Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak penuh untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia seperti misalnya di laut Jawa, selat Makassar dan lainnya. Sedangkan untuk wilayah perairan Indonesia di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha dibidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumberdaya ikan.
14
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan dibidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan :
(1) Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
(2) Pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya;
(3) Pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
(4) Pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;
(5) Pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;
(6) Pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistem informasi dan data statistik perikanan;
(7) Penguatan kelembagaan dibidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
(8) Pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
(9) Pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau petani ikan (pembudidaya ikan) skala kecil;
(10) Pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian halnya dengan pengelolaan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang ditetapkan dengan memperhatikan perundangan yang berlaku dan juga mengacu pada standar internasional yang telah disepakati oleh pemerintah;
(11) Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;
(12) Pengawasan perikanan;
(13) Pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana dibidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
(14) Pembentukan pengadilan perikanan; dan
(15) Pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.
2.1.2 Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP
Pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam pelayanan, pengaturan dan perlindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan negara serta pemanfaatan sumberdaya alam guna pencapaian tujuan pembangunan nasional dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan negara yang disebut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sumberdaya alam yang dimaksud tersebut adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, di permukaan dan di dalam bumi yang dikuasai oleh negara. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pasal 23 ayat (2) antara lain menegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan seperti PNBP yang menempatkan beban kepada rakyat juga harus didasarkan kepada Undang-Undang. Ketentuan tentang hal ini telah ditetapkan dalam UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP.
Dalam Ketentuan Umum UU Nomor 20 Tahun 1997, dikatakan bahwa PNBP adalah penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Kelompok PNBP diantaranya adalah dapat berupa :
(1) Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; (2) Penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya alam;
16
(4) Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
(5) Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Jenis PNBP yang tercakup atau yang belum tercakup dalm kelompok PNBP tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dengan demikian PP yang mengatur ketentuan kelompok PNBP tersebut bersifat mengikat dan harus dipatuhi, bila tidak dipatuhi maka akan menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sebagai konsekuensinya, maka akan diberikan ancaman pidana sesuai dengan Ketentuan Pidana dalam UU Nomor 20 Tahun 1997 pasal 20. Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang bersangkutan dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat, yaitu :
(1) Tujuan perumusan UU tentang PNBP yang berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, yaitu :
(2) Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP dan ketertiban administrasi pengelolaan PNBP serta penyetoran PNBP ke kas negara; (3) Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan PNBP; (4) Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;
(5) Menunjang upaya terciptanya aparat pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara serta peningkatan pengawasan.
Seluruh PNBP yang diterima oleh negara akan dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebagian dana dari suatu jenis PNBP
dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan, seperti :
(1) Kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi; (2) Pelayanan kesehatan;
(3) Pendidikan dan pelatihan; (4) Penegakkan hukum;
(5) Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan (6) Pelestarian sumberdaya alam.
2.1.3 KepMen No. KEP. 38/men Tahun 2003 tentang Produktivitas Kapal