• Tidak ada hasil yang ditemukan

UMUM

Dalam dokumen Prospektus Bank Victoria(3) (Halaman 76-85)

BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN OLEH MANAJEMEN

A. UMUM

Kondisi ekonomi makro Indonesia dalam tiga tahun terakhir dipenuhi tantangan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat sampai dengan semester II-2015 serta pasar finansial yang volatil di tengah isu kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate. Perekonomian nasional dalam tren perlambatan sejak mencapai rekor tertinggi di era reformasi sebesar 6,5% (year-on-year/yoy) pada 2011 dan 6,23% (yoy) pada 2012. Perlambatan menjadi semakin dalam sejak kenaikan BI Rate sebesar 175 bps dalam tempo lima bulan di tahun 2013. Pada tahun 2015, ekonomi hanya tumbuh 4,79% (yoy) atau hampir menyamai level pertumbuhan sebelum 2004.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 juga belum menunjukkan perbaikan secara signifikan, meskipun telah dilakukan stimulus fiskal dan relaksasi kebijakan makroprudensial. Perekonomian Indonesia tahun 2015 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.540,8 triliun atau tumbuh sebesar 4,79% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut melambat bila dibanding tahun 2014 yang sebesar 5,02%.

Dari sisi sektoral (lapangan usaha), pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, serta jasa lainnya. Sektor informasi dan komunikasi tumbuh sebesar 10,06%, sektor jasa keuangan dan asuransi tumbuh sebesar 8,53%, serta sektor jasa lainnya tumbuh sebesar 8,08%. Sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan terendah berasal dari sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengadaan listrik dan gas, serta sektor perdagangan besar dan eceran yang masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar -5,08%, 1,21%, dan 2,47%.

Kondisi tersebut berpengaruh pada pertumbuhan kredit bank umum juga turut melambat dari 24,59% (yoy) [2011] menjadi hanya 10,44% (yoy) [2015]. Demikian pula dengan pertumbuhan pendapatan bunganya yang melambat menjadi hanya 13,84% (yoy) [2015] dari 44,83% (yoy) [2011]. Di sisi lain, kenaikan BI Rate mendorong kenaikan suku bunga pasar uang antarbank dan meningkatnya persaingan penghimpunan dana serta menaikkan biaya dana dan beban bunga perbankan. Beban bunga melonjak dari turun 1,03% (yoy) [2012] menjadi naik 36,59% (yoy) [2014] kendati kemudian melambat menjadi 15,12% (yoy) [2015]. Kenaikan biaya dana di tengah melambatnya pendapatan bunga dan kredit tadi menyebabkan melambatnya penghimpunan dana dan, dengan demikian, kenaikan total aset. Kenaikan dana pihak ketiga (DPK) melambat dari 19,07% (yoy) [2011] menjadi 7,26% (yoy) [2015]. Peningkatan total aset melambat dari 21,54% (yoy) [2011] menjadi 9,21% (yoy) [2015]. Konsekuensi yang terjadi adalah saat ekonomi melambat, masalah di sektor pinjaman mulai muncul. Data terakhir dari BI menunjukkan bahwa rasio NPL sistem perbankan dan Pinjaman Dalam Perhatian Khusus (telat belum mencapai 90 hari) telah mencapai level tertinggi sejak awal 2014. Per Maret 2016, rasio NPL perbankan Indonesia adalah sebesar 2,8% lebih tinggi dibandingkan 2,5% pada Desember 2015. Rasio Pinjaman Dalam Perhatian Khusus di bulan Maret 2016 adalah sebesar 5,8% lebih tinggi dibandingkan level per Desember 2015 yaitu sebesar 4,9% persen lebih fluktuatif dibandingkan dengan rasio NPL.

Menurut prediksi Bank Indonesia (BI), perekonomian Indonesia akan semakin membaik pada tahun 2016. Meski perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian, namun BI optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada kisaran 5,4-5,5%. Hal tersebut tentunya akan berdampak pada sektor perbankan. Seperti diketahui, tahun 2014 dianggap sebagai tahun yang sulit bagi sejumlah pelaku bisnis tidak terkecuali sektor perbankan. Namun dengan sejumlah kepiawaian perbankan nasional dalam meracik bisnis, sektor perbankan optimis menatap potensi bisnis di 2017 yang lebih baik.

Menyikapi hal tersebut, industri perbankan harus memacu pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) agar mampu mengimbangi pertumbuhan kredit yang terus tumbuh. Upaya untuk menarik lebih banyak dana murah masih realistis dilakukan. Sayangnya komposisi deposito yang dominan justru kerap merepotkan bank lantaran beban bunga yang besar. Kendati demikian, secara umum industri perbankan pada tahun 2016 masih memiiki peluang dan prospek yang sangat baik.

Perseroan tetap melanjutkan berbagai pengembangan dan penataan bisnis internal baik dalam jaringan pelayanan, teknologi informasi dan sumber daya manusia kendati ekspansi bisnis dilakukan dengan sangat selektif. Perseroan berusaha lebih kompetitif dalam persaingan dengan memanfaatkan perubahan kemajuan teknologi. Tim pemasaran dibentuk dan dibina serta dilatih sejalan dengan pertumbuhan jumlah cabang untuk menjaring nasabah-nasabah baru secara nasional. Dari sisi produk, Perseroan akan terus mengembangkan dan menambah produk dan jasa baru untuk melayani nasabah-nasabah dengan menerapkan konsep consumer centric. Dengan senantiasa melalui tahap analisis risiko yang sangat matang, rencana pengembangan produk dan/atau aktivitas baru dilanjutkan dalam rangka menjawab tantangan kompetisi maupun perkembangan kebutuhan nasabah. Produk dan/atau aktivitas baru yang tengah disiapkan terutama difokuskan pada produk/aktivitas baru yang bertujuan meningkatkan fee-based income dan diversifikasi sumber dana murah misalnya penjualan reksadana dan bancassurance serta sumber dana jangka panjang seperti rencana penawaran umum obligasi ini.

Perseroan merupakan salah satu bank umum swasta nasional (BUSN) devisa yang termasuk dalam kategori BUKU II. Sebagai salah satu bank umum di Indonesia, Perseroan menghadapi permasalahan dan tantangan yang sama yang dialami oleh industri perbankan nasional. Demikian pula kinerja Perseroan akan turut mempengaruhi kinerja industri perbankan nasional secara umum.

Berdasarkan perbandingan kinerja Perseroan dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan pada tahun 2016, Perseroan berhasil mencetak pertumbuhan Aset, Kredit, dan DPK masing-masing sebesar 11,82%, 11,20% dan 13,69%. Pertumbuhan tersebut berada jauh di atas pertumbuhan industri perbankan nasional (Bank Umum). Pertumbuhan Aset, Kredit, dan DPK pada tahun 2016 industri perbankan tercatat masing-masing sebesar 10,40%, 7,85% dan 9,60%. Pertumbuhan laba bersih yang berhasil dicapai oleh Perseroan sebesar 6,68% berada di atas rata-rata industri perbankan nasional yaitu sebesar 5,39%. Hal ini menunjukkan pengelolaan Bank selama tahun 2016 sudah sangat efektif.

TABEL KINERJA PERTUMBUHAN PERSEROAN DIBANDING RATA-RATA INDUSTRI

Indikator Utama Perseroan Industri Perbankan BUKU II

Pertumbuhan 2016

Aset 11,82% 10,40% 4,15%

Kredit 11,20% 7,85% 6,09%

Dana Pihak Ketiga 13,69% 9,60% 5,90%

Laba Bersih 6,68% 5,39% 3,81% Rasio Keuangan 2016 NIM 1,53% 5,63% 5,08% ROA 0,52% 2,23% 1,66% CASA 10,62% 55,33% 71,56% LDR 68,38% 90,70% 98,04% CAR 24,58% 22,93% 23,72% BOPO 94,30% 82,22% 85,38%

Kemajuan terus diupayakan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, tidak saja di bidang kompetensi pelayanan nasabah dan pengembangan produk tetapi juga di bidang-bidang penting lainnya seperti pengelolaan risiko dan aspek kepatuhan. Komitmen Perseroan pada praktek tata kelola perusahaan yang sehat juga tetap memegang peran penting. Perseroan telah memantapkan diri untuk terus mempertahankan strategi sesuai visi- misi sebagai bank ritel dan bisnis terkemuka dalam lingkungan yang semakin dinamis dan global ini. Kami percaya bahwa pengalaman, jaringan, kemitraan dan kepercayaan yang telah kami bina selama bertahun-tahun akan terus menjadi kunci keunggulan yang menempatkan Perseroan pada posisi yang menguntungkan di industri perbankan. Konsolidasi bisnis internal, peningkatan efisiensi dan produktivitas, penataan organisasi dan sumber daya manusia, pemeliharaan kualitas aset terutama kredit serta peningkatan porsi dana murah melalui perluasan basis nasabah adalah beberapa strategi yang ditempuh guna peningkatan kineja ke depan.

Kinerja perbankan nasional termasuk Perseroan diperkirakan akan lebih baik pada tahun 2016 ini sejalan dengan outlook perekonomian yang relatif lebih cerah terutama setelah kebijakan moneter dan fiskal diperlonggar melalui penurunan BI Rate dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) serta berbagai paket kebijakan ekonomi yang mendorong peningkatan belanja pemerintah. Prospek ekonomi dan perbankan yang lebih cerah mendorong Perseroan untuk memutuskan menggelarkan aksi korporasi ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha dan hasil usaha Perseroan antara lain:

a. Pandangan manajemen terhadap kondisi ekonomi dan kondisi pasar.

Manajemen Perseroan berpandangan bahwa meskipun data masih menunjukkan adanya stagnasi pada industri pembiayaan namun ada harapan bahwa industri pembiayaan telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang diharapkan akan terus berlanjut ke depan seiring dengan membaiknya beberapa faktor penentu dan pendukung pemulihan ini yaitu: Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai membaik, Adanya kebijakan Bank Indonesia dalam hal pelonggaran kebijakan moneter dan terus berlanjutnya pemangkasan atas suku bunga acuan, Tingkat inflasi yang rendah ditunjang dengan stabilitas nilai tukar Rupiah, Keberhasilan program Tax Amnesty serta terakhir dengan Penjualan Mobil yang mulai menunjukkan tren positif pada semester I 2016 setelah berhasil tumbuh 1,2% jika dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu.

b. Kredit macet diantisipasi dengan menerapkan manajemen risiko secara tepat dan asuransi kredit.

c. Review atas sistem dan prosedur yang dilakukan secara berkala dengan menerapkan Sistem Pengendalian Internal yang dilakukan oleh Internal Audit bersama-sama dengan Risk Management.

d. Kompetisi suku bunga bank diantisipasi dengan cara melakukan diversifikasi sumber pendanaan, antara lain dengan menerbitkan surat utang baik dalam bentuk obligasi maupun medium term notes. Penurunan suku bunga acuan juga menjadi faktor penting dalam pembiayaan Perseroan.

e. Perkembangan Aktivitas Pemasaran.

Untuk mengembangkan aktivitas pemasaran, Perseroan melakukan beberapa hal sebagai berikut : 1. Membuka Kantor Unit Pelayanan di beberapa daerah yang potensial,

2. Memperluas jangkauan area Perseroan.

f. Pengembangan produk baru lebih diarahkan kepada segmen dimana Perseroan berada sehingga Perseroan dapat memperluas basis konsumen, pangsa pasar dan menghadapi persaingan di masa mendatang. Perseroan juga sedang mengkaji perluasan pembiayaan ke sektor ekonomi kreatif.

Perubahan Perilaku Konsumen

Perubahan perilaku konsumen juga menjadi perhatian Perseroan. Perubahan ini didorong oleh semakin banyaknya tuntutan konsumen dan adanya revolusi media digital serta sosial. Perseroan senantiasa melakukan

research atas perubahan perilaku konsumen dan menciptakan produk-produk yang lebih diarahkan untuk mengantisipasi perubahan tersebut.

Kondisi Persaingan yang Dihadapi

Kemunculan Fintech (Financial Technology) sebagai alternatif baru dalam industri pembiayaan juga menjadi perhatian Perseroan. Kemudahan pembiayaan yang ditawarkan kepada konsumen, pemanfaatan teknologi internet dan sumber dana yang sifatnya global menjadi tantangan tersendiri bagi Perseroan untuk terus beradaptasi. Saat ini OJK sebagai regulator tengah menyusun regulasi terkait Fintech yang berimbang agar dapat memberikan lingkungan yang kondusif dalam industri pembiayaan.

Perubahan Tingkat Suku Bunga

Bank Indonesia telah melakukan beberapa langkah agresif untuk memacu pertumbuhan industri keuangan antara lain dengan melakukan pemangkasan suku bunga acuan sebesar 100 bps sejak periode bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016, disamping itu Bank Indonesia juga mulai memberlakukan 7-days-repo-rate sebagai suku bunga acuan yang baru. Hal ini merupakan langkah-langkah positif yang dapat mendorong pertumbuhan kredit. Dalam hal pendanaan, Perseroan selalu menggunakan suku bunga yang tetap (fixed) untuk setiap pembiayaan sehingga tidak terpengaruh dengan fluktuasi suku bunga dan juga dalam rangka untuk menyesuaikan dengan suku bunga dan tenor yang dikenakan kepada debitur.

Hutang dalam mata uang asing

Perseroan tidak memiliki utang dalam mata uang asing oleh karena itu Perseroan tidak melakukan aktivitas lindung nilai dan tidak terpengaruh dengan fluktuasi nilai tukar mata uang asing.

Kebijakan Pemerintah atau Regulator

Sebagai bank yang beroperasi di Indonesia, Perseroan harus tunduk pada berbagai peraturan yang diterbitkan oleh regulator di Indonesia. Peraturan penting terkait dengan operasional Perseroan sebagai lembaga perbankan. Di samping itu, terdapat beberapa peraturan yang dikeluarkan yang berdampak pada kegiatan operasional, posisi keuangan keseluruhan perbankan termasuk kondisi keuangan Perseroan, diantaranya yaitu:

Peraturan BI No.14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 mengenai Pemberian Kredit atau

Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pe ngembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. sebagaimana yang diubah sebagian oleh Peraturan BI No. 17/12/PBI/2015 mengenai Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

BI mewajibkan kepada bank-bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan kepada nasabah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan minimal sebesar persentase yang diwajibkan secara bertahap sebagai berikut:

(i) 2013 dan 2014 sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB); (ii) 2015 minimal sebesar 5% dari total kredit atau pembiayaan; (iii) 2016 minimal sebesar 10% dari total kredit atau pembiayaan; (iv) 2017 minimal sebesar 15% dari total kredit atau pembiayaan; dan (v) 2018 minimal sebesar 20% dari total kredit atau pembiayaan.

Peraturan BI No. 17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio

Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

BI menetapkan Loan-to-Value (LTV) atau Financing-to-Value (FTV) untuk Kredit/Pembiayaan Pemilikan Properti (KPP/KPP iB) dan Kredit/Pembiayaan Konsumsi Beragunan Properti (KKBP/KKBP iB) dimana persentase LTV dan FTV ditetapkan berdasarkan jenis akad kredit, luas area serta urutan fasilitas kredit/pembiayaan. Penentuan urutan fasilitas kredit/pembiayaan tersebut harus memperhitungkan seluruh fasilitas KPP/KPP iB dan KKBP/KKBP iB yang telah diterima debitur/nasabah di bank yang sama maupun bank lainnya.

BI juga menetapkan minimum uang muka (down payment) untuk kredit/pembiayaan kendaraan bermotor, yaitu:

(i) 20% untuk kendaraan bermotor roda dua,

(ii) 20% untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif yang memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:

(i) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau

(ii) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan 25% untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diuraikan pada poin (ii) di atas.

Selain itu BI menetapkan larangan pemberian kredit/pembiayaan untuk uang muka (down payment).

Peraturan BI No. 18/3/PBI/2016 tanggal 16 Maret 2016 tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 15/15/PBI/2003 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.

BI menetapkan Bank wajib memenuhi Rasio giro wajib minimum (GWM) primer sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari dana pihak ketiga dalam Rupiah. Serta bank wajib memenuhi pemenuhan atas GWM primer dalam rupiah yang mendapat jasa giro sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah, adapun jasa giro tetap sebesar 2,5% (dua koma lima persen) yang merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate).

BI memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 6,5% (enam koma lima persen) berubah menjadi sebesar 5,5% (lima koma lima persen).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak

Amnesti pajak merupakan program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak di Indonesia. Pengampunan pajak meliputi penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT tahun 2015, dilakukan dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan.

Wajib Pajak dapat mengikuti program tax amnesty sesuai dengan periode yang telah ditetapkan. Periode tax amnesty berlaku sejak disahkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2016 hingga 31 Maret 2017 dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu:

1. Periode I : Dari tanggal diundangkan sampai dengan tanggal 30 September 2016 2. Periode II : Dari tanggal 1 Oktober 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 3. Periode III : Dari tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017

Masing-masing periode memiliki tarif tax amnesty yang berbeda-beda, adapun rincian tarif tax amnesty tiap periode adalah sebagai berikut :

1. Repatriasi atau Deklarasi Dalam Negeri: Sebesar 2% Periode 1, 3% untuk periode II dan 5% untuk periode III.

2. Deklarasi Luar Negeri: Sebesar 4% Periode I, 6% Periode II dan 10% Periode III.

3. Wajib Pajak UMKM: Sebesar 4% untuk Deklarasi Harta sampai dengan Rp10 milyar dan 6% untuk deklarasi harta lebih dari Rp10 milyar.

Siaran Pers Bank Indonesia No. 18/29/DKom tentang BI 7-Days (Reverse) Repo Rate

BI melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate, yang akan berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016. Serta BI Rate yang digunakan saat ini, suku bunga kebijakan yang baru ini tidak mengubah stance kebijakan moneter yang sedang diterapkan oleh Bank. Instrumen BI 7-Day Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar dan mendorong pendalaman pasar keuangan.

POJK No 26.POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintergrasi Bagi

Konglomerasi Keuangan.

Konglomerasi keuangan wajib menyediakan modal minimum terintegrasi paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari Total Modal Minimum (TMM) Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital requirement). Dalam melakukan perhitungan rasio KPMM Terintegrasi, Entitas Utama menghitung Total Modal Aktual (TMA) Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal aktual masing-masing LJK secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan.

Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Permodalan Terintegrasi secara komprehensif dan efektif. Dimana penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi wajib dilakukan oleh Entitas Utama, Direksi Entitas Utama, dan Dewan Komisaris Entitas Utama.

POJK No. 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity

Coverage Ratio)

Bank wajib melaporkan kepada OJK kondisi likuditas Bank dalam hal tidak mampu memenuhi LCR sampai dengan 100% (seratus persen); atau berpotensi tidak mampu memenuhi LCR sampai dengan 100% (seratus persen)

Pengaturan mengenai perhitungan LCR yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut :

LCR = HQLA ≥ 100%

Total Arus kas keluar bersih (net cash outflows) selama 30 hari kedepan dalam

Note :

1. Liquidity Coverage Ratio (Rasio Kecukupan Likuiditas) atau LCR adalah perbandingan antara  High

Quality Liquid Asset (HQLA) dengan estimasi total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 (tiga puluh) hari ke depan dalam skenario stres.

2. High Quality Liquid Asset (HQLA) adalah kas dan/atau aset keuangan yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai (haircut) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank selama periode 30 (tiga puluh) hari ke depan dalam skenario stres.

3. Net Cash Outflow (Total arus kas keluar bersih) adalah estimasi total arus kas keluar dikurangi dengan estimasi total arus kas masuk selama 30 (tiga puluh) hari ke depan dalam skenario stres.

Kewajiban Pemenuhan LCR oleh Bank meliputi: 1) LCR ditetapkan paling rendah 100%

2) OJK berwenang menetapkan LCR yang lebih besar dari kewajiban pemenuhan LCR dalam hal OJK menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan likuiditas lebih besar.

3) Dalam hal kondisi likuiditas Bank berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank, Bank dapat menggunakan HQLA yang dimiliki atas persetujuan OJK sehingga menyebabkan LCR Bank menjadi kurang dari 100%.

Tahapan pemenuhan LCR bagi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan Bank Asing selain kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri adalah sebagai berikut :

a. 70% sejak tanggal 30 Juni 2016; b. 80% sejak tanggal 30 Juni 2017; c. 90% sejak tanggal 31 Desember 2017; d. 100% sejak tanggal 31 Desember 2018.

POJK No.45/POJK.03/2015 tentang tentang Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi

Bank Umum

Bank wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi baik Remunerasi yang Bersifat Tetap maupun Remunerasi yang Bersifat Variabel, yaitu sebagai berikut :

1. Remunerasi yang Bersifat Tetap Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Tetap wajib paling sedikit memperhatikan skala usaha, kompleksitas usaha, peer group, tingkat inflasi, kondisi, dan kemampuan keuangan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Remunerasi yang Bersifat Variabel

a. Pemberian remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai wajib mempertimbangkan:

1) kinerja, yaitu :

a) kinerja Direksi, Dewan Komisaris, atau Pegawai; b) kinerja unit bisnis;

c) kinerja Bank; dan 2) risiko.

b. Dalam menetapkan kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel, Komite Remunerasi wajib berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko.

c. Bank menentukan metode pengukuran kinerja dan jenis risiko dalam menetapkan pemberian Remunerasi yang bersifat Variable sesuai skala dan kompleksitas kegiatan usaha Bank.

d. Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat diberikan dalam bentuk: (i) tunai; dan/atau (ii) saham atau instrument yang berbasis saham yang diterbitkan Bank.

e. Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diberikan oleh Bank berstatus perseroan terbuka (go public) wajib dalam bentuk saham atau instrument yang berbasis saham yang bersangkutan

sebersar presentase tertentu dari Remunerasi yang Bersifat Variabel.

f. Remunerasi yang Bersifat Variabel dalam bentuk saham atau instrument yang berbasis saham bagi Komisaris Independen dikonversi dan diberikan dalam bentuk tunai.

g. Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Pegawai pada unit pengawasan (satuan kerja manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan audit) dilakukan sesuai dengan kinerja dengan tetap memperhatikan objektivitas dan independensi.

h. Perseroan dilarang menjamin tanpa syarat pemberian besaran tertentu Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai, kecuali untuk tahun pertama sejak yang bersangkutan bekerja pada Perseroan.

POJK No. 46/POJK.03./2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Penetapan Systemically Important

Bank dan Capital Surcharge

Bank wajib menetapan SIB dan Capital Surcharge untuk SIB dilakukan secara semesteran setiap tahun pada bulan Maretdengan menggunakan data posisi bulan Desember tahun sebelumnya dan bulan September dengan menggunakan data posisi bulan Juni. Penetapan SIB dilakukan menggunakan metodologi tertentu berdasarkan indikator tertentu. Untuk metodologi yang dipakai, akan dikaji ulang oleh OJK paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.

Indikator Systemically Important Bank (SIB)

Indikator yang digunakan dalam metodologi penetapan SIB, terdiri dari:

No. Indikator SIB Sub-indikator

a. Ukuran Bank (size) Eksposur Bank

b. Keterkaitan dengan sistem keuangan (interconnectedness); dan

a. aset keuangan berupa tagihan atau penempatan kepada lembaga jasa keuangan (intra financial system assets);

b. kewajiban keuangan kepada lembaga jasa keuangan (intra financial system liabilities); dan c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank

(securities outstanding)

c. Kompleksitas kegiatan usaha a. nilai nosional spot dan derivatif over the counter; b. surat berharga yang diklasifikasikan sebagai

tersedia untuk dijual dan diperdagangkan namun tidak termasuk surat berharga yang dijadikan sebagai high quality liquid asset dalam perhitungan liquidity coverage ratio;

Dalam dokumen Prospektus Bank Victoria(3) (Halaman 76-85)

Dokumen terkait