• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Perilaku Seks Remaja Tunagrahita Ringan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Perilaku Seks Remaja Tunagrahita Ringan."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Sandy Novian Kusmulyana (1101725). Identifikasi Perilaku Seks Remaja Tunagrahita Ringan. Skripsi. Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung (2015).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku seks remaja tunagrahita ringan. Perilaku seks adalah tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang dimulai pada sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir antara usia 18 hingga 22 tahun, serta ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, psikis dan sosial. Sedangkan tunagrahita ringan adalah individu yang memiliki keterbatasan dalam tiga atau lebih pada aspek menolong diri, bahasa reseptif dan ekspresif, belajar, mobilitas, kapasitas hidup mandiri, dan kemandirian ekonomi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pemilihan subjek yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Pengumpulan data yang dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk perilaku seks pada remaja tunagrahita ringan terjadi seperti remaja pada umumnya, tetapi perilaku seks tersebut sering diperlihatkan di depan masyarakat. Rekomendasi dalam penelitian ini berupa tindakan praktis yang bisa diadaptasi oleh orang tua atau guru dalam memberikan pendidikan seks bagi remaja tunagrahita ringan.

(2)

ABSTRACT

Sandy Novian Kusmulyana (1101725). Sex Behavioural Identification Of Mild Mentally Retarded Adolescent. Thesis. Department of Psychology, Faculty of Education Science, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung (2015).

This research is intended to know the idea about sex behaviour of three mild mental retarded adolescents. Sex behaviour is a behaviour which is pushed by sexual ambition, towards one in the opposite gender as well as in the same gender. Adolescent is an individual who is in a transition term within childhood to adulthood that begins around the age of 10 until 13 years old and ended around the age of 18 until 22 years old, which is also signed by rapid developments of physical aspect, psychological aspect, and social aspect. Meanwhile, a mild mental retarded is an individual that has a limitation in three or more on the aspect of helping oneself, receptive and expressive language, studying, mobility, independent living capacity, and economical independence. This research used a qualitative approach with a descriptive method. Purposive sampling technique is used to select the subjects. Data collecting was done using a semi-structured interview. The results of this research point out that the shape of a mild mental retarded adolescents sex behaviours happened just like any other adolescents in general, but their sex behaviours is frequently shown in the society openly. The recommendation in this research is a practical action which can be adapted by parents or teachers in delivering sex education for mental retarded adolescents.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dari skripsi dan akan membahas beberapa hal terkait penelitian, termasuk latar belakang, fokus penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Penelitian

Setiap remaja dituntut untuk memenuhi perkembangan seksual. Pencapaian perkembangan tersebut bisa berbeda-beda yang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Perkembangan seksual dapat dikatakan sebagai sesuatu yang akan terjadi secara alamiah (Hurlock, 1999). Menurut Sarwono (1989), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.

Menurut Hurlock (1999), remaja berasal dari kata latin adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.

Katchadourian (dalam Steinberg, 1993), menyatakan bahwa perilaku seksual pada remaja terbagi ke dalam dua tingkat aktivitas seksual, yaitu perilaku autoerotic (perilaku seksual yang dialami seorang diri, seperti berfantasi seks dan masturbasi), dan perilaku sosioseksual, yaitu perilaku yang melibatkan orang lain. Perilaku tersebut biasanya akan terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan usia.

(4)

2

berada di bawah rata-rata secara signifikan disertai kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian dan berlangsung pada periode perkembangan. Karakteristik tunagrahita meliputi fungsi intelektual umum dua kali standar deviasi, yaitu IQ 70 ke bawah (skala Wechsler) berdasarkan tes, muncul sebelum usia 18 tahun, dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif (American Association on Mental Deficiency,1983).

Dari hasil wawancara permulaan yang dilakukan peneliti terhadap salah satu guru SLB-C Sumbersari di Kota Bandung, diketahui bahwa remaja tunagrahita cenderung menampilkan perilaku-perilaku seksual yang tidak semestinya. Seorang siswa ketika jam pelajaran sering melakukan masturbasi di dalam kelas ketika jam pelajaran berlangsung. Selain itu, ada remaja tunagrahita yang berpacaran dan sering saling menyentuh bagian vital pasangannya bahkan ketika sedang berada dalam tempat umum. Kejadian-kejadian tersebut hasil dari pengamatan guru SLB-C tersebut.

Selain itu, terdapat juga informasi dari salah satu guru SLB-C lainnya, bahwa siswa remaja laki-laki dari SLB-C tersebut telah menonton film porno bersama-sama dengan teman-teman sekolahnya di salah satu rumah siswa. Selain itu, ada beberapa siswa remaja perempuan dari SLB-C tersebut juga sering pulang larut malam. Alasan kenapa remaja perempuan tersebut pulang larut malam adalah sedang berada di kamar kos pacarnya yang ternyata adalah remaja laki-laki normal.

(5)

3

sehingga hasil dari penelitian tersebut tidak terdapat hal-hal yang terkait dengan remaja tunagrahita laki-laki.

Hasil dari wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, seperti adanya perilaku para remaja tunagrahita yang menonton film porno bersama, remaja tunagrahita perempuan yang berpacaran dengan lelaki normal, remaja tunagrahita laki-laki yang melakukan masturbasi di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung, sejauh pengamatan peneliti belum diungkap dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Sehingga peneliti merasa harus mengadakan penelitian lanjutan agar bisa mengungkap lebih lanjut mengenai fenomena tersebut.

Penelitian lainnya oleh Zulikhah (2008) menyebutkan, perilaku seksual tunagrahita melakukan masturbasi atau onani di sembarang tempat dapat dimasukkan dalam perilaku seksual yang menyimpang. Pencegahan dan penanganan perilaku seksual yang menyimpang oleh penyandang tunagrahita harus melibatkan orang tua dan guru, karena penyandang tunagrahita akan meniru dan mengikuti apa yang dicontohkan ataupun ditampilkan oleh orang tua ataupun gurunya (Hosseinkhanzadeh, 2012).

Melihat dari penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, ditemukan hasil dari penelitian yang berhubungan dengan perilaku seks pada remaja berkebutuhan khusus, yaitu remaja autis. Sehingga penelitian-penelitian tersebut dijadikan sebagai pembanding untuk penelitian-penelitian yang akan dilakukan.

(6)

4

pembelajaran perilaku tersebut, harus disesuaikan dengan gaya pembelajaran masing-masing dari setiap individu (Sutton, 2012).

Langevin (2007), Courtney (2006), dan Keeling (2006) mengemukakan, bahwa individu dengan Mental Retarded tidak dapat dimasukkan dalam kriminal atau Sex Offender and Paraphilics, dikarenakan adanya perbedaan anatara pelaku kejahatan seksual dengan penyandang Mental Retarded, sehingga tidak bisa digeneralisasikan antara keduanya.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa perilaku seks pada individu dengan disabilitas memiliki perbedaan dengan individu normal. Jadi, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja berkebutuhan khusus terutama remaja tunagrahita ringan.

B. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenis yang terjadi pada remaja tunagrahita ringan. Dalam penelitian ini, yang akan diidentifikasi adalah karakteristik dan bentuk perilaku seks yang ditampilkan remaja tunagrahita ringan yang meliputi berfantasi seksual, masturbasi, berpegangan tangan atau memegang tangan pasangan atau menyentuh dan memeluk anggota tubuh pasangan,

cium kering, cium basah, necking, meraba anggota tubuh, petting, dan

intercourse. Subjek penelitian adalah satu remaja perempuan dan dua remaja

laki-laki yang menyandang tunagrahita ringan dan berusia antara 10-22 tahun.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti kemukakan di atas, pertanyaan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: “Bagaimana gambaran perilaku seks remaja tunagrahita ringan ?”

D. Tujuan Penelitian

(7)

5

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat tentang perilaku seks remaja tunagrahita bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Perkembangan.

2. Secara Praktis

(8)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab lima yaitu simpulan, implikasi dan rekomendasi dari hasil dan pembahasan data dari bab sebelumnya.

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada ketiga subjek, didapatkan kesimpulan seperti diuraikan di bawah ini:

1. Setelah dilakukan penelitian, diketahui bahwa remaja tunagrahita ringan memiliki perkembangan seksual yang normal seperti remaja pada umumnya. Perkembangan seksual yang dimaksud adalah perkembangan bentuk tubuh, ketertarikan terhadap lawan jenisnya, dorongan seksualitas terhadap bentuk-bentuk perilaku seks yang bersifat autoerotic dan sosioseksual. Beberapa remaja tunagrahita ringan memiliki hubungan khusus dengan lawan jenisnya seperti hubungan berpacaran sebagai cara untuk mengatasi dorongan seksual yang dimilikinya. Perilaku berpacaran remaja tunagrahita ringan sesuai atau mirip dengan perilaku berpacaran remaja pada umumnya.

2. Meskipun remaja tunagrahita ringan kurang memahami makna dari perilaku seksual dan nilai-nilai norma masyarakat, mereka memiliki rasa malu dalam melakukan beberapa hal termasuk perilaku seks. 3. Tempat melakukan atau menunjukkan perilaku seksual yang dilakukan

oleh remaja tunagrahita ringan beragam, perilaku tersebut ada yang mereka lakukan di tempat umum dan ada juga yang mereka lakukan di tempat yang lebih memiliki privasi.

a. Perilaku seksual yang dilakukan oleh subjek di tempat umum biasanya berbentuk pegangan tangan, dan cium kering.

b. Perilaku seksual seperti yang dilakukan oleh subjek di tempat yang lebih memiliki privasi berbentuk masturbasi, cium basah, hingga meraba anggota tubuh.

(9)

39

dimiliki oleh masing-masing subjek memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut timbul karena adanya perbedaan perlakuan lingkungan terutama keluarga subjek, tentang manajemen waktu keseharian subjek, komunikasi dalam keluarga subjek, dan pengarahan kegiatan subjek untuk mengembangkan potensi dan energi yang dimilikinya dalam kegiatan positif.

B. Rekomendasi

1. Praktis

a. Untuk Keluarga

Pengawasan dan bimbingan dari keluarga sangat dibutuhkan oleh setiap remaja, khususnya remaja yang mengalami tunagrahita. Bimbingan tersebut berupa kegiatan yang positif untuk menyalurkan potensi dan energi yang dimilikinya ke dalam hal-hal positif. Pendidikan agama harus diterapkan sejak dini kepada anak meskipun anak menyandang tunagrahita, karena akan terbentuk menjadi sebuah kebiasaan yang akan diterapkan oleh anak dalam kehidupan sehari-harinya. Perlu pula dilakukan kerjasama yang baik dengan terapis atau guru di sekolah agar terjadi pendidikan yang berkesinambungan.

b. Untuk Guru

Guru perlu meningkatkan pengawasan terhadap anak dalam lingkungan sekolah karena pada masa ini hal-hal negatif tentang seks sangat mudah diakses meskipun siswa adalah penyandang tunagrahita. Kolaborasi antara keluarga siswa dengan guru perlu dilakukan agar pendidikan yang diberikan di sekolah dan di rumah dapat berjalan secara berkesinambungan.

2. Teoritis

a. Untuk peneliti selanjutnya

(10)

40

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Alsa, Asmadi. (2003). Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alwasilah, A.C. (2000). Pokoknya Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.

American Association On Mental Deficiency (AAMD). (1983). Classification In Mental Retardation. Washington, DC: AAMD.

American Psychiatric Association (APA). (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 5th ed., text revision. Washington, DC: APA.

Armyati, E.O, Hariningsih. (2013). Perbedaan Perilaku Seksual Pada Remaja Pria Dan Wanita Obesitas Di Akademi Keperawatan. Universitas Muhammadiyah Ponorogo. [Online]. Diakses dari:____________.

Azwar, Syaifuddin. (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bell, Patricia et. al. (2002). Controlling for Environment and Perceptions in Studies of Behavior of People with Developmental Disabilities. Hammil Institute on Disabilities & Sage Publications. Vol. 13 (2). [Online]. Diakses dari: http://dps.sagepub.com/content/13/1/2.

Berg, Bruce L. (2001). Qualitative Research Methods For The Social Sciences. United States of America: Allyn & Bacon.

Britanica Concise Encyclopedia. (2010). Human Sexuality. [Online]. Diakses dari:

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/537102/human- sexualhttp://www.britannica.com/EBchecked/topic/537102/human-sexual- behaviour/29349/Sociosexual-behaviourbehaviour/29349/Sociosexual-behaviour.

Byers, E. et. al. (2012). Sexual well-being of a community sample of high-functioning adults on the autism spectrum who have been in a romantic relationship. Sage Publications & The National Autistic. Vol. 17 (4). [Online]. Diakses dari: http://aut.sagepub.com/content/17/4/418.

Courtney, Jude. (2006). The Offence Process of Sex Offenders with Intellectual Disabilities: A Qualitative Study. Assosiation for the Treatment of Sexual Abusers & Sage Publications. Vol. 18 (2). [Online]. Diakses dari: http://sax.sagepub.com/content/18/2/169.

(12)

42

Cresswel, John W. (xxxx). Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research, fourth edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Curnoe, Suzanne. (2008). Are the Mentally Retarded and Learning Disordered Overrepresented Among Sex Offenders and Paraphilics. Sage Publications.

Vol. 52 (4). [Online]. Diakses dari:

http://ijo.sagepub.com/content/52/4/401.

De Bruin, Catriona et. al. (2013). Public School-Base Interventions for Adolescents and Young Adults With an Autism Spectrum Disorder: A Meta-Analysis. American Educational Research Assosiation & Sage Publications. Vol. 83 (4). [Online]. Diakses dari: http://rer.sagepub.com/content/83/4/521.

Desmita. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Rosda Karya.

Fitria, Aida, dkk. (2013). Persepsi Siswa Tentang Perilaku Seksual Remaja Dan Implikasinya Terhadap Pelayanan Bimbingan Dan Konseling. [Online].

Diakses dari:

http:/ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor/article/download/995/1038.

Fuhrmann, B.S. (1990). Adolescence, Adolescents. Amerika Serikat: Little, Brown.

Hall, James et. al. (2000). Advanced Group Treatment for Developmentally Disabled Adults With Social Skill Deficits. Sage Publications. [Online]. Diakses dari: http://rsw.sagepub.com/content/10/3/301.

Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hosseinkhanzadeh, Abbas. A. (2012). Attitudes to Sexuality in Individuals with Mental Retardation from Perspectives of their Parents and Teachers.

Academic Journals. [Online]. Diakses dari:

http://www.academicjournals.org/IJSA.

Hurlock, E.B. (1973). Adolescent Development. Amerika Serikat: McGraw-Hill.

Hurlock, E.B. (1999). Developmental Psychology, A Life-Span Approach, Fifth Editon. (Terjemahan Istiwidayanti & Soedjarwo). Jakarta : Erlangga.

Hyde, J.S. (1979). Understanding Human Sexuality. Amerika Serikat: McGraw-Hill.

(13)

43

Publications. [Online]. Diakses dari:

http://sax.sagepub.com/content/18/4/373.

Langevin, Ron. (2007). Are the Mentally Retarded and Learning Disordered Overrepresented Among Sex Offenders and Paraphilics?. Sage Publication.

Vol. 52 (4). [Online]. Diakses dari:

http://ijo.sagepub.com/content/52/4/401.

Lindsay, William et. al. (2004). Sexual and Nonsexual Offenders With Intellectual Disabilities: A Comparison of Characteristics, Referral Patterns, and Outcome. Sage Publication. Vol. 19 (8). [Online]. Diakses dari: http://jiv.sagepub.com/content/19/8/875.

Lumley, Vicky & Joseph. (2001). Supporting the Sexuality of Adults with Mental Retardation: Current Status and Future Directions. Hammil Institute on Disabilities & Sage Publications. [Online]. Diakses dari: http://pbi.sagepub.com/content/3/2/109.

Masters, W.H. et.al. (1992). Human Sexuality, Fourth Edition. New York: Harper Collins Publisher.

Moleong, L J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mustikaning H, Ratri. (2008). Perilaku Seksual Anak Tunagrahita Perempuan Pada Masa Pubertas. (Skripsi). Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Papalia, D.E. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.

Peterson, C. (1996). Looking Forward Through The Lifespan. Australia: Prentice Hall.

Rice, Mamie E et. al. (2008). Sexual Preferences and Recidivism of Sex Offenders With Mental Retardation. Assosiation for the Treatment of Sexual Abusers & Sage Publications. Vol. 20 (4). [Online]. Diakses dari: http://sax.sagepub.com/content/20/4/409.

Roy, Meera. (2010). A case not follow-up of women with intellectual disability referred for sterilization. Sage Publications. Vol. 14 (1). [Online]. Diakses dari: http://jid.sagepub.com/content/14/1/43.

Santrock, J.W. (2007). Adolescence, eleventh edition (Terjemahan Benedictine Widyasti & Wigi Hardani). Jakarta: Erlangga.

(14)

44

Sarwono, S.W. (2004). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Smith, J. David. (2006). Inklusi, Sekolah Ramah Untuk Semua (Terjemahan Denis, Ny. Enrica). Bandung: Penerbit Nuansa.

Soemantri, Sutjihati. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Steinberg. (1993). Adolescence, Third Edition. New York: McGraw-Hill.

Stokes, Mark. A. & Kaur. (2005). High Functioning Autism and Sexuality: A Protocol. Sage Publications & The National Autistic. Vol. 9 (3). [Online]. Diakses dari: http://aut.sagepub.com/content/9/3/266.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sutton, Lawrence et. al. (2012). Identifying Individuals With Autism State Facility for Adolscentes Adjudicated a Sexual Offenders. Hammil Institute on Dissabilities & Sage Publications. Vol. 28 (3). [Online]. Diakses dari: http://foa.sagepub.com/content/28/3/175.

Tanner, J.M. (1962). Growth at Adolescence. With a General Consideration of the Effects of Heredity and Environmental Factors Upon Growth and Maturation From Birth to Maturity, Second Edition. Oxford: Blackwell Scientific.

Tissot, Catherine. (2009). Establishing a sexual identity: Case studies of learners of autism and learning difficulties. Sage Publications & The National Autistic. Vol. 13 (6). [Online]. Diakses dari: http://aut.sagepub.com/content/13/6/551.

Wacker, Julia et. al. (2008). Sexual Assault and Women With Cognitive Disabilities: Codifying Discrimination in the Unitated States. Hammil Institute on Dissabilities & Sage Publications. Vol. 19 (2). [Online]. Diakses dari: http://dps.sagepub.com/content/19/2/86.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti, rendahnya kecerdasan emosi pada remaja dapat mengakibatkan remaja melakukan perilaku agresi

menonton film porno dengan perilaku seksual remaja, pada penelitian yang. akan dilakukan dengan pengumpulan data menggunakan sakala

Hal yang diungkap adalah pemahaman guru mengenai makna seksual, pemahaman guru mengenai anak tunagrahita ringan, hal yang dilakukan guru untuk membimbing perilaku seks

Perbedaan konformitas untuk menonton film porno ditinjau dari kualitas komunikasi dengan orangtua antara remaja laki-laki dan perempuan ···

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara menonton film/video porno di media internet dengan perilaku menyimpang (seksual) di SMA Negeri 1 Maros.. Hal

Perbedaan konformitas untuk menonton film porno ditinjau dari kualitas komunikasi dengan orangtua antara remaja laki-laki dan perempuan ···

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persepsi remaja yang positif mempengaruhi remaja untuk tidak berniat dalam melakukan perilaku seks yang

Tunagrahita ringan juga sering menunjukkan perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, sehingga sebagian orang menganggap bahwa siswa tunagrahita ringan memiliki