• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku seksual pada remaja berpacaran ditinjau dari kelekatan terhadap ibu dan rentang usia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku seksual pada remaja berpacaran ditinjau dari kelekatan terhadap ibu dan rentang usia."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

vii

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA

Natan Agung Purwanto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran dan bagaimana hubungan kelekatan dengan ibu dan perilaku seksual pada remaja berpacaran dengan rentang usia yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi dan korelasi yang dihitung dengan program SPSS for Windows versi 22.0. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran, 2) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun, 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 322 orang yang berpacaran dengan rentang pendidikan mulai dari SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik quota sampling dan snowball sampling. Hasil analisis data menunjukan bahwa 1) kelekatan terhadap ibu tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran (β= -0.078, p = 0.161, p>0.05), 2) kelekatan terhadap ibu tidak berkorelasi dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun (r=0.104, p = 0.115, p>0.05), 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun (r=-0.184, p = 0.004, p<0.05).

(2)

viii

SEXUAL BEHAVIOR IN DATING ADOLESCENT VIEWED FROM ATTACHMENT TO MOTHER AND RANGE OF AGE

Natan Agung Purwanto

ABSTRACT

The aim of the current study was to see whether attachment to mother can predict sexual behavior in dating adolescence and how the relationship between attachment to mother and sexual behavior in adolescents with different age ranges. This research was quantitative research with regression and correlation technique. The data were calculated using SPSS for Windows version 22.0. The hypothesis of this study were 1) attachment with mother can predict sexual behavior in dating adolescent, 2) attachment to mother has significant negative correlation with sexual behavior in dating adolescent aged 10 to 18 years, 3) attachment to mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating. Subjects in this study amounted to 322 dating adolescent ranging from junior high school, senior high school / vocational school, to college students. Subjects were selected using quota sampling technique and snowball sampling technique. The results showed that 1) attachment to the mother is unable to predict sexual behavior in dating adolescent (β = -0078, p = 0161, p> 0.05), 2) attachment to mother is not correlated with sexual behavior in adolescents aged 10 to dating 18 years (r = 0104, p = 0.115, p> 0.05), 3) attachment to the mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating (r = -0184, p = 0.004, p <0.05).

(3)

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN

DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Natan Agung Purwanto 119114119

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

SUFFER THE PAIN OF DISCIPLINE

OR

SUFFER THE PAIN OF REGRET

BIG DREAMS HAVE SMALL BEGINNINGS

THE HARDER YOU WORK, THE LUCKIER YOU GET

DO IT NOW, SOMETIMES “LATER” BECOMES “NEVER”

“IT

DOESN’T

MATTER HOW SLOWLY WE GO,

AS LONG AS WE

DON’T

STOP”

GOOD

GOD = O

“GOOD” without “GOD” means nothing.

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan terima kasih kupanjatkan ke dalam hadirat-Mu,

Tuhan Yesus Kristus.

Tanpa bimbingan dan kekuatan-Mu, aku hanyalah debu.

Jadikanlah hasil karyaku ini berkenan bagi-Mu dan menjadi berkat bagi semua

orang yang membaca atau membutuhkannya, amin.

Skripsi ini juga kupersembahkan kepada kedua orang tuaku,

Bapak Yohanes Herry Purwanto dan Lilik Dwi Hastuti

Tidak lupa kepada saudara-saudaraku,

Daniel Rudita Purwanto dan Yosefin Ratnaingtyas

Pada pacarku, sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuanganku, dan kepada

semua pihak yang telah membantuku dan mendukungku untuk menyelesaikan

skripsi ini, terima kasih.

(8)
(9)

vii

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA

Natan Agung Purwanto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran dan bagaimana hubungan kelekatan dengan ibu dan perilaku seksual pada remaja berpacaran dengan rentang usia yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi dan korelasi yang dihitung dengan program SPSS for Windows versi 22.0. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran, 2) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun, 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 322 orang yang berpacaran dengan rentang pendidikan mulai dari SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik quota sampling dan snowball sampling. Hasil analisis data menunjukan bahwa 1) kelekatan terhadap ibu tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran (β= -0.078, p = 0.161, p>0.05), 2) kelekatan terhadap ibu tidak berkorelasi dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun (r=0.104, p = 0.115, p>0.05), 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun (r=-0.184, p = 0.004, p<0.05).

(10)

viii

SEXUAL BEHAVIOR IN DATING ADOLESCENT VIEWED FROM ATTACHMENT TO MOTHER AND RANGE OF AGE

Natan Agung Purwanto

ABSTRACT

The aim of the current study was to see whether attachment to mother can predict sexual behavior in dating adolescence and how the relationship between attachment to mother and sexual behavior in adolescents with different age ranges. This research was quantitative research with regression and correlation technique. The data were calculated using SPSS for Windows version 22.0. The hypothesis of this study were 1) attachment with mother can predict sexual behavior in dating adolescent, 2) attachment to mother has significant negative correlation with sexual behavior in dating adolescent aged 10 to 18 years, 3) attachment to mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating. Subjects in this study amounted to 322 dating adolescent ranging from junior high school, senior high school / vocational school, to college students. Subjects were selected using quota sampling technique and snowball sampling technique. The results showed that 1) attachment to the mother is unable to predict sexual behavior in dating adolescent (β = -0078, p = 0161, p> 0.05), 2) attachment to mother is not correlated with sexual behavior in adolescents aged 10 to dating 18 years (r = 0104, p = 0.115, p> 0.05), 3) attachment to the mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating (r = -0184, p = 0.004, p <0.05).

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan untuk berkat yang luar biasa dan penyertaan yang tiada henti oleh Tuhan Yesus Kristus. Berkat penyertaanNya, saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul Perilaku Seksual Pada Remaja Berpacaran Ditinjau dari Kelekatan Terhadap Ibu dan Rentang Usia dengan baik. Terima kasih Tuhan, karena Engkau selalu beserta saya disaat saya tidak tahu harus bagaimana. Terima kasih atas hikmat-Mu yang selalu hadir dalam berbagai cara yang bahkan tidak saya duga ketika saya ragu. Terima kasih telah menempa saya menjadi lebih baik melalui proses yang saya jalani selama kuliah dan selama menyelesaikan skripsi ini.

Secara spesial, rasa terima kasih saya berikan sebesar-besarnya kepada keluarga saya. Kepada papah dan mamahku tercinta. Tanpa cinta kalian, saya tidak ada di dunia ini. Tanpa kasih sayang kalian, saya tidak akan menjadi seperti ini. Tanpa perhatian, bimbingan, nasehat, dan didikan kalian, saya tidak pernah tahu apa arti salah dan apa arti benar. Terima kasih sudah menjadi orang tua yang hebat dan luar biasa yang selalu memberikan yang terbaik untuk saya. Terima kasih sudah menjadi orang tua yang bisa menerima dan mencintai saya apa adanya. Terima kasih untuk kedua kakakku tersayang. Berkat kalian, saya tahu apa arti saudara. Terima kasih untuk segala yang kalian berikan pada saya, I love you all so much.

(13)

xi

Terima kasih juga saya ucapkan untuk semua dosen dan staf dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk ilmu pengetahuan dan didikan yang telah saya dapatkan selama duduk di bangku kuliah. Berkat kalian, saya mampu untuk menempa mental dan mempersiapkan diri saya untuk menghadapi dunia yang lebih luas lagi. Terima kasih kepada Mas Muji dan Mas Doni yang telah menjadi rekan sekerja, mentor, dan sahabat saya selama satu tahun bekerja menjadi Student Staff Laboratorium Psikologi. Terima kasih untuk canda tawa serta berbagai pengalaman yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dosen Pembimbing Skripsi saya yaitu Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, berserta istri Mba Haksi Mayawati. Terima kasih atas pengalaman yang sudah diberikan dan juga proses pendidikan yang luar biasa. Terima kasih telah dengan sabar membimbing dan membantu saya menyelesaikan skripsi saya ini.

Tidak lupa juga, ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Akademik saya Ibu Debri Pristinella, M.Si. Terima kasih telah membantu saya belajar di psikologi dari awal saya masuk sampai akhirnya saya lulus. Terima kasih atas arahan dan saran yang diberikan kepada saya ketika saya bimbang untuk melangkah ke semester selanjutnya sehingga saya bisa menjadi seperti sekarang ini.

(14)

xii

jalani selama ini. Terima kasih sudah menjadi pribadi yang mau sama-sama belajar untuk menjadi yang terbaik bagi kita masing-masing. Terima kasih atas perhatian, pengertian, dan kasih sayang yang tulus yang sudah ditunjukan dengan tulus untuk saya. Berkat dirimu, saya belajar bagaimana mencintai dengan tulus, memahami orang lain, membina hubungan, menyelesaikan persoalan, dan banyak hal lain yang saya pelajari dari hubungan kita. Terima kasih juga atas segala bentuk dukungan yang telah kamu berikan sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah saya dan skripsi saya dengan lancar.

Terima kasih untuk teman-teman riset yang telah memberikan saya pengalaman yang benar-benar baru bagi saya, Mba Dita, Mba Fiona, Dara, Rintha, dan Marlina. Berkat kalian, saya tahu penelitian. Berkat kalian, saya tahu bagaimana rasa berjuang from zero to hero. Berkat kalian pula, Melbourne bukan lagi sekedar impian, tapi kenyataan yang kita wujudkan dalam sebuah perjuangkan bersama. Terima kasih teman-teman.

(15)

xiii

seluruh pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dan mendukung saya selama ini.

Akhir kata, saya berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya. Namun, saya menyadari bahwa banyak ketidaksempurnaan dalam diri saya maupun dalam skripsi yang saya tulis ini. Saya sebagai penulis telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyempurnakan skripsi ini sesuai dengan kemampuan saya. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Sekian dan terima kasih.

Yogyakarta, 7 Juli 2015

Penulis,

(16)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

(17)

xv

BAB II. LANDASAN TEORI ... 12

A. Perilaku Seksual ... 12

1. Definisi Perilaku Seksual ... 12

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual dengan Orang Lain ... 14

3. Akibat Perilaku Seksual ... 16

B. Remaja ... 18

1. Definisi Remaja ... 18

2. Tahap Perkembangan Remaja ... 19

3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja ... 25

4. Remaja dan Perilaku Seksual ... 26

5. Remaja dan Relasi Berpacaran ... 28

6. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Seksual Pada Remaja ... 29

C. Kelekatan Terhadap Ibu ... 34

1. Definisi Kelekatan ... 34

2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan dengan Ibu ... 35

3. Aspek Kelekatan ... 37

4. Dampak ... 38

5. Jenis Kelekatan ... 39

6. Pengukuran Kelekatan ... 39

D. Dinamika Antara Kelekatan Terhadap Ibu dengan Perilaku Seksual dan Rentang Usia ... 41

E. Hipotesis ... 46

(18)

xvi

A.Jenis Penelitian... 47

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 47

C. Definisi Operasional ... 47

1. Perilaku Seksual ... 47

2. Kelekatan Terhadap Ibu ... 48

D. Subjek Penelitian ... 49

E. Prosedur Penelitian ... 49

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 50

1. Metode ... 50

2. Alat Pengumpulan Data ... 51

a. Kelekatan Terhadap Ibu ... 51

b. Perilaku Seksual ... 52

1. Alasan Pembuatan Skala Perilaku Seksual... 54

G. Validitas dan Reliabilitas ... 55

1. Validitas Skala ... 55

2. Reliabilitas Skala ... 58

H. Metode Analisis Data... 60

I. Teknik Analisis Data ... 62

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A.Persiapan Penelitian ... 63

B.Pelaksanaan Penelitian ... 64

C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 65

(19)

xvii

1. Uji Normalitas Residu... 66

2. Uji Linearitas Residu ... 68

3. Uji Homoskesdatisitas ... 69

4. Uji Hipotesis ... 71

5. Deskripsi Data Penelitian ... 75

E. Pembahasan ... 76

F. Keterbatasan Penelitian ... 83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran... 84

1. Bagi Orang Tua ... 84

2. Bagi Remaja ... 85

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

1. SKEMA 1 KAITAN ANTARA VARIABEL ... 45

2. SKEMA 2 ANALISIS ANTARA VARIABEL ... 61

3. UJI NORMALITAS DENGAN ANALISIS GRAFIK ... 67

4. UJI LINEARITAS DENGAN ANALISIS GRAFIK ... 69

(21)

xix

DAFTAR TABEL

(22)

xx

(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

(24)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam masa remaja, pemikiran dan perasaan tentang seksualitas mulai

muncul seiring dengan pengalaman remaja ketika mengalami cinta pertama,

memiliki teman yang aktif secara seksual, dan ketika rasa ingin tahunya

tentang seksualitas mulai meningkat (Gianotta, Ciairano, Spruijt, &

Spruijt-Metz, 2009). Secara biologis, munculnya pemikiran serta perasaan seksual

tersebut juga dikarenakan pubertas yang dialami oleh remaja. Pubertas

mempengaruhi sistem hormonal di dalam tubuh termasuk hormon seksual

sehingga munculah hasrat seksual. Kondisi tersebut yang menyebabkan

remaja memiliki rasa ingin tahu untuk melakukan eksplorasi di area

seksualnya. Eksplorasi pada area seksual memang wajar terjadi pada tahap

perkembangan remaja. Hampir setiap orang yang memasuki masa remaja

akan melakukan hal tersebut (Kincaid, Jones, Sterrett, & McKee, 2012).

Namun, terlibat dalam aktivitas seksual menjadi sebuah hal yang patut

mendapat perhatian lebih sebagai bagian dari eksplorasi terhadap seksualitas

yang dilakukan oleh remaja (Graber, Brooks-Gunn, & Galen, 1998; Mitchell

& Wellings, 1998a; Tapert, Aarons, Sedlar, & Brown, 2001). Hal ini

(25)

Menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis meupakan aspek

interpersonal terkait seksualitas yang menjadi salah satu tahap dari

perkembangan remaja (Hurlock, 1973). Salah satu usaha menjalin relasi intim

dengan lawan jenis adalah dengan berpacaran. Munculnya dorongan seksual

dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak

fisik dengan pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara

remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak

fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang

akhirnya akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran (Rahman dan

Hirmaningsih, dalam Mayasari, 2000).

Kecenderungan remaja untuk terlibat perilaku seksual dalam pacaran

dikarenakan kematangan emosi dan kognitif belum dapat dicapai sepenuhnya

pada masa remaja. Someville, Jones, dan Casey (2010) menyatakan bahwa

secara neurobiologis, perkembangan jaringan tubuh yang menunjang

perkembangan sosioemosinal (amygdala) pada remaja berkembang sangat

pesat, namun tidak diimbangi dengan perkembangan jaringan tubuh yang

berperan dalam perkembangan kognitif, pembuatan keputusan, penalaran, dan

perencanaan (prefrontal cortex). Bagian ini belum mencapai pertumbuhan

secara sempurna sampai seseorang memasuki masa dewasa awal. Di sisi lain,

perkembangan yang pesat pada aspek sosioemosional pada remaja

menyebabkan remaja lebih sensitif terhadap stimulus yang bersifat emosional

seperti munculnya gairah seksual. Padahal, kemampuan untuk

(26)

(Someville dkk, 2010). Hal ini membuat seseorang yang berada pada tahap

remaja memiliki kekurangan dalam kontrol diri terhadap rasa ingin tahu yang

dimilikinya (Steinberg, 2008). Kombinasi dari meningkatnya sensitivitas

remaja terhadap rangsangan emosional serta kurangnya kontrol terhadap diri

yang membuat remaja rentan terlibat dalam aktivitas seksual (Someville,

Jones, & Casey, 2010) terutama saat berpacaran.

Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja

memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam aktivitas

seksual dibandingkan dengan orang dewasa. Lebih parahnya lagi, remaja

cenderung melakukan perilaku berisiko dalam aktivitas seksualnya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa semakin dewasa

seseorang, maka keterlibatannya dalam perilaku-perilaku berisiko semakin

berkurang. Berkurangnya perilaku-perilaku berisiko tersebut dapat dijabarkan

menjadi beberapa hal, seperti berkurangnya konsumsi minuman keras

(Fleming dkk., 2000 dalam Searle, 2009) dan berkurangnya kesempatan

untuk terlibat cinta satu malam karena orang dewasa lebih berfokus pada

bagaimana mempertahankan suatu hubungan (Szielasko, Symons, dan Price,

2013). Orang dewasa juga cenderung untuk terlibat dalam hubungan jangka

panjang yang berkomitmen dibandingkan dengan remaja. Hal ini

mengakibatkan berkurangnya kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku

seksual berisiko. Penelitian sebelumnya (Waller, 1937 dalam Searle, 2009)

juga menemukan bahwa remaja cenderung mencari hubungan yang bersifat

(27)

mereka terlibat dalam suatu hubungan hanya untuk mencari gairah dan

eksploitasi pada area seksual.

Peneliti melihat bahwa remaja tidak bisa begitu saja mengekspresikan

dorongan seksual dalam dirinya karena norma yang ada. Akan tetapi, libido

yang sangat kuat tetap membuat remaja melakukan perilaku seksual

walaupun ada norma yang mengatur. Maka dari itu, salah satu caranya adalah

dengan melakukan perilaku seksual dengan pacar. Hal ini dibuktikan dengan

penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 oleh DKT Indonesia (salah satu

produsen merek kondom). DKT Indonesia melakukan survey terkait perilaku

seksual remaja dengan 663 responden berusia 15-25 tahun di lima kota besar

yaitu Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Hasilnya,

bahwa rata-rata responden berhubungan seks pertama pada usia 19 tahun.

Pada umumnya, mereka berhubungan seks dengan pacar (88 persen), yang

wanita dengan sesama jenis (9 persen), dan yang pria bersama pekerja seks (8

persen) (dalam www.lifestyle.okezone.com, diakses pada 11 Mei 2015).

Perilaku seksual memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan

remaja dan lingkungan di sekitarnya apabila dilakukan tanpa pengetahuan

yang cukup. Kehamilan dini, aborsi, penularan penyakit menular seksual

(Goodson, Evans, Edmunson, 1997; Kothick, Shaffer, Forehand, 2001),

meningkatnya kejahatan, penggunaan alkohol, narkoba (Donovan & Jessor,

1985; Hockaday dkk., 2000; Tapert dkk., 2001, Naimi, Lipscomb, Brewer, &

Gilbert, 2003 dalam Gianotta, dkk, 2009) dan meningkatnya angka kelahiran

(28)

dari perilaku seksual. Namun, dampak negatif justru semakin terlihat seiring

bertambahnya usia remaja. Melihat dampak perilaku seksual pada remaja

tentang penyakit menular seksual contohnya di Yogyakarta sungguh

memprihatinkan. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY mencatat 2588

kasus HIV/AIDS dari tahun 1993 sampai Maret 2014. Berdasarkan data

tersebut, 41 kasus dialami oleh remaja berusia 14-15 tahun sedangkan 890

kasus dialami oleh remaja berusia 20-29 tahun (dalam www.aidsyogya.or.id, diakses pada 11 Mei 2015). Hal ini didukung dengan survey sebelumnya

yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) pada

tahun 2002 dengan subjek mahasiswa. Hasilnya, sebanyak 97,5% dari total

responden berjumlah 1660 orang, mengaku telah kehilangan keperawanannya

karena seks pranikah dengan pasangan (dalamwww.sosbud.kompasiana.com,

diakses pada 11 Mei 2015).

Dampak yang timbul karena perilaku seksual juga memiliki pengaruh

jangka panjang yang buruk pada remaja. Kehamilan pada masa remaja yang

disebabkan karena perilaku seksual berkaitan dengan pencapaian akademik

yang rendah, depresi, dan self-esteem yang rendah (Corcoran, Franklin, &

Bennett, 2000; Hockaday, Sedahlia, Shelley, & Stockdale, 2000). Selain itu,

efek jangka panjang yang cukup membahayakan bagi remaja adalah

timbulnya perasaan bersalah, depresi, dan marah (Simkins, 1984 dalam

Sarwono 2011). Regulasi emosi remaja yang belum matang berpotensi

membuat remaja sulit mengatasi perasaan bersalah karena melakukan

(29)

Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa komunikasi, terutama

dengan ibu, adalah faktor protektif yang paling konsisten. Beberapa penelitian

sebelumnya melaporkan bahwa ibu adalah sosok yang paling sering

disebutkan sebagai orang yang berkomunikasi dengan remaja terkait masalah

seksualitas (Miller, Levin, Whitaker, & Xu, 1998 dalam Aspy, 2007). Ketika

ibu memberitahu anak remajanya untuk tidak terlibat dengan perilaku

seksual, mereka cenderung untuk tidak terlibat dalam perilaku seksual bahkan

ketika ada pengaruh dari orang lain untuk aktif secara seksual (Dittus &

Jaccard, 2000; Whitaker & Miller, 2000 dalam Aspy, 2007). Remaja yang

orang tuanya mengizinkan atau tidak mengkomunikasikan penolakannya

terhadap perilaku seksual cenderung lebih aktif secara seksual (Todd, Fisher,

Hill, Walker, 2008; Jaccard, Dittus, & Gordon, 1998; Sieving, McNeely, &

Blum, 2000 dalam Kincaid, Jones, Sterrett, McKee 2012).

Berdasarkan teori di atas, peneliti berasumsi bahwa seharusnya ketika

seorang anak dekat dengan ibunya maka anak akan terhindar dari perilaku

seksual pada masa remaja karena memungkinkan terjadinya komunikasi yang

intensif. Namun, berdasarkan hasil observasi di lapangan, peneliti

menemukan fenomena dimana anak yang tinggal dan dekat dengan ibunya

tetap terlibat perilaku seksual. Hal ini berarti ada sesuatu yang lebih mendasar

daripada keberadaan figur seorang ibu dan komunikasi yang dibangun terkait

seksualitas. Peneliti menduga bahwa ikatan emosional atau kelekatan

merupakan dasar yang penting dalam hubungan antara anak dengan orang

(30)

anak. Apalagi jika dalam berinteraksi anak mendapat tekanan dari orang tua,

akan membuat anak merasa tidak dekat dan tidak menjadikan orang tuanya

sebagai ”role model”. Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya

sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif (Eliasa. 2011).

Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya keterkaitan antara

hubungan orang tua dengan anak yang positif dengan berkurangnya

keterlibatan remaja dalam perilaku seksual. (Wight D dan Abraham C, 2005;

Aspy dkk., 2007). Hubungan yang positif terbentuk dari komunikasi dan

kelekatan aman yang terjalin antara anak dengan orang tua (Pearson, Muller,

dan Frisco, 2006). Kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara

orang tua dengan anaknya (Bowlby, 1969). Menurut Bowlby (1969, 1973)

dan peneliti lainnya (Ainsworth dkk., 1978; Sroufe, 1988 dalam Peluso dkk,

2004), kelekatan yang aman ditunjukkan dengan perasaan intim yang kuat,

perasaan aman dan nyaman ketika berada dekat dengan orang tua. Seorang

anak yang mendapatkan kelekatan yang aman akan merasakan kehangatan

dan kualitas hubungannya dengan orang tua akan menjadi positif. Mereka

akan merasa dirinya aman dan tidak cemas untuk menjalin relasi dengan

teman dan pacar sehingga anak-anak seperti ini tidak rentan terhadap perilaku

seksual. Selain itu, kelekatan aman memungkinkan terjadinya komunikasi

yang intim dengan orang tuanya (Ainsworth dkk., 1978). Seorang anak yang

dengan bebas dapat berkomunikasi terutama tentang seksualitas dengan orang

tuanya akan cenderung terhindar dari perilaku seksual berisiko di masa

(31)

konseling dan pendidikan seks kepada anaknya (Pearson, Muller, & Frisco,

2006 ; Ajidahun & Akoko, 2013; Dittus dan Jaccard, 2000; Lammers, Ireland,

Resnick, dan Blum, 2000 dalam Regnerus & Luchies 2006). Akan tetapi,

peneliti tidak menemukan studi yang membahas kelekatan terhadap ibu

secara spesifik berkaitan dengan perilaku seksual.

Di sisi lain, terjadi kontradiksi antara beberapa penelitian sebelumnya

terkait kelekatan dan perilaku seksual berdasarkan studi literatur yang

dilakukan oleh Buhi dan Goodson (2007). Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa tidak ada korelasi antara kedekatan anak kepada orang tua dengan

perilaku seksual di masa remaja (Diiorio C, Dudley, Soet, McCarty, 2004;

Roche, Mekos, Alexander, dkk., 2005; Cleaveland, 2003; French, 2003).

Beberapa penelitian lainnya menunjukkan hasil lain seperti kedekatan dengan

ibu dan waktu yang dihabiskan dengan ibu dapat mencegah perilaku seksual

hanya kepada anak perempuan saja, tidak dengan laki-laki, komunikasi

dengan orang tua memiliki efek yang berbeda pada laki-laki dan perempuan,

pengawasan dari orang tua tidak memiliki hubungan (Ramirez-Valles,

Zimmerman, Juarez, 2002; Ream, Savin-Williams, 2005; Davis, Friel 2001;

Rose, Bhaskar, & dkk., 2005; Biddlecom, Awusabo-Asare, Bankole, 2009).

Inkonsistensi hasil dalam penelitian sebelumnya terjadi karena penelitian

sebelumnya menggunakan konstruk kedekatan dengan orang tua namun

dengan pemahan konsep yang berbeda sehingga pengukuran kedekatan

dengan orang tua menggunakan instrumen atau metode penskalaan yang

(32)

belum teruji. Hal ini dikarenakan beberapa penelitian sebelumnya tidak

menggunakan sampel dalam jumlah besar yang dapat mewakili seluruh

populasi. Selain itu, peneliti sebelumnya hanya menggunakan analisis

statistik univariat dibandingkan menggunakan analisis statistik bivariat yang

mampu menganalisis beberapa variabel bebas dan variabel terikat sehingga

hasil analisis dari data tersebut tidak mencerminkan kompleksitas dari

perilaku seksual. Keterbatasan ini membuat hasil penelitian sebelumnya tidak

dapat digeneralisir karena hubungan sebab akibat antar variabel tidak dapat

dibangun dan kurangnya kontrol terhadap bias (Buhi & Goodson, 2007).

Berdasarkan pemaparan teoritis penulis di atas, penulis menduga

bahwa jika kelekatan orang tua (khususnya ibu) dapat diukur dengan alat ukur

yang mampu menampung konsep kelekatan yang digunakan pada penelitian

sebelumnya, serta jumlah subjek diperluas pada berbagai kelompok remaja,

maka kelekatan terhadap ibu memiliki suatu keterkaitan dengan perilaku

seksual sekaligus dapat menjadi prediktor keterlibatan remaja dalam perilaku

seksual. Selain itu, penulis juga menduga bahwa rentang usia selama masa

remaja memiliki keterkaitan dengan kelekatan terhadap ibu dan perilaku

seksual. Maka dari itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang

perilaku seksual pada remaja berpacaran terkait rentang usia dan kelekatan

(33)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

disimpulkan menjadi pertanyaan yang merumuskan masalah dari penelitian

ini yaitu : apakah kelekatan terhadap ibu dapat memperediksi perilaku seksual

pada remaja? Apakah ada kaitan antara perbedaan rentang usia pada remaja

dan kelekatan terhadap ibu dengan perilaku seksual pada masa remaja?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan ibu dengan

anak dapat menjadi prediktor untuk perilaku seksual pada masa remaja secara

keseluruhan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana

hubungan perilaku seksual ditinjau dari rentang usia dan kelekatan dengan

ibu pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam

bidang psikologi sosial dan perkembangan bahwa kelekatan anak dengan

ibu memiliki kaitan yang penting dengan keterlibatan anak dalam

perilaku seksual di masa remaja terutama saat remaja mulai membangun

(34)

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan informasi bagi orang tua, terutama ibu, untuk

lebih memperhatikan hubungan yang dibangun dengan anak. Hal ini

dikarenakan dengan ikatan emosional yang baik dalam suatu hubungan

dapat membentuk komunikasi yang baik dan perasaan nyaman pada anak

sehingga terhindar dari periaku seksual sebelum waktunya ketika

(35)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERILAKU SEKSUAL

1. Definisi Perilaku Seksual

Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia.

Perilaku juga dapat diartikan sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana

maupun kompleks serta mempunyai sifat diferensial, artinya satu stimulus

dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa

stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama

(Azwar ,1995). Salisa (2010) menjelaskan pandangannya mengenai

perilaku sebagai suatu keadaan jiwa atau berpikir dan sebagainya dari

seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap situasi di

luar subjek tersebut. Respon atau tanggapan ini terdiri dari dua macam

yaitu bersifat aktif (dengan tindakan sehingga dapat dilihat) dan bersifat

pasif (tanpa tindakan sehingga tidak dapat dilihat). King (2010) juga

memberikan definisi yang serupa dengan Salisa. Perilaku didefinisikan

sebagai segala sesuatu yang dilakukan dan dapat diamati secara langsung.

Perilaku tersebut disertai dengan proses mental yaitu perilaku yang tidak

dapat diamati secara langsung seperti berpikir. Dengan demikian, perilaku

dapat diartikan sebagai manifestasi dari proses internal yang terjadi dalam

(36)

individu yang diwujudnyatakan dalam suatu tindakan atau respon tertentu

dan dapat diukur secara langsung atau tidak langsung.

Sedangkan seks dalam kamus bahasa berarti jenis kelamin. Segala

sesuatu yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau dengan perkara

persetubuhan antara laki-laki dan perempuan disebut seksual. Chaplin

(dalam Farisa 2013) menjelaskan bahwa seksual menyinggung hal

reproduksi atau perkembangbiakan lewat penyatuan dua individu yang

berbeda yang masing-masing menghasilkan sel telur dan sel sperma.

Secara umum, menyinggung perilaku, perasaan, atau emosi yang

berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah

erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan. Maka, perilaku dan

seks memiliki keterkaitan satu sama lain karena seks juga menyinggung

perilaku seseorang.

Sarwono (2011), mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala

bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan

jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa

bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku

berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa

orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Kartono dan Amrillah

(dalam Salisa, 2010) juga menjelaskan bahwa perilaku seks adalah

mekanisme bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Selain itu,

perilaku seksual merupakan hal yang menimbulkan sensasi yang

(37)

2006). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual

adalah suatu tindakan yang didasari oleh hasrat seksual sebagai

manifestasi dari proses internal yang terjadi dalam diri individu karena

adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar individu dan dilakukan

oleh pasangan yang sejenis maupun berbeda jenis dengan tujuan

reproduksi atau untuk mendapat kepuasan baik secara fisik maupun

psikologis.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual dengan Orang Lain

Menurut Nevid, Rathus dan Rathus (2008), terdapat beberapa

bentuk perilaku seksual, yaitu foreplay yang dimulai dari 1) Berciuman

(kissing), ciuman dapat menjadi bentuk afeksi seseorang terhadap

pasangannya, teman atau kerabatnya. Untuk itu ciuman bisa sebatas

pada pipi, atau yang lebih jauh lagi yaitu ciuman pada bibir. Berciuman

bibir dapat dengan adanya gerakan lidah pada mulut pasangan (deep

kissing), atau hanya sekedar menempelkan bibir pada pasangan. Pada

setiap deep kissing hampir selalu disertai dengan adanya gerakan erotis

tangan pada tubuh pasangan. 2) Stimulasi payudara antara lain

mencium, menghisap atau menjilati payudara pasangan. Bagian tubuh

lain yang biasanya juga dicium termasuk tangan dan kaki, leher dan lubang

telinga, paha dalam, dan alat kelamin. 3) Menyentuh (touching) dan

stimulasi oral genital, menyentuh atau meraba daerah erotis dari

pasangan dapat menimbulkan rangsangan. Perempuan dan pria secara

(38)

kelaminnya. Sampai pada tahap intercourse yaitu aktivitas seksual antara

laki-laki dan perempuan dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat

kelamin perempuan.

Menurut Vener dan Stewart (dalam Nophira 2010), perilaku

seksual itu dimulai dari saling berpegangan tangan, berpelukan,

berciuman, necking, petting, hingga ke senggama dan pada akhirnya

melakukan senggama pada banyak orang. Hasil penelitian Sahabat Remaja

(1987) dalam Nophira 2010, menunjukkan bahwa perilaku seksual

bertahap mulai dari saling berpegangan tangan, berciuman, saling

berpelukan, menempelkan alat kelamin dengan atau tanpa alas sampai

pada puncaknya yaitu melakukan senggama. Menurut Sarwono (2011)

bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik,

pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse meliputi:

a. Kissing

Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di

bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat

menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup

merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan

bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss.

(39)

b. Necking

Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang

digunakan untuk menggambarkan ciuman di sekitar leher dan pelukan

yang lebih mendalam.

c. Petting

Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara

dan organ kelamin. Petting merupakan langkah yang lebih mendalam dari

necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan

termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah

kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

d. Intercourse

Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria

dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam

vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Dari keseluruhan uraian di atas, maka bentuk perilaku seksual

dapat dikelompokkan dari tahap yang ringan seperti berpegangan tangan,

berpelukan, ciuman di pipi atau kening, sampai tahap yang berat seperti

necking, petting (melakukan stimulasi di daerah erotis seperti dada atau

alat kelamin), dan intercourse (senggama).

3. Akibat Perilaku Seksual

Perilaku seksual sebelum waktunya yang tidak diimbangi dengan

(40)

a. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Copper dkk, 1998,

dalam Dawson, Shih, Moor, & Shrier, 2008; Nevid, Rathus & Rathus,

2008). Hal ini dapat membuat remaja terpaksa menikah padahal

mereka belum siap secara mental, sosial, dan ekonomi.

b. Secara psikososial, akibat dari perilaku seksual berisiko adalah

munculnya ketegangan mental, penolakan dari masyarakat, dan

kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang

gadis tiba-tiba hamil. Selain itu, ada juga akibat lain seperti putus

sekolah dan akibat-akibat ekonomi karena diperlukan biaya perawatan

dan lain-lain (Sanderowitz & Paxman, 1985 dalam Sarwono, 2011).

c. Secara emosional, perilaku seksual berisiko dapat menimbulkan

perasaan bersalah, depresi, dan marah (Simkins, 1984 dalam Sarwono

2011).

d. Pengguguran kandungan (aborsi), apabila hal ini dilakukan oleh orang

yang belum terlatih dapat membahayakan atau bahkan menyebabkan

kematian bagi sang ibu (Nevid, Rathus & Rathus, 2008).

e. Terkena penyakit menular seksual (HIV/AIDS, raja singa, dan

lain-lain), khususnya bagi remaja yang sering berganti-ganti pasangan atau

yang sering melakukan hubungan seksual dengan penjajah seks

(41)

B. REMAJA

1. Definisi Remaja

Remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia dimana

terjadi perubahan yang besar pada manusia muda (Santrock, 2002). Pada

waktu inilah perubahan secara fisik terjadi dengan sangat cepat. Perubahan

fisik yang jelas terlihat adalah perubahan bentuk tubuh baik pada laki-laki

maupun perempuan. Perubahan fisik yang lain juga terjadi pada organ

reproduksi. Pada masa remaja, organ reproduksi mulai matang.

Kematangan organ reproduksi ditandai dengan terjadinya pubertas

(Santrock. 2002). Biasanya, terjadinya pubertas pada remaja disertai

dengan kesibukan remaja untuk mengenali tubuh mereka dan

mengembangkan citra dirinya mengenai gambaran tubuh mereka. Pubertas

sendiri adalah suatu periode pada masa remaja dimana kematangan

kerangka tubuh dan seksual terjadi secara pesat. Salah satu perubahan fisik

yang terjadi selama masa pubertas adalah menarche atau haid pertama

pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki.

Remaja tidak hanya ditandai dengan perubahan fisik saja, tetapi

remaja juga mengalami perubahan pada aspek kognitif, sosio/emosional,

dan interpersonal. Secara kognitif, rasa ingin tahu remaja terhadap suatu

hal muncul karena pada masa remaja seseorang mulai mengembangkan

pemikiran operational formal (Piaget, dalam Santrock 2002). Pada fase ini,

seseorang mulai dapat berpikir dengan abstrak, logis, dan berusaha

(42)

lingkungan di sekitarnya. Ketika remaja bertumbuh dan berkembang,

interaksi interpersonal remaja mendapat banyak pengaruh dari pihak luar

seperti orang tua, teman sebaya, komunitas, budaya, agama, lingkungan

sekolah, dan media (AACAP, 2003 dalam Spano, 2004).

Menurut WHO, remaja adalah orang-orang yang berusia 10 sampai

20 tahun (Sarwono, 2011). Menurut Spano (2004), masa remaja secara

global terjadi pada usia 10 sampai 21 tahun. Sedangkan Santrock (2007)

membagi remaja menjadi dua rentang usia. Pertama adalah masa remaja

awal dengan rentang usia 10 tahun hingga 13 tahun. Kedua adalah masa

remaja akhir dengan rentang usia 18 tahun hingga 22 tahun. Santrock

membedakan masa remaja awal dengan akhir karena pada masa remaja

akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati

masa dewasa. Senada dengan Santrock, Steinberg (2002) juga melakukan

periodisasi pada masa remaja. Remaja dibagi menjadi tiga periode, yaitu

remaja awal berusia 10 sampai 13 tahun, remaja tengah berusia 14 sampai

18 tahun, dan remaja akhir berusia 19 sampai 22 tahun. Berdasarkan

pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan

bahwa remaja adalah seseorang yang berusia 10 hingga 22 tahun.

2. Tahap Perkembangan Remaja

Santrock (2002), menjelaskan bahwa masa remaja adalah peralihan

dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan berubahnya fisik

maupun kognitif seseorang. Spano (2004) melihat tahap perkembangan

(43)

tersebut ke dalam lima area perkembangan yaitu pergerakan menuju

kemandirian, ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif, seksualitas,

perubahan fisik, dan etika dan norma diri. Tahapan perkembangan remaja

menurut Spano adalah sebagai berikut :

a. Remaja awal (10-14 tahun)

1) Pergerakan menuju kemandirian.

Konsep identitas mulai muncul pada diri remaja dan akan terus

dibentuk dari waktu ke waktu. Remaja juga mulai belajar untuk

mengekspresikan perasaannya melalui tindakan. Pada masa ini,

perhatian terhadap orang tua mulai menurun dan digantikan dengan

ketertarikan untuk bergabung dengan teman sebaya yang dekat dengan

dirinya. Pergaulan ini memiliki pengaruh yang besar karena remaja

mulai menyadari bahwa orang tuanya tidak sempurna sehingga remaja

pada masa ini mencoba mencari sosok lain yang dapat memberikan

cinta selain orang tua. Kecenderungan untuk kembali ke perilaku

kekanak-kanakan masih cukup besar ketika remaja mengalami konflik.

2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.

Secara kognitif, pada masa ini remaja mulai mengembangkan

kemampuan untuk berpikir abstrak. Remaja pada masa ini lebih banyak

tertarik pada apa yang ada dihadapannya saat ini. Namun, ketertarikan

terhadap karir atau mimpi di masa depan mulai muncul. Pada masa ini

juga kemampuan untuk bekerja atau melakukan suatu kegiatan sangat

(44)

3) Seksualitas.

Dalam hal seksualitas, perempuan matang lebih cepat dibanding

laki-laki. Namun, pada masa ini, baik laki-laki dan perempuan mulai

memunculkan ketertarikan akan tubuh. Mulai timbul rasa malu dan

ingin melakukan eksplorasi tubuh dengan privasi. Biasanya muncul

perilaku masturbasi sebagai bentuk eksplorasi seksual.

4) Perubahan fisik.

Pada masa ini, secara fisik, tubuh mulai bertambah tinggi dan besar.

Selain itu, mulai muncul rambut pada ketiak atau kemaluan, rambut

pada wajah (khususnya pria), kumis, mulai muncul minyak di wajah

atau kulit, dan suara membesar (pada pria). Testis dan penis

berkembang dan pria mengalami mimpi basah. Sedangkan pada wanita,

rahim berkembang, buah dada membesar serta mengalami menstruasi.

5) Etika dan norma diri.

Pada masa ini, remaja mulai memahami suatu aturan. Di sisi lain,

kecenderungan untuk mencoba suatu hal di luar peraturan yang diyakini

juga mulai muncul. Biasanya, perilaku yang muncul adalah mencoba

rokok atau alkohol.

b. Remaja pertengahan (15-16 tahun)

1) Pergerakan menuju kemandirian.

Kesadaran terhadap diri mulai meningkat, di sisi lain remaja juga mulai

menyadari perasaan cemas yang timbul karena kegagalan dan harapan

(45)

terganggu bila ada campur tangan orang tua. Oleh karena itu, remaja

pada masa ini cenderung menarik diri dari orang tua dan mengeluarkan

usaha lebih besar untuk mencari teman baru. Remaja pada masa ini juga

akan memberi perhatian lebih pada kelompok dimana dia bergabung.

Pada masa ini, remaja mulai mencoba memahami pengalaman yang

terjadi dalam dirinya dan biasanya pengalaman tersebut dituliskan

dalam bentuk buku harian (diary). Selain itu, remaja pada masa ini juga

sangat memperhatikan penampilan dan tubuhnya.

2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.

Remaja pada masa ini sudah tertarik dengan hal-hal yang bersifat

intelektual dan kemampuan untuk berpikir visioner semakin

berkembang. Oleh karena itu, remaja mulai belajar untuk mengarahkan

energi psikisnya pada kreatifitas yang dimiliki untuk menunjang

ketertarikan remaja terhadap suatu bidang karir tertentu. Di sisi lain,

rasa cemas terhadap kemampuan akademik di sekolah juga mulai

timbul pada remaja di masa ini.

3) Seksualitas.

Selain tubuh dan penampilan, daya tarik seksual juga menjadi hal yang

sangat diperhatikan oleh remaja pada masa ini. Hal ini dikarenakan

orientasi seksual pada remaja mulai jelas terlihat pada masa ini dan

remaja mulai menumbuhkan perasaan cinta, nafsu, dan malu terhadap

lawan jenis. Namun, kemampuan untuk mempertahankan hubungan

(46)

dalam satu hubungan. Konflik internal juga bisa saja terjadi pada

remaja yang memiliki orientasi seksual homoseksual.

4) Perubahan fisik.

Pada usia ini, fisik laki-laki terus tumbuh sedangkan fisik perempuan

pertumbuhannya mulai melambat. Perempuan hanya tumbuh 2,5

sampai 5 sentimeter setelah periode menstruasi yang pertama.

5) Etika dan norma diri.

Remaja juga mengembangkan kemampuan untuk memilih role model

yang sesuai dengan idealisme dirinya, mulai tertarik dengan moralitas,

dan kemampuan untuk menentukan tujuan hidupnya semakin

meningkat.

c. Remaja akhir (17-21 tahun)

1) Pergerakan menuju kemandirian.

Remaja yang mencapai masa ini memiliki identitas diri yang lebih

kokoh dan mampu untuk membuat keputusan yang mandiri. Remaja

juga lebih tertarik untuk menjadi stabil. Dari segi emosional, kestabilan

tersebut ditandai dengan kemampuan menunda kegembiraan atau

kepuasan pribadi (delayed gratification). Selain itu, remaja pada fase ini

memliki kemampuan untuk mengembangkan ide-ide. Kemampuan

tersebut ditunjang dengan munculnya kemampuan untuk

mengekspresikan ide tidak hanya melalui tindakan tetapi juga melalui

kata-kata. Bahkan, tidak hanya berhenti pada kemampuan untuk

(47)

bangga terhadap hasil kerjanya. Kemudian, kepercayaan diri pada masa

remaja ini semakin terbangun. Kemampuan untuk berkompromi dengan

orang lain juga muncul sehingga remaja juga lebih memiliki perhatian

terhadap orang lain.

2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.

Pada masa ini, pola kerja semakin terbentuk. Selain itu, remaja juga

lebih memperhatikan masa depannya dan lebih memikirkan tentang

peranan diri dalam hidupnya.

3) Seksualitas.

Seksualitas remaja pada masa ini dalam hal berelasi dengan orang lain

semakin matang karena lebih memperhatikan hubungan yang serius.

Identitas seksualnya juga sudah jelas. Kemudian, remaja pada masa ini

juga lebih memiliki kapasitas untuk mencintai dengan tulus,

kehangantan, dan gairah.

4) Perubahan fisik.

Sebagian besar wanita yang memasuki fase ini, organ tubuhnya telah

berkembang secara penuh dan mencapai kematangan. Namun, pada

laki-laki, tubuh tetap bertambah tinggi, besar, dan masa otot juga

semakin bertambah.

5) Etika dan norma diri.

Remaja mampu menggunakan wawasan yang luas (insight), lebih fokus

pada gengsi dan harga diri. Selain itu, remaja pada masa ini sudah

(48)

mengambil tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara sosial,

remaja sudah mampu menerima tradisi atau budaya yang ada di

sekitarnya.

3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1978) tugas perkembangan pada

masa remaja ada sebagai berikut :

a. Mencapai relasi yang baru dan lebih dewasa dengan teman sebaya

baik dengan laki-laki maupun perempuan.

b. Mencapai peran sosial baik maskulin atau feminin.

c. Menerima keberadaan tubuhnya dan menggunakan tubuh secara

efektif.

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya.

e. Mencapai kepastian ekonomi yang mandiri.

f. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan.

g. Mempersiapkan diri dalam kehidupan pernikahan dan berkeluarga.

h. Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep yang dibutuhkan

untuk kehidupan sosial.

i. Memiliki perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.

j. Memperoleh nilai-nilai dan etika dalam hidup sebagai panduan untuk

(49)

4. Remaja dan Perilaku Seksual

Santrock (2002) secara umum menyimpulkan bahwa pada masa

remaja ini, sebagian perkembangan anak-anak masih dicapai seperti

pertumbuhan tinggi badan dan sebagian kematangan masa dewasa sudah

dicapai seperti kematangan organ reproduksi. Kematangan organ

reproduksi ditandai dengan pubertas. Pubertas adalah suatu periode

dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama

pada awal masa remaja (Santrock, 2002).

Pubertas dapat dilihat dari munculnya tanda-tanda seksual

sekunder maupun primer. Tanda-tanda seksual tersebut dipengaruhi oleh

hormon-hormon seksual yang mulai aktif dan bahkan meningkat sangat

drastis konsentrasinya pada masa remaja. Perubahan suara dan perubahan

bentuk tubuh merupakan tanda seksual sekunder. Sedangkan tanda

seksual primer adalah haid pertama (menarche) pada perempuan dan

mimpi basah pada laki-laki. Kedua tanda tersebut muncul pada remaja

yang mulai memasuki masa pubertas yang menjadi awal munculnya

ketertarikan seksual pada remaja

Hormon-hormon dalam tubuh yang berkembang tidak hanya

menyertakan sejumlah perubahan fisik saja, tetapi juga perubahan

psikologis pada remaja. Perubahan fisik remaja menjadi lebih besar

dianggap oleh masyarakat sebagai tanda bahwa remaja akan menjadi

(50)

mulai muncul membuat remaja mengalami krisis identitas ketika remaja

tidak mampu menghadapinya (Erikson, 1968 dalam King 2010).

Krisis identitas adalah tahap dimana remaja dihadapkan dengan

banyak peranan baru dan status dewasa baik dari segi pekerjaan maupun

percintaan, namun remaja sulit untuk membuat keputusan terhadap

permasalahan-permasalahan tersebut untuk menentukan identitas dirinya

(King, 2010). Dalam rangka menyelesaikan krisis identitas ini, remaja

memunculkan banyak minat dan mencari berbagai alternatif. Salah satu

minat yang muncul adalah minat terhadap seks dan perilaku seksual

(Windy, 2009). Sehingga, minat remaja terhadap seks tidak hanya terjadi

karena perubahan hormon saja, tetapi juga sebagai bagian dari

perkembangan sosio-emosional remaja.

Meningkatnya minat terhadap seks membuat remaja berusaha

untuk mencari informasi lebih banyak mengenai seks. Namun, karena

lingkungan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak memungkinkan bagi

remaja untuk mencari informasi, remaja cenderung akan membahas

masalah seks dengan temannya atau mencari melalui buku dan bahkan

melakukan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau

bersenggama (Hulrock, 1980, h.226 dalam Windy 2009). Maka dari itu,

perilaku seksual menjadi suatu hal yang wajar terjadi dalam masa

(51)

5. Remaja dan Relasi Berpacaran

Salah satu tanda seseorang memasuki masa remaja adalah dengan

terbentuknya relasi romantis dengan orang lain atau relasi berpacaran

(Collins, Welsh, Furman, 2009). Dorongan untuk membentuk relasi

romantis atau berpacaran dengan orang lain memang secara alami sudah

ada dalam diri remaja karena hal tersebut merupakan salah satu tugas

perkembangan dalam masa remaja (Hulrock, 1978; Sullivan dalam

Steinberg 2002). Hubungan pacaran bukan hanya sekedar menghabiskan

waktu bersama atau melakukan kegiatan bersama, melainkan ada unsur

rasa senang dan bergelora yang timbul ketika bertemu dengan pasangan

(Gunarsa & Gunarsa, 2012). Ketika dua orang remaja menghasbiskan

waktu bersama dan melakukan suatu kegiatan hanya berdua, belum tentu

mereka menjalin relasi berpacaran. Istilah relasi berpacaran merujuk pada

hubungan timbal balik yang berjalan dengan sukarela dan ditandai dengan

adanya ekspresi afeksi yang mendalam. Dikatakan demikian karena jika

dibandingkan dengan relasi pertemanan, hubungan pacaran lebih

memiliki intensitas dan keintiman khusus (Collins, Welsh, Furman,

2009).

Hubungan pacaran mendasari banyak tujuan pada masa remaja.

Pada masa remaja awal, memiliki pacar identik dengan perasaan ingin

dilihat oleh orang lain atau ingin terkenal diantara teman sebayanya.

Namun, berbeda halnya pada remaja akhir yang lebih mengedepankan

(52)

membangun kemandirian emosional dari orang tua, mengembangkan

kelekatan dengan individu selain orang tua, mengembangkan identitas

gender lebih lanjut, dan mempelajari orang lain sebagai pasangan

(Steinberg, 2002). Selain itu, berpacaran juga merupakan usaha untuk

mengenal lebih dalam demi menambah pengetahuan tentang pribadi

pasangan sebelum keduanya terikat dalam tali perkawinan (Viasti, 2014).

Menurut Loevinger (dalam Viasti, 2014), hubungan pacaran

diawali dengan munculnya rasa tertarik dalam diri individu pada orang

lain yang ingin dijadikan pasangan. Rasa tertarik tersebut kemudian

berkembang dan memunculkan keinginan untuk melakukan tindakan

pendekatan sebagai upaya pengenalan lebih jauh yang berupa berkencan.

Selama berkencan, remaja akan melakukan berbagai kegiatan bersama

sebagai bentuk dari proses pendekatan, termasuk terlibat dalam perilaku

seksual.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa remaja yang

berpacaran adalah remaja yang sedang menjalin relasi timbal balik yang

sifatnya intim dan intens dengan orang lain yang ditandai dengan adanya

proses untuk saling mengenal dan memahami lebih dalam melalui

interaksi atau kegiatan yang dijalani bersama dan juga ditandai dengan

perasaan senang atau bahagia yang mendalam ketika bersama.

6. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Seksual Pada Remaja

Faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja menurut

(53)

1) Pengetahuan

Pada umumnya, seseorang yang memasuki usia remaja

pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tergolong masih kurang.

Padahal, kematangan seksual remaja sudah hampir berkembang

secara lengkap. Selain itu, kurangnya pengarahan dari orang tua

yang mentabukan dan mengambil jarak mengenai seks atau

kesehatan reproduksi khususnya tentang akibat-akibat perilaku seks

pranikah, membuat mereka sulit mengendalikan

rangsangan-rangsangan yang muncul dari dirinya karena fantasi yang mereka

buat atau pengaruh lingkungan. Ditambah lagi, banyak kesempatan

untuk melihat pornografi melalui media massa yang membuat

mereka melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahui

risiko-risiko yang dapat terjadi seperti kehamilan yang tidak

diinginkan dan penyebaran penyakit menular seksual.

2) Meningkatnya libido seksual

Seorang remaja akan menghadapi tugas-tugas perkembangan

yang berkaitan dengan fisik dan peran sosial pada dirinya.

Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain, menerima kondisi fisik,

memanfaatkan teman sebaya dengan berbagai jenis kelamin,

menerima peran seksual masing-masing, dan mempersiapkan

perkawinan (Jensen, 1985:44-45). Di dalam upaya mengisi peran

sosial tersebut, seorang remaja mendapatkan motivasi dari

(54)

seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik. Kematangan

fisik yang dicapai remaja akan diikuti dengan meningkatnya

aktivitas seksual pada usia-usia dini.

3) Media informasi

Teknologi saat ini yang semakin canggih seperti, internet,

majalah, atau televisi, membuat penyebaran informasi dan

rangsangan seksual melalui media massa menjadi lebih mudah.

Remaja memiliki sikap cenderung ingin tahu, ingin mencoba-coba,

dan ingin meniru apa yang dilihat atau didengarnya. Padahal,

informasi yang didapatkannya dari berbagai sumber termasuk teman

sebayanya belum tentu benar dan hanya sedikit remaja yang mau

membicarakan informasi mengetahui masalah seksual yang

didapatkannya secara lengkap kepada orang tuanya.

4) Penundaan usia perkawinan

Norma-norma yang ada seperti agama, adat, atau hukum yang

berlaku membuat batasan-batasan bagi remaja untuk menyalurkan

hasrat seksualnya dalam ikatan perkawinan yang sah. Misalnya saja,

norma agama tidak memperbolehkan berhubungan seksual seperti

suami istri sebelum menikah. Tetapi, sepasang muda mudi secara

hukum boleh menikah setelah laki-laki dan perempuan mencapai

batasan usia tertentu. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan

(55)

5) Orang tua

Masih banyak orang tua yang menganggap seks adalah nafsu

dan bertentangan dengan moralitas yang ada. Hal ini mengakibatkan

kurangnya komunikasi orang tua dengan anak terkait masalah seks.

Bahkan, orang tua yang tidak tahu cenderung menabukan

pembicaraan tentang seks dan membuat jarak dengan anak.

Akibatnya, pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang.

Padahal peran orang tua sangatlah penting, terutama dalam hal

pemberian pengetahuan tentang seksualitas.

6) Pergaulan semakin bebas

Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar karena

kebebasan dalam pergaulan antar jenis dapat dengan mudah terjadi

dan disaksikan di kota-kota besar. Rex Forehand (1997) mengatakan

bahwa semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak

remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang

yang menimpa remaja. Selain itu, komunikasi dan tingkat

kepercayaan yang baik antara anak dengan orang tua membuat anak

lebih mampu bercerita dengan orang tua dan orang tua dapat

memantau pergaulan anaknya.

Dawson, Shih, Moor, dan Shrier (2008), melihat faktor yang

menyebabkan remaja terlibat dalam perilaku seksual dari segi tujuan

remaja itu sendiri. Tujuan remaja terlibat dalam perilaku seksual dapat

(56)

Selain menjadi mekanisme melanjutkan keturuanan, mendapatkan

kepuasan secara fisik merupakan tujuan dari perilaku seksual. Dalam

hubungan seksual, kepuasan fisik dirasakan baik oleh perempuan

maupun laki. Akan tetapi, berdasarkan penelitian sebelumnya

laki-laki lebih banyak disebutkan sebagai pihak yang menjadikan kepuasan

fisik sebagai tujuan utama untuk berhubungan seksual dibandingkan

perempuan (Brigman & Knox, 1992; Browning et al., 2000; Meston &

Buss, 2007; Randolph & Winstead, 1988).

Tujuan lain terkait dengan kondisi psikologis. Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa bahwa seseorang, terutama remaja,

yang menunjukkan gejala psikologis cenderung menggunakan hubungan

seksual sebagai media untuk regulasi emosi mereka (Cooper dkk., 1998;

Cooper dkk., 2000; Wills & Hirky, 1996; Wills dkk., 1999). Gejala

psikologis yang dimaksud terkait dengan melakukan hubungan seksual

karena perasaan cinta pada pasangan, perasaan romantisme yang

dominan (Rosenthal, dkk, 2001), dan harga diri yang rendah. Seseorang

dengan harga diri yang rendah cenderung melakukan hubungan seksual

sebagai media coping untuk mengatasi perasaan negatif seperti cemas

dan depresi yang muncul dalam diri mereka. (Dawson, Shih, Moor, dan

Shrier, 2008).

Perilaku seksual juga memiliki keterkaitan dengan hubungan

interpersonal. Terlepas dari kepuasan fisik yang didapatkan, seks bukan

(57)

termasuk gaya dan cara berperilaku kaum laki-laki dan perempuan dalam

hubungan interpersonal atau sosial. Weinstein dan Rosen (1991) dalam

Dawson, Shih, Moor, dan Shrier, (2008) berpendapat bahwa kebutuhan

untuk membangun hubungan interpersonal yang intim merupakan bagian

dari perkembangan kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut tidak hanya

berhenti pada membangun persahabatan dengan orang lain, tetapi

berkembang menjadi perasaan cinta kepada pasangan untuk membangun

relasi romantis. Perilaku seksual sering kali menjadi media untuk

meningkatkan intimasi dengan pasangan, memuaskan pasangan, atau

mendapatkan afeksi dari pasangan (Copper dkk, 1998).

Dengan melihat berbagai faktor yang menyebabkan perilaku

seksual pada remaja, dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor besar yang

mempengaruhi remaja untuk terlibat perilaku seksual, yaitu faktor

internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan pengetahuan remaja,

meningkatnya libido seksual saat masa remaja, perasaan cemas atau

depresi, perasaan ingin dicintai, dan kepuasan. Faktor ekternal terkait

dengan media informasi, orang tua, pergaulan bebas, dan relasi romantis

dengan pasangan.

C. KELAKATAN TERHADAP IBU

1. Definisi Kelekatan

Kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara dua orang

(58)

psikologis (Santrock, 2002). Kelekatan dibentuk sejak bayi dan menjadi

dasar dalam membentuk relasi dengan orang lain (Santrock, 2002). Selain

itu, menurut Bowlby (1969,1979) kelekatan adalah suatu ikatan emosional

yang terbentuk antara bayi dan pengasuhnya dan hubungan ini akan

bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Kelekatan sendiri

lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat

memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud

dalam Santrock, 2002; Ainsworth dalam King, 2010).

Pola kelekatan secara luas dicirikan sebagai aman dan tidak aman

(Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978, dalam Peluso, Peluso, White,

& Kern, 2004). Pola aman terlihat ketika bayi mencari dan menerima

perlindungan, jaminan, dan kenyamanan dari pengasuh. Pola kelekatan

yang aman menjadi dasar akan rasa aman untuk mengeksplorasi

lingkungannya. Sedangkan pola tidak aman berkembang ketika kelekatan

dipenuhi oleh penolakan, inkonsistensi, atau bahkan ancaman dari sosok

pengasuh, seperti meninggalkan bayi sehingga menimbulkan kecemasan

pada bayi.

2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan dengan Ibu

Kelekatan dengan ibu di tahun pertama menyediakan dasar yang

sangat penting bagi perkembangan seseorang di kemudian hari. Bowlby

(1969) berteori bahwa bayi dan ibunya secara naluriah menjalin kelekatan.

Bowlby (dalam Eliasa 2001) juga percaya bahwa perilaku awal sudah

Gambar

TABEL 12. DATA MEAN EMPIRIS DAN MEAN TEORITIS PADA SKALA
Tabel 1 Skor jawaban subjek pada skala Inventory of Parent and Peer
Tabel 2 Deskripsi rentang usia
Tabel 3 Deskripsi tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN (ATTACHMENT STYLE) DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA :Studi Korelasi pada siswa SMA Pasundan 1 Bandung Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran komponen cinta ( intimacy, passion, commitment ) pada sikap terhadap hubungan seksual pranikah remaja akhir yang berpacaran di Kabupaten

Kesimpulan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi remaja melakukan perilaku penyimpangan seksual dalam berpacaran di Desa Mlopoharjo kecamatan Wuryantoro

Hubungan antara tingkat penalaran moral dengan sikap remaja terhadap. perilaku

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan kelekatan terhadap ibu dan efikasi diri akademik remaja SMP. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan

Hubungan antara Asertivitas dengan Kontrol Diri terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Putri ... Metode Penelitian

Sejalan dengan hasil penelitian Wibowo (2004) yang menyebutkan bahwa motivasi remaja dalam berpacaran yang mengarah ke perilaku negatif yaitu karena gengsi diejek

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara peran ibu dalam komunikasi ibu-anak dengan perilaku seksual remaja putri di SMKN 2 Ponorogo.. Penelitian ini