• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

B. UNCLOS 1982 dan Kaitannya dengan Bajak Laut

Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa tugas pokok berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Perompakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan dan penjarahan terhadap kapal komersial. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang mengancam keamanan internasional dan kepentingan kemanusiaan secara luas.

Salah satu Hukum Internasional yang mengatur mengenai penanganan terhadap perompak adalah UNCLOS (United Nations Convention Law of the Sea). Hukum tersebut memuat pasal yang berisi pengertian perompakan dan aturan penangkapan terhadap perompak. Secara substansi, ketetapan dalam hukum tersebut seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan perompak.

Pada 5 februari 2009, UNCLOS telah diratifikasi oleh 156 negara. Di dalam UNCLOS mendefinisikan perompakan sebagai peristiwa khusus yang terjadi di perairan laut dari negara yang memiliki garis pantai dan memiliki kewenangan

yuridiksi penuh dalam menindak perompakan di dalam teritorial perairan negara yang berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif.

Di dalam praktik, hak pelayaran diatur dibawah konvensi dari zona ekonomi eksklusif, negara seharusnya menghormati hak dan kewajiban negara yang memiliki garis pantai dan seharusnya mematuhi hukum dan regulasi yang diadopsi oleh negara pantai tersebut.39

Mengenai pasal pasal yang berkaitan dengan pembajakan terdapat dalam pasal 100 sampai pasal 107 UNCLOS. Hak suatu negara terhadap perompak diatur dalam pasal 110 yang berisi bahwa kapal perang suatu negara tidak diijinkan mendatangi dan menindak kapal asing kecuali ketika kapal tersebut teridentifikasi bahwa kapal bekerjasama dengan perompak dan kapal tidak membawa identitas kebangsaan.40

Sesuai dengan Pasal 100 UNCLOS, dapat dikatakan perompakan apabila terjadi diatas perairan atau di tempat lainnya yang berada di luar wilayah hukum negara manapun. Apabila pembajakan dilakukan oleh kapal perang atau kapal pemerintah yang dikendalikan oleh kru yang memberontak, kapal perang atau kapal pemerintah akan dianggap sebagai kapal swasta yang telah melakukan pembajakan karena itu akan dikenakan aturan pembajakan.41

Mengenai status kewarganegaaraan yang dimiliki oleh kapal perompak tergantung undang-undang dari negara asal kapal perompak tersebut, karena pada

39

Russell, Denise. Who Rules The Waves ? Piracy, Overfishing, and Mining the Ocean, (New York: Pluto Press,2010), hlm 158.

40

Beckman, Robert. Somali Piracy- Is International Law Part of The Problem or Part of

The Solution’, ( RSIS,2009), hlm 20

41

dasarnya kapal perompak tersebut tetap memiliki status kewarganegaarn sesuai dengan bendera kapal dari kapal perompak tersebut.42

Maka, ketika terjadi penangkapan atas bajak laut tersebut, negara yang menangkap berhak atas bajak laut beserta kapal dan property yang berada di atas kapal dan Pengadilan Negara yang menangkap bajak laut dapat menentukan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. 43 Namun, apabila suatu negara menangkap dan melakukan penyitaan terhada kapal bajak laut tanpa alasan yang cukup dan menimbulkan kerugian, maka negara tersebut bertanggung jawab terhadap negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal tersebut.44

Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal demikian.45

Kapal perang suatu negara dapat melaksanakan pemeriksaan dokumen dan segala hal hal yang dimungkinkan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang suatu negara ini boleh mengirimkan sekoci, di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai. Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila kapal yang diperiksa

42 Ibid., Pasal 104 43 Ibid., Pasal 105 44 Ibid., Pasal 106 45 Ibid., Pasal 107

tidak melakukan suatu perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang mungkin diderita.46

UNCLOS menyatakan perompakan merupakan tindakan ilegal yang dilakukan di atas laut atau di luar wilayah hukum negara apapun. Apabila terjadi di perairan sebuah negara hukum, maka secara teknik bukanlah aksi pembajakan tapi sebuah tindakan perampokan bersenjata atau perampokan di laut dan yang digunakan adalah hukum negara tersebut di sepanjang garis pantai dan menurut keamanan nasionalnya. Bila terjadi perompakan, UNCLOS mewajibkan setiap negara bekerjasama sekuat tenaga dalam membasmi atau menekan pembajakan.47

C. Pengaturan Hukum Internasional Lainnya diluar UNCLOS 1982

1. Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA Convention)

IMO membentuk konvensi ini sebagai reaksi atas kasus pembajakan kapal Acille Lauro. Kasus ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.

Dalam Konvensi ini tidak menggunakan istilah pembajakan di laut

(piracy), melainkan istilah tindak pidana (offences). SUA Convention 1988

memberikan yurisdiksi untuk menindak para pelaku perampokan bersenjata di laut dan tidak terbatas hanya di laut lepas. Namun prinsip kedaulatan laut

46

Ibid., Pasal 110

47

teritorial tetap ditegakkan dalam konvensi ini, sehingga negara-negara tidak diberikan hak untuk memasuki laut teritorial negara lain untuk menumpas bajak laut. 48

SUA Convention 1988 telah diratifikasi oleh 156 negara, namun tidak diadopsi oleh negara-negara pantai yang secara luas dipengaruhi oleh pembajakan di laut seperti Somalia, Malaysia dan Indonesia.

SUA Convention 1988 mencoba untuk mengatur berbagai tindakan kekerasan maritim yang tidak disebutkan dalam UNCLOS 1982. SUA Convention 1988 menyertakan tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi dalam perairan territorial, tindakan tersebut dapat berupa penahanan / penguasaan secara paksa, kekerasan terhadap orang di atas kapal, penghancuran atau pengrusakan kapal, penempatan alat atau zat yang dapat menghancurkan atau merusak kapal, menghancurkan atau merusak fasilitas navigasi maritim, mengumumkan informasi yang sudah diketahui salah, melukai atau membunuh orang dalam rangka pencapaian tindak pidana yang disebutkan sebelumnya. Segala tindakan percobaan atau upaya untuk melakukan tindak pidana, juga dikategorikan sebagai tindak pidana dalam pasal ini. Namun konvensi ini tidak memberikan wewenang yursidiksi universal untuk menangani tindakan-tindakan tersebut.49

SUA Convention 1988 menyebutkan tindakan-tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan pembajakan di laut, seperti penahanan kapal melalui paksaan. Beberapa pengaturan yang penting yang diatur 48

Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA Convention) Pasal 6

49

dalam konvensi ini, yaitu:

1) Larangan seseorang untuk menguasai sebuah kapal dengan paksaan, melukai orang lain di atas kapal dan menghancurkan atau merusak kapal (Pasal 3).

2) Tidak diwajibkannya syarat laut lepas.

3) Tidak mengatur terhadap kapal yang hanya beroperasi di laut teritorial dari suatu negara pantai.

4) Fokus untuk menghukum para pelaku.

5) Aspek terpenting adalah dibutuhkannya suatu negara untuk mengadili atau mengekstradisi pelaku.

Menurut konvensi ini, SUA Convention 1988 tidak berlaku kapal perang, kapal yang dioperasikan pemerintah, dan juga kapal yang sudah tidak bernavigasi50 yang terjadi pada seluruh wilayah laut dan tidak terbatas pada laut lepas. 51 Negara peserta wajib untuk menerapkan hukum terhadap tindak pidana yang disebutkan sesuai dengan tingkatan tindak pidana yang dilakukan.52

SUA Convention 1988 tidak menerapkan yurisdiksi universal selayaknya Convention on the High Seas 1958 atau UNCLOS 1982, melainkan memberika tiga cara bagi negara peserta untuk melaksanakan yurisdiksinya53, yaitu: 50 Ibid., Pasal 2 51 Ibid., Pasal 3 52 Ibid., Pasal 5 53 Ibid., Pasal 6

a. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika tindakan ilegal dilakukan di wilayahnya, termasuk laut teritorialnya.

b. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan ditujukan atau dilakukan di atas kapal yang berbendera negara peserta tersebut.

c. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan dilakukan oleh salah satu warganegaranya.

Inti dari tujuan SUA Convention 1988, yaitu mendorong dan mewajibkan agar para pelaku tindak pidana diadili atau diekstradisi. Tiap negara peserta yang menangkap pelaku atau tersangka pelaku harus melakukan penahanan yang sesuai dengan hukum nasionalnya agar dapat dilakukan upaya pengadilan atau ekstradisi.54

Dalam Konvensi ini juga terdapat kewajiban untuk mengekstradisi para pelaku tindak pidana oleh negara peserta konvensi, namun jika negara peserta menangkap pelaku atau tersangka pelaku dan tidak melakukan ekstradisi (apabila pelaku / tersangka pelaku merupakan WNA), maka negara peserta tersebut wajib mengadili pelaku atau tersangka pelaku tersebut. Konvensi ini hanya menyediakan mekanisme untuk menjamin dilakukannya hukuman melalui cara pengadilan bagi mereka yang terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan maritim, dengan cara memberikan kewajiban terhadap negara peserta berupa dilakukannya esktradisi ke negara asal pelaku atau pengadilan di dalam negara peserta tersebut.55

54

Ibid., Pasal 7

55

Apabila antara negara pengirim (penangkap) dan negara penerima yang ingin melakukan ekstradisi tidak memiliki perjanjian ekstradisi, maka perjanjian ini dapat dijadikan dasar ekstradisi dengan dibolehkan ditetapkannya syarat-syarat tertentu oleh negara peserta, 56 kecuali negara tersebut tidak menjadi negara peserta SUA Convention 1958, seperti Somalia, maka tidak dapat menjadikan SUA Convention 1958 sebagai dasar melakukan perjanjian ekstradisi.57

Beberapa pakar berpendapat terdapat peraturan yang tidak diatur dalam SUA Convention dalam mengatur tindakan perompakan, yaitu : 1) Jose Luis Jesus menyoroti tindakan yang tidak diatur dalam SUA

Convention 1988, yaitu tindakan kekerasan terhadap orang-orang di atas kapal yang sekiranya tidak membahayakan keselamatan navigasi dan melengkapi atau menggunakan kapal sebagai alat atau senjata. 58

2) Beberapa pembentuk Laporan Nairobi (Nairobi Report) berpendapat bahwa SUA Convention 1988 bukan merupakan instrumen yang sesuai untuk menekan pembajakan di laut karena dibuat dalam konteks anti- terorisme.59

3) Lucas Bento berpendapat bahwa secara teori, SUA Convention 1988 terlihat seperti solusi yang menjanjikan, namun dalam praktek, SUA

56

Ibid., Pasal 11

57

Harrelson, Jill. Blackbeard Meets Blackwater: An Analysis of International Conventions that Address Piracy and the Use of Private Security Companies to Protect the Shipping Industry,

(Vol.25; American University International Law Review, 2010), hlm. 305 58

Jesus, Jose Luis. Protection of Foreign Ships against Piracy and Terrorism at Sea: Legal

Aspects, (Vol.18; The International Journal of Marine and Coastal Law, 2003), hlm. 372.

59

Kraska, James. and Brian Wilson, The Pirates of the Gulf of Aden: The Coalition is the Strategy,

Convention 1988 bukanlah instrumen hukum yang efektif untuk menangani pembajakan di laut.60

4) James Kraska dan Brian Wilson menyatakan bahwa untuk mengadili para perompak di bawah SUA Convention 1988 tidak akan menghilangkan tantangan-tantangan yang berkaitan dengan disposisi pihak-pihak yang dibutuhkan dalam keperluan pengadilan. Dibutuhkan adanya suatu perjanjian regional dan bilateral antar negara-negara, sekaligus koordinasi, disposisi dan logistik yang tersedia dengan baik dalam hal kaitannya dengan pihak-pihak yang dibutuhkan untuk hadir dalam persidangan dan pemeriksaan. Hal ini dikarenakan kasus pembajakan di laut terdiri dari pelaku dan saksi serta korban yang berasal dari negara yang berlainan.61

2. Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)

Perjanjian ini dibentuk untuk mengatasi pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal yang terjadi di kawasan Asia. Dikarenakan perdangangan ekspor dan impor di Asia sangan bergantung pada pengankutan melalui jalur laut.62

ReCAAP bertujuan untuk memberantas piracy dan armed robbery yang terjadi di wilayah Asia dan sebagai pusat informasi tentang aksi pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal, namun tidak menutup 60

Bento, Lucas. Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of

Maritime Piracy Law Enables Piracy to Flourish, (Vol.29; Berkeley Journal of International

Law, 2011), hlm 424 61

Kraska, James. and Brian Wilson, Op.Cit., hlm. 2811 62

kemungkinan juga Negara peserta dari perjanjian ini juga memberikan bantuan baik dari segi tenaga, dan alih teknologi kepada Negara lain yang membutuhkan. Negara-negara pelopor dari ReCAAP itu sendiri adalah Jepang, Cina, India, Singapura dan sebagian besar anggota ASEAN, saat ini telah ada 17 negara yang menandatangani perjanjian multilateral tersebut.

ReCAAP adalah perjanjian organisasi Internasional pertama multilateral pemerintah-ke-pemerintah dalam gerakan anti-pembajakan dan usaha perampokan bersenjata. Perjanjian ini terdiri dari tiga pilar63:

1) Berbagi informasi antara negara-negara anggota ReCAAP.

2) Peningkatan kapasitas antara negara-negara anggota dengan berbagi praktik terbaik dalam memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata.

3) Melakukan perjanjian kerjasama dengan seperti- organisasi berpikiran untuk memperkuat kemampuan negara-negara anggota untuk mengelola insiden di laut.

Dikarenakan Indonesia dan Malaysia belum meratifikasi ReCAAP, menyebabkan ReCAAP memiliki keterbatasan yang terkait dengan organisasi dan proses sehingga efektifitas pelaksanaan ReCAAP di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok yang berada di dalam wilayah jurisdiksi dan kepulauan Indonesia dan Malaysia. Insiden perampokan bersenjata banyak terjadi dalam jursidiksi Indonesia dan Malaysia, sehingga informasi dari kedua negara ini akan berkontribusi besar untuk ReCAAP 63

http://www.researchgate.net/publication/223124709_Combating_piracy_and_armed_robbery_in _Asia_The_ReCAAP_Information_Sharing_Centre_(ISC) diakses pada 20 Juni 2015

dalam memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata. Demi menutupi kesenjangan ini, ReCAAP telah membangun hubungan di tingkat operasional dengan Badan Penegakan Maritim Malaysia, serta Dewan Keamanan Laut Indonesia Koordinasi (BAKORKAMLA) di Indonesia.64 3. Universal Jurisdiction

Negara negara telah diberikan perluasan yurisdiksi dalam menanggulangi dan menekan terjadinya pembajakn di laut. Bentuk yurisdiksi yang diberikan didasarkan pada pengakuan oleh hukum Internasional, namun masih terdapat kontroversi dan masalah masalah yang timbul sehingga seringkali diperdebatkan. 65 Yurisdiksi ini disebut dengan yurisdiksi universal (universal jurisdiction), yaitu yurisdiksi dimana negara - negara dapat menindak tindak pidana tertentu yang dilakukan dimanapun dan oleh siapapun, tanpa mempermasalahkan wilayah, kewarganegaraan atau kepentingan dari negara.

Berdasarkan yurisdiksi universal (universal jurisdiction), negara- negara dapat mengadili walaupun negara tersebut tidak terlibat dalam pembajakan karena negara-negara sebagai bagian dari suatu komunitas hukum internasional mempunyai kewajiban bahkan hak untuk menghukum sebagai tanggung jawab actio popularis terhadap orang-orang yang merupakan musuh umat manusia.

Yurisdiksi universal dimaksudkan agar pengadilan nasional negara tertentu bisa mengadili kasus kejahatan berat atau kejahatan serius 64

Ibid

65

Malanezuk, Peter. Akehurts‟s Modern Introduction to International Law, (London: Routledge, 1997), hlm. 113

berdasarkan hukum internasional dengan tidak memperdulikan locus, kebangsaan atau kewarganegaraan pelaku/korban.66 Konsep dari yurisdiksi universal berkaitan erat dengan ide pemikiran bahwa beberapa norma internasional merupakan milik dari seluruh komunitas dunia, sama seperti prinsip jus cogens. 67

Yurisdiksi universal digunakan untuk kejahatan Internasional dalam kemanusiaan dan bajak laut dianggap sebagai kejahatan Internasional terhadap kemanusiaan. Karena dalam menangkap pelaku, negara yang menangkap pelaku pembajakan kapal laut dapat mengadili pelakunya meskipun negara pemilik kapal tidak terpengaruh dengan aktifitas pembajakan tersebut. Untuk membawa para pelaku ke pengadilan, negara- negara mempunyai kekuasaan secara sendiri-sendiri maupun kolektif berdasarkan yurisdiksi tersebut, meskipun tidak memiliki hubungan dengan tempat kejahatan itu dilakukan atau dengan pelaku atau dengan korban.

Yurisdiksi atas kejahatan biasa tergantung pada hubungan, yang umumnya terjadi dalam suatu wilayah Negara, antara Negara yang menyelenggarakan pengadilan dengan kejahatan itu sendiri. Prinsip yurisdiksi universal merupakan jalan agar para tersangka tidak memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisi atau menghukum pelaku.

66

Xavier Philippe, The principles of universal jurisdiction and complementarity: how do the two principles intermesh?, dalam International Review of the Red Cross, Volume 88 Number 862

June 2006, ICRC, Geneva, hlm. 377

https://www.icrc.org/eng/assets/files/other/irrc_862_philippe.pdf 67

http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/01/yurisdiksi-universal-kepentingan.html diakses 20 Juni 2015

D. Penangkapan dan Pengadilan Bagi Bajak Laut Menurut Hukum

Dokumen terkait