HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA
DAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
KARTIKA WIDYA
031301046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara November 2007
Kartika Widya : 031301046
Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja
iX + 73 halaman + 16 tabel + 1 gambar + 4 lampiran Bibliografi (1991-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan keharmonisan keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja. Berdasarkan fenomena yang ada masalah seksualitas pada remaja cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang menjadi pemikiran serius bagi orangtua, masyarakat, maupun pendidik bahkan remaja itu sendiri. Secara konseptual keharmonisan keluarga adalah bilamana anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri). Sedangkan perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah.
Subjek penelitian ini berjumlah 106 orang remaja akhir di kota Medan yang berusia 17-18 tahun, pernah berpacaran, memiliki orangtua yang tidak bercerai, belum menikah, dan tinggal bersama orangtua. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan incidental sampling. Teknik pengolahan data menggunakan analisa regresi untuk melihat hubungan keharmonisan keluarga (independent variable) dan perilaku seksual pranikah (dependent variable) pada remaja. Alat ukur yang digunakan adalah skala keharmonisan keluarga yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan aspek-aspek keharmonisan keluarga yang dikemukakan oleh Gunarsa (2000) dan Nick (2002). Dan skala perilaku seksual pranikah yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk perilaku seksual yang dikemukakan oleh DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003), dan hasil penelitian BKKBN (2005).
Hasil penelitian menunjukkanhubungan yang negatif dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -0,522 dan nilai p = 0,000 dimana p < 0,05, yang artinya semakin
harmonis hubungan suatu keluarga maka semakin rendah intensitas perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja. Sebaliknya semakin tidak harmonis hubungan suatu keluarga maka semakin tinggi intensitas perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja. Kontribusi keharmonisan keluarga terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja adalah sebesar 27%. Hal ini terlihat dari nilai
R-square yang diperoleh dari hubungan antara keharmonisan keluarga dan perilaku
seksual pranikah sebesar 0,27.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis ucapkan karena atas berkat dan
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
”Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah pada
Remaja”.
Kepada keluarga tercinta, kedua orangtua saya, mama dan papa, abang,
kakak, dan adik saya terima kasih atas doa yang selalu mengiringi saya, dan
perhatian serta dukungan yang selalu diberikan kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini sebaik-baiknya..
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp. Pd (KGEH), sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran USU.
2. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A (K), sebagai Ketua Program Studi Psikologi
USU.
3 Dosen Pembimbing Ibu Elvi Andriani, M.si, Psi. Terima kasih atas kesabaran
dan kesediaan ibu membimbing dan juga telah banyak memberi masukan,
arahan serta selalu meluangkan waktu untuk membantu menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih atas semuanya..
4. Ibu Dra. Sri Mulyani, selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih atas
nasehat, dukungan dan bimbingannya selama saya menjalankan studi di
5. Ibu Lili, Ibu Eti, dan Ibu Ecil, terima kasih atas kesediaan memberikan
bimbingan dan diskusi untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas
keramahan, kebaikan serta kenyamanan yang diberikan ketika berdiskusi.
6. Seluruh Staf Pengajar Psikologi USU, yang telah mengajarkan, dan
memberikan pengetahuan mengenai psikologi selama saya menjalankan studi
di Psikologi.
7. Seluruh pegawai di lingkungan Psikologi USU, yang telah membantu dan
selalu memberikan dukungan buat para mahasiswa serta selalu memudahkan
kelancaran masalah administrasi.
8. Adik-adik yang telah bersedia mengisi skala dan menjadi bagian penting
dalam penelitian ini.
9. Ikhsan Siregar, M.Eng, terima kasih atas dukungan, semangat, kasih sayang
dan doanya.
10. Sahabatku Rini dan Indah, thanks for the greatest and the sweetest friendship
in my life.
11. Sahabatku Meyti, Oya dan Dilli, terima kasih atas bantuan dan semangatnya.
12. Teman-teman yang juga selalu mendukung: Nanda, Wulan, Dina, Dewi, Dwi,
Sari, Fitri, Nina, dan Rio. Buat Aci, Yulia dan Yeni, yang udah mau jadi dosen
pembimbing sampingan. Dan teman-teman angkatan 2003 lainnya yang tidak
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi
ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun
dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah
SWT penulis berserah diri, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
Amin.
Medan, November 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
BAB I : PENDAHULUAN………... 1
I.A. Latar Belakang Masalah………... 1
I.B. Tujuan Penelitian………... 11
I.C. Manfaat Penelitian………... 11
I.D. Sistematika Penulisan... 12
BAB II : LANDASAN TEORI... 14
II.A. Keharmonisan Keluarga... 14
II.A.1. Definisi Keharmonisan Keluarga... 14
II.A.2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga... 15
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga... 17
II.B. Perilaku Seksual Pranikah... 19
II.B.1. Definisi Perilaku Seksual Pranikah... 19
II.B.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah... 19
II.C. Remaja... 24
II.C.1. Definisi Remaja... 24
II.C.2. Tugas Perkembangan Masa Remaja... ... 25
II.C.3. Perkembangan Seksual Remaja... 26
II.C.3.a. Perkembangan Seksual Primer dan Sekunder... 26
II.C.3.b. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja... 27
II.D. Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja... 28
II.E. Hipotesa Penelitian... 31
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN... 32
III.A. Identifikasi Variabel Penelitian………... 32
III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian………... 32
III.B.1 Keharmonisan Keluarga………... 32
III.B.2. Perilaku Seksual Pranikah………... 34
III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel... 35
III.C.1. Metode Pengambilan Sampel... 36
III.C.2. Jumlah Subjek Penelitian... 37
III.C.3. Karakteristik Subjek Penelitian... 37
III.D. Metode Pengumpulan Data………... 37
III.D.1. Skala Keharmonisan Keluaarga………... 38
III.D.2. Skala Perilaku Seksual Pranikah………... 41
III.E. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur... 42
III.E.2. Reliabilitas………... 43
III.E.3. Hasil Ujicoba Alat Ukur Penelitian... 43
III.E.3.a. Hasil Ujicoba Alat Ukur Keharmonisan Keluarga.... 43
III.E.3.b. Hasil Ujicoba Alat Ukur Perilaku Seksual Pranikah. 47 III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 48
III.F.1. Tahap Persiapan... 48
III.F.2. Pelaksanaan Penelitian... 50
III.G. Metode Analisa Data………... 50
BAB IV : Analisa Dan Interpretasi Data... 52
IV.A. Gambaran Subjek Penelitian... 52
IV.A.1. Berdasarkan Usia... 52
IV.A.2. Berdasarkan Jenis Kelamin... 53
IV.B. Hasil Penelitian... 54
IV.B.1. Hasil Uji Asumsi... 54
IV.B.1.a. Uji Normalitas Sebaran... 54
IV.B.1.b. Uji Linieritas Hubungan... 55
IV.B.2. Kategorisasi Data Penelitian... 56
IV.B.2.a. Kategorisasi Skor Keharmonisan Keluarga... 57
IV.C.1.b. Kategorisasi Skor Perilaku Seksual Pranikah... 58
IV.B.3. Hasil Uji Hipotesa... 60
IV.C. Hasil Tambahan... 61
IV.C.1. Perilaku Seksual Pranikah Ditinjau Dari Jenis Kelamin.. 61
V.A. Kesimpulan... 63
V.B. Diskusi... 65
V.C. Saran... 71
V.C.1. Saran Metodologis... 71
V.C.2. Saran Praktis... 72
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gambaran Umum Perilaku Seksual Remaja Ditinjau Dari
Status Perkawinan Orangtua... 9
Tabel 2. Blue Print Skala Keharmonisan Keluarga Sebelum Ujicoba... 40
Tabel 3. Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Sebelum Ujicoba... 42
Tabel 4. Blue Print Skala Keharmonisan Keluarga Setelah Ujicoba... 45
Tabel 5. Blue Print Skala Keharmonisan Keluarga Untuk Penelitian... 46
Tabel 6. Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Setelah Ujicoba... 47
Tabel 7. Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah Untuk Penelitian... 48
Tabel 8. Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 52
Tabel 9. Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 53
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas... 55
Tabel 11. Deskripsi Skor Skala Keharmonisan Keluarga... 57
Tabel 12. Kategorisasi Data Empirik Variabel Keharmonisan Keluarga... 58
Tabel 13. Deskripsi Skor Skala Perilaku Seksual Pranikah... 58
Tabel 14. Kategorisasi Data Empirik Variabel Perilaku Seksual Pranikah... 59
Tabel 15. Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah.. 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Scatterplot Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku
Seksual Pranikah………. 56
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis ucapkan karena atas berkat dan
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
”Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah pada
Remaja”.
Kepada keluarga tercinta, kedua orangtua saya, mama dan papa, abang,
kakak, dan adik saya terima kasih atas doa yang selalu mengiringi saya, dan
perhatian serta dukungan yang selalu diberikan kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini sebaik-baiknya..
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp. Pd (KGEH), sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran USU.
2. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A (K), sebagai Ketua Program Studi Psikologi
USU.
4 Dosen Pembimbing Ibu Elvi Andriani, M.si, Psi. Terima kasih atas kesabaran
dan kesediaan ibu membimbing dan juga telah banyak memberi masukan,
arahan serta selalu meluangkan waktu untuk membantu menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih atas semuanya..
4. Ibu Dra. Sri Mulyani, selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih atas
nasehat, dukungan dan bimbingannya selama saya menjalankan studi di
5. Ibu Lili, Ibu Eti, dan Ibu Ecil, terima kasih atas kesediaan memberikan
bimbingan dan diskusi untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas
keramahan, kebaikan serta kenyamanan yang diberikan ketika berdiskusi.
13. Seluruh Staf Pengajar Psikologi USU, yang telah mengajarkan, dan
memberikan pengetahuan mengenai psikologi selama saya menjalankan studi
di Psikologi.
14. Seluruh pegawai di lingkungan Psikologi USU, yang telah membantu dan
selalu memberikan dukungan buat para mahasiswa serta selalu memudahkan
kelancaran masalah administrasi.
15. Adik-adik yang telah bersedia mengisi skala dan menjadi bagian penting
dalam penelitian ini.
16. Ikhsan Siregar, M.Eng, terima kasih atas dukungan, semangat, kasih sayang
dan doanya.
17. Sahabatku Rini dan Indah, thanks for the greatest and the sweetest friendship
in my life.
18. Sahabatku Oya, Dilli, dan Meyti terima kasih atas bantuan dan semangatnya.
19. Teman-teman yang juga selalu mendukung: Nanda, Wulan, Dina, Dewi, Dwi,
Sari, Fitri, Nina, dan Rio. Buat Aci, Yulia dan Yeni, yang udah mau jadi dosen
pembimbing sampingan. Dan teman-teman angkatan 2003 lainnya yang tidak
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi
ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun
dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah
SWT penulis berserah diri, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
Amin.
Medan, November 2007
ABSTRAK
Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara November 2007
Kartika Widya : 031301046
Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja
iX + 73 halaman + 16 tabel + 1 gambar + 4 lampiran Bibliografi (1991-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan keharmonisan keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja. Berdasarkan fenomena yang ada masalah seksualitas pada remaja cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang menjadi pemikiran serius bagi orangtua, masyarakat, maupun pendidik bahkan remaja itu sendiri. Secara konseptual keharmonisan keluarga adalah bilamana anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri). Sedangkan perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah.
Subjek penelitian ini berjumlah 106 orang remaja akhir di kota Medan yang berusia 17-18 tahun, pernah berpacaran, memiliki orangtua yang tidak bercerai, belum menikah, dan tinggal bersama orangtua. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan incidental sampling. Teknik pengolahan data menggunakan analisa regresi untuk melihat hubungan keharmonisan keluarga (independent variable) dan perilaku seksual pranikah (dependent variable) pada remaja. Alat ukur yang digunakan adalah skala keharmonisan keluarga yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan aspek-aspek keharmonisan keluarga yang dikemukakan oleh Gunarsa (2000) dan Nick (2002). Dan skala perilaku seksual pranikah yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk perilaku seksual yang dikemukakan oleh DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003), dan hasil penelitian BKKBN (2005).
Hasil penelitian menunjukkanhubungan yang negatif dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -0,522 dan nilai p = 0,000 dimana p < 0,05, yang artinya semakin
harmonis hubungan suatu keluarga maka semakin rendah intensitas perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja. Sebaliknya semakin tidak harmonis hubungan suatu keluarga maka semakin tinggi intensitas perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja. Kontribusi keharmonisan keluarga terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja adalah sebesar 27%. Hal ini terlihat dari nilai
R-square yang diperoleh dari hubungan antara keharmonisan keluarga dan perilaku
seksual pranikah sebesar 0,27.
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah besar yang dihadapi remaja adalah penyesuaian
terhadap perubahan secara fisiologis dan psikologis karena pengaruh hormon
seksual yang sudah mulai berfungsi. Setelah mendapatkan pengalaman mentruasi
untuk perempuan dan mimpi basah untuk laki-laki, keingintahuan terhadap
seksualitas dan keinginannya untuk menyalurkan dorongan seksual menjadi
bertambah besar. Data penelitian yang dilakukan oleh Sahabat Remaja di kota
Medan (dalam ”Potret Remaja dalam Data”, 2002) tentang seksualitas
menunjukkan bahwa 10 persen remaja di kota Medan telah terlibat hubungan
seksual secara aktif dan persoalan seksualitas (pacaran, pilihan perilaku seksual,
kehamilan yang tidak diinginkan) ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak
dan masa dewasa. Setiono (2002) mengemukakan bahwa banyak perubahan pada
diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya
merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan
keremajaan seseorang. Santrock (2003) mengemukakan bahwa perubahan pada
masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif dan sosial. Perubahan secara
kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis. Secara
sosial, perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan
luar dengan jalan interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan
teman sebaya maupun masyarakat luas. Sedangkan perubahan fisik yang terjadi
pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ
reproduksi dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan
keingintahuan remaja tentang seksual.
Perkembangan organ seksual pada kehidupan remaja bukan saja
berpengaruh pada penyempurnaan tubuh (khususnya yang berhubungan dengan
ciri-ciri seks sekunder seperti, pada remaja putri ditandai dengan pembesaran
payudara, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pembesaran suara,
tumbuh bulu di daerah dada, dan kumis), melainkan juga berpengaruh pada
kehidupan psikis, moral, dan sosial (Mu’tadin, 2002).
Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Ketertarikan antar lawan jenis
ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius. Pada kehidupan
moral, tidak jarang timbul konflik dalam diri remaja. Masalah yang timbul yaitu
akibat adanya dorongan seksual dan pertimbangan moral sering kali bertentangan.
Sedangkan pengaruh perkembangan organ seksual pada kehidupan sosial ialah
remaja dapat memperoleh teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan
lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran.
Hanifah (2002) mengatakan bahwa pacaran dianggap sebagai pintu masuk
hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual sebagai wujud kedekatan
antara dua orang yang sedang jatuh cinta. Persoalannya, banyak remaja kurang
seksual yang tidak semestinya dilakukan remaja yang belum menikah (Subiyanto,
2007).
Perilaku seksual pada remaja berpacaran misalnya dengan berbagai
perilaku seksual seperti ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya
adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual (Mu’tadin,
2002). Dorongan seksual yang meningkat dan rasa ingin tahu yang besar tentang
seksualitas seringkali membawa remaja yang sedang berada dalam posisi rentan
terhadap kasus-kasus ”keterlanjuran”. Masalah-masalah ”keterlanjuran” akibat
seksualitas pada remaja dapat berupa perilaku seksual pranikah yang dapat
mengakibatkan kehamilan pranikah dan penularan penyakit seksual (Prihartini,
2002).
Sarwono (2005) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua
orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah.
Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual sebelum nikah
menjadi pemikiran serius bagi orangtua, masyarakat, maupun pendidik bahkan
remaja itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan selama ini. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh tim Fakultas
Psikologi Universitas Padjajaran di empat kota besar menemukan bahwa 21,7%
remaja di Bandung, 31,6% remaja di Jakarta, 30,85% remaja di Bogor dan
26,47% remaja di Surabaya telah terlibat hubungan seksual secara aktif.
Angka-angka tersebut sekaligus menunjukkan seberapa besar remaja terancam penyakit
kalah pentingnya adalah tanggung jawab moral yang tidak hanya ditanggung oleh
remaja itu sendiri tapi juga keluarga, pendidik dan masyarakat (dalam Mayasari,
2000).
Perilaku seksual pranikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang
berpacaran. Meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut,
tetapi dari fakta menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dan
memprihatinkan. Ironisnya, bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi
untuk melakukan hubungan seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah
rasa ingin tahu, lingkungan keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau
keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media massa
(Cosmopolitan, dalam Mayasari, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Gatra dan Laboraturium Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) pada
akhir tahun 1997 yang dilakukan di lima kota besar yaitu di Jakarta, Yogyakarta,
Medan, Surabaya, dan Ujung Pandang dengan melibatkan 800 responden remaja
berusia 15-22 tahun yang berpacaran menunjukkan bahwa 47,3% responden
mengaku pernah melakukan ciuman pipi, 22% pernah melakukan ciuman bibir,
11% pernah melakukan cupang atau cium leher, 4,5% pernah meraba-raba tubuh
pasangan, 2,8% pernah melakukan petting, dan 1,3% sudah pernah melakukan
senggama di luar nikah (dalam Sinuhaji, 2006).
Pakar seksologi Nugraha (dalam, “Kurang, Kesadaran Remaja Tentang
HIV/AIDS”, 2004) menyatakan bahwa 6-20% remaja di Jakarta pernah
“Kesehatan Reproduksi Remaja Penting dan Perlu”, 2003) yang menyatakan
bahwa 27% remaja laki-laki dan 9% remaja perempuan di Medan yang berusia
15-24 tahun mengatakan bahwa mereka sudah pernah melakukan hubungan
seksual pranikah.
Menurut Sarwono (2005) bahwa sebagian besar dari hubungan seks remaja
diawali dengan agresivitas para remaja laki-laki dan selanjutnya remaja
perempuan lah yang menentukan sampai batas mana agresivitas tersebut dapat
dipenuhi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Hanifah (2002)
yang menunjukkan bahwa ternyata remaja laki-laki cenderung mempunyai
perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, gigih, terang-terangan, serta lebih
sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Akibatnya banyak remaja
perempuan mendapat pengalaman pertama hubungan seksual pranikah dari
pacarnya. Perilaku remaja laki-laki tersebut sebagai perwujudan nilai gender yang
dipercayainya sebagai lebih dominan, yaitu laki-laki harus aktif, berinisiatif,
berani, sedangkan perempuan harus pasif, penunggu, dan pemalu.
Data-data tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya,
mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak semua
bersedia mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu tidak
mengejutkan apabila angka-angka tersebut sebenarnya jauh lebih besar daripada
yang dilaporkan. Tapi setidaknya penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak
telah menunjukkan tingginya perilaku seksual pranikah remaja yang berpacaran
Menurut Sarwono (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seksuah pranikah yang dilakukan remaja adalah hubungan dalam keluarga
khususnya hubungan orangtua dan anak. Kurangnya dukungan keluarga seperti
kurangnya perhatian orangtua terhadap kegiatan anak, kurangnya kasih sayang
orangtua, dan komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga dapat menjadi
pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Selain itu, orangtua
perlu mengembangkan kepercayaan anak pada orangtua, sehingga remaja lebih
terbuka dan mau bercerita agar orangtua bisa memantau dan mengarahkan
pergaulan anak remajanya.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat Mu’tadin (2002) bahwa suasana
keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta
hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi
setiap usia terutama pada masa remaja sehingga remaja cenderung konform
dengan pengaruh negatif lingkungan sosialnya seperti perilaku seksual pranikah.
Dari hasil penelitian Damayanti (dalam “Siswa Cianjur Berhubungan Seks
Pranikah”, 2007) terhadap 8.941 pelajar dari 119 SMA dan yang sederajat di
Jakarta menunjukkan bahwa para remaja melakukan perilaku seksual pranikah
karena alasan tuntutan pergaulan dan longgarnya kontrol orang tua mengenai
praktek perilaku seksual pranikah. Bila remaja tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan keluarga yang kurang sensitif terhadap remaja maka remaja akan lebih
mudah konform dengan pengaruh teman sebaya yang negatif. Lingkungan
keluarga yang negatif, penuh dengan konflik, dan kurangnya komunikasi orangtua
perilaku orang-orang di sekelilingnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald
Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa
pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja,
kurangnya perhatian terhadap aktivitas anak dan penerapan disiplin yang tidak
efektif dan tidak sesuai membuat remaja menjadi lebih mudah jatuh pada perilaku
seksual pranikah.
Hubungan dalam keluarga yang baik seperti, minimnya konflik dalam
keluarga, anggota keluarga yang saling menyayangi, saling pengertian, adanya
komunikasi yang efektif dalam keluarga, orangtua yang selalu membimbing dan
mengarahkan perilaku anak tapi tidak memaksa, dan keluarga yang saling
mendukung segala aktivitas, akan mewujudkan keluarga yang harmonis (Gunarsa,
2000).
Menurut Gunarsa (2000) suatu keluarga dikatakan harmonis bilamana
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,
kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya
(eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.
Suardiman (1990) menjelaskan bahwa keluarga yang harmonis ditandai dengan
adanya suasana rumah tangga yang teratur dimana setiap anggota keluarga
menjalankan fungsinya sesuai perannya masing-masing, tidak banyak konflik, dan
peka terhadap kebutuhan anggota keluarga.
Keluarga yang harmonis merupakan tempat yang menyenangkan dan
positif untuk hidup, karena anggotanya telah belajar beberapa cara untuk saling
mendapatkan dukungan, kasih sayang dan loyalitas, serta dapat berbicara satu
sama lain, mereka saling menghargai dan menikmati keberadaan bersama.
Kondisi-kondisi yang berlangsung dalam keluarga yang harmonis ini, akan
menimbulkan rasa nyaman pada diri setiap anggota keluarga yang pada akhirnya
membuat anggota keluarga merasa memiliki keluarga yang bersedia mendukung
berbagai kegiatan yang dilakukan (Gunarsa, 2000).
Sebenarnya sulit menemukan arti dari keluarga harmonis itu sendiri,
namun dari berbagai literatur yang ada dapat diidentifikasi ciri-ciri keluarga utuh
dapat mewakili gambaran kondisi keluarga harmonis. Menurut Ahmadi (1991)
keluarga utuh merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan
anak-anak. Nick (2002), menyatakan bahwa keluarga utuh menjadikan keluarga
memiliki kondisi yang harmonis. Dari pernyataan itulah maka dapat disimpulkan
bahwa keluarga yang utuh menjadi pilar bagi terbentuknya keluarga yang
harmonis.
Keluarga harmonis terwujud tidak hanya apabila perkawinan kedua
orangtua tidak bercerai. Jika hubungan dalam keluarga penuh konflik, tidak ada
komunikasi, kasih sayang, saling pengertian, suasana keluarga yang tidak aman
dan menyenangkan maka kehidupan harmonis dalam keluarga pun tidak terwujud.
Hal yang paling penting adalah menciptakan hubungan yang demokratis di dalam
keluarga sehingga remaja dapat menjalin interaksi yang baik dengan orangtua
maupun saudara-saudaranya. Namun Gunarsa (2003) menyatakan bahwa faktor
perceraian orangtua dapat mengakibatkan hubungan kedua orangtua semakin lama
sehingga komunikasi tidak efektif bahkan terputus. Hubungan itu menunjukan
situasi keterasingan dan keterpisahan yang semakin melebar dan menjauh ke
dalam dunianya sendiri sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada
rasa kebertautan yang intim lagi. Hal tersebut juga mengakibatkan tidak adanya
perhatian, penerimaan, bantuan dan dukungan dari keluarga. Pengaruh suasana
rumah yang kurang nyaman bagi remaja yang disebabkan perceraian orangtua
akan membuat kondisi rumah tersebut menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan ini
sangat terasa bagi perkembangan remaja.
Dari tabel 1 hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinuhaji (2006),
menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua mempunyai pengaruh bagi
perilaku seksual remaja. Remaja yang berasal dari keluarga bercerai ternyata lebih
aktif secara seksual daripada remaja yang mempunyai orangtua utuh/tidak
bercerai. Namun tidak semua remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah
dengan pasangannya berasal dari keluarga bercerai.
Tabel 1
Gambaran Umum Perilaku Seksual Remaja Ditinjau dari Status Perkawinan
Orangtua
Perilaku Seksual Cerai Tidak Bercerai
Touching 15,4% 10,2%
Kissing 7,7% 30,7%
Petting 61,5% 47,7%
Sexual Intercourse 15,4% 11,4%
Hurlock (dalam Maria, 2007) menyatakan bahwa anak yang hubungan
perkawinan orangtuanya bahagia akan merasakan rumah mereka sebagai tempat
yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua,
semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga
yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga
yang tidak menyenangkan, membuat anak ingin keluar dari rumah sesering
mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi
masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya.
Nuryoto (dalam Prihartini, 2002) mengemukakan bahwa kondisi ini
menimbulkan adanya suatu ketidakpuasan dalam diri remaja. Ketidakpuasan
tersebut timbul karena kebutuhan psikisnya tidak terpenuhi secara tepat dan wajar,
sehingga ia berusaha melakukan kompensasi. Selama kompensasi yang dipilih
bersifat positif, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah, tetapi tidak jarang
remaja mengalami kesulitan memilih kompensasi yang positif. Mereka cenderung
untuk melarikan diri dari permasalahan yang dihadapi seperti, merokok, memakai
obat terlarang, dan meminum minuman keras. Bahkan ada yang sampai
melakukan tindakan yang berbau seks seperti perilaku seksual pranikah.
Remaja membutuhkan kasih sayang dan kehadiran orangtua disisinya.
Kehadiran orangtua tentunya akan dapat memberikan pemenuhan kebutuhan
psikologis. Selain itu, orangtua mempunyai tanggung jawab yang sangat besar
dalam perkembangan keseluruhan eksistensi anak, termasuk kebutuhan-kebutuhan
fisik maupun psikis, sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang ke arah
mengendalikan dan mengontrol perilaku dalam kehidupan sosial, serta hanya
dengan hubungan yang baik pula kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan
efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis.
Gambaran tersebut hanya dapat dicapai apabila hubungan kedua orangtua berjalan
dengan baik serta harmonis, dan hubungan antar angota keluarga juga terjalin
harmonis.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dikaji dalam
penelitian ini adalah melihat apakah terdapat hubungan antara keharmonisan
keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja.
I.B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
keharmonisan keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja.
I.C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini di harapkan agar dapat menambah khasanah
pendidikan psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan
mengenai hubungan antara keharmonisan keluarga dan perilaku seksual
2. Manfaat Praktis
a. Bagi remaja diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam
mengarahkan perilaku remaja khususnya perilaku seksual ke arah yang
lebih konstruktif dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dan juga dapat memberikan informasi
bagi remaja akan pentingnya menjalin hubungan harmonis dalam keluarga
sebagai persiapan untuk memasuki perkawinan.
b. Bagi orangtua hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
masukan yang berarti terhadap pentingnya menjalin hubungan yang
harmonis di dalam lingkungan keluarga agar dapat memberikan
pemenuhan kebutuhan psikologis bagi seluruh anggota keluarga
khususnya remaja, sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang ke arah
kepribadian yang harmonis dan matang.
c. Bagi guru hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
masukan yang berarti akan pentingnya pendidikan seksual di sekolah agar
remaja mendapatkan informasi yang benar mengenai seksualitas.
I.D. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab I berisi tentang uraian latar belakang masalah, identifikasi
BAB II : Landasan Teori
Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori tentang keharmonisan keluarga, perilaku seksual pranikah dan
remaja. Dalam bab ini juga akan dikemukakan hubungan
keharmonisan keluarga dengan perilaku seksual pranikah pada
remaja dan juga hipotesis penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Bab III berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan
metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas
dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan
metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang
digunakan oleh peneliti dalam penelitian.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data
Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian,
dan deskripsi data penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Keharmonisan Keluarga
II.A.1. Definisi Keharmonisan Keluarga
Menurut Gunarsa (2000) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,
kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi,
aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.
Daradjat (1994) mengemukakan bahwa keluarga harmonis adalah keluarga
dimana setiap anggotanya menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing,
terjalin kasih sayang, saling pengertian, komunikasi dan kerjasama yang baik
antara anggota keluarga.
Menurut Nick (2002) keluarga harmonis merupakan tempat yang
menyenangkan dan positif untuk hidup, karena anggotanya telah belajar beberapa
cara untuk saling memperlakukan dengan baik. Anggota keluarga dapat saling
mendapatkan dukungan, kasih sayang dan loyalitas. Mereka dapat berbicara satu
sama lain, mereka saling menghargai dan menikmati keberadaan bersama.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa
keharmonisan keluarga adalah suatu situasi atau kondisi keluarga dimana
terjalinnya kasih sayang, saling pengertian, dukungan, mempunyai waktu bersama
keluarga dapat mengaktualisasikan diri dengan baik serta minimnya konflik,
ketegangan dan kekecewaan.
II.A.2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga
Menurut Gunarsa (2000) ada beberapa aspek keharmonisan keluarga
adalah :
1. Kasih sayang antar anggota keluarga
Anggota keluarga menunjukkan saling menghargai dan saling menyayangi,
mereka bisa merasakan betapa baiknya keluarga. Anggota keluarga
mengekspresikan penghargaan dan kasih sayang secara jujur. Penghargaan itu
mutlak diperlukan, karena dengan demikian masing-masing anggota merasa
sangat dicintai dan diakui keberadaannya.
2. Saling pengertian sesama anggota keluarga
Selain kasih sayang, pada umumnya para remaja sangat mengharapkan
pengertian dari orangtuanya. Dengan adanya saling pengertian maka tidak
akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antar sesama anggota keluarga.
3. Dialog atau komunikasi efektif yang terjalin di dalam keluarga
Anggota keluarga mempunyai keterampilan berkomunikasi dan banyak waktu
digunakan untuk itu. Dalam keluarga harmonis ada beberapa kaidah
komunikasi yang baik, antara lain :
a. Menyediakan cukup waktu
Anggota keluarga melakukan komunikasi yang bersifat spontan maupun
melakukan pekerjaan bersama, biasanya yang dibicarakan hal-hal sepele.
Bersifat tidak spontan, misalnya merencanakan waktu yang tepat untuk
berbicara, biasanya yang dibicarakan adalah suatu konflik atau hal penting
lainnya. Mereka menyediakan waktu yang cukup untuk itu.
b. Mendengarkan
Anggota keluarga meningkatkan saling pengertian dengan menjadi
pendengar yang baik dan aktif. Mereka tidak menghakimi, menilai,
menyetujui, atau menolak pernyataan atau pendapat pasangannya. Mereka
menggunakan feedback, menyatakan/menegaskan kembali, dan
mengulangi pernyataan.
c. Pertahankan kejujuran
Anggota keluarga mau mengatakan apa yang menjadi kebutuhan, perasaan
serta pikiran mereka, dan mengatakan apa yang diharapkan dari anggota
keluarga.
4. Mempunyai waktu bersama dan kerjasama dalam keluarga
Keluarga menghabiskan waktu (kualitas dan kuantitas waktu yang besar) di
antara mereka. Kebersamaan di antara mereka sangatlah kuat, namun tidak
mengekang. Selain itu, kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga
juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu dan
gotong royong akan mendorong anak untuk bersifat toleransi jika kelak
Selain aspek-aspek yang tersebut diatas, Nick (2002) juga menambahkan
beberapa aspek lain, yaitu :
1. Kesejahteraan spiritual
Keluarga mempunyai perasaan tentang adanya kekuasaan yang lebih besar
dalam hidup. Kepercayaan itu memberi makna dalam hidup. Anggota keluarga
meyakini Tuhan ada di tengah-tengah mereka dan mengatur segalanya.
Mereka memiliki cinta kasih dan menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Minimalisasi konflik
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan keharmonisan
keluarga adalah kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam
keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam
keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota
keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari
penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan ada beberapa aspek keharmonisan
keluarga yaitu, kasih sayang antar anggota keluarga, saling pengertian,
komunikasi efektif di dalam keluarga, kerjasama dalam keluarga, kesejahteraan
spiritual, dan minimnya konflik dalam keluarga.
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
Gunarsa (2000) menyatakan bahwa suasana rumah dapat mempengaruhi
pribadi-pribadi, kesatuan yang serasi antara orangtua dan anak. Jadi suasana
rumah yang menyenangkan akan tercipta bagi anak bila terdapat kondisi :
a. Anak dapat merasakan bahwa ayah dan ibunya terdapat saling pengertian dan
kerjasama yang serasi serta saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya.
b. Anak dapat merasakan bahwa orangtuanya mau mengerti dan dapat
menghayati pola perilakunya, dapat mengerti apa yang diinginkannya, dan
memberi kasih sayang secara bijaksana.
c. Anak dapat merasakan bahwa saudara-saudaranya mau memahami dan
menghargai dirinya menurut kemauan, kesenganan dan cita-citanya, dan anak
dapat merasakan kasih sayang yang diberikan saudara-saudaranya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut
Gunarsa (2000), adalah kondisi ekonomi keluarga. Tingkat sosial ekonomi yang
rendah seringkali menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam sebuah
keluarga. Akibat banyaknya masalah yang ditemui karena kondisi keuangan yang
memprihatinkan ini menyebabkan kondisi keluarga menjadi tidak harmonis.
Banyaknya masalah yang dihadapi keluarga ini akan berpengaruh kepada
perkembangan mental anak, sebab pengalaman-pengalaman yang kurang
menyenangkan yang diperoleh anak di rumah, tentu akan terbawa pula ketika
anak bergaul dengan lingkungan sosialnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi
keharmonisan keluarga adalah suasana rumah yang menyenangkan dimana anak
merasakan bahwa orangtuanya saling pengertian, anggota keluarga saling
II.B. Perilaku Seksual Pranikah
II.B.1. Definisi Perilaku Seksual Pranikah
Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan
perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut
agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Menurut Lestari (1999), perilaku seksual pranikah merupakan perilaku
seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut hukum
maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Sarwono (2005) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua
orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang
didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa
melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
II.B.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual pada remaja, yaitu :
1. Norma-norma agama yang dianut
Hal ini merupakan mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan
untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk
melanggar hal-hal tersebut.
2. Hubungan dalam keluarga khususnya hubungan orangtua dan anak
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orangtua, dan komunikasi yang tidak
efektif dalam keluarga dapat menjadi pemicu munculnya perilaku seksual
pranikah pada remaja. Selain itu, orangtua perlu mengembangkan kepercayaan
anak pada orangtua, sehingga remaja lebih terbuka dan mau bercerita agar
orangtua bisa memantau dan mengarahkan pergaulan anak remajanya. Bila
orangtua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada
remaja, maka remaja cenderung mengontrol perilaku seksualnya sesuai
dengan pemahaman yang diberikan orangtuanya. Mu’tadin (2002)
menambahkan suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman, tidak
menyenangkan dan hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan
bahaya psikologis bagi masa remaja sehingga remaja cenderung lebih konform
dengan pengaruh negatif lingkungan sosialnya seperti, perilaku seksual
pranikah. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya
(dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang
tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak
efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam
3. Media dan teknologi elektronik
Pengaruh penyebaran informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi
yang canggih (seperti: VCD, Photo, majalah, televisi, dan internet) pun sering
kali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Remaja yang sedang
dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau
didengar dari media, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui
masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
4. Adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam
masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita,
sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
5. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja.
Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran
dalam bentuk tingkah laku tertentu.
6. Perbedaan jenis kelamin
Remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif,
terbuka, serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal
tersebut sebagai wujud nilai jender dan adanya norma-norma yang
memberikan keleluasaan yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan.
Hal ini membuat laki-laki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam
berbagai macam bentuk perilaku seksual. Apalagi orientasi laki-laki
berpacaran lebih ke arah aktivitas seksual daripada mengutamakan afeksi,
Brooks, Gunn dan Furstenberg (dalam Dacey & Kenny, 1997)
menambahkan faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku seks pada
remaja, yaitu :
a. Pandangan tentang maskulin dan feminin
Fingerman (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyatakan bahwa remaja yang
memiliki nilai gender egalitarian yaitu memandang adanya kesetaraan antara
peran pria dan wanita cenderung lebih besar kemungkinannya melakukan
hubungan seks sebelum menikah dibandingkan dengan remaja yang menganut
pandangan gender tradisional yang nonegalitarian.
b. Telah memiliki pacar
Dengan memiliki pacar sebagai pasangan seksual, maka kesempatan untuk
melakukan berbagai perilaku seksual juga semakin besar.
Selain faktor-faktor tersebut diatas Mu’tadin (2002) juga menambahkan
beberapa faktor lain, yaitu :
1. Faktor internal
Pada seorang remaja, perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa
sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang
tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Selain itu,
faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks
pranikah karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba
segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada
umumnya, remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan
2. Teman sebaya
Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena
selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga
merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman
dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yang telah
diuraikan diatas maka fokus penelitian ini adalah hubungan dalam keluarga.
Hubungan dalam keluarga yang terjalin baik akan mewujudkan keluarga yang
harmonis. Perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam
keluarga yang harmonis akan mempengaruhi penyesuaian sosial pada diri remaja
sehingga remaja mempunyai proteksi diri terhadap lingkungan teman sebaya yang
negatif seperti perilaku seksual pranikah.
III.B.3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Penelitian yang dilakukan oleh BKKBN (dalam Ringkasan Riset Studi
Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di Empat Kota Besar di Indonesia,
2005), menunjukkan bahwa perilaku seksual yang banyak muncul dengan
pasangan adalah sampai tahap berciuman baik di kening, pipi, maupun bibir.
DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003), mengemukakan
ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu :
a. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada.
b. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
c. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.
d. Meraba payudara.
e. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin
tidak bersentuhan secara langsung).
f. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan
organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.
g. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina
wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi.
Dari uraian diatas perilaku seksual pada remaja dapat dilihat dalam
perilaku, berciuman di kening, dan pipi, lip kissing, deep kissing, necking, petting,
meraba payudara, oral sex, dan sexual intercourse.
II.C. Remaja
II.C.1. Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin yaitu ‘adolescere’
yang berarti perkembangan menjadi dewasa (Monks dkk, 1999). Piaget (dalam
Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa istilah adolescence mempunyai arti lebih
luas yaitu mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik.
Santrock (2003), mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup
Batasan usia yang ditetapkan para ahli untuk masa remaja berbeda-beda.
Menurut Hurlock (1999), usia remaja dibagi dua bagian, yaitu awal masa remaja
yang berlangsung dari usia 13 sampai 17 tahun, dan masa akhir remaja yang
bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun. Monks (1999) menyatakan bahwa
batasan usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase, yaitu
remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/madya (usia 15 hingga 18
tahun) dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah periode perkembangan dari anak-anak ke dewasa awal yang mencakup
perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara
usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.
II.C.2. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja
Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan remaja
meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita
b. mencapai peran sosial pria dan wanita
c. menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
e. mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
f. mempersiapkan karir ekonomi
h. memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku mengembangkan ideologi
II.C.3. Perkembangan Seksual Remaja
II.C.3.a. Perkembangan Seksual Primer dan Sekunder
Sejak masa remaja, pada diri seorang anak terlihat adanya
perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan-perubahan struktur dan fungsi
(Hurlock, 1999). Menurut Imran (2000), masa remaja diawali oleh masa pubertas,
yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik
seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan
organ-organ seksual). Perubahan ini ditandai dengan haid atau menarche pada wanita
dan mimpi basah atau polutio pada laki-laki (Hurlock, 1999). Perubahan tubuh ini
disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan
karakteristik seksual sekunder.
Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ
reproduksi sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam
bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin, misalnya pada remaja putri ditandai
dengan pembesaran payudara, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami
pembesaran suara, tumbuh bulu di dada, kaki dan kumis. Karakteristik seksual
sekunder ini tidak berhubungan langsung dengan fungsi reproduksi, tetapi
perannya dalam kehidupan seksual tidak kalah pentingnya karena berhubungan
II.C.3.b. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual
dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini
menyebabkan masa remaja disebut juga dengan ”masa keaktifan seksual” yang
tinggi, yang merupakan masa ketika masalah seksual dan lawan jenis menjadi
bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rasa ingin tahu tentang
masalah seksual (Imran, 2000).
Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi
oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan
progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh
terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000).
Menurut Monks (1999), pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah
sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase
ini biasanya lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan
kelenjar seks itu sendiri.
Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh
teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian
dimunculkan dalam bentuk berpacaran.
Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000) mengemukakan bahwa
adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan
mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan seksual pada
remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang
seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan
perilaku-perilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual
merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan
memperoleh teman baru kemudian dimunculkan dalam bentuk pacaran. Aktivitas
seksual dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan remaja yang berpacaran
sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.
II.D. Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah
Pada Remaja.
Masalah seksualitas pada masa remaja menjadi pembicaraan yang selalu
menarik bagi siapa saja. Adanya kematangan fisik termasuk matangnya
organ-organ seksual tanpa diimbangi percepatan pematangan emosi dan adanya
kebebasan yang kian meningkat menyebabkan masalah seksualitas yang dialami
remaja menjadi semakin kompleks. Hal tersebut diperparah dengan maraknya
pemberitaan di media massa dan televisi yang menceritakan tentang pacaran dan
cinta (Prihartini, 2002).
Perkembangan organ seksual pada kehidupan remaja salah satunya
berpengaruh pada kehidupan sosial remaja. Remaja dapat memperoleh teman
baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian
Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan
oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (dalam Mayasari, 2000) mengemukakan
bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi atau tingkah laku
berpacaran dan rasa cinta. Hal-hal tersebut telah menempatkan remaja pada posisi
yang rentan. Menurut Pudjono (dalam Prihartini, 2002), kematangan secara
seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan hal-hal yang berbau
seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat.
Dorongan seksual yang meningkat dan rasa ingin tahu yang besar tentang
seksualitas seringkali membawa remaja yang sedang berada dalam posisi rentan
terhadap kasus-kasus ”keterlanjuran”. Masalah-masalah ”keterlanjuran” akibat
seksualitas pada remaja dapat berupa perilaku seksual pranikah yang dapat
mengakibatkan kehamilan pranikah dan penularan penyakit seksual (Prihartini,
2002).
Menurut Sarwono (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seksuah pranikah yang dilakukan remaja adalah hubungan dalam keluarga
khususnya hubungan orangtua dan anak. Orangtua perlu mengembangkan
kepercayaan anak pada orangtua, sehingga remaja lebih terbuka dan mau bercerita
agar orangtua bisa memantau dan mengarahkan pergaulan anak remajanya.
Mu’tadin (2002) juga menambahkan suasana keluarga yang menimbulkan rasa
tidak aman, banyak konflik, tidak menyenangkan, dan hubungan keluarga yang
kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada
masa remaja sehingga remaja cenderung konform dengan pengaruh negatif
Sebaliknya hubungan dalam keluarga yang baik seperti, tidak adanya
konflik dalam keluarga, anggota keluarga yang saling menyayangi, saling
pengertian, adanya komunikasi yang efektif dalam keluarga, orangtua yang selalu
membimbing dan mengarahkan perilaku anak tapi tidak memaksa, dan keluarga
yang saling mendukung segala aktivitas, akan mewujudkan keluarga yang
harmonis (Gunarsa, 2000).
Suasana keluarga yang tidak menyenangkan, membuat anak ingin keluar
dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan
mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan
lainnya. Kondisi ini membuat hubungan remaja dan orangtua menjadi renggang
sehingga remaja semakin merasa tidak mendapat perhatian dalam menghadapi
masalah yang dihadapi terutama seputar adanya perkembangan fisik dan psikis.
Menurut Nuryoto (dalam Prihartini, 2002) hal ini dapat menimbulkan adanya
suatu ketidakpuasan dalam diri remaja. Ketidakpuasan tersebut timbul karena
kebutuhan psikisnya tidak terpenuhi secara tepat dan wajar, sehingga ia berusaha
melakukan kompensasi. Tidak jarang remaja mengalami kesulitan memilih
kompensasi yang positif. Bahkan ada remaja yang sampai melakukan tindakan
yang berbau seks seperti perilaku seksual pranikah.
Remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis,
penuh konflik, kurangnya kasih sayang orangtua, kurangnya perhatian orangtua
terhadap aktivitas remaja akan membentuk remaja yang tidak mempunyai proteksi
diri terhadap pengaruh lingkungan teman sebaya yang negatif sehingga remaja
kompensasi berupa perilaku seksual pranikah dengan pacarnya sebagai upaya
untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang tidak diperolehnya dari
keluarga.
Begitu juga sebaliknya, remaja yang berasal dari keluarga yang penuh
perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan
diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan disekitarnya (Hurlock, dalam
Maria, 2007). Hal ini disebabkan anak yang berasal dari keluarga yang harmonis
akan merasakan rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan dan
penuh kasih sayang karena semakin sedikit masalah antara orangtua, maka
semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak
merasakan kondisi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan
terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orangtuanya tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga harmonis memiliki
kaitan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja. Dimana perasaan aman dan
bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis akan
mempengaruhi penyesuaian sosial pada diri remaja sehingga remaja mempunyai
proteksi diri terhadap lingkungan teman sebaya yang negatif seperti perilaku
seksual pranikah.
II.E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis diatas maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah, ”terdapat hubungan negatif antara keharmonisan keluarga
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Hadi (2000) mengatakan bahwa metode penelitian dalam suatu penelitian
ilmiah merupakan unsur penting, karena metode yang digunakan dalam penelitian
dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan
hasilnya. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat
korelasional, yang bertujuan untuk melihat hubungan antara satu variabel dengan
variabel lain. Pembahasan dalam bab ini meliputi enam hal pokok, yaitu
identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek
penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, prosedur
pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.
III. A. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : keharmonisan keluarga
b. Variabel tergantung : perilaku seksual pranikah
III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
III.B.1. Keharmonisan Keluarga
Keharmonisan keluarga adalah suatu situasi atau kondisi dalam keluarga
yang dirasakan oleh anak dimana pernikahan kedua orangtua tidak bercerai yang
didalamnya terjalin kasih sayang, saling pengertian, penggunaan waktu bersama,
Keharmonisan keluarga dalam penelitian ini akan diungkap dengan
menggunakan alat ukur berupa skala yang dikembangkan sendiri oleh peneliti
dengan mengkombinasikan aspek-aspek keharmonisan keluarga yang dikemukan
oleh Gunarsa (2000) dan Nick (2002) adalah :
1. Kasih sayang antar anggota keluarga
Saling menyayangi, memberikan pujian kepada anggota keluarga, dan adanya
hubungan yang akrab antar anggota keluarga.
2. Saling pengertian sesama anggota keluarga
Mendukung setiap keputusan dan aktivitas anggota keluarga, saling
memahami perasaan anggota keluarga, dan saling menghargai.
3. Dialog atau komunikasi efektif yang terjalin di dalam keluarga
Berdiskusi bersama dalam keluarga, saling bertukar pikiran, menjadi
pendengar yang baik bagi setiap permasalahan anggota keluarga dengan tidak
menghakimi, menilai, ataupun menyetujui dan menolak pernyataan, saling
jujur mengungkapkan kebutuhan, perasaan dan pikiran, dan mengatakan apa
yang diharapkan dari anggota keluarga .
4. Mempunyai waktu bersama dan kerjasama dalam keluarga
Melakukan pekerjaan rumah bersama-sama, liburan bersama, dan
menyediakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga, misalnya makan
malam bersama, dan nonton televisi bersama.
5. Kesejahteraan spiritual
Melakukan ibadah bersama, menjalankan perintah agama, berdiskusi tentang
6. Minimalisasi konflik
Setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah bersama dengan
kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
Skor total pada skala keharmonisan keluarga merupakan petunjuk
harmonis atau tidak harmonisnya hubungan suatu keluarga. Semakin tinggi skor
skala keharmonisan keluarga, maka semakin harmonis hubungan suatu keluarga.
Sebaliknya, semakin rendah skor skala keharmonisan keluarga maka semakin
tidak harmonis hubungan suatu keluarga.
III.B.2. Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses
pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
Perilaku seksual pranikah dalam penelitian ini akan diungkap dengan
menggunakan alat ukur berupa skala yang dikembangkan sendiri oleh peneliti
dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk perilaku seksual yang dikemukakan
oleh DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003), dan hasil
penelitian BKKBN (2005) adalah :
1. Mencium/dicium kening.
2. Mencium/dicium pipi.
3. Meraba payudara.
4. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
5. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.
6. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada.
7. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin
tidak bersentuhan secara langsung).
8. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan
organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.
9. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina
wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi.
Skor total pada skala perilaku seksual pranikah merupakan petunjuk tinggi
dan rendahnya intensitas perilaku seksual pranikah pada remaja. Semakin tinggi
skor skala perilaku seksual pranikah, maka perilaku seksual pranikah yang
dilakukan remaja semakin tinggi intensitasnya. Sebaliknya, semakin rendah skor
perilaku seksual pranikah maka perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja
semakin rendah intensitasnya.
III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel
Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi
dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki sifat
yang sama (Hadi, 2000). Dari populasi yang ditentukan akan diambil wakil dari
Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah remaja di kota
Medan yang berusia 17-18 tahun, belum menikah, berasal dari keluarga tidak
bercerai, pernah pacaran dan tinggal bersama orangtua.
Menurut Hadi (2000), sampel adalah bagian dari populasi. Sampel juga
harus memiliki sedikitnya satu sifat yang sama agar dapat dilakukan generalisasi.
III.C.1. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk
mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam
jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi
agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik incidental sampling. Hadi (2000) mengatakan bahwa incidental sampling
adalah teknik pengambilan sampel nonprobability dimana tidak semua populasi
diberi peluang yang sama untuk dijadikan sampel, hanya individu-individu atau
kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang
dijadikan sampel penelitian.
Setiap orang yang ditemui di lapangan yang kira-kira memenuhi
karakteristik subjek penelitian ini akan ditanya kesediaannya mengisi kedua skala
tersebut. Orang-orang yang bersedia dan sesuai dengan karakteristik subjek
III.C.2. Jumlah Subjek Penelitian
Jumlah total yang menjadi sampel penelitian adalah 106 orang. Mengenai
jumlah sampel, tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian.
Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel
yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000) mengatakan bahwa
menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada menetapkan jumlah
sampel yang sedikit.
III.C.3. Karakteristik Subjek Penelitian
Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah :
1. Remaja akhir menurut Hurlock (1999) yang berusia 17-18 tahun. Hal
ini didasarkan pada usia tersebut minat remaja akan seksual lebih nyata
daripada usia remaja awal .
2. Pernah berpacaran.
3. Berasal dari keluarga tidak bercerai.
4. Status belum menikah.
5. Tinggal bersama orangtua.
III.D. Metode Pengumpulan Data
Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data