebut, terdapat enam
dimensi budaya yaitu power distance, uncertainty acoidance, collectivism vs individualism, masculinity vs feminity, long Term vs Short Term Orientation, indulgence vs restraint. Dari keenam dimensi budaya tersebut, dimensi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dimensi power distance karena sesuai dengan keadaan remaja di sekitar peneliti terkait dengan alasan remaja dalam
melakukan perilaku seksual yang cenderung menunjukkan adanya
kekuatan dari satu pihak.
Power distance sebagai bagian dari budaya juga merupakan suatu hal yang berasal dari dalam diri dan bukan dari luar. Power distance, sebagai bagian dari budaya budaya, dapat menentukan cara seseorang dalam berpikir, merasakan, berperilaku serta
berpikir realisistis (Matsumoto, 2001). Keadaan ini membuat
power distance mampu diperoleh dengan menggunakan analisis diri. Hal ini menjadi salah satu alasan penggunaan power distance
dalam penelitian ini.
3. Karakteristik Dimensi Budaya
a. Power Distance
Power distance terbagi atas 2 jenis yaitu power distance tinggi dan power distance rendah (Bialas, 2009). Terdapat beberapa
memiliki power distance yang tinggi memiliki beberapa karakteristik
yaitu lebih menolerir ketidaksamaan atau ketidaksetaraan, anggota
sebuah masyarakat setuju bahwa kekuasaan memang tidak
seharusnya dibagikan secara sama atau rata. Mereka yang berada
pada posisi atas atau tinggi pada suatu kekuasaan memiliki hal
istimewa dan dianggap benar, (Mead, 2003, dalam Bialas 2009). Di
sisi lain, budaya yang memiliki power distance yang rendah cenderung memiliki karakteristik seperti lebih tidak toleran pada
ketidaksetaraan, hal istimewa merupakan suatu hal atau posisi yang
kurang bisa diterima oleh masyarakat, kemerdekaan dianggap lebih
penting dan utama dibandingkan kesesuaian atau kepatuhan (Mead,
2003, dalam Bialas 2009).
Selain itu, power distance juga mempengaruhi bagaimana seseorang mengungkapkan emosi. Mereka yang memiliki power distance yang cenderung tinggi cenderung kurang mampu mengungkapkan dan mengekspresikan emosi karena akan dianggap
kurang menghormati (Basabe et al., 1993, dalam Ubilos 2012).
Kurangnya kemampuan mereka dalam menunjukkan emosi yang
dirasakan membuat mereka cenderung kaku dan kurang terbuka
(Santili & Miller, 2011). Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang
dilakukan Richarson & Smith (2007) terkait dengan pemilihan media
emosi yang dirasakan terhadap individu lain dengan status lebih
tinggi. Di sisi lain, individu yang memiliki power distance rendah cenderung lebih mudah mengungkapkan dan mengekspresikan
emosi yang dirasakan (Basabe et al, 1993, dalam Ubilos 2012).
Kemudahan dalam menujukkan emosi yang dirasakan membuat
individu pada power distance yang rendah menjadi lebih fleksibel dan terbuka (Santili & Miller, 2011).
b. Individualism vs Collectivism
Mereka yang memiliki budaya invidualism cenderung mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan
bersama (Rinuastuti, et al, 2014). Selain itu, mereka yang tinggal
dalam budaya ini cenderung menghargai konflik terbuka dan logika
linier. Dalam budaya ini, persaingan daripada kerjasama didorong,
inisiatif individu dan prestasi ditekankan, dan pengambilan
keputusan individu dihargai (Samovar dan Porter, 2004). Pada
budaya ini, individu fokus pada prestasi mereka sendiri dan tujuan
pribadi bukan pada kelompok. Mereka terlihat inovatif, memiliki
waktu pribadi yang bernilai dan bebas, sedangkan pada budaya yang
cenderung kolektivis, individunya cenderung lebih suka loyalitas dan
keberhasilan kelompok pada keuntungan masing-masing
c. Uncertainty Avoidance
Individu yang memiliki uncertainty avoidance yang lemah cenderung memiliki tingkat stres dan kecemasan yang rendah,
memiliki kontrol diri yang baik, lebih toleransi dengan ide orang
orang lain, serta memiliki kesehatan diri yang baik. Di sisi lain,
mereka yang memiliki uncertainty avoidance yang kuat cenderung memiliki tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, kesehatan diri
yang rendah, lebih emosional, lebih membutuhkan kejelasan dan
struktur dalam kehidupannya (Hofstede, 2011).
d. Masculine vs feminine
Individu yang condong pada dimensi maskulin cenderung
emosional, mengutamakan pekerjaan, memiliki anggapan bahwa
laki-laki lebih cenderung melihat realita dan perempuan perasaan,
penentu dalam keluarga. Sedangkan feminity cenderung pemerhati, simpati, memiliki anggapan bahwa baik laki-laki maupun perempuan
harus melihat realita dan perasaan (Hofstede, 2011).
e. Long term orientation vs short term orientation
Mereka yang memiliki short-term orientation cenderung peribadi yang stabil, memiliki anggapan bahwa ada acuan akan
sesuatu yang baik dan buruk, sedangkan mereka yang memiliki
disesuaikan dengan keadaan atau realita (Handayani Rinuastuti, et
al, 2014).
f. Indulgence vs Restraint,
Indulgence lebih mengarah pada kesenangan dan pemuasan atas keinginan individu yang relatif bebas dan cenderung
bersenang-senang, sedangkan restraint lebih mengarah pada pembatasan atas keinginan individu yang di kontrol melalui norma-norma yang ketat
(Hofstede, 2011).
Berdasarkan teori di atas, dapat dikatakan bahwa setiap
dimensi memiliki kerateristiknya masing-masing. dalam penelitian
ini peneliti menggunakan power distance sebagai variabel penelitian
dengan alasan kesesuaian dengan realita yang dihadapi peneliti
sehingga dalam penelitian ini karakteristik yang digunakan adalah
karakteristik dari power distance.
4. Dampak Dimensi Budaya
Dimensi budaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dimensi power distance. Dalam kehidupan sosial, power distance memberikan dampak yang sangat berarti pada beberapa aspek kehidupan
yaitu :
a. Sikap
Jepang merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki
oleh Richardson dasn Smith (2007), power distance index yang dicapai oleh Jepang berada di bawah rata-rata. Jepang merupakan
negara yang menjunjung tinggi norma dan hirarki dalam kehidupan
sosial. Masyarakat Jepang sangat mengharga adanya hirarki sosial
dan norma yang berlaku di masyarakat. Mereka percaya dan
memiliki berbagai cara untuk menunjukkan rasa hormatnya pada
individu yanng memiliki tingkatan atau status yang lebih tinggi. Di
sisi lain, Amerika lebih menerima persamaan dalam bersikap dengan
masyarakat sekitar dan kurang memandang adanya hirarki (Page
dan Wiseman, 1993, dalam Richardson and Smith, 2007)
Selain itu, power distance pada seseorang juga mempengaruhi individu dalam bersikap. Mereka yang memiliki
power distance yang tinggi memiliki sikap yang tertutup dan kaku. Hal ini banyak terjadi pada individu yang memiliki tingkat lebih
rendah terhadap individu dengan tingkatan yang lebih tinggi (Santili
& Miller, 2011).
b. Perilaku
Perilaku seseorang merupakan suatu perbuatan atau wujud
dari sikap yang dimilikinya. Penelitian Ricahardson dan Smith
(2007) terkait dengan pemilihan media komunikasi, menjelaskan
dalam penelitiannya bahwa masyarakat Jepang memiliki sikap
tinggi adapun perilaku ini dapat dilihat di bidang pendidikan seperti
misalnya dalam menunjukkan rasa hormat pada gurunya, para murid
di Jepang memiliki ekspresi dan kata-kata khusus terhadap mereka
yang dianggap lebih “tinggi” yaitu guru dengan cara mempehatikan
dan bertanya apabila ada penjelasan yang kurang dapat ditangkap. Di
sisi lain, maysrakat di Amerika dapat memberikan respon dalam
bentuk verbal maupun non verbal secara langsung kepada guru. Hal
ini menunjukkan adanya kebebasan dalam mengungkapkan emosi.
(Page and Wiseman, 1993, dalam Richardson and Smith, 2007)
Ekspresi dan kata-kata khusus yang ditunjukkan merupakan
contoh perilaku seseorang dari sikap kaku dan tertutup yang dimiliki
pada individu yang memiliki power distance yang cenderung tinggi.
Sebaliknya, individu yang lebih terbuka dan mampu menunjukkan
emosi yang dirasakan merupakan perwujudan dari sikap terbuka dan
fleksibel pada individu dengan power distance yang cenderung
tinggi. (Santili and Miller, 2011)
B. Perilaku Seksual
1. Definisi Perilaku Seksual
Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan
sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Skinner (2001, dalam Notoatmodjo, 2007), mengatakan
stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi
melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “
S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon. Bentuk reaksi atau respon
terhadap suatu rangsangan juga berbeda-beda. Bicard & David (2012)
mengatakan bahwa perilaku adalah sesuatu yang dilakukan seseorang
yang dapat diamati, diukur dan berulang-ulang.
Kata “seks” berasal dari bahasa latin yang berarti “membagi” dan
menandai atau menunjukkan suatu kategori dari laki-laki dan perempuan
(Rathus, Nevid, & Fichnes-Rathus, 2008). Salah satu cara memperhalus
kata seks, sering digunakan istilah seksualitas. Seksualitas adalah
pengalaman dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan,
kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan
(Rathus, Nevid, & Fichnes-Rathus, 2008). Seksual menurut WHO berarti
suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas
dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan
dan reproduksi. seseorang karena adanya rangsangan yang terkait dengan
jenis kelamin.
Sarwono (2008) mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan
segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan
jenis maupun dengan individu yang sesama jenis. Bentuk perilaku
seksual pun dapat terlihat dari bentuk perilaku seksual yang termasuk
orang lain, khayalan maupun dirinya sendiri. Perilaku seksual menurut
Notoatmodjo (2007) adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya. Perilaku seksual pada remaja terjadi
sebagai dorongan yang datang dari tekanan-tekanan sosial terutama dari
minat dan keingintahuan remaja tentang seksual tersebut (Hurlock,
2003).
Dari beberapa definisi perilaku seksual yang diungkapkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk tindakan
yang dilakukan individu terkait dengan seks atau jenis kelamin karena
adanya tekanan atau dorongan baik dari dalam maupun luar diri individu.
2. Bentuk Perilaku Seksual
Terdapat berbagai bentuk perilaku seksual yang dapat
dikategorikan dalam berbagai bentuk. Dalam penelitian ini, peneliti
mengambil teori terkait berbagai bentuk perilaku seksual dari L’engle
et.al., lalu mengkategorikan bentuk perilaku seksual berdasarkan bentuk
perilaku seksual yang dilakukan sendiri dan bentuk perilaku seksual yang
dilakukan dengan orang lain. Bentuk-bentuk perilaku seksual yang
tergolong dilakukan sendiri yaitu :
a. Menaksir / tertarik
Menurut KBBI, menaksir atau tertarik dapat diartikan sebagai
b. Mengkhayal
Purnawan (2004) mengatakan bahwa berkayal atau berfantasi
seksual merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan
aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan
erotisme. Fantasi seksual ini biasanya didapatkan individu dari
media atau objek yang dapat meningkatkan dorongan seksual.
c. Onani dan masturbasi
Onani dan masturbasi dalah perilaku merangsang organ
kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. (Purnawan, 2004).
Sedangkan untuk perilaku yang tergolong dilakukan dengan orang lain
yaitu :
d. Pergi Berkencan
Berkencan menurut KBBI dapat diartikan sebagai pergi
bersama ke suatu tempat dengan waktu yang sudah ditentukan. Hal
ini umumnya sudah ditentukan oleh kedua belah pihak.
e. Berpegangan tangan
Berpegangan tangan meliputi menggenggam dan
menggandeng. Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba
aktivitas yang lain (Purnawan, 2004). Rathus, Nevid, dan
berpelukan merupakan bentuk perilaku seksual yang sering
dilakukan remaja.
f. Berciuman ringan (kening, pipi)
Berciuman ringan atau disebut juga ciuman kering biasanya
dilakukan pada bagian tertentu yang tidak terlalu menimbulkan
rangsangan seksual seperti pipi, kening dan tangan.
g. Saling memeluk
Perilaku ini dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman dan
tenang dan dapat menimbulkan rangsangan seksual jika menyentuh
bagian yang sensitif (Purnawan, 2004). Berpelukan atau saling
memeluk meliputi memeluk dan merangkul.
h. Berciuman bibir/mulut dan lidah
Berciuman yang termasuk dalam kategori berat terdiri atas
beberapa jenis ciuman. Sarwono (2008) menyebutkan adanya kissing
dan necking sebagai beberapa bentuk perilaku seksual. Kissing merupakan berciuman yang dilakukan untuk menimbulkan
rangsangan. Ciuman seperti pada bibir umumnya disertai dengan
rabaan pada beberapa bagian sensitif yang dapat meningkatkan
rangsangan seksual. Adapun ciuman dapat dilakukan dengan bibir
tertutup seperti pada umunya. Menurut Rathus, Nevid, dan
Fichner-Rathus (2008) berciuman (kissing) dapat menjadi isyarat kasih
sayang tanpa makna erotik terhadap pasangan, keluarga, ataupun
memasukkan lidah ke dalam mulut pasangan atau deep kissing ataupun hanya sekedar menempelkan bibir pada bibir pasangan atau
simple kissing (Rathus, Nevid, & Fichner- Rathus, 2008). Namun dapat juga dilakukan dengan mulut dan bibir terbuka, menggunakan
lidah atau biasa disebut french kiss. Adapula necking yaitu berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan
pelukan yang lebih mendalam.
i. Meraba dan mencium bagian sensitif
Sarwono (2011) mengatakan bahwa meraba merupakan
aktivitas seksual dimana salah satu dari pasangan atau keduanya
meraba bagian payudara atau alat kelamin sebagai alat untuk
mendapatkan kepuasan tanpa bersenggama.
j. Menempelkan alat kelamin
Merupakan perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang
sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Perilaku ini merupakan
langkah yang lebih mendalam dari necking. Jenis perilaku ini termasuk merasakan dan mengusap-usap kemaluan, baik di dalam
atau di luar pakaian.
k. Oral seks
Merupakan aktivitas seksual dengan cara memasukan alat
l. Intercourse (senggama)
Merupakan aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin
laki-laki ke dalam alat kelamin wanita. (Purnawan, 2004). Sarwono
(2011) mengatakan bahwa intercourse adalah bersatunya dua orang
secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang
ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk
mendapatkan kepuasan seksual.
Berdasarkan teori di atas dapat dikatakan bahwa perilaku
seksual tergolong menjadi dua yaitu perilaku seksual yang dilakukan
sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain.
Bentuk perilaku seksual yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bentuk perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain sebagai
wujud interaksi.
3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual
Menurut Sarwono (2011) faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku seksual pada remaja adalah:
a. Pengetahuan
Reproduksi pada masa remaja semakin matang dan
berkembang. Pada masa ini sebaiknya remaja mendapat pengarahan
dari tua terkait kesehatan reproduksi, namun kurangnya pengarahan
dari orang tua dan sekitar terkait akibat dari perilaku seksual
diri dan melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahu
akibatnya
b. Meningkatnya Libido Seksual
Dengan munculnya pubertas dan kemangan secara biologis
pada diri seorang remaja, maka motivasi dan energy seksual juga
meningkat. Hal ini penting untuk mengisi peran sosial remaja dalam
masyarakat.
c. Media Informasi
Berkembangnya media informasi dengan adanya
kecanggihan teknologi dan internet membuat rangsangan seksual
meningkat. Remaja cenderung ingin coba-coba dan meniru apa yang
sudah dilihatnya terutama terkait hal-hal baru khususnya terkait
seksual yang belum diketahuinya secara lengkap.
d. Norma Agama
Norma yang ada pada agama tetap melarang adanya
hubungan seksual sebelum menikah. Pada masyarakat yang sifatnya
modern, larangan tersebut meningkat menjadi berciuman dan
masturbasi untuk menghindarkan remaja dari kecenderungan
melanggar norma tersebut.
e. Orang Tua
Sikap orang tua yang masih menabukan seks terhadap
membuat remaja menjadi kurang terbuka dan pengetahuan remaja
terhadap seksualitas menjadi berkurang.
f. Pergaulan Semakin Bebas
Faktor ini banyak terjadi di beberapa kota besar dimana
terdapat kebebasan pergaulan antar jenis kelamin. Jika pergaulan ini
tidak dipantau dengan baik oleh orang tua, maka kemungkinan
perilaku seksual yang terjadi akan semakin tinggi terutama di
kota-kota besar atau di daerah dengan pergaulan yang semkain bebas.
Selain itu, terdapat faktor lain yang dapat membentuk
perilaku seksual pada remaja yaitu budaya. Dikatakan dalam
beberapa penelitian bahwa budaya memberikan pengaruh pada
perilaku seksual seperti misanya penelitian Ounjit (2014) yang
mengungkapkan hasil bahwa terdapat berbagai bentuk perilaku
seksual yang dilakukan pada remaja di Thailand dikarenakan budaya
setempat yang sudah mulai memudar dan munculnya budaya baru.
C. Remaja
1. Definisi Remaja
Dalam masa perkembangan setiap indivudu melewati masa
remaja. Masa remaja sering pula disebut adolesensi (bahasa latin adolescere = adultus ; menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa) (Gunarsa, 2003). Menurut Papalia, Olds, Fieldman
kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12
atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua
puluhan tahun. Menurut Gunarsa (2003) remaja juga diartikan sebagai
manusia yang masih di dalam perkembangannya menuju kedewasaan
baik jasmani maupun psikisnya.
Adapun dalam masa perkembangannya, terdapat berbagai hal dari
diri individu yang ikut berkembang. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman
(2009), masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari
kanak-kanak menuju dewasa yang mengandung perubahan besar secara fisik,
kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Dari beberapa pendapat
mengenai remaja dan rentang usianya, dapat dikatakan masa remaja
merupakan transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju dewasa
serta mengalami perkembangan baik secara fisik, kognitif, psikososial,
otonomi, harga diri, dan keintiman. Hal ini diperkuat dengan oleh
pernyataan transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian
perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian
kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa
remaja adalah masa transisi individu dari anak-anak menuju dewasa
dengan berbagai perubahan baik secara fisik, kognitif, psikososial,
2. Tahap Perkembangan Remaja
Secara global masa remaja berlangsung antara usia 12-21 tahun,
namun beberapa ahli memiliki persepsi yang berbeda terkait rentang usia
remaja. Menurut Papalia Fieldman (2014), masa remaja adalah masa
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang
pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada
usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Hurlock (1990)
membagi masa remaja menjadi dua yaitu remaja awal pada rentang usia
13 hingga 16 atau 17 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 16 atau 17
tahun hingga 20 tahun. Gunarsa (2006) mengemukakan pendapatnya
tentang batas-batas usia anak, remaja dan dewasa bertitik tolak pada
batas usia remaja yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa
transisi antara masa anak -anak dan masa dewasa yakni antara 12-21
tahun. Monks (2002) berpendapat bahwa secara global masa remaja
berlangsung antara 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun
merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja
pertengahan, dan 18- 21 tahun merupakan masa remaja akhir.
Sedikit berbeda dengan beberapa ahli sebelumnya, WHO
membagi masa remaja menjadi dua yaitu masa remaja awal pada usia
10-14 tahun dan remaja akhir apda usia 15-20 tahun. Di Indonesia, batasan
remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia
15-24 tahun (Sarwono, 2008). Berdasarkan beberapa penjelasan di atas
tahun dan terdiri atas tiga tahap yaitu remaja awal, remaja madya, dan
remaja akhir.
Dalam penelitian ini peneliti menggunaka remaja dengan rentang
usia 19 sampai 24 tahun atau remaja akhir dengan pertimbangan
kematangan psikologis dan cara berpikir remaja ketika mengisi kuesioner
terutama kuesioner terkait perilaku seksual karena pernyataan yang
diberikan cukup terbuka.
3. Remaja dan Perilaku Seksual
Masa remaja merupakan masa transisi seorang individu yang
diikuti dengan adanya perubahan dan perkembangan baik secara fisik
maupun emosionl. Salah satu perkembangan dan perubahan individu
ditandai dengan adanya pubertas yaitu masa dimana organ reproduksi
pada manusia sudah matang yang ditandai dengan adanya menstruasi
pada perempuan dan mimpi basah pada laki. Pubertas terjadi pada
individu saat masuk pada tahap masa remaja awal. Berkembangnya
individu secara biologis bukan hanya dari organ seksual saja namun juga
hormon-hormon di dalam tubuh yang memungkinkan munculnya
dorongan seksual yang masih asing bagi remaja (McClintock and Herd,
1996, dalam Steinberg, 2002). Di masa remaja ini, konsentrasi
hormon-hormon tertentu dapat berkembang dramatis (Roa., et al, 2010, dalam
Santrock (2011) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa
eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual,
masa mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Remaja
memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak dipuaskan.
Mereka memikirkan segala sesuatunya terkait dengan seksual, baik
terkait dirinya maupun dengan orang lain. Pada keadaan seperti ini, orang
tua dibutuhkan untuk memberikan pengertian terkait perilaku seksual. Di
Indonesia, kurangnya pendampingan dari orang tua disebabkan karena
orang tua merasa tabu membicarakan masalah seksual dengan anaknya
dan hubungan orang tua anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke
sumber-sumber lain yang tidak akurat khususnya teman (Sarwono,
2011).
Mayoritas remaja dapat mengembangkan identitas seksual yang
matang, meskipun sebagian besar di antara mereka mengalami masa
yang rentan dan membingungkan (Santrock, 2011). Dalam
perkembangannya, remaja perlu menguasai perasaan seksual dan
membentuk rasa identitas seksual merupakan proses yang bersifat
multiaspek dan panjang (Diamond dan Savin-Williams, 2009, dalam
Santrock, 2011). Pengembangan identitas seksual ini mencakup
pengelolaan peran seksual, mengembangkan bentuk intimasi yang baru
serta keterampilan untuk mengolah tingkah laku seksual agar terhindar
dari hal yang tidak diinginkan. Mengembangkan identitas seksual bukan
faktor fisik, sosial, budaya, dan beberapa lingkungan masyarakat yang
memberi batasan pada perilaku seksual (Santrock, 2011)
Seorang remaja dikatakan sudah memiliki identitas seksual jika ia
mampu melihat diri sendiri sebagai wujud seksualitas, mengenali
orientasi sesual dirinya, datang dan berdamai dengan gejolak seksual,
dan membentuk kedekatan yang romantis atau seksual (Papalia and
Fieldman, 2014). Dalam menemukan identitas seksualnya, seorang
remaja memerlukan seorang yang dapat dijadikan tempat bertanya dan
tempat untuk mendapatkan informasi serta pengarahan sehingga tidak
melebihi batas norma dalam masyarakat.
4. Remaja dan Relasi Romantis
Hubungan romantis merupakan bagian pusat pada hampir semua
dunia sosial pada masa remaja (Papalia and Feldman, 2014). Relasi
romantis yang terjadi pada remaja merupakan bagian dari tugas
perkembangan yaitu pemilihan pasangan. Hal ini terjadi sebagai dampak
dari pubertas dan perkembangan biologis lain pada masa remaja.
Sullivan (1953, dalam Steinberg, 2002) mengatakan bahwa relasi
romantis yang terjadi pada remaja umumnya terjadi pada mereka yang
berada pada kelompok berlawanan jenis kelamin.
Relasi romantis yang terjadi pada remaja dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan (Connolly and McIsaac, 2009, dalam Santrock, 2011).
Tahap ini umumnya terjadi pada remaja awal dan masih dipicu oleh
pubertas awal sehingga remaja masih berkencan dalam cara
berkelompok. Tahap kedua adalah tahap dimana remaja mengeksplorasi
romantis yang banyak terjadi pada masa remaja tengah. Pada fase ini,
remaja cenderung sudah melakukan kencan biasa yang umumnya hanya
bertahan beberapa bulan tetapi juga terkadang masih melakukan kencan
dengan cara berkelompok. Pada fase ini sahabat juga masih sering
berperan sebagai fasilitator dari sebuah relasi. Pada tahap akhir remaja
cenderung mengkonsolidasi ketertarikan romantis antar dua orang
dengan ciri ikatan emosi yang makin kuat seperti pada orang dewasa.
Pacaran dan relasi romantis memang sudah menjadi tugas utama
pada seorang remaja. Walau begitu, hal ini tidak dapat dilepaskan dari
sosial budaya yang ada di sekitar remaja karena konteks budaya
memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pola berpacaran remaja
(Crissey, 2009, dalam Santrock 2011). Beberapa hal yang dapat
mempengaruhi pola berpacaran pada remaja yaitu nilai-nilai, keyakinan
agama atau kepercayaan dan tradisi yang sering kali menentukan usia
yang tepat untuk berpacraan, besarnya kebebasan dalam berpacaran, dan
peran pria dan wanita saat berkencan.
D. Hubungan Antar Variabel
Dalam suatu kehidupan masyarakat, terdapat suatu hal yang terdiri
generasi ke generasi lain. Hal ini diturunkan atau dipaksakan dari generasi
saat ini dan ditransfer ke generasi selnajutnya secara berturut-turut dna
disebut sebagai budaya (Deresky, 2003, dalam Ogunleye, 2015)
Budaya yang ada pada masyarakat berfungsi sebagai penyimpan
kepercayaan, keyakinan, pemahaman, pengalaman, pandangan pada dunia,
agama, hirarki dan berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia
(Valentini, 2005). Banyaknya hal yang tersimpan dalam budaya dan
tujuannya sebagai pegangan hidup, menjadikan budaya itu sendiri sebagai
pembentuk sikap dan perilaku individu dalam sebauh masyarakat sehingga
budaya dapat dikatakan bahwa perilaku seorang individu mencerminkan
budaya yang ada di masyarakat ia tinggal (Rutter and Schwartz, 2000, dalam
Ogunleye, 2015)
Teori budaya sendiri mengatakan bahwa budaya dapat berubah dan
berkembang karena adanya perubahan dari dalam budaya sebagai bentuk
perkembangan jaman atau dari luar budaya sebagai bentuk adaptasi budaya
terhadap lingkungan sekitar yang mulai berubah. Perubahan yang terjadi
berdampak pada munculnya berbagai teori terkait budaya seperti teori
dimensi budaya milik Hofstede yang terdiri atas enam dimensi budaya
(Hofstede, 2011). Keenam dimensi tersebut memiliki dampak yang berbeda
pada individu karena setiap dimensi memilii karakteristik yang berbeda.
Dari keenam dimensi yang dikemukakan Hofstede, salah satu dimensi
yang belum banyak dilihat dampaknya terhadap kehidupan bermasyarakat
melihat sejauh mana masyarakat dalam suatu kebudayaan menerima adanya
distribusi kekuasaan yang tidak merata. Dimensi power distance merupakan
hal baru dalam penelitian social karena blebih bnayak digunakan dalam
penelitian di bidang industri dan organsasi. Walau begitu, terdapat penelitian
yang sudah menggunakan dimensi budaya dalam penelitian sosial yaitu
penelitian yang dilakukan Ubilos (2002) terkait dimensi budaya dan perilaku
seksual khususnya intensitas perilaku seksual. Penelitian tersebut tidak hanya
menggunakan satu jenis dimensi budaya saja namun juga dimensi budaya
lainnya seperti masculin dan feminime, individual dan collectivism, masculinity dan femininity, long term dan short term orientation, serta berbagai aspek lain dalam budaya seperti misalnya agama atau kepercayaan.
Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hofstede dan
beberapa peneliti lain, power distance dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
power distance tinggi dan power distance rendah. Power distance rendah umumnya dimiliki oleh negara-negara dengan nilai budaya setempat yang
cenderung longgar seperti negara barat seperti Amerika, Inggris, Australia
sedangkan power distance tinggi umumnya dimiliki oleh negara-negara dengan nilai budaya setempat yang masih cenderung kuat seperti misalnya
negara-negara di timur yaitu India, Cina, Jepang. Perbedaan kategori power distance di setiap tempat dapat membentuk sikap dan perilaku masyarakat di tempat tersebut terutama terkait dengan perilaku dengan orang lain. Seperti