• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dengan kasus penyakit Tuberkulosis di Kabupaten Batubara 2010-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dengan kasus penyakit Tuberkulosis di Kabupaten Batubara 2010-2014"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KELEMBABAN UDARA, SUHU UDARA, CURAH HUJAN DENGAN KASUS PENYAKIT TUBERKULOSIS DI KABUPATEN

BATUBARA TAHUN 2010-2012

T E S I S

Oleh

KHAIRUNNISA SIREGAR 127032028/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Judul Tesis : PENGARUH KELEMBABAN UDARA, SUHU UDARA, CURAH HUJAN DENGAN KASUS PENYAKIT TUBERKULOSIS DI KABUPATEN BATUBARA TAHUN 2010-2012

Nama Mahasiswa : Khairunnisa Siregar Nomor Induk Mahasiswa : 127032028

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dra. Nurmaini, M.K.M,. Ph.D) (dr. Taufik Ashar, M.K.M Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(3)

PENGARUH KELEMBABAN UDARA, SUHU UDARA, CURAH HUJAN DENGAN KASUS PENYAKIT TUBERKULOSIS DI KABUPATEN

BATUBARA TAHUN 2010-2012

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

KHAIRUNNISA SIREGAR 127032028

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Telah Diuji

Pada tanggal :22 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.K.M

2. dr. Surya Dharma, MPH

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KELEMBABAN UDARA, SUHU UDARA, CURAH HUJAN DENGAN KASUS PENYAKIT TUBERKULOSIS DI KABUPATEN

BATUBARA TAHUN 2010-2012

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 22 Juli 2014

KHAIRUNNISA SIREGAR

(6)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis paru di Indonesia menduduki peringkat

kelima di dunia. Pertumbuhan kuman TB dipengaruhi oleh kelembaban udara, suhu udara, curah hujan, dan faktor lainya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola hubungan antara kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dan faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012. Penelitian ini merupakan studi ekologi berdasarkan tempat dan waktu dengan menggunakan data sekunder.

Pengolahan data spasial yaitu dengan tehnik overlay peta antara variabel kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dengan kasus TB Paru BTA positif perkecamatan dengan menggunakan grafik dan didukung dengan uji statistik korelasi. Analisis data diuji secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji analisis korelasi Person Moment dan multivariat dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan korelasi signifikan antara kelembaban udara dengan nilai r = 0,428 dan suhu udara dengan nilai r = 0,271, curah hujan dengan nilai r = 0,310 dengan kasus penyakit TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara tahun 2010, 2011, 2012. Dari analisa multivariat juga menunjukkan korelasi signifikan antara kelembaban udara p =0,012, suhu udara p =0,018, Curah hujan p=0,017.

Pengolahan dan penyajian data untuk monitoring persebaran penyakit dan evaluasi secara rutin atas keefektifan program pengendalian TB paru BTA positif dapat menggunakan pendekatan spasial sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan program penaggulangan TB paru BTA positif.

Kata kunci : TB Paru BTA Positif, kelembaban udara, suhu udara, curah hujan, analisis spasial

(7)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a contageous disease caused by Mycobacterium tuberculosis . In donesia, lung TB ranks the fifth in the world. The growth of Mycobacterium tuberculosis is influenced by air humidity, air temperature, rainfall and other factors.

The purpose of this study was to find out the pattern of the reltionship between air humidity, air temperature, rainfall and other factors influencing the incident of Lung TB with positive BTA in Batubara District in 2010-2012. This was an ecological study based on place and time by using secondary data.

The spatial data was processed through map overlay technique between the variables of air humidity, air temperature, and rainfall and the case of Lung TB with positive BTA per subdistrict by using graphic and supported by correlation statistical tests. The data obtained were tested and analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Person Moment correlation analytical test and multivariate analysis by using multiple linear regression tests.

The result of this study showed that there was a significan correlation

between the air humidity with r = 0,428 and air temperature with r = 0,271 and

rainfall with r = 0,310 and the case of Lung TB with positive BTA in Batubara District in 2010, 2011, 2012. The result of multivariate analysis also showed that there was a significant correlation between the air humidity with p = 0.011 and air temperature with p = 0.008 and rainfall with p = 0.021.

The provision and presentation of data to monitor the spread of the disease and the routine evaluation for the effectiveness of Lung TB with positive BTA control program can usew spatial approach to be considered in the planning the Lung TB with positive BTA control program.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan pertolongan-Nya yang belimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dengan kasus penyakit Tuberkulosis di Kabupaten Batubara 2010-2014”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara.

Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyrakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

5. dr. Surya Dharma, MPH dan Ir. Indra Cahaya, M.Si selaku komisi penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini. 6. Seluruh Dosen Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Program

Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara, Dr. Marliana Lubis MKT, Selaku Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara yang telah memberikan izin penelitian, Dedi SP Siagian, selaku pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara.

8. Kepala Dinas BMKG Provinsi Sumatera Utara, ibu Cici selaku petugas pada stasiun BMKG Provinsi Sumatera Utara

9. Kakanda dr. Diah Asro dan abangda Dr. Rahmat Nasution, DTM&H, abangda Afrizal yang telah memberi dukungan dan semangat, dan bantuan moril.

10. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di Lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri.

(10)

Akhir kata penulis berharap, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat pengetahuan yang bermakna bagi penulis dan pembaca sekalian. Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2014 Penulis

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Khairunnisa Siregar lahir di Medan, 28 April 1978, anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda H. Amran Siregar dan Ibunda Hj. Mahlil.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar Islam Afifiyah Medan tamat Tahun 1990, SMPN 5 Medan tamat Tahun 1993, Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) Departemen Kesehatan Republik Indonesia tamat Tahun 1996, kemudian penulis melanjutkan S-1 Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Medan tamat Tahun 2001, selanjutnya Penulis menempuh pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri (MKLI) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(12)

DAFTAR ISI

2.4. Gejala-gejala Tuberkulosis ... 9

2.5. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis ... 11

2.5.1. Diagnosis TB Paru ... 11

2.5.2. Pencegahan Penyakit Tubekulosis Paru ... 12

2.6. Faktor-faktor Penyebab (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru ... 19

2.7. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB Paru ... 22

(13)

2.9. Analisis Spasial ... 29

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 38

3.6. Metode Pengukuran ... 39

4.2.1 Gambaran Iklim di Daerah Kabupaten Batuabara ... 43

4.2.1.1 Distribusi Kelembaban Udara ... 43

4.2.1.2 Distribusi Suhu Udara ... 44

4.2.1.3 Distribusi Curah Hujan ... 45

4.2.2 Kejadian TB Paru BTA Positif ... 46

4.3 Uji Normalitas ... 47

4.4 Analisis Bivariat ... 48

4.4.1 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara ... 48

4.6.1 Overlay Kelembabab Udara dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun

(14)

4.6.2 Overlay Suhu Udara dengan Kejadian TB Paru BTA

positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 60

4.6.3 Overlay Curah Hujan dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 62

BAB 5. PEMBAHASAN ... 64

5.1 Gambaran Kelembaban Udara, Suhu Udara dan Curah Hujan Tahun 2010-2012 ... 64

5.2 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 68

5.3 Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 70

5.4 Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 71

5.5 Faktor Suhu Udara, Kelembaban Udara dan Curah Hujan yang Mempengaruhi kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 72

5.6 Analisis Spasial ... 73

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1 Kesimpulan ... 76

6.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Defenisi Operasional ... 38 4.1 Luas Kecamatan dan Jumlah Desa disetiap Kecamatan di Kabupaten

Batubara ... 42 4.2 Data Kelembaban Udara (%), Suhu Udara (oC), Curah Hujan (mm)

di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012

4.3 Distribusi Kelembaban Udara (%) di Kabupaten Batubara Tahun

2010-2012 ... 43 4.4 Distribusi Suhu Udara ( oC) di Kabupaten Batubara Tahun

2010-2012 ... 44 4.5 Distribusi Curah Hujan (mm) di Kabupaten Batubara Tahun

2010-2012 ... 45 4.6 Jumlah Kejadian TB Paru di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 . 46 4.7 Distribusi Kejadian TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara

2010-2012 ... 46 4.8 Uji Normalitas Data Variabel-variabel Penelitian Kejadian TB Paru

BTA Positif di Kabupaten Batubara tahun 2010-2012 ... 48 4.9 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru BTA Positif

di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ……….. 48 4.10 Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di

Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 51 4.11 Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di

Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012………. 53 4.12 Hasil uji Analisis Regresi linier Berganda Variabel yang

(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Landasan Teori ... 35 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 36 4.1 Grafik Scater Plot Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian

TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 50 4.2 Grafik Scater Plot Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian TB Paru

BTA Positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 52 4.3 Grafik Scater Plot Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian TB Paru

BTA Positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 54 4.4 Overlay rata-rata Kelembaban Udara dengan Jumlah Kejadian TB

Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara... 59 4.5 Overlay rata-rata Suhu Udara dengan Jumlah Kejadian TB Paru

BTA Positif di Kabupaten Batubara ... 61 4.6 Overlay rata-rata Curah Hujan dengan Jumlah Kejadian TB Paru

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Analisis Univariat ... 82

2. Uji Normalitas ... 90

3. Uji Korelasi (Analisis Bivariat) ... 91

4. Analisis Multivariat ... 92

5 Peta Administratif Kabupaten Batubara ... 93

6. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU ... 94

7. Surat survei pendahuluan... 95

8. Data BMKG ... 96

9 Data KasusTB Paru BTA Positif Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 ... 99

(18)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis paru di Indonesia menduduki peringkat

kelima di dunia. Pertumbuhan kuman TB dipengaruhi oleh kelembaban udara, suhu udara, curah hujan, dan faktor lainya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola hubungan antara kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dan faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012. Penelitian ini merupakan studi ekologi berdasarkan tempat dan waktu dengan menggunakan data sekunder.

Pengolahan data spasial yaitu dengan tehnik overlay peta antara variabel kelembaban udara, suhu udara, curah hujan dengan kasus TB Paru BTA positif perkecamatan dengan menggunakan grafik dan didukung dengan uji statistik korelasi. Analisis data diuji secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji analisis korelasi Person Moment dan multivariat dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan korelasi signifikan antara kelembaban udara dengan nilai r = 0,428 dan suhu udara dengan nilai r = 0,271, curah hujan dengan nilai r = 0,310 dengan kasus penyakit TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara tahun 2010, 2011, 2012. Dari analisa multivariat juga menunjukkan korelasi signifikan antara kelembaban udara p =0,012, suhu udara p =0,018, Curah hujan p=0,017.

Pengolahan dan penyajian data untuk monitoring persebaran penyakit dan evaluasi secara rutin atas keefektifan program pengendalian TB paru BTA positif dapat menggunakan pendekatan spasial sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan program penaggulangan TB paru BTA positif.

Kata kunci : TB Paru BTA Positif, kelembaban udara, suhu udara, curah hujan, analisis spasial

(19)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a contageous disease caused by Mycobacterium tuberculosis . In donesia, lung TB ranks the fifth in the world. The growth of Mycobacterium tuberculosis is influenced by air humidity, air temperature, rainfall and other factors.

The purpose of this study was to find out the pattern of the reltionship between air humidity, air temperature, rainfall and other factors influencing the incident of Lung TB with positive BTA in Batubara District in 2010-2012. This was an ecological study based on place and time by using secondary data.

The spatial data was processed through map overlay technique between the variables of air humidity, air temperature, and rainfall and the case of Lung TB with positive BTA per subdistrict by using graphic and supported by correlation statistical tests. The data obtained were tested and analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Person Moment correlation analytical test and multivariate analysis by using multiple linear regression tests.

The result of this study showed that there was a significan correlation

between the air humidity with r = 0,428 and air temperature with r = 0,271 and

rainfall with r = 0,310 and the case of Lung TB with positive BTA in Batubara District in 2010, 2011, 2012. The result of multivariate analysis also showed that there was a significant correlation between the air humidity with p = 0.011 and air temperature with p = 0.008 and rainfall with p = 0.021.

The provision and presentation of data to monitor the spread of the disease and the routine evaluation for the effectiveness of Lung TB with positive BTA control program can usew spatial approach to be considered in the planning the Lung TB with positive BTA control program.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Laporan WHO mendeskripsikan bahwa untuk wilayah regional Asia Tenggara merupakan regional dengan kasus TB paru tertinggi yaitu sebesar 40%, diikuti regional Afrika 26%, Pasifik Barat 19%, dan terendah pada regional Eropa 3%. Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk.(WHO, 2013).

Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke lima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigera. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8 % dari total pasien TB didunia. Tuberkulosis merupakan kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi (Kemenkes 2011).

(21)

pencapaian pada tahun 2010, dua puluh lima provinsi di Indonesia belum mencapai 70% CDR (Case Detection Rate) dan hanya 8 provinsi yang mampu memenuhi target CDR 70% dan keberhasilan pengobatan 85%.

Berdasarkan jumlah penderita TB paru di Indonesia tahun 2010, provinsi Sumatera Utara menempati urutan ke tujuh setelah propinsi Gorontalo, Maluku, Sulawesi Utara, Sulaweasi Tenggara, Bangka Belitung dan Jakarta. Menurut profil Kemenkes tahun 2012, angka penemuan kasus (Case Detection Rate) tahun 2011 dari 33 Propinsi yang ada, Sumatera utara urutan ke 8 Propinsi yang mencapai target penemuan kasus minimal (70%) yaitu 71,6%, angka ini menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA (Basil Tahan Asam) positif disuatu wilayah. Dilihat dari angka konversi (Convertion Rate) tidak jauh berbeda dari tahun 2005-2011, dimana target yang diharapkan 80 %. Angka konversi merupakan indikator pencapaian pengawasan menelan obat berjalan baik. Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu dari 6 propinsi yang mengalami penurunan cukup besar. Angka kesembuhan (Cure Rate) secara nasional ditargetkan adalah 85 %, dimana Sumatera Utara termasuk dari 13 propinsi yang mencapai target yaitu 89,3%.

(22)

penduduk. Salah satu kendala yang dihadapi adalah masyarakat penderita TB Paru belum menyadari pentingnya berobat selama enam bulan dengan strategi DOTS

(Directly Observed Treatmen Short-course).

Berdasarkan jumlah penduduk tahun 2012, diperhitungkan sasaran penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 21.145 jiwa, dan hasil cakupan penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) yaitu 17.459 kasus atau 82,57%. Angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2011 yaitu 76,57% dan 2010 yaitu 68,86%. (profil Sumatera Utara 2012)

Tahun 2012, Sumatera Utara mampu mencapai target nasional yaitu 70%. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain pendistribusian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dari Kemenkes ke Provinsi sudah bagus dan semakin bertambah RSU di kabupaten/kota yang sudah ikut serta dalam pelaksanaan strategi DOTS. Dari 33 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, ditemukan 23 kabupaten/kota memiliki angka penemuan kasus (CDR) TB Paru BTA (+) di atas 70%. Angka CDR tertinggi di Kabupaten Nias 245,54% dan terendah di Kota Gunung Sitoli sebesar 18,51%.

(23)

Pengolahan data TB paru BTA positif di Kabupaten Batubara masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan dan pendekatan spasial. Manfaat data dan informasi spasial sumber daya alam dan lingkungan hidup telah dirasakan oleh hampir seluruh kalangan, baik institusi pemerintah, swasta, perguruan tinggi maupun masyarakat umum. Pemanfaatan data itu sejalan dengan meningkatnya pengetahuan dalam hal perencanaan dan pengelolaan kewilayahan yang optimal dan tetap mempertahankan kelangsungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Analisis spasial adalah salah satu cara pendataan dalam upaya untuk

manajemen lingkungan dan merupakan bagian dari pengelolaan (manajemen)

penyakit berbasis wilayah, merupakan suatu analisis dan uraian tentang data penyakit

secara geografis berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku,

sosial, ekonomi, kasus kejadian penyakit dan hubungan antar variabel tersebut

dimana masing-masing variabel dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit

tuberkulosis paru. Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok

faktor risiko yaitu faktor kependudukkan dan faktor lingkungan. Faktor

kependudukan meliputi : jenis kelamin, umur, status gizi, status imunisasi, kondisi

sosial ekonomi, adapun faktor risiko lingkungan meliputi; kepadatan hunian, lantai

rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian (Bambang, 2012).

Berdasarkan hasil analisis spasial penyebaran kasus rata-rata paling banyak

(24)

di daerah kampung Sereh (daerah perbukitan) sebanyak 16 kasus (30,1%), di daerah

desa Hinekombe dan desa Yobeh (daerah rawa) sebanyak 4 kasus (7,5%) dan

didaerah pesisir danau Sentani sebanyak 5 kasus (9,4%). Ini menggambarkan bahwa

di daerah dataran yang memiliki karakteristik wilayah yang sangat baik mulai dari

suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan ketinggian wilayah sangat mendukung sekali

untuk penyebaran penyakit tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sentani

Kabupaten Jayapura. (Andreas, 2012)

Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk mempermudah deskripsi data penderita TB Paru BTA Positif. Penderita dapat digambarkan menurut jenis kelamin, waktu terdiagnosa, pekerjaan yang dilakukan, riwayat pergi keluar kota dalam beberapa bulan terakhir, jenis lantai rumah, dan faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB. (Amalia, 2014).

1.2. Rumusan Masalah

Tingginya kasus TB paru BTA positif di Wilayah Kabupaten Batubara, maka perlu dilakukan analisa terhadap kelembaban udara, suhu udara dengan kasus TB paru BTA positif dan perlu dilakukan pendekatan spasial di Kabupaten Batubara tahun 2010-201 faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB paru BTA positif.

1.3. Tujuan Penelitian

(25)

TB paru BTA positif yang paling tinggi di Wilayah Kabupaten Batubara tahun 2010-2012 dengan menggunakan Geographic Information System (GIS), perangkat lunak ArcGIS Ver.10 untuk menganalisis suatu masalah kesehatan, dengan menggunakan data sekunder. Data diolah secara statistik dengan uji korelasi

Pearson Moment, dengan studi ekologi dan pendekatan spasial, data disajikan dalam

bentuk data spasial (peta wilayah) dengan tehnik Overlay.

1.4. Hipotesis

a. Ada korelasi antara kelembaban udara dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kabupaten Batubara

c. Ada korelasi antara suhu udara dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kabupaten Batubara

d. Ada korelasi antara curah hujan dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kabupaten Batubara

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara sebagai bahan masukan bagi pengambilan kebijakan dalam penganggulangan penyakit TB paru BTA positif di Kabupaten Batubara, sehingga dapat membantu perencanaan program yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan wilayah setempat.

(26)

Dapat dijadikan sebagai tambahan pustaka untuk memperkaya kajian ilmu kesehatan lingkungan, khususnya mengenai kajian spasial. Analisis spasial sebagai bagian dari manajemen penyakit berbasis wilayah.

2. Bagi Ilmu pengetahuan : hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dalam

bidang kesehatan lingkungan

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium tuberulosis). sebagian besar kuman Tuberkulosis menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (DepKes 2007).

2.2. Kuman Tuberkulosis

Kuman basil TB ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu pula disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Dengan ditemukannya Stetoskop oleh Laennec (1819), pemeriksaan jasmani menjadi semakin penting dalam penentuan diagnosis klinis TB. Jadi penemuan ini hampir 70 tahun sebelm penemuan Robert Koch. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. (Danusantoso, 2012)

2.3. Cara Penularan

(28)

selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.

Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan melalui parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. (Dep Kes RI 2002).

2.4. Gejala-gejala Tuberkulosis

(29)

1. Demam

Penderita TB paru sering mengalami demam, yang kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Demam dapat hilang/timbul sehingga penderita tidak terbebas dari demam yang menyerupai influenza.

2. Batuk

Batuk yang terus menerus dan berdahak 3 minggu atau lebih terjadi karena adanya iritasi pada brokus. Batuk dapat bersifat kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lebih lanjut adalah batuk bercampur darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah, hal ini terjadi pada kavitas atau ulkus dan dinding bronkus.

3. Sesak Nafas

Pada penyakit ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana inifiltrasi sudah terjadi setengah bagian paru-paru

4. Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.

5. Badan Lemah (Malaise)

(30)

2.5. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

- P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (Unit Pelayanan Kesehatan).

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Depkes 2006)

2.5.1. Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksan dahak secara makroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.

(31)

- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Fototoraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

- Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. 2.5.2. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru

Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier, sebagai berikut:

1. Pencegahan Primer

(32)

Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi tuberkulosis di suatu negara. Di negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, BCG harus diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal. Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat didukung dengan konsumsi gizi yang baik.

2. Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).

(33)

Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2007).

Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2007).

Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2007).

(34)

(1) Gejala-gejala Tuberkulosis Paru

Menurut Mason et al (2005) dalam textbook of respiratory medicine, disebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru. Peradangan pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat menyebabkan nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan juga dapat terjadi, sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil dari keterlibatan parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.

Menurut Muherman, dkk dalam Retno (2007) gejala-gejala tuberkulosis paru yaitu : batuk, sering flu, berat badan turun, sakit dinding dada, demam dan berkeringat, nafas pendek dan rasa lelah. Sedangkan menurut Tjokronegoro dan Utama dalam Retno (2007), bahwa gejala-gejala yang terbanyak adalah : demam, sesak napas, batuk, batuk berdarah dan nyeri dada.

(2) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

A. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa

(35)

B. Penemuan Penderita Pada Anak

Penemuan penderita tuberkulosis paru pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar tuberkulosis paru anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis, dan uji tuberkulin (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan penemuan penderita tuberkulosis paru, maka dilakukan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:

1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis paru aktif.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis paru aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan.

2) Tuberkulosis Paru Ekstra Paru

(36)

penyakitnya, yaitu tuberkulosis paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis paru ekstra paru berat (Depkes RI, 2002).

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Tjokronegoro dan Utama dalam Retno (2007), Tipe penderita dibagi dalam : 1) Kasus Baru adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis paru

(OAT) lebih dari satu bulan.

2) Kasus Kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru aktifnya.

3) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

4) Kasus Kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.

Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe, yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in); setelah lalai (drop-out); gagal dan kasus kronik.

3. Pencegahan Tertier

(37)

akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (WHO, 2003).

Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis), namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi-kondisi tersebut seperti : meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang.

Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV.

(38)

B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusui ASI, dan remaja yang hamil (WHO, 2006).

Menurut Maher et al (2008) dalam Oxford Textbook of Public Health

disebutkan bahwa konsep pengobatan anti-TB kemoterapi sebagai latar belakang untuk pengembangan dan implementasi dari strategi untuk penanggulangan TB yang dikenal sebagai DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course). Penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan terhadap target internasional untuk penanggulangan TB tahun 2005, dan kemudian respon internasional yang berkembang untuk tantangan TB, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan

Global Plan untuk menerapkannya dengan penilaian prospek untuk pengendalian

tuberkulosis di masa depan, melihat ke depan untuk 2015 (tahun target Millenium

Development Goals) dan kemudian tahun 2050 (tahun target untuk penghapusan TB

sebagai masalah kesehatan publik secara global).

2.6. Faktor-faktor Penyebab (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru

Menurut teori Gordon dalam Soemirat (2000), mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit

(agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini

(39)

Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya

bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat (Soewasti, 2000).

Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent

penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :

a. Agent

Mycobacterium Tuberculosis adalah suatu anggota dari famili

Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium

tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan infeksi. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium Leprae,

Mycobacterium paratuberkulosis paru dan Mycobacterium yang dianggap sebagai

Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Depkes, RI.

2006).

Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul

(40)

dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi (Soewasti, 2000).

Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit

pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah (Depkes, RI. 2006).

Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh

host dan berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi bakteri tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi bakteri ini tidak dapat dianggap remeh begitu saja (Soewasti, 2000).

b. Host

Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium

Tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet nuclei. Seorang

(41)

baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap bakteri penyebab tuberkulosis.

Faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru secara umum terkait dengan faktor bakteri penyebab penyakit (agent), yang telah diuraikan sebelumnya. Faktor lainnya adalah yang terdapat pada individu (host) yang dalam penelitian ini di ukur dari kebersihan diri, sedangkan faktor lingkungan (environment) di ukur dari sanitasi (Depkes, RI. 2006).

2.7. Faktor yang Memengaruhi Terjadinya TB Paru

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor saling berkaitan satu sama lain. Karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan. Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit (Notoatmojo, 2007).

2.7.1. Umur

(42)

kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangya mencapai usia 60 tahun (Crofton 2002).

Berdasarkan data surveilans menunjukkan bahwa penderita TB yang berumur tua lebih dari separuh, penderita tersebut dengan sputum BTA positif yang dapat menularkan kepada orang lain. Hal ini dikarenakan pada kelompok umur tersebut mempunyai riwayat kontak di suatu tempat yang lama serta hubungan sosial yang erat adalah kunci terjadinya transmisi penyakit. Kelompok umur ini cendrung bergaul dengan kelompok umur yang sebaya, sehingga beresiko untuk tertular penyakit, hal inilah yang membuktikan bahwa resiko penularan TB berhubungan dengan umur (Aditama, 2006).

Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan dari 80 responden didapatkan 11 (13,8%) dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji Chi square didapatkan x2 = 4,396;p=0,036 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antar umur dengan TB paru BTA positif. Berbeda pendapat dengan Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 (p>0,05 bahwa umur bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian paru.

2.7.2. Status Gizi

(43)

penyakit TB paru. Oleh sebab itu, salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. (Achmadi, 2012).

2.7.3. Jenis Kelamin

Di Benua Afrika banyak TB paru terutama menyerang laki-laki pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada wanita, yaitu 42,34 % pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5 %, sedangkan penderita TB paru pada wanita menurun 0,7 %. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya penyakit TB paru (Nelson, 2001).

Hubungan penyakit dengan jenis kelamin ditunjukkan melalui perbedaan angka penyakit, yaitu perbandingan insidensi dan prevalensi penyakit antara laki-laki dan perempuan. Ini tidak berarti bahwa 50 % kasus terjadi pada laki-laki sementara 50 % lainnya pada perempuan. Pernyataan tersebut memang benar jika dikaitkan dengan epidemi penyakit menular tertentu, tetapi tidak pasti benar jika dikaitkan dengan penyakit kronis atau semua penyakit menular (Timmreck, 2005).

2.7.4. Pekerjaan

(44)

(Upah Minimum Regional) akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi, diantaranya TB paru. Dalam hal jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB paru (Notoatmodjo, 2007)

2.7.5. Kepadatan Penduduk

Berdasarkan hasil penelitian Chandra tahun 2005 bahwa hasil uji statistik diperoleh data ada hubungan signifikan antara kepadatan penduduk dengan jumlah kasus TB BTA positif pada tahun 2002 dan 2004 (p-value = 0,009 dan 0,002). Hal ini menunjukkan bahwa persebaran jumlah kasus TB paru BTA positif tergantung pada kepadatan penduduk. Selain itu wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi cendrung memiliki lingkungan tempat tinggal yang kumuh sehingga bila ada salah satu warganya yang menderita TB paru BTA positif akan mempercepat terjadinya proses persebaran penyakit tersebut (Achmad, 2010).

Masalah kesehatan lingkungan cendrung timbul pada daerah padat persatuan area misalnya daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk dalam satu wilayah dengan kecendrungan penggunaan energi dan kegiatan dapat memperburuk kondisi kesehatan lingkungan (Achmadi, 2012).

(45)

terjadinya penularan penyakit terutama penyakit menular secara droplet infection

misalnya penyakit tuberkulosis paru. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat (Acmadi 2012).

2.7.6. Ketinggian Wilayah

Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5 oC. ketinggian berkaitan dengan kelembaban juga dengan kerapatan oksigen. Kuman

mycobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen di

pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman tuberkulosis, (Olander. 2003)

2.8. Iklim

2.8.1. Suhu Udara

Suhu udara dan kelembaban udara sangat mempengaruhi siklus hidup

Mycobacterium tuberculosis yang merupakan penyebab dari penyakit TB paru BTA

positif (Olander, 2003). Siklus reproduksi suatu agen hidup dipengaruhi oleh lingkungan, seperti halnya mikroorganisme yang mempunyai syarat bagi kehidupan yang optimum, baik temperatur, kelembaban, zat hara dan lain-lain. Mycobacterium

tuberculosis akan mati jika terkena sinar ultraviolet secara langsung dalam waktu 5

menit (Crofton, 2002).

Suhu udara dan kelembaban udara sangat mempengaruhi siklus hidup

(46)

positif (Olender, 2003). Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang suhu 25oC – 40oC, tetapi secara optimal pada suhu 31-37oC ( Bambang 2010)

2.8.2. Kelembaban Udara

Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang amat erat, terutama terjadinya berbagai penyakit menular. Iklim dapat dijadikan predictor kejadian berbagai penyakit menular yang seyogyanya dapat dijadikan petunjuk untuk melakukan manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis wilayah (Achmadi, 2012).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis.

Penelitian Mulyadi (2003) di kota Bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70 % beresiko terkena penyakit tuberkulosis 10,7 kali dibandingkan penduduk yang tinggal pada perumahan yang memilki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70 % (Bambang 2010)

2.8.3. Intensitas Cahaya

(47)

Sputum yang mengandung bakteri TB didalam ruangan yang gelap dapat hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan (Default dalam Crofton 2002).

Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya yang ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya kuman TB, oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seharusnya mempunyai jalan masuk udara yang cukup (jendela), luasnya sekurang-kurangya 15% - 20% (Bambang 2010).

Syarat rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, karena dengan kurangnya cahaya matahari, akan menjadi media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Cahaya matahari minimal masuk kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman patogen seperti kuman-kuman Mycobacterium tuberculosis (Achmadi 2012).

2.8.4. Curah Hujan

Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup

Mycobacterium tuberculosis (Olender, 2003). Curah hujan didefinisikan sebagai

(48)

curah hujan, yaitu: bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm, bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm dan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (Chandra, 2005).

2.9. Analisis Spasial

Achmadi 2012, Spasial berasal dari kata space, yang pada dasarnya bermakna ruang juga. Namun istilah spasial lebih sering digunakan untuk menggambarkan kata sifat seperti analisis secara spasial dan spatial epidemiology. Istilah spasial diberikan kepada semua benda maupun fenomena yang terjadi di atas permukaan bumi. Selain itu istilah spasial juga menggambarkan hubungan antara sebuah fenomena kejadian dengan sebuah benda dan fenomena yang ada di permukaan bumi yang diperkirakan memiliki hubungan satu sama lain. Dengan demikian, selain memperhatikan tempat, ketinggian, waktu, juga karakteristik ekosistem, seperti suhu dan kelembaban, struktur permukaan tanah, struktur kependudukan dan lain sebagainya.

Achmadi. 2012, Analisis spasial merupakan salah satu metodelogi manajemen penyakit berbasis wilayah, merupakan suatu analisis dan uraian tentang data penyakit secara geografi berkenaan dengan distibusi kependudukan, persebaran faktor risiko lingkungan, ekosistem, sosial ekonomi, serta analisis hubungan antar variabel tersebut.

(49)

melainkan sebagai suatu proses yang melandasi penelitian. Ada dua konsep yang dikenal, yaitu teori matematis dari proses keruangan dan pola keruangan (spatial

pattern). Proses keruangan biasanya digambarkan dalam suatu struktur yang

menggambarkan variabel serta hubungan antar variabel. Sedangkan pola keruangan merupakan gambaran persebaran suatu gejala di atas permukaan bumi yang bisanya disajikan dalam bentuk peta atau gambar (Chandra, 2005).

Ada 4 tingkatan dalam menggambarkan data spasial yaitu; 1. Kenyataan (reality) adalah gejala sebagaimana yang kita lihat.

2. Model data adalah bentuk penggambaran kejadian sehari-hari yang dialami oleh manusia.

3. Struktur data (logical model) menunjukkan model data, merupakan penggambaran kejadian tertentu, biasanya berbentuk diagram

4. File struktur (physical model) adalah bentuk data dalam penyimpanan hardware

Dengan cara berpikir logis secara bertahap dalam menyusun data spasial, maka pengolahan data spasial akan menjadi sebuah informasi yang teratur dan terarah.

(50)

Analisis spasial juga dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok uatama (Elliot dan Watenberg, 2004) :

a. Pemetaan kasus penyakit

Pemetaan kasus penyakit memberikan informasi kompleks secara visual dan cepat yang mungkin hilang apabila disajikan dalam bentuk tabel.

b. Studi hubungan geografis

Studi hubungan geografis memiliki tujuan, yaitu untuk melihat hasil korelasi kesehatan suatu populasi dengan variabel lingkungan. Faktor demografi dan sosial ekonomi yang diukur pada suatu skala geografi.

c. Pengelompokan penyakit

Adanya pengelompokan suatu penyakit pada suatu wilayah tertentu layak menjadi perhatian, karena kemungkinan ada faktor resiko penyakit didaerah tersebut, oleh karena itu, batuan pemetaan sangat diperlukan dalam melihat kecendrungan kejadian insiden suatu penyakit di suatu wilayah tertentu.

Sebenarnya tidak ada perbedaan jelas di antar ketiganya, saling tumpang tindih dan dibuat-buat. Dalam kenyataanya dilakukan sekaligus, yakni pengelompokan penyakit berdasar peta lalu mengghubungkannya (Achmadi, 2012)

(51)

dan hanya 13,11% kasus 11 yang terletak > 500 m dari sungai. Sehingga tampak kesan bahwa kasus TB cenderung tinggi di daerah sekitar sungai. (Hasanuddin, 2010) 2.9.1. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). Secara umum pengertian SIG sebagai berikut:

” Suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis ”.

Dalam pembahasan selanjutnya, SIG akan selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer, walaupun pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, SIG yang berbasis komputer akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam jumlah dan ukuran) dan terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan.

(52)

Dengan menggunakan teknologi software GIS (mapping) maka akan terlihat dengan mudah data distribusi alamat penderita, kepadatan, population atrisk, kondisi rumah, sanitasi dasar rumah penderita TB serta bisa ditentukan siapa dan dimana orang-orang bisa melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan (Achmadi, 2012).

Sistem informasi geografis dalam kesehatan dapat membantu kecepatan analisis dibandingkan dengan metode yang konvensional. Dengan demikian para pengambil keputusan mudah menganalisis walau dengan data yang besar suatu

monitoring dan manajemen kesehatan. (Johnson, 2001).

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu hasil perkembangan teknologi yang mampu mengolah data atribut dan data spasial secra efektif dan efisien. Sistem ini juga mampu menjawab spasial dan atribut secara simultan sehingga aplikasi SIG dalam kehidupan diharpakan mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengambil kebijakan. Aplikasi SIG sangat luas di berbagai bidang. Salah satu aplikasi SIG adalah dalam bidang kesehatan. Dalam bidang kesehatan memfasilitasi proses pengolahan data atribut dan data spasial menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, model pola penyebaran penyakit dan distribusi unit-unit pelayanan kesehatan (Prasta, 2005). Aplikasi SIG dalam bidang kesehatan ini dikenal dengan sebutan analisis spasial (Nanda. 2012).

(53)

keterjangkauan pelayanan kesehatan diperoleh nilai ρ-value > 0,05 (ρ =0,518) (Bambang, 2011).

Peran SIG untuk kepentingan epidemiologi banyak dimanfaatkan. Analisis keruangan merupakan penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan informasi baru. Sistem Informasi Geografis dibidang kesehatan memeliki arti suatu perangkat program geografis pada komputer dan data kesehatan yang secara teratus saling berkaitan, sehingga membentuk suatu keutuhan keterangan (informasi) dalam bentuk visualisasi atau gamabaran peta yang memudahkan petugas kesehatan untuk menganilisis data situasi kesehatan pada ruang, tempat, wilayah dan waktu tertentu. (Fahmi, 2000)

2.9.2. Komponen Utama

Komponen utama SIG terdiri atas : 1. Hardware

Hardware SIG teridiri dari computer, GPS (Global Poisoning System),

Printer, Plotter, dan lain-lain. Dimana perangkat keras ini berfungsi sebagai media dalam pengolahan/pengerjaan SIG. Mulai dari tahap pengambilan data hingga ke produk akhir baik itu peta cetak, CD, dan lain-lain. (Modul pelatihan SIG 2010). 2. Software

Software SIG merupakan sekumpulan program aplikasi yang dapat

(54)

3. Brainware

Brainware atau dalam istilah indonesia disebut sebagai sumberdaya manusia

merupakan manusia yang mengoperasikan Hardware dan Software untuk mengolah berbagai macam data keruangan (data spasial) untuk suatu tujuan tertentu. (Modul pelatihan SIG 2010).

4. Data Spasial

(55)

2.10. Landasan Teori

Berdasarkan teori yang ada di bab 2, penulis menggambarkan hubungan dari masing-masing faktor risiko antar variabel

Gambar 2.1. Landasan Teori Faktor Iklim dan lainnya

- Suhu udara - Kelembaban - Curah hujan

- Intensitas cahaya matahari

(56)

2.11. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep dari kasus TB paru dibuat berdasarkan teori yang diperoleh dari berbagai kepustakaan dan beberapa penelitian didapatkan berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru seperti bagan di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian - Kelembaban udara

- Suhu udara - Curah Hujan

(57)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah studi ekologi dengan memanfaatkan data sekunder dengan pendekatan spasial. Analisis spasial adalah salah satu cara pendataan dalam upaya untuk manajemen lingkungan dan merupakan bagian dari

pengelolaan (manajemen) penyakit berbasis wilayah, merupakan suatu analisis dan

uraian tentang data, kelembaban udara, suhu udara, curah hujan terhadap kejadian

penyakit dan hubungan antar variabel tersebut dimana masing-masing variabel dapat

menjadi faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Batubara. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni 2014.

3.3. Populasi dan Sampel

(58)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :

a. Badan Metereologi Klimatogi dan Geofisika, berupa data kelembaban udara dan suhu udara, curah hujan tahun 2010-2012

b. Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara, berupa jumlah kasus TB paru BTA Positif per tri wulan tiap kecamatan tahun 2010-2012

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional

Defenisi operasional dari variabel independen dan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1. Defenisi Operasional

Variabel Defenisi

Operasional Cara Ukur Skala Hasil Ukur I. Variabel Dependen

Kasus TB

II. Variabel Independen Kelembaban

Suhu Udara Rata-rata suhu udara perbulan yang

(59)

3.6. Metode Pengukuran

Pengukuran data statistik dilakukan dengan semua data sekunder per tri wulan sebagai pendukung penelitian ini, data dianalisis dengan menggunakan program komputer untuk menghasilkan output gambaran distribusi statistik serta analisis korelasi Pearson moment yang menampilkan nilai p dan R.

Penggunaan software ArcGIS ver. 10 untuk mengolah data spasial dengan memakai data variabel-variabel penelitian yang ada pada peta Kabupaten Batubara, kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel, narasi dan gambar peta.

3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai gambaran distribusi statistik variabel independen dari kasus TB paru BTA positif dan variabel independen berupa data kelembaban udara, suhu udara, curah hujan.

3.7.2. Analisis Bivariat

Uji Normalitas data bertujuan untuk menentukan apakah data distribusi normal atau tidak, sehingga dapat menentukan uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat, uji normalitas yang digunakan adalah Kolmogrov-semirnov

menunjukkan data distribusi normal, maka analisis korelasi Person Moment, jika data tidak berdistribusi normal maka uji korelasi yang digunakan adalah uji nonparametrik

(60)

digunakan uji korelasi. Nilai korelasi disimbolkan sebagai (r) berkisar antar 0 - 1, nilai antaranya -1 - +1. Dengan menggunakan nilai probabilitas (p) sebesar 0,05. Dimana:

r = 0 : tidak ada hubungan linier

r = -1 : hubungan linier negatif sempurna r = +1 : hubungan linier positif sempurna

Bila kenaikan satu variabel diikuti dengan variabel yang lain maka hubungan yang terjadi positif, bila kenaikan satu variabel diikuti dengan penurunan variabel yang lain maka hubungan negatif

Menurut Colton dalam Hastono (2007), kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dibagi menjadi 4 area yaitu :

r = 0,00 – 0,25 : tidak ada hubungan/hubungan lemah r = 0,26 – 0,50 : hubungan sedang

r = 0,51 – 0,75 : hubungan kuat

r = 0,76 – 1,00 : hubungan sangat kuat/sempurna

3.7.3. Analisis Multivariat

(61)

Logit P (x) = a +b1X1+ b2X2+ b3X3...+ bnXn Keterangan :

Y = Kejadian TB Paru

A = Intercept, perbedaan besranya rata-rata variabel Y ketika variabel X=0

b = Slope, perkiraan besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai variabel X

berubah satu unit pengukuran

3.7.4. Analisis Spasial

(62)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batubara Propinsi Sumatera utara, secara geografi posisi 2o03’00” - 3o26’00 Lintang Utara, 99o01’ - 100o00 Bujur Timur, luas wilayah 904.96 Km2, dengan ketinggian 0 – 50 meter dpl, dengan batas wilayah :

a. Utara : Kabupaten Serdang Bedagai b. Selatan : Kabupaten Asahan

c. Barat : Kabupaten Simalungun d. Timur : Selat Malaka

Daerah Administratif terdiri dari 7 kecamatan yaitu : Sei Balai, Tanjung Tiram, Talawi, Lima Puluh, Air Putih, Sei Suka, Medang Deras. Luas Kecamatan dapat dilihat pada tabel barikut ini

Tabel 4.1 Luas Kecamatan dan Jumlah Desa disetiap Kecamatan di Kabupaten Batubara

(63)

4.2.1 Gambaran Iklim di Daerah Kabupaten Batubara

Dari data iklim berupa kelembaban udara, suhu udara dan curah hujan pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 di Kabupaten Batubara akan dijelaskan berikut ini.

Tabel 4.2 Distribusi Kejadian TB Paru BTA Positif, Kelembaban Udara, Suhu Udara dan Curah Hujan per Triwulan di Kabupaten Batubara

Tahun 2010-2012

Sumber BMKG Provinsi Sumatera Utara,

Ket : I : Januari, Februari, Maret III : Juli, Agustus, September II : April, Mei, Juni IV : September, Oktober, November

4.2.1.1 Distribusi Kelembaban Udara

Distribusi kelembaban udara di lokasi penelitian akan ditampilkan pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Distribusi Kelembaban Udara (%) di Kabupaten Batubara pada Tahun 2010-2012 2010-2012 81,700 81,250 1,309 80,7-83,6 79,617-83,783

(64)

Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai rata-rata kelembaban udara pada tahun 2010-2012 tertinggi 84.7 % dan terendah 80.0 % Kelembaban udara di Kabupaten Batubara selama tahun 2010-2012 menunjukkan pola yang berbeda di setiap triwulannya. Kelembaban udara mengalami fluktuasi kenaikan maupun penurunan. Kejadian TB paru BTA positif juga terjadi variasi, jika suhu naik maka kajadian TB paru BTA positif juga naik atau jika suhu menurun kasus TB paru BTA positif juga menurun dan sebaliknya.

4.2.1.2 Distribusi Suhu Udara

Distribusi suhu udara di lokasi penelitian akan ditampilkan pada Tabel 4.4 berikut ini.

Tabel 4.4 Distribusi Suhu Udara (0C) di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012 2010-2012 27,575 27,450 0,479 27,2-28,2 26,813-28,337

Sumber BMKG Provinsi Sumatera Utara

(65)

naik maka angka kasus juga naik atau sebaliknya, tetapi terkadang terjadi variasi yang berbeda antara suhu udara dan kejadian TB paru BTA positif dengan suhu udara.

4.2.1.3 Distribusi Curah Hujan

Distribusi curah hujan di lokasi penelitian akan ditampilkan pada Tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Distribusi Curah Hujan (mm) di Kabupaten Batubara Tahun 2010- 2012

Tahun Mean Median SD Min-Max 95 % CI 2010 118,425 108,7 59,708 56,7-199,7 23,416-213,434 2011 140,025 146,4 53,659 72,7-194,7 54,690-225,360 2012 106,250 105,4 19,548 83,3-131 75,145-137,355 2010-2012 121,550 116,2 40,442 78,8-175,1 57,198-185,902

Sumber BMKG Provinsi Sumatera Utara

Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai curah hujan tertinggi pada tahun 2011 yaitu 140,025 mm dan terendah pada tahun 2012 yaitu 106,250 mm. Curah hujan selama tahun 2010-2012 menunjukkan pola yang sama setiap tahunnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kriteria distribusi curah hujan berada pada rendah (0-100 mm) dan sedang (101-330 mm) maka curah distribusi curah hujan adalah sedang, dan pada kriteria intensitas curah hujan diatas 50 meter maka pada kondisi ini termasuk kriteria intensitas curah hujan lebat

4.2.2 Distribusi Kejadian TB Paru BTA Positif

(66)

Tabel 4.6 Jumlah Kejadian TB Paru BTA Positif di Kabupaten

Jumlah Tahun 2010 502

Jumlah Tahun 2011 571

Jumlah Tahun 2012 537

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara

Ket : I : Januari, Februari, Maret III : Juli, Agustus, September II : April, Mei, Juni IV : September, Oktober, November

Tabel 4.7 Distribusi Kejadian TB Paru BTA Positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012

(67)

Hasil penelitian menyatakan bahwa rata-rata kejadian TB Paru BTA positif BTA positif tertinggi pada tahun 2011 yaitu 142,750 kasus. Kejadian TB paru BTA positif per triwulan pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, terbanyak terjadi pada triwulan triwulan pertama tahun 2011 yaitu sebanyak 157 kasus, terendah terdapat pada triwulan pertama tahun 2010 yaitu sebanyak 107 kasus. Kasus tertinggi terjadi di kecamatan Lima Puluh yaitu 327 kasus. Terjadi peningkatan kasus kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara dari tahun 2010 ke tahun 2011 dimana pada tahun 2010 terdapat 502 kasus sedangkan tahun 2011 terdapat 571 kasus. Tetapi pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 537 kasus.

4.3 Uji Normalitas Data

Uji Normalitas data bertujuan untuk menentukan apakah data distribusi normal atau tidak, sehingga dapat menentukan uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat. Suatu data disebut berdistribusi normal apabila dalam uji normalitas Shapiro-Wilk untuk n ≤ 50 dan Kolmogorov -Smirnov untuk n > 50 menunjukkan (Dahlan, 200) :

a. Distribusi data normal apabila nilai signifikans (p > 0,05) b. Distribusi data tidak normal apabila nilai signifikans (p <0,05)

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Variabel-variabel Penelitian Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012

Tahun Variabel Nilai p Keterangan

2010

Kejadian TB Paru 0,999 Normal

Suhu Udara 0,748 Normal

Kelembaban Udara 0,68 Normal

(68)

2011

Kejadian TB Paru 0,001 Tidak Normal

Suhu Udara 0,726 Normal

Kelembaban Udara 0,828 Normal

Curah Hujan 0,296 Normal

2012

Kejadian TB Paru 0,866 Normal

Suhu Udara 0,798 Normal

Kelembaban Udara 0,836 Normal

Curah Hujan 0,664 Normal

2010-2012

Kejadian TB Paru 0,192 Normal

Suhu Udara 0,272 Normal

Kelembaban Udara 0,86 Normal

Curah Hujan 0,417 Normal

4.4 Analisis Bivariat

4.4.1 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012

Korelasi kelembaban udara dengan kejadian TB Paru BTA positif akan ditampilkan pada Tabel 4.9 berikut ini.

Tabel 4.9 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru BTA positif di Kabupaten Batubara Tahun 2010-2012

Tahun Nilai p r

2010-2012 0,012 0,428

Gambar

Gambaran Umum Lokasi Penelitian .........................................
Gambar 2.1. Landasan  Teori
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Defenisi Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin dengan kejadian diare di Kota Jakarta Pusat periode tahun

Kesimpulan yang diperoleh adalah curah hujan perbulan dan pertahun tidak berhubungan dengan kasus DBD di Kota Medan, sedangkan kecepatan angin, kelembaban udara,

Hubungan suhu udara dengan kejadian demam berdarah dengue di di Kota Malang pada Tahun 2002-2011 apabila dilihat dari data perbulan menunjukkan bahwa secara

Kesimpulan yang diperoleh adalah curah hujan perbulan dan pertahun tidak berhubungan dengan kasus DBD di Kota Medan, sedangkan kecepatan angin, kelembaban udara,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan rancang bangun miniatur stasiun cuaca untuk monitoring curah hujan, suhu, kelembaban udara area local menggunakan berbasis

Iklim (suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin) dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang sangat erat, terutama terjadinya berbagai penyakit

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin dengan kejadian diare di Kota Jakarta Pusat periode tahun

Kelembapan udara yang diikuti oleh penurunan curah hujan disertai terjadinya peningkatan suhu udara mulai bulan Juni sampai bulan September 2019 menyebabkan terjadinya