vii
PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA
Natan Agung Purwanto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran dan bagaimana hubungan kelekatan dengan ibu dan perilaku seksual pada remaja berpacaran dengan rentang usia yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi dan korelasi yang dihitung dengan program SPSS for Windows versi 22.0. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran, 2) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun, 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 322 orang yang berpacaran dengan rentang pendidikan mulai dari SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik quota sampling dan snowball sampling. Hasil analisis data menunjukan bahwa 1) kelekatan terhadap ibu tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran (β= -0.078, p = 0.161, p>0.05), 2) kelekatan terhadap ibu tidak berkorelasi dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun (r=0.104, p = 0.115, p>0.05), 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun (r=-0.184, p = 0.004, p<0.05).
viii
SEXUAL BEHAVIOR IN DATING ADOLESCENT VIEWED FROM ATTACHMENT TO MOTHER AND RANGE OF AGE
Natan Agung Purwanto
ABSTRACT
The aim of the current study was to see whether attachment to mother can predict sexual behavior in dating adolescence and how the relationship between attachment to mother and sexual behavior in adolescents with different age ranges. This research was quantitative research with regression and correlation technique. The data were calculated using SPSS for Windows version 22.0. The hypothesis of this study were 1) attachment with mother can predict sexual behavior in dating adolescent, 2) attachment to mother has significant negative correlation with sexual behavior in dating adolescent aged 10 to 18 years, 3) attachment to mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating. Subjects in this study amounted to 322 dating adolescent ranging from junior high school, senior high school / vocational school, to college students. Subjects were selected using quota sampling technique and snowball sampling technique. The results showed that 1) attachment to the mother is unable to predict sexual behavior in dating adolescent (β = -0078, p = 0161, p> 0.05), 2) attachment to mother is not correlated with sexual behavior in adolescents aged 10 to dating 18 years (r = 0104, p = 0.115, p> 0.05), 3) attachment to the mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating (r = -0184, p = 0.004, p <0.05).
PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN
DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Natan Agung Purwanto 119114119
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
SUFFER THE PAIN OF DISCIPLINE
OR
SUFFER THE PAIN OF REGRET
BIG DREAMS HAVE SMALL BEGINNINGS
THE HARDER YOU WORK, THE LUCKIER YOU GET
DO IT NOW, SOMETIMES “LATER” BECOMES “NEVER”
“IT
DOESN’T
MATTER HOW SLOWLY WE GO,
AS LONG AS WE
DON’T
STOP”
GOOD
–
GOD = O
“GOOD” without “GOD” means nothing.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur dan terima kasih kupanjatkan ke dalam hadirat-Mu,
Tuhan Yesus Kristus.
Tanpa bimbingan dan kekuatan-Mu, aku hanyalah debu.
Jadikanlah hasil karyaku ini berkenan bagi-Mu dan menjadi berkat bagi semua
orang yang membaca atau membutuhkannya, amin.
Skripsi ini juga kupersembahkan kepada kedua orang tuaku,
Bapak Yohanes Herry Purwanto dan Lilik Dwi Hastuti
Tidak lupa kepada saudara-saudaraku,
Daniel Rudita Purwanto dan Yosefin Ratnaingtyas
Pada pacarku, sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuanganku, dan kepada
semua pihak yang telah membantuku dan mendukungku untuk menyelesaikan
skripsi ini, terima kasih.
vii
PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA
Natan Agung Purwanto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran dan bagaimana hubungan kelekatan dengan ibu dan perilaku seksual pada remaja berpacaran dengan rentang usia yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi dan korelasi yang dihitung dengan program SPSS for Windows versi 22.0. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran, 2) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun, 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 322 orang yang berpacaran dengan rentang pendidikan mulai dari SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik quota sampling dan snowball sampling. Hasil analisis data menunjukan bahwa 1) kelekatan terhadap ibu tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran (β= -0.078, p = 0.161, p>0.05), 2) kelekatan terhadap ibu tidak berkorelasi dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun (r=0.104, p = 0.115, p>0.05), 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun (r=-0.184, p = 0.004, p<0.05).
viii
SEXUAL BEHAVIOR IN DATING ADOLESCENT VIEWED FROM ATTACHMENT TO MOTHER AND RANGE OF AGE
Natan Agung Purwanto
ABSTRACT
The aim of the current study was to see whether attachment to mother can predict sexual behavior in dating adolescence and how the relationship between attachment to mother and sexual behavior in adolescents with different age ranges. This research was quantitative research with regression and correlation technique. The data were calculated using SPSS for Windows version 22.0. The hypothesis of this study were 1) attachment with mother can predict sexual behavior in dating adolescent, 2) attachment to mother has significant negative correlation with sexual behavior in dating adolescent aged 10 to 18 years, 3) attachment to mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating. Subjects in this study amounted to 322 dating adolescent ranging from junior high school, senior high school / vocational school, to college students. Subjects were selected using quota sampling technique and snowball sampling technique. The results showed that 1) attachment to the mother is unable to predict sexual behavior in dating adolescent (β = -0078, p = 0161, p> 0.05), 2) attachment to mother is not correlated with sexual behavior in adolescents aged 10 to dating 18 years (r = 0104, p = 0.115, p> 0.05), 3) attachment to the mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating (r = -0184, p = 0.004, p <0.05).
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan untuk berkat yang luar biasa dan penyertaan yang tiada henti oleh Tuhan Yesus Kristus. Berkat penyertaanNya, saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul Perilaku Seksual Pada Remaja Berpacaran Ditinjau dari Kelekatan Terhadap Ibu dan Rentang Usia dengan baik. Terima kasih Tuhan, karena Engkau selalu beserta saya disaat saya tidak tahu harus bagaimana. Terima kasih atas hikmat-Mu yang selalu hadir dalam berbagai cara yang bahkan tidak saya duga ketika saya ragu. Terima kasih telah menempa saya menjadi lebih baik melalui proses yang saya jalani selama kuliah dan selama menyelesaikan skripsi ini.
Secara spesial, rasa terima kasih saya berikan sebesar-besarnya kepada keluarga saya. Kepada papah dan mamahku tercinta. Tanpa cinta kalian, saya tidak ada di dunia ini. Tanpa kasih sayang kalian, saya tidak akan menjadi seperti ini. Tanpa perhatian, bimbingan, nasehat, dan didikan kalian, saya tidak pernah tahu apa arti salah dan apa arti benar. Terima kasih sudah menjadi orang tua yang hebat dan luar biasa yang selalu memberikan yang terbaik untuk saya. Terima kasih sudah menjadi orang tua yang bisa menerima dan mencintai saya apa adanya. Terima kasih untuk kedua kakakku tersayang. Berkat kalian, saya tahu apa arti saudara. Terima kasih untuk segala yang kalian berikan pada saya, I love you all so much.
xi
Terima kasih juga saya ucapkan untuk semua dosen dan staf dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk ilmu pengetahuan dan didikan yang telah saya dapatkan selama duduk di bangku kuliah. Berkat kalian, saya mampu untuk menempa mental dan mempersiapkan diri saya untuk menghadapi dunia yang lebih luas lagi. Terima kasih kepada Mas Muji dan Mas Doni yang telah menjadi rekan sekerja, mentor, dan sahabat saya selama satu tahun bekerja menjadi Student Staff Laboratorium Psikologi. Terima kasih untuk canda tawa serta berbagai pengalaman yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dosen Pembimbing Skripsi saya yaitu Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, berserta istri Mba Haksi Mayawati. Terima kasih atas pengalaman yang sudah diberikan dan juga proses pendidikan yang luar biasa. Terima kasih telah dengan sabar membimbing dan membantu saya menyelesaikan skripsi saya ini.
Tidak lupa juga, ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Akademik saya Ibu Debri Pristinella, M.Si. Terima kasih telah membantu saya belajar di psikologi dari awal saya masuk sampai akhirnya saya lulus. Terima kasih atas arahan dan saran yang diberikan kepada saya ketika saya bimbang untuk melangkah ke semester selanjutnya sehingga saya bisa menjadi seperti sekarang ini.
xii
jalani selama ini. Terima kasih sudah menjadi pribadi yang mau sama-sama belajar untuk menjadi yang terbaik bagi kita masing-masing. Terima kasih atas perhatian, pengertian, dan kasih sayang yang tulus yang sudah ditunjukan dengan tulus untuk saya. Berkat dirimu, saya belajar bagaimana mencintai dengan tulus, memahami orang lain, membina hubungan, menyelesaikan persoalan, dan banyak hal lain yang saya pelajari dari hubungan kita. Terima kasih juga atas segala bentuk dukungan yang telah kamu berikan sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah saya dan skripsi saya dengan lancar.
Terima kasih untuk teman-teman riset yang telah memberikan saya pengalaman yang benar-benar baru bagi saya, Mba Dita, Mba Fiona, Dara, Rintha, dan Marlina. Berkat kalian, saya tahu penelitian. Berkat kalian, saya tahu bagaimana rasa berjuang from zero to hero. Berkat kalian pula, Melbourne bukan lagi sekedar impian, tapi kenyataan yang kita wujudkan dalam sebuah perjuangkan bersama. Terima kasih teman-teman.
xiii
seluruh pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dan mendukung saya selama ini.
Akhir kata, saya berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya. Namun, saya menyadari bahwa banyak ketidaksempurnaan dalam diri saya maupun dalam skripsi yang saya tulis ini. Saya sebagai penulis telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyempurnakan skripsi ini sesuai dengan kemampuan saya. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
Yogyakarta, 7 Juli 2015
Penulis,
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
1. Manfaat Teoritis ... 10
xv
BAB II. LANDASAN TEORI ... 12
A. Perilaku Seksual ... 12
1. Definisi Perilaku Seksual ... 12
2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual dengan Orang Lain ... 14
3. Akibat Perilaku Seksual ... 16
B. Remaja ... 18
1. Definisi Remaja ... 18
2. Tahap Perkembangan Remaja ... 19
3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja ... 25
4. Remaja dan Perilaku Seksual ... 26
5. Remaja dan Relasi Berpacaran ... 28
6. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Seksual Pada Remaja ... 29
C. Kelekatan Terhadap Ibu ... 34
1. Definisi Kelekatan ... 34
2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan dengan Ibu ... 35
3. Aspek Kelekatan ... 37
4. Dampak ... 38
5. Jenis Kelekatan ... 39
6. Pengukuran Kelekatan ... 39
D. Dinamika Antara Kelekatan Terhadap Ibu dengan Perilaku Seksual dan Rentang Usia ... 41
E. Hipotesis ... 46
xvi
A.Jenis Penelitian... 47
B. Identifikasi Variabel Penelitian... 47
C. Definisi Operasional ... 47
1. Perilaku Seksual ... 47
2. Kelekatan Terhadap Ibu ... 48
D. Subjek Penelitian ... 49
E. Prosedur Penelitian ... 49
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 50
1. Metode ... 50
2. Alat Pengumpulan Data ... 51
a. Kelekatan Terhadap Ibu ... 51
b. Perilaku Seksual ... 52
1. Alasan Pembuatan Skala Perilaku Seksual... 54
G. Validitas dan Reliabilitas ... 55
1. Validitas Skala ... 55
2. Reliabilitas Skala ... 58
H. Metode Analisis Data... 60
I. Teknik Analisis Data ... 62
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
A.Persiapan Penelitian ... 63
B.Pelaksanaan Penelitian ... 64
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 65
xvii
1. Uji Normalitas Residu... 66
2. Uji Linearitas Residu ... 68
3. Uji Homoskesdatisitas ... 69
4. Uji Hipotesis ... 71
5. Deskripsi Data Penelitian ... 75
E. Pembahasan ... 76
F. Keterbatasan Penelitian ... 83
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
A. Kesimpulan ... 84
B. Saran... 84
1. Bagi Orang Tua ... 84
2. Bagi Remaja ... 85
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87
xviii
DAFTAR GAMBAR
1. SKEMA 1 KAITAN ANTARA VARIABEL ... 45
2. SKEMA 2 ANALISIS ANTARA VARIABEL ... 61
3. UJI NORMALITAS DENGAN ANALISIS GRAFIK ... 67
4. UJI LINEARITAS DENGAN ANALISIS GRAFIK ... 69
xix
DAFTAR TABEL
xx
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam masa remaja, pemikiran dan perasaan tentang seksualitas mulai
muncul seiring dengan pengalaman remaja ketika mengalami cinta pertama,
memiliki teman yang aktif secara seksual, dan ketika rasa ingin tahunya
tentang seksualitas mulai meningkat (Gianotta, Ciairano, Spruijt, &
Spruijt-Metz, 2009). Secara biologis, munculnya pemikiran serta perasaan seksual
tersebut juga dikarenakan pubertas yang dialami oleh remaja. Pubertas
mempengaruhi sistem hormonal di dalam tubuh termasuk hormon seksual
sehingga munculah hasrat seksual. Kondisi tersebut yang menyebabkan
remaja memiliki rasa ingin tahu untuk melakukan eksplorasi di area
seksualnya. Eksplorasi pada area seksual memang wajar terjadi pada tahap
perkembangan remaja. Hampir setiap orang yang memasuki masa remaja
akan melakukan hal tersebut (Kincaid, Jones, Sterrett, & McKee, 2012).
Namun, terlibat dalam aktivitas seksual menjadi sebuah hal yang patut
mendapat perhatian lebih sebagai bagian dari eksplorasi terhadap seksualitas
yang dilakukan oleh remaja (Graber, Brooks-Gunn, & Galen, 1998; Mitchell
& Wellings, 1998a; Tapert, Aarons, Sedlar, & Brown, 2001). Hal ini
Menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis meupakan aspek
interpersonal terkait seksualitas yang menjadi salah satu tahap dari
perkembangan remaja (Hurlock, 1973). Salah satu usaha menjalin relasi intim
dengan lawan jenis adalah dengan berpacaran. Munculnya dorongan seksual
dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak
fisik dengan pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara
remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak
fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang
akhirnya akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran (Rahman dan
Hirmaningsih, dalam Mayasari, 2000).
Kecenderungan remaja untuk terlibat perilaku seksual dalam pacaran
dikarenakan kematangan emosi dan kognitif belum dapat dicapai sepenuhnya
pada masa remaja. Someville, Jones, dan Casey (2010) menyatakan bahwa
secara neurobiologis, perkembangan jaringan tubuh yang menunjang
perkembangan sosioemosinal (amygdala) pada remaja berkembang sangat
pesat, namun tidak diimbangi dengan perkembangan jaringan tubuh yang
berperan dalam perkembangan kognitif, pembuatan keputusan, penalaran, dan
perencanaan (prefrontal cortex). Bagian ini belum mencapai pertumbuhan
secara sempurna sampai seseorang memasuki masa dewasa awal. Di sisi lain,
perkembangan yang pesat pada aspek sosioemosional pada remaja
menyebabkan remaja lebih sensitif terhadap stimulus yang bersifat emosional
seperti munculnya gairah seksual. Padahal, kemampuan untuk
(Someville dkk, 2010). Hal ini membuat seseorang yang berada pada tahap
remaja memiliki kekurangan dalam kontrol diri terhadap rasa ingin tahu yang
dimilikinya (Steinberg, 2008). Kombinasi dari meningkatnya sensitivitas
remaja terhadap rangsangan emosional serta kurangnya kontrol terhadap diri
yang membuat remaja rentan terlibat dalam aktivitas seksual (Someville,
Jones, & Casey, 2010) terutama saat berpacaran.
Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja
memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam aktivitas
seksual dibandingkan dengan orang dewasa. Lebih parahnya lagi, remaja
cenderung melakukan perilaku berisiko dalam aktivitas seksualnya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa semakin dewasa
seseorang, maka keterlibatannya dalam perilaku-perilaku berisiko semakin
berkurang. Berkurangnya perilaku-perilaku berisiko tersebut dapat dijabarkan
menjadi beberapa hal, seperti berkurangnya konsumsi minuman keras
(Fleming dkk., 2000 dalam Searle, 2009) dan berkurangnya kesempatan
untuk terlibat cinta satu malam karena orang dewasa lebih berfokus pada
bagaimana mempertahankan suatu hubungan (Szielasko, Symons, dan Price,
2013). Orang dewasa juga cenderung untuk terlibat dalam hubungan jangka
panjang yang berkomitmen dibandingkan dengan remaja. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku
seksual berisiko. Penelitian sebelumnya (Waller, 1937 dalam Searle, 2009)
juga menemukan bahwa remaja cenderung mencari hubungan yang bersifat
mereka terlibat dalam suatu hubungan hanya untuk mencari gairah dan
eksploitasi pada area seksual.
Peneliti melihat bahwa remaja tidak bisa begitu saja mengekspresikan
dorongan seksual dalam dirinya karena norma yang ada. Akan tetapi, libido
yang sangat kuat tetap membuat remaja melakukan perilaku seksual
walaupun ada norma yang mengatur. Maka dari itu, salah satu caranya adalah
dengan melakukan perilaku seksual dengan pacar. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 oleh DKT Indonesia (salah satu
produsen merek kondom). DKT Indonesia melakukan survey terkait perilaku
seksual remaja dengan 663 responden berusia 15-25 tahun di lima kota besar
yaitu Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Hasilnya,
bahwa rata-rata responden berhubungan seks pertama pada usia 19 tahun.
Pada umumnya, mereka berhubungan seks dengan pacar (88 persen), yang
wanita dengan sesama jenis (9 persen), dan yang pria bersama pekerja seks (8
persen) (dalam www.lifestyle.okezone.com, diakses pada 11 Mei 2015).
Perilaku seksual memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan
remaja dan lingkungan di sekitarnya apabila dilakukan tanpa pengetahuan
yang cukup. Kehamilan dini, aborsi, penularan penyakit menular seksual
(Goodson, Evans, Edmunson, 1997; Kothick, Shaffer, Forehand, 2001),
meningkatnya kejahatan, penggunaan alkohol, narkoba (Donovan & Jessor,
1985; Hockaday dkk., 2000; Tapert dkk., 2001, Naimi, Lipscomb, Brewer, &
Gilbert, 2003 dalam Gianotta, dkk, 2009) dan meningkatnya angka kelahiran
dari perilaku seksual. Namun, dampak negatif justru semakin terlihat seiring
bertambahnya usia remaja. Melihat dampak perilaku seksual pada remaja
tentang penyakit menular seksual contohnya di Yogyakarta sungguh
memprihatinkan. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY mencatat 2588
kasus HIV/AIDS dari tahun 1993 sampai Maret 2014. Berdasarkan data
tersebut, 41 kasus dialami oleh remaja berusia 14-15 tahun sedangkan 890
kasus dialami oleh remaja berusia 20-29 tahun (dalam www.aidsyogya.or.id, diakses pada 11 Mei 2015). Hal ini didukung dengan survey sebelumnya
yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) pada
tahun 2002 dengan subjek mahasiswa. Hasilnya, sebanyak 97,5% dari total
responden berjumlah 1660 orang, mengaku telah kehilangan keperawanannya
karena seks pranikah dengan pasangan (dalamwww.sosbud.kompasiana.com,
diakses pada 11 Mei 2015).
Dampak yang timbul karena perilaku seksual juga memiliki pengaruh
jangka panjang yang buruk pada remaja. Kehamilan pada masa remaja yang
disebabkan karena perilaku seksual berkaitan dengan pencapaian akademik
yang rendah, depresi, dan self-esteem yang rendah (Corcoran, Franklin, &
Bennett, 2000; Hockaday, Sedahlia, Shelley, & Stockdale, 2000). Selain itu,
efek jangka panjang yang cukup membahayakan bagi remaja adalah
timbulnya perasaan bersalah, depresi, dan marah (Simkins, 1984 dalam
Sarwono 2011). Regulasi emosi remaja yang belum matang berpotensi
membuat remaja sulit mengatasi perasaan bersalah karena melakukan
Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa komunikasi, terutama
dengan ibu, adalah faktor protektif yang paling konsisten. Beberapa penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa ibu adalah sosok yang paling sering
disebutkan sebagai orang yang berkomunikasi dengan remaja terkait masalah
seksualitas (Miller, Levin, Whitaker, & Xu, 1998 dalam Aspy, 2007). Ketika
ibu memberitahu anak remajanya untuk tidak terlibat dengan perilaku
seksual, mereka cenderung untuk tidak terlibat dalam perilaku seksual bahkan
ketika ada pengaruh dari orang lain untuk aktif secara seksual (Dittus &
Jaccard, 2000; Whitaker & Miller, 2000 dalam Aspy, 2007). Remaja yang
orang tuanya mengizinkan atau tidak mengkomunikasikan penolakannya
terhadap perilaku seksual cenderung lebih aktif secara seksual (Todd, Fisher,
Hill, Walker, 2008; Jaccard, Dittus, & Gordon, 1998; Sieving, McNeely, &
Blum, 2000 dalam Kincaid, Jones, Sterrett, McKee 2012).
Berdasarkan teori di atas, peneliti berasumsi bahwa seharusnya ketika
seorang anak dekat dengan ibunya maka anak akan terhindar dari perilaku
seksual pada masa remaja karena memungkinkan terjadinya komunikasi yang
intensif. Namun, berdasarkan hasil observasi di lapangan, peneliti
menemukan fenomena dimana anak yang tinggal dan dekat dengan ibunya
tetap terlibat perilaku seksual. Hal ini berarti ada sesuatu yang lebih mendasar
daripada keberadaan figur seorang ibu dan komunikasi yang dibangun terkait
seksualitas. Peneliti menduga bahwa ikatan emosional atau kelekatan
merupakan dasar yang penting dalam hubungan antara anak dengan orang
anak. Apalagi jika dalam berinteraksi anak mendapat tekanan dari orang tua,
akan membuat anak merasa tidak dekat dan tidak menjadikan orang tuanya
sebagai ”role model”. Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya
sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif (Eliasa. 2011).
Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya keterkaitan antara
hubungan orang tua dengan anak yang positif dengan berkurangnya
keterlibatan remaja dalam perilaku seksual. (Wight D dan Abraham C, 2005;
Aspy dkk., 2007). Hubungan yang positif terbentuk dari komunikasi dan
kelekatan aman yang terjalin antara anak dengan orang tua (Pearson, Muller,
dan Frisco, 2006). Kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara
orang tua dengan anaknya (Bowlby, 1969). Menurut Bowlby (1969, 1973)
dan peneliti lainnya (Ainsworth dkk., 1978; Sroufe, 1988 dalam Peluso dkk,
2004), kelekatan yang aman ditunjukkan dengan perasaan intim yang kuat,
perasaan aman dan nyaman ketika berada dekat dengan orang tua. Seorang
anak yang mendapatkan kelekatan yang aman akan merasakan kehangatan
dan kualitas hubungannya dengan orang tua akan menjadi positif. Mereka
akan merasa dirinya aman dan tidak cemas untuk menjalin relasi dengan
teman dan pacar sehingga anak-anak seperti ini tidak rentan terhadap perilaku
seksual. Selain itu, kelekatan aman memungkinkan terjadinya komunikasi
yang intim dengan orang tuanya (Ainsworth dkk., 1978). Seorang anak yang
dengan bebas dapat berkomunikasi terutama tentang seksualitas dengan orang
tuanya akan cenderung terhindar dari perilaku seksual berisiko di masa
konseling dan pendidikan seks kepada anaknya (Pearson, Muller, & Frisco,
2006 ; Ajidahun & Akoko, 2013; Dittus dan Jaccard, 2000; Lammers, Ireland,
Resnick, dan Blum, 2000 dalam Regnerus & Luchies 2006). Akan tetapi,
peneliti tidak menemukan studi yang membahas kelekatan terhadap ibu
secara spesifik berkaitan dengan perilaku seksual.
Di sisi lain, terjadi kontradiksi antara beberapa penelitian sebelumnya
terkait kelekatan dan perilaku seksual berdasarkan studi literatur yang
dilakukan oleh Buhi dan Goodson (2007). Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa tidak ada korelasi antara kedekatan anak kepada orang tua dengan
perilaku seksual di masa remaja (Diiorio C, Dudley, Soet, McCarty, 2004;
Roche, Mekos, Alexander, dkk., 2005; Cleaveland, 2003; French, 2003).
Beberapa penelitian lainnya menunjukkan hasil lain seperti kedekatan dengan
ibu dan waktu yang dihabiskan dengan ibu dapat mencegah perilaku seksual
hanya kepada anak perempuan saja, tidak dengan laki-laki, komunikasi
dengan orang tua memiliki efek yang berbeda pada laki-laki dan perempuan,
pengawasan dari orang tua tidak memiliki hubungan (Ramirez-Valles,
Zimmerman, Juarez, 2002; Ream, Savin-Williams, 2005; Davis, Friel 2001;
Rose, Bhaskar, & dkk., 2005; Biddlecom, Awusabo-Asare, Bankole, 2009).
Inkonsistensi hasil dalam penelitian sebelumnya terjadi karena penelitian
sebelumnya menggunakan konstruk kedekatan dengan orang tua namun
dengan pemahan konsep yang berbeda sehingga pengukuran kedekatan
dengan orang tua menggunakan instrumen atau metode penskalaan yang
belum teruji. Hal ini dikarenakan beberapa penelitian sebelumnya tidak
menggunakan sampel dalam jumlah besar yang dapat mewakili seluruh
populasi. Selain itu, peneliti sebelumnya hanya menggunakan analisis
statistik univariat dibandingkan menggunakan analisis statistik bivariat yang
mampu menganalisis beberapa variabel bebas dan variabel terikat sehingga
hasil analisis dari data tersebut tidak mencerminkan kompleksitas dari
perilaku seksual. Keterbatasan ini membuat hasil penelitian sebelumnya tidak
dapat digeneralisir karena hubungan sebab akibat antar variabel tidak dapat
dibangun dan kurangnya kontrol terhadap bias (Buhi & Goodson, 2007).
Berdasarkan pemaparan teoritis penulis di atas, penulis menduga
bahwa jika kelekatan orang tua (khususnya ibu) dapat diukur dengan alat ukur
yang mampu menampung konsep kelekatan yang digunakan pada penelitian
sebelumnya, serta jumlah subjek diperluas pada berbagai kelompok remaja,
maka kelekatan terhadap ibu memiliki suatu keterkaitan dengan perilaku
seksual sekaligus dapat menjadi prediktor keterlibatan remaja dalam perilaku
seksual. Selain itu, penulis juga menduga bahwa rentang usia selama masa
remaja memiliki keterkaitan dengan kelekatan terhadap ibu dan perilaku
seksual. Maka dari itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang
perilaku seksual pada remaja berpacaran terkait rentang usia dan kelekatan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
disimpulkan menjadi pertanyaan yang merumuskan masalah dari penelitian
ini yaitu : apakah kelekatan terhadap ibu dapat memperediksi perilaku seksual
pada remaja? Apakah ada kaitan antara perbedaan rentang usia pada remaja
dan kelekatan terhadap ibu dengan perilaku seksual pada masa remaja?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan ibu dengan
anak dapat menjadi prediktor untuk perilaku seksual pada masa remaja secara
keseluruhan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana
hubungan perilaku seksual ditinjau dari rentang usia dan kelekatan dengan
ibu pada remaja.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
bidang psikologi sosial dan perkembangan bahwa kelekatan anak dengan
ibu memiliki kaitan yang penting dengan keterlibatan anak dalam
perilaku seksual di masa remaja terutama saat remaja mulai membangun
2. Manfaat Praktis
Dapat memberikan informasi bagi orang tua, terutama ibu, untuk
lebih memperhatikan hubungan yang dibangun dengan anak. Hal ini
dikarenakan dengan ikatan emosional yang baik dalam suatu hubungan
dapat membentuk komunikasi yang baik dan perasaan nyaman pada anak
sehingga terhindar dari periaku seksual sebelum waktunya ketika
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERILAKU SEKSUAL
1. Definisi Perilaku Seksual
Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana
maupun kompleks serta mempunyai sifat diferensial, artinya satu stimulus
dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa
stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama
(Azwar ,1995). Salisa (2010) menjelaskan pandangannya mengenai
perilaku sebagai suatu keadaan jiwa atau berpikir dan sebagainya dari
seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap situasi di
luar subjek tersebut. Respon atau tanggapan ini terdiri dari dua macam
yaitu bersifat aktif (dengan tindakan sehingga dapat dilihat) dan bersifat
pasif (tanpa tindakan sehingga tidak dapat dilihat). King (2010) juga
memberikan definisi yang serupa dengan Salisa. Perilaku didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang dilakukan dan dapat diamati secara langsung.
Perilaku tersebut disertai dengan proses mental yaitu perilaku yang tidak
dapat diamati secara langsung seperti berpikir. Dengan demikian, perilaku
dapat diartikan sebagai manifestasi dari proses internal yang terjadi dalam
individu yang diwujudnyatakan dalam suatu tindakan atau respon tertentu
dan dapat diukur secara langsung atau tidak langsung.
Sedangkan seks dalam kamus bahasa berarti jenis kelamin. Segala
sesuatu yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau dengan perkara
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan disebut seksual. Chaplin
(dalam Farisa 2013) menjelaskan bahwa seksual menyinggung hal
reproduksi atau perkembangbiakan lewat penyatuan dua individu yang
berbeda yang masing-masing menghasilkan sel telur dan sel sperma.
Secara umum, menyinggung perilaku, perasaan, atau emosi yang
berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah
erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan. Maka, perilaku dan
seks memiliki keterkaitan satu sama lain karena seks juga menyinggung
perilaku seseorang.
Sarwono (2011), mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala
bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan
jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa
bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa
orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Kartono dan Amrillah
(dalam Salisa, 2010) juga menjelaskan bahwa perilaku seks adalah
mekanisme bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Selain itu,
perilaku seksual merupakan hal yang menimbulkan sensasi yang
2006). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual
adalah suatu tindakan yang didasari oleh hasrat seksual sebagai
manifestasi dari proses internal yang terjadi dalam diri individu karena
adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar individu dan dilakukan
oleh pasangan yang sejenis maupun berbeda jenis dengan tujuan
reproduksi atau untuk mendapat kepuasan baik secara fisik maupun
psikologis.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual dengan Orang Lain
Menurut Nevid, Rathus dan Rathus (2008), terdapat beberapa
bentuk perilaku seksual, yaitu foreplay yang dimulai dari 1) Berciuman
(kissing), ciuman dapat menjadi bentuk afeksi seseorang terhadap
pasangannya, teman atau kerabatnya. Untuk itu ciuman bisa sebatas
pada pipi, atau yang lebih jauh lagi yaitu ciuman pada bibir. Berciuman
bibir dapat dengan adanya gerakan lidah pada mulut pasangan (deep
kissing), atau hanya sekedar menempelkan bibir pada pasangan. Pada
setiap deep kissing hampir selalu disertai dengan adanya gerakan erotis
tangan pada tubuh pasangan. 2) Stimulasi payudara antara lain
mencium, menghisap atau menjilati payudara pasangan. Bagian tubuh
lain yang biasanya juga dicium termasuk tangan dan kaki, leher dan lubang
telinga, paha dalam, dan alat kelamin. 3) Menyentuh (touching) dan
stimulasi oral genital, menyentuh atau meraba daerah erotis dari
pasangan dapat menimbulkan rangsangan. Perempuan dan pria secara
kelaminnya. Sampai pada tahap intercourse yaitu aktivitas seksual antara
laki-laki dan perempuan dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat
kelamin perempuan.
Menurut Vener dan Stewart (dalam Nophira 2010), perilaku
seksual itu dimulai dari saling berpegangan tangan, berpelukan,
berciuman, necking, petting, hingga ke senggama dan pada akhirnya
melakukan senggama pada banyak orang. Hasil penelitian Sahabat Remaja
(1987) dalam Nophira 2010, menunjukkan bahwa perilaku seksual
bertahap mulai dari saling berpegangan tangan, berciuman, saling
berpelukan, menempelkan alat kelamin dengan atau tanpa alas sampai
pada puncaknya yaitu melakukan senggama. Menurut Sarwono (2011)
bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik,
pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse meliputi:
a. Kissing
Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di
bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat
menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup
merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan
bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss.
b. Necking
Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan ciuman di sekitar leher dan pelukan
yang lebih mendalam.
c. Petting
Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara
dan organ kelamin. Petting merupakan langkah yang lebih mendalam dari
necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan
termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah
kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.
d. Intercourse
Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria
dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam
vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Dari keseluruhan uraian di atas, maka bentuk perilaku seksual
dapat dikelompokkan dari tahap yang ringan seperti berpegangan tangan,
berpelukan, ciuman di pipi atau kening, sampai tahap yang berat seperti
necking, petting (melakukan stimulasi di daerah erotis seperti dada atau
alat kelamin), dan intercourse (senggama).
3. Akibat Perilaku Seksual
Perilaku seksual sebelum waktunya yang tidak diimbangi dengan
a. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Copper dkk, 1998,
dalam Dawson, Shih, Moor, & Shrier, 2008; Nevid, Rathus & Rathus,
2008). Hal ini dapat membuat remaja terpaksa menikah padahal
mereka belum siap secara mental, sosial, dan ekonomi.
b. Secara psikososial, akibat dari perilaku seksual berisiko adalah
munculnya ketegangan mental, penolakan dari masyarakat, dan
kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang
gadis tiba-tiba hamil. Selain itu, ada juga akibat lain seperti putus
sekolah dan akibat-akibat ekonomi karena diperlukan biaya perawatan
dan lain-lain (Sanderowitz & Paxman, 1985 dalam Sarwono, 2011).
c. Secara emosional, perilaku seksual berisiko dapat menimbulkan
perasaan bersalah, depresi, dan marah (Simkins, 1984 dalam Sarwono
2011).
d. Pengguguran kandungan (aborsi), apabila hal ini dilakukan oleh orang
yang belum terlatih dapat membahayakan atau bahkan menyebabkan
kematian bagi sang ibu (Nevid, Rathus & Rathus, 2008).
e. Terkena penyakit menular seksual (HIV/AIDS, raja singa, dan
lain-lain), khususnya bagi remaja yang sering berganti-ganti pasangan atau
yang sering melakukan hubungan seksual dengan penjajah seks
B. REMAJA
1. Definisi Remaja
Remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia dimana
terjadi perubahan yang besar pada manusia muda (Santrock, 2002). Pada
waktu inilah perubahan secara fisik terjadi dengan sangat cepat. Perubahan
fisik yang jelas terlihat adalah perubahan bentuk tubuh baik pada laki-laki
maupun perempuan. Perubahan fisik yang lain juga terjadi pada organ
reproduksi. Pada masa remaja, organ reproduksi mulai matang.
Kematangan organ reproduksi ditandai dengan terjadinya pubertas
(Santrock. 2002). Biasanya, terjadinya pubertas pada remaja disertai
dengan kesibukan remaja untuk mengenali tubuh mereka dan
mengembangkan citra dirinya mengenai gambaran tubuh mereka. Pubertas
sendiri adalah suatu periode pada masa remaja dimana kematangan
kerangka tubuh dan seksual terjadi secara pesat. Salah satu perubahan fisik
yang terjadi selama masa pubertas adalah menarche atau haid pertama
pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki.
Remaja tidak hanya ditandai dengan perubahan fisik saja, tetapi
remaja juga mengalami perubahan pada aspek kognitif, sosio/emosional,
dan interpersonal. Secara kognitif, rasa ingin tahu remaja terhadap suatu
hal muncul karena pada masa remaja seseorang mulai mengembangkan
pemikiran operational formal (Piaget, dalam Santrock 2002). Pada fase ini,
seseorang mulai dapat berpikir dengan abstrak, logis, dan berusaha
lingkungan di sekitarnya. Ketika remaja bertumbuh dan berkembang,
interaksi interpersonal remaja mendapat banyak pengaruh dari pihak luar
seperti orang tua, teman sebaya, komunitas, budaya, agama, lingkungan
sekolah, dan media (AACAP, 2003 dalam Spano, 2004).
Menurut WHO, remaja adalah orang-orang yang berusia 10 sampai
20 tahun (Sarwono, 2011). Menurut Spano (2004), masa remaja secara
global terjadi pada usia 10 sampai 21 tahun. Sedangkan Santrock (2007)
membagi remaja menjadi dua rentang usia. Pertama adalah masa remaja
awal dengan rentang usia 10 tahun hingga 13 tahun. Kedua adalah masa
remaja akhir dengan rentang usia 18 tahun hingga 22 tahun. Santrock
membedakan masa remaja awal dengan akhir karena pada masa remaja
akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati
masa dewasa. Senada dengan Santrock, Steinberg (2002) juga melakukan
periodisasi pada masa remaja. Remaja dibagi menjadi tiga periode, yaitu
remaja awal berusia 10 sampai 13 tahun, remaja tengah berusia 14 sampai
18 tahun, dan remaja akhir berusia 19 sampai 22 tahun. Berdasarkan
pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa remaja adalah seseorang yang berusia 10 hingga 22 tahun.
2. Tahap Perkembangan Remaja
Santrock (2002), menjelaskan bahwa masa remaja adalah peralihan
dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan berubahnya fisik
maupun kognitif seseorang. Spano (2004) melihat tahap perkembangan
tersebut ke dalam lima area perkembangan yaitu pergerakan menuju
kemandirian, ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif, seksualitas,
perubahan fisik, dan etika dan norma diri. Tahapan perkembangan remaja
menurut Spano adalah sebagai berikut :
a. Remaja awal (10-14 tahun)
1) Pergerakan menuju kemandirian.
Konsep identitas mulai muncul pada diri remaja dan akan terus
dibentuk dari waktu ke waktu. Remaja juga mulai belajar untuk
mengekspresikan perasaannya melalui tindakan. Pada masa ini,
perhatian terhadap orang tua mulai menurun dan digantikan dengan
ketertarikan untuk bergabung dengan teman sebaya yang dekat dengan
dirinya. Pergaulan ini memiliki pengaruh yang besar karena remaja
mulai menyadari bahwa orang tuanya tidak sempurna sehingga remaja
pada masa ini mencoba mencari sosok lain yang dapat memberikan
cinta selain orang tua. Kecenderungan untuk kembali ke perilaku
kekanak-kanakan masih cukup besar ketika remaja mengalami konflik.
2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.
Secara kognitif, pada masa ini remaja mulai mengembangkan
kemampuan untuk berpikir abstrak. Remaja pada masa ini lebih banyak
tertarik pada apa yang ada dihadapannya saat ini. Namun, ketertarikan
terhadap karir atau mimpi di masa depan mulai muncul. Pada masa ini
juga kemampuan untuk bekerja atau melakukan suatu kegiatan sangat
3) Seksualitas.
Dalam hal seksualitas, perempuan matang lebih cepat dibanding
laki-laki. Namun, pada masa ini, baik laki-laki dan perempuan mulai
memunculkan ketertarikan akan tubuh. Mulai timbul rasa malu dan
ingin melakukan eksplorasi tubuh dengan privasi. Biasanya muncul
perilaku masturbasi sebagai bentuk eksplorasi seksual.
4) Perubahan fisik.
Pada masa ini, secara fisik, tubuh mulai bertambah tinggi dan besar.
Selain itu, mulai muncul rambut pada ketiak atau kemaluan, rambut
pada wajah (khususnya pria), kumis, mulai muncul minyak di wajah
atau kulit, dan suara membesar (pada pria). Testis dan penis
berkembang dan pria mengalami mimpi basah. Sedangkan pada wanita,
rahim berkembang, buah dada membesar serta mengalami menstruasi.
5) Etika dan norma diri.
Pada masa ini, remaja mulai memahami suatu aturan. Di sisi lain,
kecenderungan untuk mencoba suatu hal di luar peraturan yang diyakini
juga mulai muncul. Biasanya, perilaku yang muncul adalah mencoba
rokok atau alkohol.
b. Remaja pertengahan (15-16 tahun)
1) Pergerakan menuju kemandirian.
Kesadaran terhadap diri mulai meningkat, di sisi lain remaja juga mulai
menyadari perasaan cemas yang timbul karena kegagalan dan harapan
terganggu bila ada campur tangan orang tua. Oleh karena itu, remaja
pada masa ini cenderung menarik diri dari orang tua dan mengeluarkan
usaha lebih besar untuk mencari teman baru. Remaja pada masa ini juga
akan memberi perhatian lebih pada kelompok dimana dia bergabung.
Pada masa ini, remaja mulai mencoba memahami pengalaman yang
terjadi dalam dirinya dan biasanya pengalaman tersebut dituliskan
dalam bentuk buku harian (diary). Selain itu, remaja pada masa ini juga
sangat memperhatikan penampilan dan tubuhnya.
2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.
Remaja pada masa ini sudah tertarik dengan hal-hal yang bersifat
intelektual dan kemampuan untuk berpikir visioner semakin
berkembang. Oleh karena itu, remaja mulai belajar untuk mengarahkan
energi psikisnya pada kreatifitas yang dimiliki untuk menunjang
ketertarikan remaja terhadap suatu bidang karir tertentu. Di sisi lain,
rasa cemas terhadap kemampuan akademik di sekolah juga mulai
timbul pada remaja di masa ini.
3) Seksualitas.
Selain tubuh dan penampilan, daya tarik seksual juga menjadi hal yang
sangat diperhatikan oleh remaja pada masa ini. Hal ini dikarenakan
orientasi seksual pada remaja mulai jelas terlihat pada masa ini dan
remaja mulai menumbuhkan perasaan cinta, nafsu, dan malu terhadap
lawan jenis. Namun, kemampuan untuk mempertahankan hubungan
dalam satu hubungan. Konflik internal juga bisa saja terjadi pada
remaja yang memiliki orientasi seksual homoseksual.
4) Perubahan fisik.
Pada usia ini, fisik laki-laki terus tumbuh sedangkan fisik perempuan
pertumbuhannya mulai melambat. Perempuan hanya tumbuh 2,5
sampai 5 sentimeter setelah periode menstruasi yang pertama.
5) Etika dan norma diri.
Remaja juga mengembangkan kemampuan untuk memilih role model
yang sesuai dengan idealisme dirinya, mulai tertarik dengan moralitas,
dan kemampuan untuk menentukan tujuan hidupnya semakin
meningkat.
c. Remaja akhir (17-21 tahun)
1) Pergerakan menuju kemandirian.
Remaja yang mencapai masa ini memiliki identitas diri yang lebih
kokoh dan mampu untuk membuat keputusan yang mandiri. Remaja
juga lebih tertarik untuk menjadi stabil. Dari segi emosional, kestabilan
tersebut ditandai dengan kemampuan menunda kegembiraan atau
kepuasan pribadi (delayed gratification). Selain itu, remaja pada fase ini
memliki kemampuan untuk mengembangkan ide-ide. Kemampuan
tersebut ditunjang dengan munculnya kemampuan untuk
mengekspresikan ide tidak hanya melalui tindakan tetapi juga melalui
kata-kata. Bahkan, tidak hanya berhenti pada kemampuan untuk
bangga terhadap hasil kerjanya. Kemudian, kepercayaan diri pada masa
remaja ini semakin terbangun. Kemampuan untuk berkompromi dengan
orang lain juga muncul sehingga remaja juga lebih memiliki perhatian
terhadap orang lain.
2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.
Pada masa ini, pola kerja semakin terbentuk. Selain itu, remaja juga
lebih memperhatikan masa depannya dan lebih memikirkan tentang
peranan diri dalam hidupnya.
3) Seksualitas.
Seksualitas remaja pada masa ini dalam hal berelasi dengan orang lain
semakin matang karena lebih memperhatikan hubungan yang serius.
Identitas seksualnya juga sudah jelas. Kemudian, remaja pada masa ini
juga lebih memiliki kapasitas untuk mencintai dengan tulus,
kehangantan, dan gairah.
4) Perubahan fisik.
Sebagian besar wanita yang memasuki fase ini, organ tubuhnya telah
berkembang secara penuh dan mencapai kematangan. Namun, pada
laki-laki, tubuh tetap bertambah tinggi, besar, dan masa otot juga
semakin bertambah.
5) Etika dan norma diri.
Remaja mampu menggunakan wawasan yang luas (insight), lebih fokus
pada gengsi dan harga diri. Selain itu, remaja pada masa ini sudah
mengambil tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara sosial,
remaja sudah mampu menerima tradisi atau budaya yang ada di
sekitarnya.
3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1978) tugas perkembangan pada
masa remaja ada sebagai berikut :
a. Mencapai relasi yang baru dan lebih dewasa dengan teman sebaya
baik dengan laki-laki maupun perempuan.
b. Mencapai peran sosial baik maskulin atau feminin.
c. Menerima keberadaan tubuhnya dan menggunakan tubuh secara
efektif.
d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya.
e. Mencapai kepastian ekonomi yang mandiri.
f. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan.
g. Mempersiapkan diri dalam kehidupan pernikahan dan berkeluarga.
h. Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep yang dibutuhkan
untuk kehidupan sosial.
i. Memiliki perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.
j. Memperoleh nilai-nilai dan etika dalam hidup sebagai panduan untuk
4. Remaja dan Perilaku Seksual
Santrock (2002) secara umum menyimpulkan bahwa pada masa
remaja ini, sebagian perkembangan anak-anak masih dicapai seperti
pertumbuhan tinggi badan dan sebagian kematangan masa dewasa sudah
dicapai seperti kematangan organ reproduksi. Kematangan organ
reproduksi ditandai dengan pubertas. Pubertas adalah suatu periode
dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama
pada awal masa remaja (Santrock, 2002).
Pubertas dapat dilihat dari munculnya tanda-tanda seksual
sekunder maupun primer. Tanda-tanda seksual tersebut dipengaruhi oleh
hormon-hormon seksual yang mulai aktif dan bahkan meningkat sangat
drastis konsentrasinya pada masa remaja. Perubahan suara dan perubahan
bentuk tubuh merupakan tanda seksual sekunder. Sedangkan tanda
seksual primer adalah haid pertama (menarche) pada perempuan dan
mimpi basah pada laki-laki. Kedua tanda tersebut muncul pada remaja
yang mulai memasuki masa pubertas yang menjadi awal munculnya
ketertarikan seksual pada remaja
Hormon-hormon dalam tubuh yang berkembang tidak hanya
menyertakan sejumlah perubahan fisik saja, tetapi juga perubahan
psikologis pada remaja. Perubahan fisik remaja menjadi lebih besar
dianggap oleh masyarakat sebagai tanda bahwa remaja akan menjadi
mulai muncul membuat remaja mengalami krisis identitas ketika remaja
tidak mampu menghadapinya (Erikson, 1968 dalam King 2010).
Krisis identitas adalah tahap dimana remaja dihadapkan dengan
banyak peranan baru dan status dewasa baik dari segi pekerjaan maupun
percintaan, namun remaja sulit untuk membuat keputusan terhadap
permasalahan-permasalahan tersebut untuk menentukan identitas dirinya
(King, 2010). Dalam rangka menyelesaikan krisis identitas ini, remaja
memunculkan banyak minat dan mencari berbagai alternatif. Salah satu
minat yang muncul adalah minat terhadap seks dan perilaku seksual
(Windy, 2009). Sehingga, minat remaja terhadap seks tidak hanya terjadi
karena perubahan hormon saja, tetapi juga sebagai bagian dari
perkembangan sosio-emosional remaja.
Meningkatnya minat terhadap seks membuat remaja berusaha
untuk mencari informasi lebih banyak mengenai seks. Namun, karena
lingkungan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak memungkinkan bagi
remaja untuk mencari informasi, remaja cenderung akan membahas
masalah seks dengan temannya atau mencari melalui buku dan bahkan
melakukan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau
bersenggama (Hulrock, 1980, h.226 dalam Windy 2009). Maka dari itu,
perilaku seksual menjadi suatu hal yang wajar terjadi dalam masa
5. Remaja dan Relasi Berpacaran
Salah satu tanda seseorang memasuki masa remaja adalah dengan
terbentuknya relasi romantis dengan orang lain atau relasi berpacaran
(Collins, Welsh, Furman, 2009). Dorongan untuk membentuk relasi
romantis atau berpacaran dengan orang lain memang secara alami sudah
ada dalam diri remaja karena hal tersebut merupakan salah satu tugas
perkembangan dalam masa remaja (Hulrock, 1978; Sullivan dalam
Steinberg 2002). Hubungan pacaran bukan hanya sekedar menghabiskan
waktu bersama atau melakukan kegiatan bersama, melainkan ada unsur
rasa senang dan bergelora yang timbul ketika bertemu dengan pasangan
(Gunarsa & Gunarsa, 2012). Ketika dua orang remaja menghasbiskan
waktu bersama dan melakukan suatu kegiatan hanya berdua, belum tentu
mereka menjalin relasi berpacaran. Istilah relasi berpacaran merujuk pada
hubungan timbal balik yang berjalan dengan sukarela dan ditandai dengan
adanya ekspresi afeksi yang mendalam. Dikatakan demikian karena jika
dibandingkan dengan relasi pertemanan, hubungan pacaran lebih
memiliki intensitas dan keintiman khusus (Collins, Welsh, Furman,
2009).
Hubungan pacaran mendasari banyak tujuan pada masa remaja.
Pada masa remaja awal, memiliki pacar identik dengan perasaan ingin
dilihat oleh orang lain atau ingin terkenal diantara teman sebayanya.
Namun, berbeda halnya pada remaja akhir yang lebih mengedepankan
membangun kemandirian emosional dari orang tua, mengembangkan
kelekatan dengan individu selain orang tua, mengembangkan identitas
gender lebih lanjut, dan mempelajari orang lain sebagai pasangan
(Steinberg, 2002). Selain itu, berpacaran juga merupakan usaha untuk
mengenal lebih dalam demi menambah pengetahuan tentang pribadi
pasangan sebelum keduanya terikat dalam tali perkawinan (Viasti, 2014).
Menurut Loevinger (dalam Viasti, 2014), hubungan pacaran
diawali dengan munculnya rasa tertarik dalam diri individu pada orang
lain yang ingin dijadikan pasangan. Rasa tertarik tersebut kemudian
berkembang dan memunculkan keinginan untuk melakukan tindakan
pendekatan sebagai upaya pengenalan lebih jauh yang berupa berkencan.
Selama berkencan, remaja akan melakukan berbagai kegiatan bersama
sebagai bentuk dari proses pendekatan, termasuk terlibat dalam perilaku
seksual.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa remaja yang
berpacaran adalah remaja yang sedang menjalin relasi timbal balik yang
sifatnya intim dan intens dengan orang lain yang ditandai dengan adanya
proses untuk saling mengenal dan memahami lebih dalam melalui
interaksi atau kegiatan yang dijalani bersama dan juga ditandai dengan
perasaan senang atau bahagia yang mendalam ketika bersama.
6. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Seksual Pada Remaja
Faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja menurut
1) Pengetahuan
Pada umumnya, seseorang yang memasuki usia remaja
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tergolong masih kurang.
Padahal, kematangan seksual remaja sudah hampir berkembang
secara lengkap. Selain itu, kurangnya pengarahan dari orang tua
yang mentabukan dan mengambil jarak mengenai seks atau
kesehatan reproduksi khususnya tentang akibat-akibat perilaku seks
pranikah, membuat mereka sulit mengendalikan
rangsangan-rangsangan yang muncul dari dirinya karena fantasi yang mereka
buat atau pengaruh lingkungan. Ditambah lagi, banyak kesempatan
untuk melihat pornografi melalui media massa yang membuat
mereka melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahui
risiko-risiko yang dapat terjadi seperti kehamilan yang tidak
diinginkan dan penyebaran penyakit menular seksual.
2) Meningkatnya libido seksual
Seorang remaja akan menghadapi tugas-tugas perkembangan
yang berkaitan dengan fisik dan peran sosial pada dirinya.
Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain, menerima kondisi fisik,
memanfaatkan teman sebaya dengan berbagai jenis kelamin,
menerima peran seksual masing-masing, dan mempersiapkan
perkawinan (Jensen, 1985:44-45). Di dalam upaya mengisi peran
sosial tersebut, seorang remaja mendapatkan motivasi dari
seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik. Kematangan
fisik yang dicapai remaja akan diikuti dengan meningkatnya
aktivitas seksual pada usia-usia dini.
3) Media informasi
Teknologi saat ini yang semakin canggih seperti, internet,
majalah, atau televisi, membuat penyebaran informasi dan
rangsangan seksual melalui media massa menjadi lebih mudah.
Remaja memiliki sikap cenderung ingin tahu, ingin mencoba-coba,
dan ingin meniru apa yang dilihat atau didengarnya. Padahal,
informasi yang didapatkannya dari berbagai sumber termasuk teman
sebayanya belum tentu benar dan hanya sedikit remaja yang mau
membicarakan informasi mengetahui masalah seksual yang
didapatkannya secara lengkap kepada orang tuanya.
4) Penundaan usia perkawinan
Norma-norma yang ada seperti agama, adat, atau hukum yang
berlaku membuat batasan-batasan bagi remaja untuk menyalurkan
hasrat seksualnya dalam ikatan perkawinan yang sah. Misalnya saja,
norma agama tidak memperbolehkan berhubungan seksual seperti
suami istri sebelum menikah. Tetapi, sepasang muda mudi secara
hukum boleh menikah setelah laki-laki dan perempuan mencapai
batasan usia tertentu. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan
5) Orang tua
Masih banyak orang tua yang menganggap seks adalah nafsu
dan bertentangan dengan moralitas yang ada. Hal ini mengakibatkan
kurangnya komunikasi orang tua dengan anak terkait masalah seks.
Bahkan, orang tua yang tidak tahu cenderung menabukan
pembicaraan tentang seks dan membuat jarak dengan anak.
Akibatnya, pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang.
Padahal peran orang tua sangatlah penting, terutama dalam hal
pemberian pengetahuan tentang seksualitas.
6) Pergaulan semakin bebas
Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar karena
kebebasan dalam pergaulan antar jenis dapat dengan mudah terjadi
dan disaksikan di kota-kota besar. Rex Forehand (1997) mengatakan
bahwa semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak
remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang
yang menimpa remaja. Selain itu, komunikasi dan tingkat
kepercayaan yang baik antara anak dengan orang tua membuat anak
lebih mampu bercerita dengan orang tua dan orang tua dapat
memantau pergaulan anaknya.
Dawson, Shih, Moor, dan Shrier (2008), melihat faktor yang
menyebabkan remaja terlibat dalam perilaku seksual dari segi tujuan
remaja itu sendiri. Tujuan remaja terlibat dalam perilaku seksual dapat
Selain menjadi mekanisme melanjutkan keturuanan, mendapatkan
kepuasan secara fisik merupakan tujuan dari perilaku seksual. Dalam
hubungan seksual, kepuasan fisik dirasakan baik oleh perempuan
maupun laki. Akan tetapi, berdasarkan penelitian sebelumnya
laki-laki lebih banyak disebutkan sebagai pihak yang menjadikan kepuasan
fisik sebagai tujuan utama untuk berhubungan seksual dibandingkan
perempuan (Brigman & Knox, 1992; Browning et al., 2000; Meston &
Buss, 2007; Randolph & Winstead, 1988).
Tujuan lain terkait dengan kondisi psikologis. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa bahwa seseorang, terutama remaja,
yang menunjukkan gejala psikologis cenderung menggunakan hubungan
seksual sebagai media untuk regulasi emosi mereka (Cooper dkk., 1998;
Cooper dkk., 2000; Wills & Hirky, 1996; Wills dkk., 1999). Gejala
psikologis yang dimaksud terkait dengan melakukan hubungan seksual
karena perasaan cinta pada pasangan, perasaan romantisme yang
dominan (Rosenthal, dkk, 2001), dan harga diri yang rendah. Seseorang
dengan harga diri yang rendah cenderung melakukan hubungan seksual
sebagai media coping untuk mengatasi perasaan negatif seperti cemas
dan depresi yang muncul dalam diri mereka. (Dawson, Shih, Moor, dan
Shrier, 2008).
Perilaku seksual juga memiliki keterkaitan dengan hubungan
interpersonal. Terlepas dari kepuasan fisik yang didapatkan, seks bukan
termasuk gaya dan cara berperilaku kaum laki-laki dan perempuan dalam
hubungan interpersonal atau sosial. Weinstein dan Rosen (1991) dalam
Dawson, Shih, Moor, dan Shrier, (2008) berpendapat bahwa kebutuhan
untuk membangun hubungan interpersonal yang intim merupakan bagian
dari perkembangan kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut tidak hanya
berhenti pada membangun persahabatan dengan orang lain, tetapi
berkembang menjadi perasaan cinta kepada pasangan untuk membangun
relasi romantis. Perilaku seksual sering kali menjadi media untuk
meningkatkan intimasi dengan pasangan, memuaskan pasangan, atau
mendapatkan afeksi dari pasangan (Copper dkk, 1998).
Dengan melihat berbagai faktor yang menyebabkan perilaku
seksual pada remaja, dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor besar yang
mempengaruhi remaja untuk terlibat perilaku seksual, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan pengetahuan remaja,
meningkatnya libido seksual saat masa remaja, perasaan cemas atau
depresi, perasaan ingin dicintai, dan kepuasan. Faktor ekternal terkait
dengan media informasi, orang tua, pergaulan bebas, dan relasi romantis
dengan pasangan.
C. KELAKATAN TERHADAP IBU
1. Definisi Kelekatan
Kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara dua orang
psikologis (Santrock, 2002). Kelekatan dibentuk sejak bayi dan menjadi
dasar dalam membentuk relasi dengan orang lain (Santrock, 2002). Selain
itu, menurut Bowlby (1969,1979) kelekatan adalah suatu ikatan emosional
yang terbentuk antara bayi dan pengasuhnya dan hubungan ini akan
bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Kelekatan sendiri
lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat
memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud
dalam Santrock, 2002; Ainsworth dalam King, 2010).
Pola kelekatan secara luas dicirikan sebagai aman dan tidak aman
(Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978, dalam Peluso, Peluso, White,
& Kern, 2004). Pola aman terlihat ketika bayi mencari dan menerima
perlindungan, jaminan, dan kenyamanan dari pengasuh. Pola kelekatan
yang aman menjadi dasar akan rasa aman untuk mengeksplorasi
lingkungannya. Sedangkan pola tidak aman berkembang ketika kelekatan
dipenuhi oleh penolakan, inkonsistensi, atau bahkan ancaman dari sosok
pengasuh, seperti meninggalkan bayi sehingga menimbulkan kecemasan
pada bayi.
2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan dengan Ibu
Kelekatan dengan ibu di tahun pertama menyediakan dasar yang
sangat penting bagi perkembangan seseorang di kemudian hari. Bowlby
(1969) berteori bahwa bayi dan ibunya secara naluriah menjalin kelekatan.
Bowlby (dalam Eliasa 2001) juga percaya bahwa perilaku awal sudah