INTERNASIONAL
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NOVILIANA HASANAH SIREGAR NIM : 110200250
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
INTERNASIONAL
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NOVILIANA HASANAH SIREGAR NIM : 110200250
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
INTERNASIONAL S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Noviliana Hasanah Siregar NIM : 110200250
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum NIP : 195612101986012001
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H Arif, S.H., M.Hum
NIP : 19620713198801003 NIP : 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Arif, S.H., M.H.***
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dari konferensi Djuanda hingga dikeluarkannya Konvensi Hukum Laut yang kemudian membagi wilayah jurisdiksi Indonesia. Terdapat pengaturan mengenai bajak laut berdasarkan hukum Internasional yang menimbulkan kewenangan untuk menangkap dan mengadili bajak laut berdasarkan hukum Internasional. Sehingga memunculkan hak dan kewajiban Indoneisa sebagai negara kepulauan untuk menghadapi bajak laut di wilayah jurisdiksinya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang melakukan analisis hukum atas peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan judul skripsi. Data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan
(Library research), yaitu dengan melakukan penelitian dari berbagai sumber
bacaan seperti buku-buku, majalah-majalah, pendapat para sarjana dan juga bahan-bahan kuliah lainnya.
Hasil pembahasan menunjukan bahwa pengaturan mengenai pembajakan di wilayah yurisdiksi Indonesia dalam rangka menekan perkembangan bajak laut terdapat dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut),
Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Peraturan lain yang terkait adalah mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Hak Lintas Damai. Adapun penghukuman terhadap bajak laut berdasarkan hukum nasional masing masing negara.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat
yang tidak terhingga yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga
akhirnya penulis dapat menyelesikan skripsi yang berjudul “KEWENANGAN
MENANGKAP DAN MENGADILI BAJAK LAUT DI WILAYAH
JURISDIKSI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM
INTERNASIONAL”.
Setelah sekian lama akhirnya penulis dapat menyelsesaikan skripsi ini
sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sebagai
manusia biasa tidak akan pernah luput dari kesalahan, kekurangan, dan
kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan dari Bapak
dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses
penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
USU.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Pembanyu
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H.,DFM, selaku Pembantu
Dekan II Fakultas Hukum USU.
4. Bapak O.K. Saidin, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum USU.
5. Bapak Dr. Chairul Bariah, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Departemen
Hukum Internasional.
6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H.,, selaku Dosen Pembimbing I
penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam
penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, dan membimbing
penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala
mengalami kesulitan.
7. Bapak Arif, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang
banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul
diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam
menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami
kesulitan.
8. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum, selaku sekertaris Departemen
Hukum Internasional Fakultas Hukum USU
9. Ibu Dra. Zakiah, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis
selama perkuliahan.
10. Untuk semua Dosen dan staf pegawai Fakultas Hukum Universitas
11. Kepada yang terkasih Ayahanda Alm. Primerdi Hamonangan Siregar,
S.E. dan Ibunda Hj. Hapizo, S.H. Terima kasih buat doa dan
dukungannya serta kasih saying tiada batas yang diberikan sepanjang
hidup yang diberikan kepada penulis selama ini dari membesarkan
hingga mendapatkan gelar Sarjana Hukum ini, hanya ucapan terima
kasih dan doa yang dapat penulis berikan.
12. Kepada Om Defrian Basya Siregar, Tante Rika Sjafitri, Om Aril Arlan
Siregar, Tante Maya Suciawati, Om Yuda, Tante Deni, Om Fery
Maratua Siregar, Om Ismail, Tante Neneng Sukaisih, Om
Nurwarman, Tanter Nurwani, Om Daud, Tante Mery Wijaya, Tante
Asmawati, dan keluarga besar saya yang selalu mendukung, memberi
doa dan semangat kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Kepada yang terkasih Abraham Joefiarno Simanjuntak yang selalu
ada, membantu dan menemani serta memberikan doa, motivasi, dan
semangat yang diberikan sampai akhirnya skripsi ini selesai.
14. Kepada Stephanie Situmorang sebagai sahabat yang selalu ada dan
teman satu bimbingan saya. Terima kasih atas bantuan, doa, dan
motivasi yang selalu diberikan sampai akhirnya skripsi ini selesai.
15. Kepada Shanadz Alvikha, Anom Wirapati, Anggreka Michello Bulan
Loebis sahabat yang selalu ada, membantu dan memberikan
16. Kepada Chairunnisa Putri Siregar, Ahmad Suraya, Azhar Nazli,
Yohana Rosendra, Dian Agustina, dan Stella Guntur, sahabat yang
selalu ada, membantu dan memberikan semangat.
17. Kepada sahabat Forever Young, Shanadz Alvikha, Yessi Serena
Rangkuti, Devi Mutia Mastura, Annisa Vanya Pulungan, Gita Annisa
Raditra, Maulidia Rizka, Meidini Chairmanita, Vika Dayani Lubis,
Putri Hasanuddin. Terima kasih untuk dukungan dan kebersamaannya
selama ini.
18. Kepada sahabat Lantam-ers, Stephanie Situmorang dan M. Wahyu
Ravicky Sikumbang. Terima kasih untuk dukungan dan
kebersamaannya selama ini.
19. Kepada sahabat Dewa Dewi Ular, Meirani Solafide Purba, M. Wahyu
Ravicky Sikumbang, T. Shanny Djovani M., Nurul Efridha, Clara
Apulina Ginting, Sebrina Syahputri Nasution, dan Nindya Caesy
Aidita. Terima kasih untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini.
20. Kepada sahabat CIA, Stephanie Situmorang, M. Wahyu Ravicky,
Meirani Solafide Purba, Mutiara Rizky, Pudja Eka Prayudha, Faisal
Dalimunthe, Dhimas Adiputra.
21. Seluruh teman-teman Grup F yang namanya tidak dapat disebutkan
satu-persatu. Terima kasih untuk dukungan dan kebersamaannya
22. Seluruh teman-teman ILSA angkatan 2011 yang namanya tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk dukungan dan
kebersamaannya selama ini.
23. Kepada sahabat SMA, Fanny Aulia Putri, M. Joan Barkah, Hafizh
Satria, Adrian Rasyki, T. M. Haikal Aulia Chalik, dan teman teman
XII IPA 3 SMA Negri 1 Medan angkatan 2010. Terima kasih untuk
dukungan dan kebersamaannya selama ini.
Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bukan hanya kepada penulis, tetapi juga kepada masyarakat.
Medan, Mei 2015
Penulis
Noviliana Hasanah Siregar
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan ... 11
E. Tinjauan Pustaka ... 11
1. Pengertian Kewenangan untuk Menangkap dan Mengadili ... 12
2. Pengertian Wilayah Perairan ... 12
3. Pengertian Wilayah Yurisdiksi ... 13
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia ... 19
1. International Maritime Organization (IMO) ... 22
2. International Maritime Bureau (IMB) ... 24
Against The Safety of Maritime Navigation (SUA
Convention) ... 31
2. Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) ... 36
3. Universal Jurisdiction ... 38
D. Penangkapan dan Pengadilan Bagi Bajak Laut Menurut Hukum Internasional ... 40
BAB III KEWENANGAN INDONESIA UNTUK MENANGKAP DAN MENGADILI BAJAK LAUT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL A. Wilayah Yurisdiksi Suatu Negara ... 45
B. Efektifitas UNCLOS Terhadap Pengaturan Mengenai Bajak Laut ... 48
C. Pemberian Hukuman Kepada Bajak Laut ... 51
1. Ekstradisi ... 52
2. Mahkamah Internasional ... 53
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA MENGHADAPI KEJAHATAN BAJAK LAUT DI WILAYAH YURISDIKSINYA A.Bajak Laut di Indonesia dan Pengaturannya berdasarkan Hukum Nasional ... 55
1. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) ... 58
2. Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
Arif, S.H., M.H.***
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dari konferensi Djuanda hingga dikeluarkannya Konvensi Hukum Laut yang kemudian membagi wilayah jurisdiksi Indonesia. Terdapat pengaturan mengenai bajak laut berdasarkan hukum Internasional yang menimbulkan kewenangan untuk menangkap dan mengadili bajak laut berdasarkan hukum Internasional. Sehingga memunculkan hak dan kewajiban Indoneisa sebagai negara kepulauan untuk menghadapi bajak laut di wilayah jurisdiksinya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang melakukan analisis hukum atas peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan judul skripsi. Data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan
(Library research), yaitu dengan melakukan penelitian dari berbagai sumber
bacaan seperti buku-buku, majalah-majalah, pendapat para sarjana dan juga bahan-bahan kuliah lainnya.
Hasil pembahasan menunjukan bahwa pengaturan mengenai pembajakan di wilayah yurisdiksi Indonesia dalam rangka menekan perkembangan bajak laut terdapat dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut),
Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Peraturan lain yang terkait adalah mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Hak Lintas Damai. Adapun penghukuman terhadap bajak laut berdasarkan hukum nasional masing masing negara.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah
panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan
perjuangan Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Ir.
Djoeanda yang mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, yang
dikenal sebagai Deklarasi Djuanda dan menyatakan bahwa Indonesia menganut
prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State). Deklarasi Djuanda
selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.1
Pada tahun 1982 deklarasi ini diterima dan ditetapkan dalam konvensi
hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of
The Sea/UNCLOS 1982). Kemudian dipertegas kembali dengan UU Nomor 17
Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan.
Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982, Pemerintah
Indonesia telah menerbitkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dua Landasan hukum tersebut,
khususnya PP No.38 tahun 2002, telah memagari wilayah perairan Indonesia.
UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting, yaitu sebagai
1
bentuk pengakuan Internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara yang telah
digagas sejak tahun 1957.2
Sampai dengan terciptanya Konvensi Hukum Laut Internasional, pengertian
mengenai negara kepulauan menjadi suatu negara yang seluruhnya terdiri dari
satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan
pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau
tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya
demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau
secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.3
Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk
pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan
dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan
Sembilan berbanding satu.4
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, wilayah pengaturan
perairan Indonesia terbagi menjadi :
a. Perairan Kepulauan
Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada
2
https://saripedia.wordpress.com/tag/letak-alur-laut-kepulauan-indonesia/ diakses pada 25 Mei 2015
3
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 46 4
sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau
jaraknya dari pantai. Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS
1982) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka
perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut
internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya.
b. Perairan Pedalaman
Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut
teritorial5. Bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut
wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari
ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan
negara-negara lain, sehingga perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan
perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman
dan perairan daratan. Pada dasarnya tida ada hak lintas damai di wilayah
perairan ini kecuali kawasan perairan pedalamannya terbentuk karena
penarikan garis lurus.6
c. Laut teritorial
Setiap Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya
sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis
pangkal7 dimana batas terluarnya adalah garis yang jarak setiap titiknya dari
titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. 8 Untuk
negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis
5
Ibid., Pasal 8 ayat (1)
6
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 213 7 United Nation Convention on the Law of the Sea Pasal 3
8
pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut.9
Laut territorial termasuk dalam kedaulatan negara pantai yang secara
otomatis menjadi miliknya. Terdapat sejumlah teori yang berkaitan dengan
karakter hukum dari territorial negara pantai, mulai dari perlakuan laut
territorial sebagai bagian dari res communis, namun tunduk kepada hak tertentu
yang bisa dilaksanakan oleh negara pesisir, hingga mengenai laut territorial
sebagai bagian dari territorial negara pantai namun tunduk pada hak lintas
damai (The Right of Innocent Passage) kapal asing. Sebuah negara pantai
diperbolehkan membentuk sabuk maritimnya dan control yurisdiksinya yang
luas sesuai dengan ketentuan hukum Internasional. Pembatasan negara pantai
adalah hak atas negara lain tentang hak lintas damai melalui laut territorial. Hal
inilah yang membedakan antara wilayah laut territorial dari perairan internal
negara, yang sepenuhnya berada dalam yurisdiksi tanpa batas negara pantai.10
Kapal-kapal dari semua negara, baik pesisir maupun daratan yang
terkurung, memilik hak lintas damai melalui laut territorial. 11 Maka, negara
pantai tidak boleh menghalangi kegiatan lintas damai dan harus
mempublikasikan bahaya apapun bagi navigasi laut territorial yang
diketahuinya.
d. Laut Tambahan
Zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal
9 Ibid., Pasal 6
10
Berger, Artur Asa. Aspek-Aspek Hukum Laut Pendekatan Tanya Jawab (Harvarindo, 2014),
hlm. 65 11
dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. 12 Zona tambahan ini
bersambungan dengan laut teritorial negara pantai dan dapat melaksanakan
pengawasannya yang dibutuhkan untuk:13
a. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang
berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),
keimigrasiandan kesehatan atau saniter.
b. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-
undangannya tersebut di atas.
e. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE)
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus hak-hak dan
yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain.14
Berdasarkan Piagam PBB tentang Konvensi Hukum Laut 1982, dalam wilayah
ZEEnya Indonesia mempunyai hak kedaulatan (Sovereign rights) atas seluruh
kekayaan alam yang terdapat di dalamnya untuk:
a. Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi-
instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.
b. Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan.
c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
f. Landas Kontinen
Landas kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
12 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 33 ayat 2 13
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 33 ayat (1) 14
teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga
pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis
pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi
kontinen tidak mencapai jarak tersebut 15 hingga paling jauh 350 mil laut
sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2.500 meter. Batas itu
dapat diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf
yang akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen
PBB. 16 Maka, Indonesia yang termasuk sebagai negara pantai berhak
mempunyai landas kontinen di luar laut wilayahnya.17
Namun untuk saat ini Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas
kontinennya dengan negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam,
Australia, Philipina dan Malaysia di Kalimantan Timur.
g. Laut Lepas
Laut lepas dapat digunakan baik oleh Negara pantai atau Negara tidak
berpantai dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan Negara
lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas itu untuk melakukan :18
a. kebebasan berlayar.
b. kebebasan penerbangan.
c. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut.
d. kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang
diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.
15
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 76 ayat (1) 16
Ibid., Pasal 76 ayat (9)
17
UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 9 ayat (1) 18
e. kebebasan menangkap ikan.
f. kebebasan riset ilmiah.
Salah satu kewajiban Indonesia di laut lepas adalah memberantas
kejahatan Internasional, dimana perompakan termasuk dalam pembajakan
Internasional, dan melakukan pengejaran seketika apabila dirasa mengganggu
keamanan nasional. 19 Pemberantasan kejahatan internasional di laut lepas
dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.20
Indonesia sebagai negara yang memiliki kondisi geografis wilayah daratan
yang berbentuk gugusan gugusan pulau memiliki potensi sekaligus kelemahan.
Potensi terbesarnya adalah sumber daya yang ada di dalamnya, sedangkan
kelemahannya adalah masalah perhubungan antar pulau pulau serta masalah
keamanan dan kedaulatan.21
Indonesia yang tergolong sebagai bangsa pelaut yang ulung yang telah
mengarungi lautan yang luas. Para pelaut ini berlayar antar pulau dengan tujuan
ekonomis-perdagangan maupun social budaya. Mereka bertemu dan berinterkasi
di tengah laut dengan penuh kerukunan dan kedamaian. Nenek moyang bangsa
Indonesia tidak memandang laut sebagai pemisah, justru sebagai pemersatu
seluruh kepulauan Nusantara termasuk daratan dan tanah di bawahnya dari pulau-
pulau ataupun ruang udara di atas laut serta daratan tersebut.22
19 UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 11 ayat (2) 20
Ibid., Pasal 11 ayat (3)
21
http://www.academia.edu/6765421/Permasalahan_Indonesia_Sebagai_Negara_Kepulauan_- _Hukum_Laut_Internasional diakses 18 April 2015
22
Namun, berapa batas luar bagian laut tanah air tidak ditegaskan oleh setiap
etnis yang mendiami nusantara karena dianggap sudah aman dan nyaman
memanfaatkan laut di sekitar, di tengah-tengah ataupun di antara pulau pulaunya
sehingga tidak perlu menetapkan batas luarnya yang bukan merupakan sebuah
kebutuhan pada saat itu.23
Khusus mengenai Timor – Timur, telah disepakati oleh Pemerintah
Indonesia dan RDTL Provisional Agrreement on the Land Boundary yang
ditandatangani 8 April 2005 oleh Menteri Luar Negeri kedua negara. Sedangkan
batas laut RI-RDTL yang meliputi laut wilayah, zona tambahan, ZEE dan landas
kontinen belum mulai dirundingkan karena masih menunggu penyelesaian batas
darat terlebih dahulu.
Sebagai Negara Kepulauan, kondisi georafis Indonesia juga memunculkan
permasalahan keamanan maritime yang telah meluas tidak hanya konsep
pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk
pertahanan terhadap ancaman non militer, antara lain perlindungan terhadap
kelestarian alam, jalur perdagangan, pemberatasan aksi ilegal di laut, pembajakan
dan lain-lain. Pembajakan yang sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan
dilaut yang perlu mendapatkan penangan yang serius. Asia Tenggara, khususnya
Indonesia, telah menjadi daerah paling rawan serangan bajak laut di dunia, setelah
operasi internasional membuat aksi bajak laut di Somalia berkurang, demikian
dinyatakan PBB.24
Pembajakan di laut tidak dapat dibenarkan dari segi pertimbangan apapun,
23 Ibid.
24
baik dilakukan karena alasan ekonomis ataupun alasan politik. Kejahatan ini telah
berlangsung sejak laut menjadi jalur transportasi bagi masyarakat dunia. Kegiatan
ini telah meningkat dalam lingkup, intensitas dan kompleksitasnya sehingga
mengancam kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara dan kawasan
sekitar.
Hukum Laut Internasional memang kemudian membagi kewenangan untuk
menumpasnya dengan melihat dimana pembajakan laut itu terjadi. Jika di laut
bebas maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara manapun yang ingin
menumpasnya, bahkan Negara-negara diwajibkan untuk bekerjasama menumpas
pembajakan tersebut, akan tetapi jika di wilayah satu Negara khususnya laut
teritorial maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara pantainya. 25
Melihat semua dampak yang telah diakibatkan oleh sekelompok perompak
yang anggotanya terdiri dari sekelompok pengangguran, jelas kasus ini harus
segara ditindaklanjuti. Tidak hanya melibatkan Negara Indonesia sebagai suatu
negara yang memiliki wilayah jurisdiksi lebih luas namun juga dunia
Internasional.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan
mengenai kewenangan hukum Indonesia terhadap bajak laut dengan mengangkat
judul : KEWENANGAN MENANGKAP DAN MENGADILI BAJAK LAUT
DI WILAYAH JURISDIKSI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.
25
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakan pengaturan hukum Internasional mengenai bajak laut?
2. Bagaimanakah kewengangan Indonesia untuk menangkap dan mengadili
bajak laut berdasarkan hukum Internasional?
3. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban Indonesia menghadapi kejahatan bajak
laut di wilayah jurisdiksinya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum Internasional mengenai
bajak laut.
2. Untuk mengetahui kewengangan Indonesia untuk menangkap dan
mengadili bajak laut berdasarkan hukum Internasional.
3. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Indonesia menghadapi
kejahatan bajak laut di wilayah jurisdiksinya.
2. Manfaat Penelitian
Seperti pada umumnya dalam setiap penulisan skripsi pasti ada
manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan dalam
penulisannya. Manfaat secara umum yang dapat diambil dalam penulisan
skripsi ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah
pengetahuan dalam mempelajari Hukum Internasional khususnya hukum
Laut Internasional serta dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan
mengenai penegakan atas kejahatan bajak laut di wilayah teritorial suatu
negara berdasarkan Hukum Internasional.
b. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi acuan dalam
kerangka berpikir bagi upaya dan solusi penyelesaian permasalahan bajak
laut di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Judul skripsi ini ialah “Kewenangan Menangkap dan Mengadili Bajak Laut
di Wilauah Yurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional”. Skripsi ini
ditulis berdasarkan ide, gagasan, serta pemikiran Penulis yang diperoleh dari
berbagai sumber refernsi, bukan dari hasil penggandaan karya tulis orang lain dan
oleh karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku,
jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan dan kutipan,
hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Kewenangan untuk Menangkap dan Mengadili
Pembajakan di laut lepas dapat dikategorikan ke dalam kejahatan lintas
batas negara. Pelaku pembajakan dapat melibatkan orang-orang dengan
kewarganegaraan berbeda yang terorganisir, rapi dan dikendalikan dari negara
mana saja, karena itu serangan terhadap kapal dapat terjadi dimana saja dan
pelaku penyerangan bisa melarikan diri kemana saja.
Untuk memberantas bajak laut, setiap negara pantai diperbolehkan
menggunakan kapal perangnya untuk memberantas bajak laut intternasional.
Wewenangnya sangat luas kapal-kapal perang dapat menangkap dan menahan
kapal bajak laut. Selanjutnya negara bendera kapal perang tersebutlah yang
dapat mengadili dan menghukum pembajak-pembajak yang ditangkap.
Setiap negara harus mengambil tindakan untuk menetapkan yurisdiksi
atas tindak pidana dan juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu
pelanggaran seperti yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam
pelaksanaan yurisdiksi sebagaimana yang dimaksud di atas, negara -negara
yang berhasil menangkap para pelaku pembajakan boleh saja mengirimkan
para pelaku tersebut ke negara lain yang memiliki peraturan hukum tentang hal
itu untuk diadili di negara tersebut.26
2. Pengertian Wilayah Perairan
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, peraiaran kepulauan, dan laut
26
territorial. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah
daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk
ruang udara di atasnya serta dasar Laut dan tanah di bawahnya, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Bagi negara kepulauan, laut teritorial yang terdapat dalam wilayah
perairan meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan
kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut territorial.
Pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar
laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan
dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea).27
Istilah laut teritorial dan perairan teritorial kadang-kala digunakan pula
secara informal untuk menggambarkan dimana negara memiliki yurisdiksi,
termasuk perairan internal, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas
kontinen berpotensi.
3. Pengertian Wilayah Yurisdiksi
Yurisdiksi adalah kewenangan untuk melaksanakan ketentuan hukum
nasional suatu negara yang berdaulat dan ini merupakan implementasi
kedaulatan negara sebagai yurisdiksi negara dalam batas-batas wilayahnya
yang akan tetap melekat pada negara berdaulat. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyatakan bahwa wilayah
27
yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas
kontinen.
Yurisdiksi territorial baik subyektif maupun obyektif (teritorial yang
diperluas), menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku atas orang, perbuatan,
dan benda yang ada di wilayahnya maupun di luar wilayahnya atau di luar
negeri. Menyadari makna kedaulatan (sovereignty) dalam hubungannya
dengan hukum internasional, yang didalamnya ada batasan, namun demikian
hanya bagi negara yang mempunyai yurisdiksi menurut hukum internasional.
Dalam hal ini pada prinsipnya yurisdiksi suatu negara, terkait tidak saja
dengan ketentuan hukum nasional masing-masing negara, tetapi juga dengan
hukum internasional yang berlaku.
Yurisdiksi Teritorial sebagai kewenangan suatu Negara untuk mengatur,
menerapkan dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu
yang ada/terjadi dalam batas-batas teritorialnya, tidak mutlak tapi dibatasi oleh
hukum internasional sehingga pengecualiannya antara lain:
a. Terhadap kepentingan Negara asing yang sedang berada dalam suatu
Negara.
b. Perwakilan diplomatik dan konsuler.
c. Kapal pemerintah dan kapal dagang pemerintah asing.
d. Angkatan bersenjata Negara asing.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan
yuridis normatif adalah pendekatan yang melakukkan analisa hukum atas
peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim dalam penulisan ini
pendekatan yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma -norma hukum
yang berlaku yang mengatur tentang kedaulatan suatu negara di wilayah laut
dan upaya penyelesaian sebagaimana yang terdapat dalam perangkat hukum
internasional maupun perjanjian internasional.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu
metode penelitian yang menggambarkan semua data yang kemudian
dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya mencoba memberikan pemecahan masalahnya.
2. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan huku yang mengikat yang
merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan
hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adaah Piagam PBB
1945, Konvensi Hukum Laut 1982.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang dan
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku,
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukumyang memberikan penjelasan
dari bahan hukum primer dan badan hukum sekunder, berupa kamus
hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi
kepustakaan. Hal ini dilakukan yakni untuk mendapatkan landasan dalam
menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat
dipercaya maupun tidak langsung (internet) yang berhubungan dengan
materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang terdapat dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.
Analisis data kulitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat,
mengorganisasikan, mengelompokkan, dan mensitensiskan data selanjutnya
memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukkan pola, hubungan-
hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskriptif naratif,
bagan, flow chart, matriks maupun gambar-gambar yang bisa dimengerti
dan dipahami oleh orang lain.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman untuk mendapatkan jawaban atas
rumusan permasalahan, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar
melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran
jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari lima bab yang
terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan
mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikannya adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab I ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan
alasan pemilihan judul penelitian yang kemudian akan dilanjutkan
dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian
serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodelogi penelitian
yang digunakan dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI
BAJAK LAUT
Dalam Bab ini berisi tentang Sejarah Bajak Laut dan bagaimana
pengaturan mengenai bajak laut menurut konvensi dan sumber
hukum lainnya sesuai dengan pengaturan dalam Hukum
Internasional.
BAB III : KEWENANGAN INDONESIA UNTUK MENANGKAP DAN
MENGADILI BAJAK LAUT BERDASARKAN HUKUM
INTERNASIONAL.
Dalam Bab ini berisi mengenai kewenangan Indonesia terhadap
bajak laut di wilayah teritorialnya dan bagaimana penanganan
BAB IV : CARA INDONESIA MENGHADAPI KEJAHATAN BAJAK
LAUT DI WILAYAH YURISDIKSINYA.
Dalam Bab ini berisi tentang bagaimana Indonesia mengahadapi
bajak laut di wilayah yurisdiksinya dan pengaturan mengenai
Hukum Alur Kepulauan Indonesia (ALKI).
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan Bab penutup dari keseluruhan rangkaian bab-bab
sebelumnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan
BAB II
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT
A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia
Bajak laut (pirate) adalah para perampok di laut yang bertindak di luar
segala hukum. Kata pirate berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'yang
menyerang', 'yang merampok'. Dalam Bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain
untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah satu suku maritim di
Indonesia dan Malaysia, Orang Laut. Tujuan mereka tidak bersifat politik, mereka
mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di bawah
bendera Jolly Roger (bendera bajak laut).
Sejarah mengenai pembajakan di laut lepas sudah dimulai semenjak
manusia melakukan perjalanan melalui laut. Dimana pembajakan yang terjadi
memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Pembajakan di laut
lepas di semua zaman didorong oleh suatu motif utama, yaitu untuk memperoleh
kekayaan. Dimana jenis jenis bajak laut berbeda beda, ada yang hanya bajak laut
dan tidak lebih, ada bajak laut yang merupakan penjelajah atau pedagang yang
melakukan penjarahan terhadap yang lemah atau kurang hati-hati, ataupun juga
merupakan prajurit-prajurit dalam perjalanan ke medan perang atau dalam
perjalanan pulang dari medan peperangan.28
Sejarah perompakan terjadi bersamaan dengan sejarah navigasi, di mana
terdapat kapal-kapal yang mengangkut dagangan dan muncul bajak laut yang siap
28
memilikinya secara paksa. Telah dikenal terjadinya pembajakan sejak zaman
Yunani kuno dan pada zaman Republik Romawi dimana kapal Julius Caesar
diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan yang kemudian
para perompak mendapat tebusan atas Julius Caesar, namun pada akhirnya para
perompak ditangkap dan dihukum.29
Pada abad ke-16, perompak disahkan oleh negara-negara melalui surat yang
disebut “letter of marquee”, yang bertindak atas negara tersebut dengan tujuan
menambah kekuatan maritimnya. Para perompak ini dikenal sebagai privateer.
Tujuan penggunaan privateers untuk merusak sumber daya negara musuh, melatih
kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan untuk memukul
mundur musuh dan menyembunyikan diri kemudian.30
Setelah Perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa
tidak diperlukannya lagi para privateers. Untuk beritikad baik, Raja James
kemudian mencabut seluruh letter of marquee dan mengkriminalisasikan
pembajakan di laut dalam bentuk apapun yang menyebabkan ratusan privateer
kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan sebagai perompak secara penuh.31
Selain Inggris dan Spanyol, upaya untuk melawan perompak juga dilakukan
oleh negara lain. Pada tahun 1804 Angkatan Laut Amerika Serikat mencetak
29
Thaine Lennox-Gentle Piracy, Sea Robbery, and Terrorism: Enforcing Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, http://www.law.du.edu/documents/transportation-law-journal/past- issues/v37-03/Lennox-Gentle-Piracy.pdf diakses pada 28 mei 2015
30 ibid 31
kemenangan melawan bajak laut Barbary, dan menandakan bahwa bajak laut
dipandang sebagai ancaman internasional.32
Pada tahun 1856, negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar
menandatangani Deklarasi Paris 1856 yang menyatakan penghapusan terhadap
pembajakan di laut dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan pembajakan
di laut yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarasi Paris 1856 ini, timbul konsep
bahwa pembajakan di laut merupakan hostis humani generis (musuh seluruh umat
manusia).33
Deklarasi Paris dan undang-undang berikutnya menciptakan sistem hukum
yang terpisah bagi para bajak laut. Dan memandang para bajak laut sebagai
sebagai individu, bukan states. Pembajakan didefinisikan sebagai alat politik di
luar lingkup proses negara yang sah dan bajak laut sendiri tidak berhak atas
perlindungan status kewarganegaraan dari negara mereka berasal.
Pada tahun 1970 dan 1980, serangan kapal oleh perompak telah dianggap
sebagai ancaman terhadap keamanan Internasional, dikarenakan era globalisasi
yang berdampak pada meningkatnya perdagangan dunia, sehingga memberikan
kesempatan secara ekonomi yang lebih besar bagi para perompak. Selain factor
ekonomi, pembajakan di laut juga dipengaruhi oleh ketidakstabilan politik dan
ekonomi di wilayah-wilayah tertentu, sehingga pembajakan di laut dapat
berkembang.
32
http://lelemp07.blogspot.com/2012/11/perompak-somalia-sebuah-jurnal_26.html diakses 28 Mei 2015
33
Akhir abad kesembilan belas, bajak laut dihubungkan dengan
kejahatan terorisme modern. Hal ini kerena berbagai pertimbangan seperti
dibawah ini :
1. Pembajakan, seperti terorisme, termasuk penggunaan teror oleh aktor non-
negara sebagai alat memaksa negara dan masyarakat
2. Pembajakan laut harus dipahami sebagai alat politik bagi pemerintah, swasta
individu atau kelompok yang tindakannya diarahkan tujuan kebijakan yang
spesifik, Dilihat dalam segi ini, seperti tindakan teroris.
3. Apabila kita meliahat secara historis motivasi bajak laut mirip dengan motivasi
teroris. Bajak laut telah mengobarkan perang terhadap dunia, yang mereka
dianggap tidak adil, dan teroris ditujukan untuk memesan tindakan mereka
terhadap negara-negara tertentu dalam perang melawan aktor non-negara
1. International Maritime Organization (IMO)
Peristiwa pembajakan kapal pesiar Achille Lauro yang berbendera Italia
oleh kelompok gerilyawan Palestine Liberation Front (PLF) pada bulan
Oktober 1985 membawa perubahan pada perhatian masyarakat internasional
terhadap upaya memerangi pembajakan. Serangan tersebut tidak
mengakibatkan kapal lain dan tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan
ekonomi. Berkaitan itu PBB menugaskan International Maritime Organization
(IMO) untuk mengkaji tindakan kekerasan yang terjadi di laut.
Selain itu, IMO juga mengeluarkan definisi mengenai bajak laut
of the Sea), yaitu34 :
1) Pembajakan laut harus melibatkan tindakan kriminal seperti kekerasan,
detensi atau depredasi.
2) IMO mendefinisikan serangan bajak laut yang berada di dalam wilayah
teritoral sutu negara sebagai serangan kriminal dengan senjata terhadap
kapal di dalam perairan teritorial sebagai perampokan bersenjata, bukan aksi
bajak laut. Pembedaan ini akan berdampak sekali kepada perlakuan hukum
terhadap para tersangka termasuk pada prosedur penangkapan, penahanan
dan pengadilan serta vonis hukuman.
3) Definisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua
kapal (two-ship requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal
untuk menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka
penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal
dari dalam kapal tidak termasuk aksi bajak laut. Begitu juga dengan
penyerangan terhadap kapal yang sedang melabuh di pelabuhan dari atas
dermaga.
4) Pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak
memasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak
laut. Oleh karena itu, pembajakan laut yang dilakukan oleh kelompok
pemberontak misalnya, tidak dapat digolongkan ke dalam definisi bajak
laut.
5) Serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi bajak laut
34
karena serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang
kapal milik pribadi.
IMO mengadakan sebuah koferensi pada Maret 1988 di Roma. Dalam
konferensi ini lahirlah sebuah Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan
Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Konvensi Roma 1988).
Konvensi ini bertujuan untuk memastikan bahwa diambilnya tindakan yang
tepat terhadap orang- orang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum
terhadap kapal-kapal, termasuk penyitaan kapal dengan kekerasan, tindakan
kekerasan terhadap orang- orang di kapal. IMO menyerahkan kepada negara-
negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk
menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana yang dilakukan. Sehingga para
pelaku dapat dihukum sesuai dengan hukum nasional negara mereka.
Keterlibatan negara yang diharapkan oleh IMO adalah dengan menetapkan
suatu tindakan pembajakan sebagai tindak pidana, mengakuinya sebagai
perbuatan melawan hukum.
2. International Maritime Bureau (IMB)
International Maritime Bureau (IMB), sebagai organisasi dibawah ICC
(International Chamber of Commerce) yang bertujuan untuk melawan
kejahatan dibidang kelautan, menggolongkan kegiatan pembajakan di laut
menjadi :35
1) Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di laut berskala kecil
yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga akibat lemahnya
35
Chalk, Peter. Grey Area Phenomena in South East Asia: Piracy, Drug Trafficking and
pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan. Para perompak disini
umumnya tertarik pada harta kekayaan para awak atau perlengkapan yang
ada di kapal.36
2) Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut berskala
menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun teritorial. Biasanya
mereka sudah terorganisasi (organized piracy);
3) Major criminal hijack, yaitu kegiatan bajak laut paling tinggi dan memiliki
modal yang sangat besar dan lebih terorganisir dengan melibatkan
organisasi kejahatan internasional yang sudah terlatih menggunakan senjata
api. Motif dari pembajakan di laut ini umumnya tidak hanya sekedar motif
ekonomi, dapat juga berlatar motif politis atau terorisme.37
Sejalan dengan UNCLOS 1982 dan IMO, IMB juga menekankan
penegakan hukum kepada para pelaku perompakan kapada negara -negara yang
memiliki kepentingan dalam hal pemberantasan pembajakan. IMB tidak
memiliki aturan secara khusus tentang pemidanaan para perompak, tatapi IMB
memiliki Pusat Pelaporan Pembajakan yang bertugas untuk memberikan
informasi kepada negara pemilik kapal agar dapat melakukan penegakan
hukum terhadap aksi tersebut.
Jenis jenis bajak laut pada umumnya terbagi tiga, yaitu :38
a. Corsario
Kapal corsario (corsair) adalah kapal yang berlaut atas perintah dari
36
Bantekas, lias. and Susan Nash, International Criminal Law, (London: Cavendish Publishing, 2003), hlm. 94.
37
Ariadno, Melda Kamil. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, (Jakarta: Penerbit Diadit Media, 2007), hlm.169
38
seorang raja untuk berperang melawan kepentingan kerajaan musuh yang
memiliki dokumen-dokumen yang memberikan kuasa kepada kapal yang
dikendalikannya untuk berbuat aksi-aksi perang tersebut, dinamakan Letter of
marque atau Patente de Corso. Batasan-batasan yang digariskan pada
dokumen tersebut tidak jelas dan yang menentukan adalah kapten-kapten
corsario dan tripulasinya.
Pada periode peperangan, delegasi corsario sering dipakai dalam
ekspedisi-ekspedisi untuk melawan kepentingan musuh yang berpotensi dan
harta rampasannya diwajibkan diserahkan semua kepada kerajaan kecuali
sebagian kecil (yang mungkin bisa seperlima atau lebih). Ketika kapal-kapal
corsair tidak menjadi bagian dari suatu misi kerajaan, mereka menyerang kapal
apa saja selama tidak berbendera sama dengan kerajaan dari mana mereka
berasal dan harta rampasan menjadi milik mereka secara utuh.
Mereka beraksi layaknya bajak laut yang menyimpan hak-hak berlaut yang
bersifat corso (dilindungi oleh satu kerajaan). Kapal-kapal corsair aman bagi
mereka yang berasal dari negara/kerajaan yang sama.
Para corsair tak dapat dihukum gantung dengan alasan pembajakan karena
mereka mempunyai "izin" (kuasa hukum corso) yang dikeluarkan oleh kerajaan.
Kenyataannya jelas seorang corsair yang dikejar oleh musuh, tidak dapat
mempercayai hal ini, karena ada kebiasaan menghukum gantung corsair musuh.
b. Bucanero
Mereka mendapatkan nama bucaneros (buccaneers), berasal dari kata
bucanero hidup dalam alam bebas, tidak ada seorangpun yang memerintah atau
menguasai mereka. Ini mengundang segala jenis orang yang diusir, buronan,
budak, Indian pemberontak, dan orang-orang yang dikejar oleh agama. Jumlah
bucanero ini bertambah dan pada tahun 1620 mereka mulai dikejar oleh orang-
orang Spanyol. Mereka memutuskan untuk berbuat perampokan kecil di laut
dan mendirikan pangkalan operasi di pulau Tortuga, dekat dengan koloni
Spanyol.
Pengakuan akan keberadaan mereka oleh Le Vasseur sebagai pemerintah
pulau itu dan berangkat dari kepentingan riilnya, membawa mereka untuk
berasosiasi dalam "Hermandad de la Costa" atau “persaudaraan daratan
pantai” yang akan memunculkan asal dari filibusteros.
c. Filibustero
Karena di pulau Tortuga tidak terdapat buruan, para bucanero
berhadapan dengan sebuah dilema untuk terus hidup: pergi dengan Canoa
untuk berburu di teritori Spanyol atau mendedikasikan diri pada pembajakan.
Mereka yang memilih pilihan terakhir dinamakan filibusteros (freebooter).
Kata Filibustero berasal dari bahasa Belanda Vrij Buiter (”yang merampas
harta” atau dalam bahasa Inggris, freebooter).
Kebiasaan hidup dengan kemerdekaan yang penuh, membuat mereka
tidak mengizinkan untuk diperintah oleh hukum, norma dan orang-orang di
atas mereka. Para filibusteros ini menyerang kapal apa saja, walaupun kapal-
kapal Spanyollah yang sering menjadi korban mereka.
dan dimodali serta didukung secara ekstra oficial oleh potensi-potensi dari
Eropa dengan kepentingan untuk melemahkan perdagangan musuh. Mereka
seringkali menggagalkan perdagangan antar koloni dan didongengkan akan
aktuasi-aktuasi mereka yang berani dengan senjata yang minim dan tripulasi
yang sedikit, mereka menyerang galeon-galeon kapal besar yang dipersenjatai
secara luar biasa, yang mengangkut emas.
B. UNCLOS 1982 dan Kaitannya dengan Bajak Laut
Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa tugas
pokok berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Perompakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan
dan penjarahan terhadap kapal komersial. Tindakan tersebut merupakan tindakan
yang mengancam keamanan internasional dan kepentingan kemanusiaan secara
luas.
Salah satu Hukum Internasional yang mengatur mengenai penanganan
terhadap perompak adalah UNCLOS (United Nations Convention Law of the
Sea). Hukum tersebut memuat pasal yang berisi pengertian perompakan dan
aturan penangkapan terhadap perompak. Secara substansi, ketetapan dalam
hukum tersebut seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan perompak.
Pada 5 februari 2009, UNCLOS telah diratifikasi oleh 156 negara. Di dalam
UNCLOS mendefinisikan perompakan sebagai peristiwa khusus yang terjadi di
yuridiksi penuh dalam menindak perompakan di dalam teritorial perairan negara
yang berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif.
Di dalam praktik, hak pelayaran diatur dibawah konvensi dari zona ekonomi
eksklusif, negara seharusnya menghormati hak dan kewajiban negara yang
memiliki garis pantai dan seharusnya mematuhi hukum dan regulasi yang
diadopsi oleh negara pantai tersebut.39
Mengenai pasal pasal yang berkaitan dengan pembajakan terdapat dalam
pasal 100 sampai pasal 107 UNCLOS. Hak suatu negara terhadap perompak
diatur dalam pasal 110 yang berisi bahwa kapal perang suatu negara tidak
diijinkan mendatangi dan menindak kapal asing kecuali ketika kapal tersebut
teridentifikasi bahwa kapal bekerjasama dengan perompak dan kapal tidak
membawa identitas kebangsaan.40
Sesuai dengan Pasal 100 UNCLOS, dapat dikatakan perompakan apabila
terjadi diatas perairan atau di tempat lainnya yang berada di luar wilayah hukum
negara manapun. Apabila pembajakan dilakukan oleh kapal perang atau kapal
pemerintah yang dikendalikan oleh kru yang memberontak, kapal perang atau
kapal pemerintah akan dianggap sebagai kapal swasta yang telah melakukan
pembajakan karena itu akan dikenakan aturan pembajakan.41
Mengenai status kewarganegaaraan yang dimiliki oleh kapal perompak
tergantung undang-undang dari negara asal kapal perompak tersebut, karena pada
39
Russell, Denise. Who Rules The Waves ? Piracy, Overfishing, and Mining the Ocean, (New York: Pluto Press,2010), hlm 158.
40
Beckman, Robert. Somali Piracy- Is International Law Part of The Problem or Part of
The Solution’, ( RSIS,2009), hlm 20
41
dasarnya kapal perompak tersebut tetap memiliki status kewarganegaarn sesuai
dengan bendera kapal dari kapal perompak tersebut.42
Maka, ketika terjadi penangkapan atas bajak laut tersebut, negara yang
menangkap berhak atas bajak laut beserta kapal dan property yang berada di atas
kapal dan Pengadilan Negara yang menangkap bajak laut dapat menentukan
hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan
diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan
tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. 43
Namun, apabila suatu negara menangkap dan melakukan penyitaan terhada kapal
bajak laut tanpa alasan yang cukup dan menimbulkan kerugian, maka negara
tersebut bertanggung jawab terhadap negara yang kebangsaannya dimiliki oleh
kapal tersebut.44
Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal
perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara
jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang
diberi wewenang untuk melakukan hal demikian.45
Kapal perang suatu negara dapat melaksanakan pemeriksaan dokumen dan
segala hal hal yang dimungkinkan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan
benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang suatu negara ini boleh
mengirimkan sekoci, di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai.
Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila kapal yang diperiksa
42
Ibid., Pasal 104
43
Ibid., Pasal 105
44
Ibid., Pasal 106
tidak melakukan suatu perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal
tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang
mungkin diderita.46
UNCLOS menyatakan perompakan merupakan tindakan ilegal yang
dilakukan di atas laut atau di luar wilayah hukum negara apapun. Apabila terjadi
di perairan sebuah negara hukum, maka secara teknik bukanlah aksi pembajakan
tapi sebuah tindakan perampokan bersenjata atau perampokan di laut dan yang
digunakan adalah hukum negara tersebut di sepanjang garis pantai dan menurut
keamanan nasionalnya. Bila terjadi perompakan, UNCLOS mewajibkan setiap
negara bekerjasama sekuat tenaga dalam membasmi atau menekan pembajakan.47
C. Pengaturan Hukum Internasional Lainnya diluar UNCLOS 1982
1. Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA Convention)
IMO membentuk konvensi ini sebagai reaksi atas kasus pembajakan
kapal Acille Lauro. Kasus ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang
teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang
berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.
Dalam Konvensi ini tidak menggunakan istilah pembajakan di laut
(piracy), melainkan istilah tindak pidana (offences). SUA Convention 1988
memberikan yurisdiksi untuk menindak para pelaku perampokan bersenjata
di laut dan tidak terbatas hanya di laut lepas. Namun prinsip kedaulatan laut
46
Ibid., Pasal 110
47
teritorial tetap ditegakkan dalam konvensi ini, sehingga negara-negara tidak
diberikan hak untuk memasuki laut teritorial negara lain untuk menumpas
bajak laut. 48
SUA Convention 1988 telah diratifikasi oleh 156 negara, namun tidak
diadopsi oleh negara-negara pantai yang secara luas dipengaruhi oleh
pembajakan di laut seperti Somalia, Malaysia dan Indonesia.
SUA Convention 1988 mencoba untuk mengatur berbagai tindakan
kekerasan maritim yang tidak disebutkan dalam UNCLOS 1982. SUA
Convention 1988 menyertakan tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi
dalam perairan territorial, tindakan tersebut dapat berupa penahanan /
penguasaan secara paksa, kekerasan terhadap orang di atas kapal,
penghancuran atau pengrusakan kapal, penempatan alat atau zat yang dapat
menghancurkan atau merusak kapal, menghancurkan atau merusak fasilitas
navigasi maritim, mengumumkan informasi yang sudah diketahui salah,
melukai atau membunuh orang dalam rangka pencapaian tindak pidana yang
disebutkan sebelumnya. Segala tindakan percobaan atau upaya untuk
melakukan tindak pidana, juga dikategorikan sebagai tindak pidana dalam
pasal ini. Namun konvensi ini tidak memberikan wewenang yursidiksi
universal untuk menangani tindakan-tindakan tersebut.49
SUA Convention 1988 menyebutkan tindakan-tindakan yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindakan pembajakan di laut, seperti penahanan
kapal melalui paksaan. Beberapa pengaturan yang penting yang diatur
48
Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA Convention) Pasal 6
49
dalam konvensi ini, yaitu:
1) Larangan seseorang untuk menguasai sebuah kapal dengan paksaan,
melukai orang lain di atas kapal dan menghancurkan atau merusak kapal
(Pasal 3).
2) Tidak diwajibkannya syarat laut lepas.
3) Tidak mengatur terhadap kapal yang hanya beroperasi di laut teritorial
dari suatu negara pantai.
4) Fokus untuk menghukum para pelaku.
5) Aspek terpenting adalah dibutuhkannya suatu negara untuk mengadili
atau mengekstradisi pelaku.
Menurut konvensi ini, SUA Convention 1988 tidak berlaku kapal
perang, kapal yang dioperasikan pemerintah, dan juga kapal yang sudah
tidak bernavigasi50 yang terjadi pada seluruh wilayah laut dan tidak terbatas
pada laut lepas. 51 Negara peserta wajib untuk menerapkan hukum terhadap
tindak pidana yang disebutkan sesuai dengan tingkatan tindak pidana yang
dilakukan.52
SUA Convention 1988 tidak menerapkan yurisdiksi universal
selayaknya Convention on the High Seas 1958 atau UNCLOS 1982,
melainkan memberika tiga cara bagi negara peserta untuk melaksanakan
yurisdiksinya53, yaitu:
50 Ibid., Pasal 2
51
Ibid., Pasal 3
52
Ibid., Pasal 5
53
a. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika tindakan ilegal
dilakukan di wilayahnya, termasuk laut teritorialnya.
b. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan
ditujukan atau dilakukan di atas kapal yang berbendera negara peserta
tersebut.
c. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan
dilakukan oleh salah satu warganegaranya.
Inti dari tujuan SUA Convention 1988, yaitu mendorong dan
mewajibkan agar para pelaku tindak pidana diadili atau diekstradisi. Tiap
negara peserta yang menangkap pelaku atau tersangka pelaku harus
melakukan penahanan yang sesuai dengan hukum nasionalnya agar dapat
dilakukan upaya pengadilan atau ekstradisi.54
Dalam Konvensi ini juga terdapat kewajiban untuk mengekstradisi
para pelaku tindak pidana oleh negara peserta konvensi, namun jika negara
peserta menangkap pelaku atau tersangka pelaku dan tidak melakukan
ekstradisi (apabila pelaku / tersangka pelaku merupakan WNA), maka
negara peserta tersebut wajib mengadili pelaku atau tersangka pelaku
tersebut. Konvensi ini hanya menyediakan mekanisme untuk menjamin
dilakukannya hukuman melalui cara pengadilan bagi mereka yang terlibat
dalam tindakan-tindakan kekerasan maritim, dengan cara memberikan
kewajiban terhadap negara peserta berupa dilakukannya esktradisi ke negara
asal pelaku atau pengadilan di dalam negara peserta tersebut.55
54
Ibid., Pasal 7
55
Apabila antara negara pengirim (penangkap) dan negara penerima
yang ingin melakukan ekstradisi tidak memiliki perjanjian ekstradisi, maka
perjanjian ini dapat dijadikan dasar ekstradisi dengan dibolehkan
ditetapkannya syarat-syarat tertentu oleh negara peserta, 56 kecuali negara
tersebut tidak menjadi negara peserta SUA Convention 1958, seperti
Somalia, maka tidak dapat menjadikan SUA Convention 1958 sebagai dasar
melakukan perjanjian ekstradisi.57
Beberapa pakar berpendapat terdapat peraturan yang tidak diatur
dalam SUA Convention dalam mengatur tindakan perompakan, yaitu :
1) Jose Luis Jesus menyoroti tindakan yang tidak diatur dalam SUA
Convention 1988, yaitu tindakan kekerasan terhadap orang-orang di atas
kapal yang sekiranya tidak membahayakan keselamatan navigasi dan
melengkapi atau menggunakan kapal sebagai alat atau senjata. 58
2) Beberapa pembentuk Laporan Nairobi (Nairobi Report) berpendapat
bahwa SUA Convention 1988 bukan merupakan instrumen yang sesuai
untuk menekan pembajakan di laut karena dibuat dalam konteks anti-
terorisme.59
3) Lucas Bento berpendapat bahwa secara teori, SUA Convention 1988
terlihat seperti solusi yang menjanjikan, namun dalam praktek, SUA
56
Ibid., Pasal 11
57
Harrelson, Jill. Blackbeard Meets Blackwater: An Analysis of International Conventions that Address Piracy and the Use of Private Security Companies to Protect the Shipping Industry,
(Vol.25; American University International Law Review, 2010), hlm. 305 58
Jesus, Jose Luis. Protection of Foreign Ships against Piracy and Terrorism at Sea: Legal
Aspects, (Vol.18; The International Journal of Marine and Coastal Law, 2003), hlm. 372.
59
Kraska, James. and Brian Wilson, The Pirates of the Gulf of Aden: The Coalition is the Strategy,
Convention 1988 bukanlah instrumen hukum yang efektif untuk
menangani pembajakan di laut.60
4) James Kraska dan Brian Wilson menyatakan bahwa untuk mengadili
para perompak di bawah SUA Convention 1988 tidak akan
menghilangkan tantangan-tantangan yang berkaitan dengan disposisi
pihak-pihak yang dibutuhkan dalam keperluan pengadilan. Dibutuhkan
adanya suatu perjanjian regional dan bilateral antar negara-negara,
sekaligus koordinasi, disposisi dan logistik yang tersedia dengan baik
dalam hal kaitannya dengan pihak-pihak yang dibutuhkan untuk hadir
dalam persidangan dan pemeriksaan. Hal ini dikarenakan kasus
pembajakan di laut terdiri dari pelaku dan saksi serta korban yang berasal
dari negara yang berlainan.61