• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Pencegahan Tertier

2.7. Faktor yang Memengaruhi Terjadinya TB Paru

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor saling berkaitan satu sama lain. Karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan. Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit (Notoatmojo, 2007).

2.7.1. Umur

Faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Prevalensi tuberkulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun kemudian dan

kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangya mencapai usia 60 tahun (Crofton 2002).

Berdasarkan data surveilans menunjukkan bahwa penderita TB yang berumur tua lebih dari separuh, penderita tersebut dengan sputum BTA positif yang dapat menularkan kepada orang lain. Hal ini dikarenakan pada kelompok umur tersebut mempunyai riwayat kontak di suatu tempat yang lama serta hubungan sosial yang erat adalah kunci terjadinya transmisi penyakit. Kelompok umur ini cendrung bergaul dengan kelompok umur yang sebaya, sehingga beresiko untuk tertular penyakit, hal inilah yang membuktikan bahwa resiko penularan TB berhubungan dengan umur (Aditama, 2006).

Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan dari 80 responden didapatkan 11 (13,8%) dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji Chi square didapatkan x2 = 4,396;p=0,036 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antar umur dengan TB paru BTA positif. Berbeda pendapat dengan Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 (p>0,05 bahwa umur bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian paru.

2.7.2. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB paru. Tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman TB pada paru. Seperti diketahui bahwa kuman TB paru merupakan kuman yang suka “tidur” hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk “bangun” dan menimbulkan penyakit, maka timbullah kejadian

penyakit TB paru. Oleh sebab itu, salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. (Achmadi, 2012).

2.7.3. Jenis Kelamin

Di Benua Afrika banyak TB paru terutama menyerang laki-laki pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada wanita, yaitu 42,34 % pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5 %, sedangkan penderita TB paru pada wanita menurun 0,7 %. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya penyakit TB paru (Nelson, 2001).

Hubungan penyakit dengan jenis kelamin ditunjukkan melalui perbedaan angka penyakit, yaitu perbandingan insidensi dan prevalensi penyakit antara laki-laki dan perempuan. Ini tidak berarti bahwa 50 % kasus terjadi pada laki-laki sementara 50 % lainnya pada perempuan. Pernyataan tersebut memang benar jika dikaitkan dengan epidemi penyakit menular tertentu, tetapi tidak pasti benar jika dikaitkan dengan penyakit kronis atau semua penyakit menular (Timmreck, 2005).

2.7.4. Pekerjaan

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan. Selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah. Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR

(Upah Minimum Regional) akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi, diantaranya TB paru. Dalam hal jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB paru (Notoatmodjo, 2007)

2.7.5. Kepadatan Penduduk

Berdasarkan hasil penelitian Chandra tahun 2005 bahwa hasil uji statistik diperoleh data ada hubungan signifikan antara kepadatan penduduk dengan jumlah kasus TB BTA positif pada tahun 2002 dan 2004 (p-value = 0,009 dan 0,002). Hal ini menunjukkan bahwa persebaran jumlah kasus TB paru BTA positif tergantung pada kepadatan penduduk. Selain itu wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi cendrung memiliki lingkungan tempat tinggal yang kumuh sehingga bila ada salah satu warganya yang menderita TB paru BTA positif akan mempercepat terjadinya proses persebaran penyakit tersebut (Achmad, 2010).

Masalah kesehatan lingkungan cendrung timbul pada daerah padat persatuan area misalnya daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk dalam satu wilayah dengan kecendrungan penggunaan energi dan kegiatan dapat memperburuk kondisi kesehatan lingkungan (Achmadi, 2012).

Kepadatan penghuni selain dapat menimbulkan masalah privasi bagi penghuninya dari segi kesehatan, kepadatan penghuni akan dapat mempercepat

terjadinya penularan penyakit terutama penyakit menular secara droplet infection

misalnya penyakit tuberkulosis paru. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat (Acmadi 2012).

2.7.6. Ketinggian Wilayah

Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5 oC. ketinggian berkaitan dengan kelembaban juga dengan kerapatan oksigen. Kuman

mycobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen di

pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman tuberkulosis, (Olander. 2003)

2.8. Iklim

2.8.1. Suhu Udara

Suhu udara dan kelembaban udara sangat mempengaruhi siklus hidup

Mycobacterium tuberculosis yang merupakan penyebab dari penyakit TB paru BTA

positif (Olander, 2003). Siklus reproduksi suatu agen hidup dipengaruhi oleh lingkungan, seperti halnya mikroorganisme yang mempunyai syarat bagi kehidupan yang optimum, baik temperatur, kelembaban, zat hara dan lain-lain. Mycobacterium

tuberculosis akan mati jika terkena sinar ultraviolet secara langsung dalam waktu 5

menit (Crofton, 2002).

Suhu udara dan kelembaban udara sangat mempengaruhi siklus hidup

positif (Olender, 2003). Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang suhu 25oC – 40oC, tetapi secara optimal pada suhu 31-37oC ( Bambang 2010)

2.8.2. Kelembaban Udara

Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang amat erat, terutama terjadinya berbagai penyakit menular. Iklim dapat dijadikan predictor kejadian berbagai penyakit menular yang seyogyanya dapat dijadikan petunjuk untuk melakukan manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis wilayah (Achmadi, 2012).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis.

Penelitian Mulyadi (2003) di kota Bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70 % beresiko terkena penyakit tuberkulosis 10,7 kali dibandingkan penduduk yang tinggal pada perumahan yang memilki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70 % (Bambang 2010)

2.8.3. Intensitas Cahaya

Bakteri TB akan mati jika terpapar cahaya matahari secara langsung memerlukan waktu sekitar 6-8 jam dan cahaya ruangan yang kurang sekitar 2-7 hari.

Sputum yang mengandung bakteri TB didalam ruangan yang gelap dapat hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan (Default dalam Crofton 2002).

Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya yang ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya kuman TB, oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seharusnya mempunyai jalan masuk udara yang cukup (jendela), luasnya sekurang-kurangya 15% - 20% (Bambang 2010).

Syarat rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, karena dengan kurangnya cahaya matahari, akan menjadi media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Cahaya matahari minimal masuk kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman patogen seperti kuman-kuman Mycobacterium tuberculosis (Achmadi 2012).

2.8.4. Curah Hujan

Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup

Mycobacterium tuberculosis (Olender, 2003). Curah hujan didefinisikan sebagai

hujan yang jatuh dari atmosfir pada bidang horizontal, sebelum menguap dan meresap kedalam tanah sebanyak satu liter pada setiap bidang seluas 1 m2. Pada musim hujan rumah menjadi lembab, dinding dan lantai rumah basah oleh air hujan yang merembes naik. Pada saat banjir banyak penderita tuberculosis yang dinyatakan sembuh ternyata kambuh kembali. Bulan-bulan di wilayah tropik berdasarkan klasifikasi iklim Mohr dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan banyaknya

curah hujan, yaitu: bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm, bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm dan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (Chandra, 2005).

Dokumen terkait