• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Analisis dan Pembahasan

1. Uji Stasioneritas Data

Stasioneritas merupakan hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang merupakan data time series. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data yang terlalu timpang, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan stasioneritas, salah satunya yang paling sering dilakukan adalah Augmented Dicky

62

Fuller (ADF) test pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 1995).

Jika dalam stasioneritas ini menunjukkan adanya ADFstatistik yang lebih besar dari pada McKinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing

data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

2. Penentuan Lag Optimal

Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off bahwa jika lag yang dipergunakan semakin panjang, maka akan semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya (degree of freedom). Maka dalam hal ini peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit

63 maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas (Natsir, 2007).

3. Uji Kausalitas Granger

Guna menjawab hipotesis pertama dalam penelitian ini maka metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk memeriksa apakah nilai lag suatu variabel endogen berpengaruh terhadap nilai dugaan suatu variabel eksogen tertentu (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Variabel y1 (endogen) dikatakan mempunyai hubungan kausalitas Granger terhadap variabel

y2 (eksogen), jika semua koefisien dari nilai lag variabel y2 memiliki nilai yang signifikan dalam persamaan parsial y1 (Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat arah hubungan antara suku bunga SBI, dan nilai tukar, terhadap tingkat harga (inflasi).

Secara umum, suatu persamaan Granger dapat diinterpretasikan sebagai berikut (Gujarati, 2003).

1. Unindirectional causality dari variabel dependen ke variabel independen. Hal ini terjadi ketika koefisien lag variabel dependen secara statistik signifikan berbeda dengan nol; sedangkan koefisien lag seluruh variabel independen sama dengan nol.

2. Feedback/bilaterall causality jika koefisien lag seluruh variabel dependen maupun independen secara statistik signifikan berbeda dengan nol.

64 3. Independence jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel dependen

maupun independen secara statistik tidak berbeda dengan nol.

4. Uji Kointegrasi

Pengujian kointegrasi dilakukan untuk menguji stasioneritas residual atau

error term dari model, sehingga variabel-variabel dalam model dinyatakan memiliki pengaruh dalam hubungan jangka panjang. Hal tersebut senada dengan pendapat Granger dalam Baltagi (2004), yang menyatakan bahwa jika variabel yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka variabel tersebut telah berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Menurut Enders (1995), jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linear antar variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan jangka panjang yang stabil. Dalam uji kointegrasi ini digunakan uji kointegrasi dari Johansen yang fungsinya untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel (vektor) dalam persamaan. Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matrik

Π

dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil

reduced rank

Π

dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian reduced rank

tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace test (

λ

trace) dan maximum eigenvalue test (

λ

max). Penentuan ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai Max-Eigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai Max- Eigen dan nilai trace-nya lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%, maka data terkointegrasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

65 5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)

Estimasi VECM digunakan untuk menjawab hipotesis kedua dalam penelitian ini, di mana perilaku dinamis dari model VECM dapat dilihat melalui respon dari variabel endogen terhadap kejutan pada variabel tersebut, maupun terhadap variabel endogen lainnya. Ada dua cara untuk dapat melihat karakteristik dinamis dari model VECM, yaitu melalui IRF (Impulse Response Function) dan VD (Variance Decomposition).

Jika suatu data time series model VAR telah terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka VECM dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap nilai jangka panjangnya. VECM juga digunakan untuk menghitung hubungan jangka pendek antar variabel melalui koefisien standar dan mengestimasi hubungan jangka panjang dengan menggunakan lag residual dari regresi yang terkointegrasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

Berdasarkan pada pengembangan model umum VECM sesuai dengan persamaan 3.1 dan 3.2, serta tujuan dari penelitian ini di mana dalam penelitian ini hanya menetapkan variabel endogennya adalah tingkat harga (inflasi) dan variabel-variabel eksogennya ialah suku bunga SBI dan nilai tukar, maka untuk membaca hasil estimasi VECM pada tujuan penelitian ini adalah:

66 6. Variance Decomposition (VD)

Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel inovasi, dengan asumsi bahwa variabel-variabel inovasi tersebut tidak asling berkorelasi. Kemudian, variance decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada saat periode saat ini dan periode yang akan datang (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

7. Impulse Response Function (IRF)

VECM akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari sebuah model. Setelah melakukan uji VECM, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VECM secara jelas. Karena menurut Doan (1992), koefisien hasil estimasi VECM sulit untuk diartikan dan kurang bisa diandalkan.

Menurut Sims (1972), cara yang paling baik untuk dapat mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisis respon dari model terhadap kejutan (shock). IRF dapat melakukan hal tersebut dengan menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dalam variebel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.

67 E. Operasional Variabel Penelitian

Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai penjabaran dari variabel-variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat ditetapkan indikatornya. Terdapat tiga variabel yang digunakan sebagai sumber utama untuk mendeskripsikan hasil yang nantinya akan diperoleh dalam penelitian ini.

Tabel 3.1

Deskripsi Data Operasional Variabel

Variabel Skala Sumber Deskripsi

SBI = Suku bunga SBI Ratio Bank Indonesia

Suku bunga SBI 1 bulan

EXC = Kurs Ratio Bank

Indonesia

Nilai tukar rupiah terhadap USD

INF = Tingkat Harga = inflasi

Ratio Bank

Indonesia

Berdasarkan data inflasi bulanan BI

Dalam penelitian ini dibutuhkan pula suatu definisi konseptual untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Maka definisi konseptual yang hendak digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah:

1. Nilai tukar rupiah (Kurs rupiah) adalah nilai tukar sejumlah rupiah yang diperlukan untuk membeli satu US$ (US Dollar) (Kuncoro, 2008). Nilai tukar tersebut ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan pasar atau istilah lainnya adalah mekanisme pasar. Jika harga rupiah terhadap dollar melemah, maka sebaliknya permintaan terhadap mata uang dollar akan meningkat. Hal ini disebabkan karena investor cenderung akan

68 melepas rupiah dan akan membeli dollar. Kurs tersebut ditentukan oleh perpotongan kurva permintaan dan kurva penawaran dari mata uang asing tersebut. Data nilai tukar rupiah dalam penelitian ini diwakili oleh Dollar Amerika periode Januari 1998-Desember 2010.

2. Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/suku bunga. Data suku bunga SBI yang digunakan adalah perkembangan suku bunga SBI 1 bulan periode Januari 1998– Desember 2010.

3. Tingkat harga dalam penelitian ini menggunakan dasar data inflasi, di mana inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya, sedangkan tingkat inflasi adalah presentasi kenaikan harga-harga pada suatu tahun tertentu berbanding dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Data inflasi yang digunakan adalah perkembangan inflasi per bulan periode Januari 1998-Desember 2010.

69 BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bagian ini akan menjelaskan mengenai analisis dan pembahasan yang dicapai dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan Vector Error Correction Model

(VECM). Dalam hal ini penulis menggunakan tiga variabel sebagai dasar dalam penelitian, di mana variabel-variabel tersebut adalah variabel suku bunga SBI, inflasi, dan nilai tukar. Pada penelitian ini penulis akan cenderung melakukan analisis berdasarkan data yang penulis gunakan untuk mencari hubungan kausalitas kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi), serta respon variabel tingkat harga (inflasi) terhadap kejutan yang ditimbulkan oleh variabel nilai tukar dan suku bunga, tentunya dengan uji-uji lain yang menjadi persyaratan (proses) dalam metode VECM ini juga akan penulis lakukan. Sedangkan analisis data dilakukan menggunakan Software Eviews versi 6.1.

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

1. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS (Kurs Rupiah)

Pengendalian moneter melalui jalur nilai tukar menjadi salah satu instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia dalam fungsinya untuk menjaga perekonomian nasional ke taraf perekonomian yangs stabil berdasarkan tingkat

70 inflasi yang cenderung terjaga perubahannya guna menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Nilai tukar (kurs) adalah perbandingan nilai tukar atau harga mata uang rupiah dengan mata uang lain. Nilai tukar dibedakan menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga mata uang dalam negeri relatif terhadap mata uang luar negeri. Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang – barang diantara dua negara.

Macam – macam nilai tukar ada tiga yaitu sistem nilai tukar tetap, mengambang bebas, dan mengambang terkendali. Sistem nilai tukar tetap adalah sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang ditetapkan oleh bank sentral. Sistem nilai tukar mengambang bebas merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang sepenuhnya ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Sedangkan sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan mekanisme pasar yang disesuaikan dengan batas pita intervensi yang ditetapkan bank sentral.

Berbicara tentang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari tahun 1998 – 2010 (Gambar dan Tabel 4.1) merupakan hal yang menarik bila melihat fluktuasinya. Perkembangan mengenai nilai tukar itu sendiri pada tahun 1998- 2010 dapat dilihat pada Gambar dan Tabel 4.1.

71 Tabel 4.1

Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar US Tahun 1998-2010

Tahun Nilai Tukar (Rp/USD) 1998 10.700 1999 7.100 2000 9.595 2001 10.400 2002 8.940 2003 8.465 2004 9.290 2005 9.830 2006 9.020 2007 9.419 2008 10.950 2009 9.400 2010 8.991

Sumber Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan) Gambar 4.1

Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US 1998-2010

Berdasarkan pada Tabel dan Gambar 4.1, nilai tukar rupiah sudah berada pada tingkat yang tinggi (sempat mengalami depresiasi yang tajam terhadap Dollar AS) pada tahun 1998. Nilai tukar rupiah yang sempat mencapai lebih dari

72 Rp 10.000 terjadi pada tahun 1998, disaat krisis moneter mulai berdampak kepada perekonomian Indonesia. Perubahan yang drastis terhadap nilai tukar dibandingkan keadaan sebelum krisis tersebut diawali dengan krisis nilai tukar di beberapa negara Asia seperti Thailand dan dampaknya ternyata menyebar ke negara-negara ASEAN lain seperti Indonesia, di mana bantalan ekonomi nasional pada saat itu juga belum terlalu baik. Kemudian dalam perkembangan di tahun berikutnya bank sentral melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan peningkatan cadangan minimum bank umum mulai merestrukturisasi kondisi perekonomian nasional. Dengan semakin terkendalinya kondisi ekonomi tersebut rata-rata nilai tukar (Rp/USD) sempat menguat di kisaran Rp 7.000 pada tahun 1999.

Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 2001 nilai tukar sempat mencapai Rp 10.400 dimana hal ini disebabkan karena tidak stabilnya kondisi sosial, politik dan keamanan di Indonesia yang mana hal tersebut turut pula mempengaruhi ekspektasi para investor untuk berinvestasi di Indonesia, namun juga serta secara umum pelemahan nilai tukar rupiah turut pula disebabkan oleh adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikro-struktural di pasar valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2002).

Secara umum, nilai tukar rupiah selama tahun 2002 mengalami apresiasi disertai dengan menurunnya volatilitas. Perkembangannya selama tahun 2002 ini selain ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental, faktor regional, dan faktor sentimen, serta tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga

73 agar nilai tukar tidak terlalu berfluktuasi. Dari sisi fundamental, apresiasi nilai tukar rupiah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar, menguatnya nilai tukar rupiah juga ditunjang oleh menguatnya sentimen positif pasar yang didorong oleh keberhasilan penjadwalan utang, persetujuan pencairan pinjaman IMF (International Monetary Fund) (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003). Pada tahun 2002, nilai tukar berfluktuatif pada level Rp 8.000-an.

Nilai tukar rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh kondisi sektor eksternal dan internal yang kurang menguntungkan, sehingga memberikan tekanan yang bersifat fundamental terhadap nilai tukar rupiah. Disisi eksternal, melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat telah memberikan tekanan dapresiasi terhadap rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri yang merupakan faktor pemicu tekanan terhadap rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut memberikan tekanan yang kuat terhadap rupiah, sebelum pada akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat tahun 2005 seiring dengan kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Koordinasi kebijakan tersebut berdampak positif dan berhasil memulihkan kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya

74 ekspektasi depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006). Pada tahun 2005, nilai tukar rupiah cenderung berfluktuatif pada level Rp 9.000-an.

Secara umum, nilai tukar rupiah terdepresiasi pada periode-periode awal tahun 2008, dimana nilai tukar sempat mencapai Rp 10.000-an. Hal ini merupakan dampak dari krisis keuangan global yang berawal dari Amerika Serikat pada tahun 2007. Namun dampak tersebut tidak berlangsung lama di Indonesia, sebab kondisi tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan dan kebijakan makro ekonomi yang cukup prudent. Sedangkan pada hingga tahun 2010, rupiah cenderung terapresiasi, di mana hal tersebut merupakan dampak resesi ekonomi global yang mulai berdampak negatif di negara-negara barat, namun bagi negara- negara emerging market seperti Indonesia dampak resesi ekonomi global justru sedikit membawa angin segar karena semakin banyaknya aliran modal masuk ke dalam negeri.

2. Tingkat Harga

Tingkat harga dalam penelitian ini direfleksikan kedalam inflasi, di mana inflasi adalah kenaikan harga yang bersifat umum secara terus - menerus. Inflasi merupakan suatu masalah bagi perekonomian secara makro. Jika masalah inflasi tidak segera ditangani maka akan menyebabkan ketidakstabilan suatu perekonomian yang pada akhirnya akan memperburuk kinerja perekonomian suatu negara. Perkembangan rata – rata inflasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

75 Tabel 4.2

Rata – Rata Tingkat Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1998 – 2010

Tahun Rata – rata Inflasi (%) 1998 58,01 1999 24,03 2000 3,74 2001 11,41 2002 11,94 2003 6,78 2004 6,06 2005 10,4 2006 13,34 2007 6,41 2008 10,28 2009 4,45 2010 5,13

Sumber : Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)

Gambar 4.2

76 Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.2, Pada tahun 1998 rata – rata inflasi mencapai 58,01%, hal ini terjadi karena dampak dari krisis moneter pada tahun 1997. Kemudian di tahun 1999, dengan tetap memberlakukan kebijakan uang ketat (tight money policy) bank sentral melalui instrumen suku bunga BI rate mulai memberlakukan tingkat suku bunga tinggi, di mana hal tersebut bertujuan untuk mengurangi tingkat inflasi pasca krisis tersebut agar tidak terlalu tinggi. Tahun berikutnya inflasi mengalami penurunan kembali hingga mencapai 3,74% pada tahun 2000 dan dapat diketahui bahwa inflasi cenderung meningkat hingga mencapai 11,94% pada tahun 2001-2002 dimana hal tersebut diperkirakan karena keadaan sosial, politik dan keamanan dalam negeri yang tidak stabil. Setelah tahun itu inflasi mengalami penurunan hingga mencapai 6,06% dan kembali mengalami peningkatan hingga mencapai 13,34% pada tahun 2006 yang berawal dari tahun 2005, peningkatan ini terjadi karena gejolak meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) selama dua kali di tahun 2005. Kemudian inflasi terus dikendalikan melalui otoritas moneter hingga inflasi mencapai rata – rata 6,41% . Namun inflasi kembali meningkat mencapai rata – rata 10,28% pada tahun 2008 yang merupakan dampak dari krisis keuangan global yang berasal dari Amerika Serikat. Peningkatan tersebut tidak berlangsung lama(kurang dari satu tahun), setelah 2008 inflasi terus menerus mengalami penurunan dibawah rata – rata 10% sampai dengan Desember 2010.

3. Suku Bunga SBI

Suku bunga adalah jumlah bunga yang harus dibayar perunit. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang

77 diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Jadi suku bunga SBI adalah jumlah bunga yang harus dibayar perunit waktu untuk SBI. Rata – rata suku bunga SBI pada tahun 1998 (Tabel dan Gambar 4.3) sama halnya dengan nilai tukar dan inflasi, yaitu mengalami peningkatan yang signifikan hingga mencapai 49,17%, peningkatan suku bunga ini dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyikapi inflasi yang sangat tinggi pada tahun tersebut. Kemudian tahun 1999 dengan tetap memberlakukan tingkat suku bunga SBI yang tinggi (diatas 20%), Bank Indonesia bertujuan untuk melakukan kebijakan pengetatan jumlah uang beredar agar dapat meminimalisir tekanan inflasi yang tinggi pasca krisis 1998. Sejalan dengan inflasi pada tahun 2001 suku bunga SBI mengalami peningkatan juga sebesar 16,62%. Tahun – tahun setelah itu suku bunga SBI pun mengalami penurunan yang berkisar antara 8-10%, namun pada tahun 2006 suku bunga SBI kembali mengalami peningkatan hingga mencapai 11,83%, hal ini menyikapi inflasi yang meningkat karena kenaikan BBM. Pengaruh krisis keuangan global sepertinya tidak berpengaruh besar terhadap suku bunga SBI, suku bunga SBI hanya meningkat sampai 9,18% pada tahun 2008, ini masih dibawah kenaikan yang terjadi pada tahun 2006.

78 Tabel 4.3

Rata – Rata Suku Bunga SBI Tahun 1998 – 2010

Sumber : Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)

Gambar 4.3

Pergerakan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI di Indonesia tahun 1998-2010

Tahun Rata – rata Suku Bunga SBI (%) 1998 49,17 1999 23,14 2000 12,55 2001 16,62 2002 14,95 2003 9,91 2004 8,30 2005 9,18 2006 11,83 2007 8,60 2008 9,18 2009 7,31 2010 6,29

79 B. Hasil Analisis dan Pembahasan

Bagian ini akan menjelaskan mengenai hasil analisis dan pembahasan yang dicapai dalam penelitian ini. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan menggunakan metode

Vector Error Correction Model (VECM). Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan Software Eviews Versi 6.0.

1. Uji Stasioneritas Data

a. Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stasionary stochastic process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

Tabel 4.4

Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Variabel LEVEL Probabilitas ADF Keterangan t-Statistic ADF Critical Value (5% Level) EXC INF SBI 0.0026 0.0000 0.0000 Stasioner Stasioner Stasioner -4.434572 -6.081880 -9.207637 -3.439461 -3.440681 -3.441111 Sumber : lampiran 2

80 Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, terlihat bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini telah stasioner pada tingkat level atau I(0). Hal ini dikarenakan nilai probabilitas ADF dari seluruh variabel telah stasioner (lebih kecil dari

α

= 5%). Kestasioneritasan tersebut juga dibuktikan lagi dengan melihat Critical Value (5%

level) yang nilainya masih lebih besar dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, variabel exc, inf, dan SBI telah stasioner di tingkat level sehingga tidak perlu untuk dilakukan uji derajat integrasi.

2. Penentuan Lag Optimal

Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off bahwa jika lag yang dipergunakan semakin panjang, maka akan semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya (degree of freedom). Maka dalam hal ini peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas (Natsir, 2007).

Penentuan panjang lag optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria

Dokumen terkait