• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Narapidana merupakan salah satu jenis warga binaan yang dibina di Lapas. Penghuni suatu Lapas adalah mereka yang menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, orang yang dikenakan penahanan sementara, orang-orang yang disandera (gegijzelden), dan orang lain yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, tetapi secara sah telah dimasukkan kedalam Lapas.56

Pemidanaan narapidana sebelum Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 tahun 1995 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemasyarakatan) ini diberlakukan, dilakukan pada bangunan yang dikenal dengan istilah penjara. Inti dari pidana penjara adalah mengutamakan pemberian pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang dilakukan. Perhatian terhadap narapidana, kepentingan narapidana sama sekali diabaikan.57 Teori pembalasan benar-benar dilaksanakan, seolah-olah narapidana adalah objek semata-mata.58 Pembalasan tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera agar sipelaku tidak mengulangi perbuatannya kembali. Tugas penjara pada waktu itu, tidak lebih dari mengawasi

56

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 167.

57

Harsono, Op.Cit., hal. 36

58 Ibid.

para narapidana agar tidak membuat keributan dalam penjara dan tidak melarikan diri dari penjara.59

Konsep pemasyarakatan yang dikenal di Indonesia pada dasarnya merupakan konsep yang ditawarkan Sahardjo pada tahun 1963.60 Menurut Muladi sebagaimana yang dikutip oleh Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji berpendapat bahwa konsep pemasyarakatan ini ditujukan untuk menggantikan konsep penjara peninggalan Belanda yang diatur dalam Ordonnantie op de

Voorwaardelijke Invrijheodstelling (stb.1917-749 tanggal 27 Desember 1917 jo

stb.1926-488), Gestichten Reglement (stb. 1917-708 tanggal 10 Desember 1917)

dan Uitvoeringordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (stb. 1926-487

tanggal 16 November 1926) yang kesemuanya dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi dan norma masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan.61 Sistem pelaksanaan pembinaan pada narapidana dari sistem penjara menjadi sistem pembinaan dimulai pada tahun 1964 ini membawa perubahan yang cukup jauh dalam hubungannya dengan tujuan pemidanaan. Selanjutnya Muladi menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional.62 Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai pembaharuan pelaksanaan pidana penjara merupakan suatu kegiatan yang mengandung dua hal.63 Hal

59

Ibid.

60

Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji. Op.Cit, hal. 126

61 Ibid.

62

Ibid, hal.61.

63

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan., Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 13.

pertama yang adalah mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami evolusi berkenaan dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara baru, dan pada hal yang kedua adalah mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam rangka sistem pemasyarakatan.64 Sistem pemasyarakatan diselenggarakan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga kemudian dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Kedua hal tersebut merupakan faktor utama dan tetap dalam pembaharuan pelaksanaan pidana penjara.

Undang-Undang Pemasyarakatan mulai diberlakukan tanggal 30 Desember 1995. Sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. hak yang sama juga terjadi pada institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lapas. Menurut Undang-Undang Pemasyarakatan, pemasyarakatan diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan.65 Pemasyarakatan dilakukan berdasarkan suatu sistem terpadu yang dilakukan bukan saja oleh petugas yang berwenang namun juga melibatkan masyarakat sekitar. Penghuni Lapas juga berbeda dengan

64 Ibid. 65

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 Angka 1.

sistem penjaraan, dimana penghuni dalam Lapas dinamakan warga binaan pemasyarakatan. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan.66 Pembinaan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan tidak lagi pemberikan pembalasan pada narapidana melainkan berupa pembinaan di dalam pemasyarakatan. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pemasyarakatan menerangkan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Terpidana yang dimaksud itu adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.67 Pasal 4 Undang-Undang Pemasyarakatan kemudian menyebutkan bahwa Lapas didirikan di setiap kabupaten atau kotamadya.

Sistem pembinaan narapidana dan warga binaan pemasyarakatan lainnya dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :68

a. Pengayoman;

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan;

d. Pembimbingan;

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu.

Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.

66

Ibid, Pasal 1 Angka 5.

67

Ibid, Pasal 1 angka 6.

68

Persamaan perlakuan dan pelayanan, yaitu pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda -bedakan.

Pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain penananman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

Penghormatan harkat dan martabat manusia, yaitu sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, yaitu warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu selain dari itu haknya sebagai manusia dan perdatanya tetap dilindungi.

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, yaitu walaupun berada didalam Lapas tetapi warga binaan tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak diasingkan dari masyarakat, seperti diperbolehkan menerima kunjungan, hiburan ke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

Pasal 6 Undang-Undang Pemasyarakatan kemudian menentukan bahwa pembinaan warga binaan dilakukan di Lapas dan pembimbingan dilakukan di BAPAS. Sistem pembinaan narapidana dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dapat dilaksanakan didalam Lapas (intramural) dan diluar Lapas (ekstramural). Pembinaan di Lapas hanya dilakukan terhadap narapidana dan anak narapidana saja. Pembimbingan oleh BAPAS kepada narapidana dilakukan bila yang

bersangkutan mendapat bebas bersyarat atau cuti menjelang bebas. Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di Lapas disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka kedalam kehidupan masyarakat.69 Hal ini tidak ditemukan pada sistem penjara yang dianut pada zaman Belanda dulu.

Pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilakukan dimulai setelah dilakukan pendaftaran terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan. Pendaftaran narapidana di Lapas meliputi pencatatan putusan pengadilan, pencatatan jati diri, pencatatan barang dan uang yang dibawa, pemeriksaan kesehatan, pembuatan pasfoto, pengambilan sidik jari, dan pembuatan berita acara serah terima terpidana.

Pembinaan narapidana didalam Lapas dilakukan oleh petugas-petugas yang dipimpin oleh seorang kepala Lapas. Pembinaan terhadap narapidana di Lapas dilakukan penggolongan atas dasar:

a. Umur;

b. Jenis kelamin;

c. Lama pidana yang dijatuhkan; d. Jenis kejahatan;

e. Kriteria lainnya sesuai dengan lebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Pembinaan narapidana anak dilakukan di tempat yang terpisah dengan narapidana dewasa. Kriteria tersebut dilakukan berdasarkan penggolongan umur. Narapidana yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun dilakukan di Lapas anak. Penggolongan juga dilakukan berdasarkan jenis kelamin narapidana. narapidana wanita dan narapidana laki-laki juga dipisah. Untuk tindak pidana

69

tertentu seperti tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dibeberapa tempat juga dibuat Lapas tersendiri. Untuk menjalankan pembinaan narapidana memilki hak yang tidak dapat dilupakan. Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan menentukan hak narapidana yaitu :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana ( remisi);

j. Mendapakan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapat cuti menjelang bebas; dan

m.Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selama proses pembinaan narapidana dapat dipindah ke Lapas lain jika ada hal penting yang menghendaki, seperti yang tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Pemasyarakatan. Pemindahan narapidana ini dapat dilakuakan untuk kepentingan pembinaan, keamanan dan ketertiban, proses pengadilan, atau hal lainnya yang dianggap perlu. Penyidikan terhadap narapidana yang terlibat perkara lain, baik sebagai tersangka, terdakwa atau sebagai saksi yang dilakukan di Lapas ditempat narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan penyelidikan setelah menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang menyerahkan tembusannya kepada kepala Lapas. Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap

narapidana sebagaimana dimaksud harus dilakukan diluar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke Lapas setempat untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud.70

Awal perubahan ini didukung dengan berkembangnya teori pemidanaan treatmen. Teori treatmen berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.71 Argumentasi dari aliran ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatmen) dan perbaikan (rehabiltation) dan pembinaan. Aliran ini lahir pada abad ke-19.

Perubahan tersebut memiliki dampak besar dalam proses pembinaan narapidana, yaitu adanya pengklasifikasian narapidana berdasarkan usia, jenis kelamin dan lamanya masa pidana seperti yang termuat dalam Pasal 12 Undang Pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana yang dianut oleh Undang-Undang Pemasyarakatan ini mengikuti aliran modern yang berkembang dibeberapa negara didunia. Pembinaan juga sudah dilakukan dengan membentuk tim-tim yang memiliki fungsinya sendiri dalam rangka mendukung pembinaan seperti pada Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Pemasyarakatan yang mengatur bahwa pada proses pembinaannya terdapat suatu tim pengamat pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat Lapas, BAPAS, atau pejabat lainnya yang bertugas:

1. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan;

70

A. Josias Simons dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., hal 65.

71

2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan;dan

3. Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan.

Pembentukan, susunan, dan tata cara kerja balai pertimbangan pemasyarakatan dan tim pengamat pemasyarakatan ditetapkan keputusan menteri. Pegawai Lapas yang bertugas dalam pembinaan narapidana diperlengkapi dengan senjata api.72

Penetapan sistem pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan terpidana membawa suatu kesadaran, dimana kesadaran itu membawa Indonesia kepada faham “rehabilitation” yang berarti narapidana soyogianya tidak dipidana melainkan diperbaiki (resosialisasi) semata-mata.73 Penjara tidak ada lagi di Indonesia. Konsep tempat berpijak dan kegiatan-kegiatan kepenjaraan sudah diubah dan diganti. Rumah penjara sekarang dinamakan Lapas.

Perubahan menuju yang lebih baik sudah dimulai, tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan, banyak Lapas di Indonesia yang belum melaksanakan perintah Undang-Undang Pemasyarakatan sepenuhnya, sehingga pembinaan dalam Lapas tidak berjalan optimal. Beberapa Lapas masih memiliki fasilitas yang kurang memadai, jumlah petugas yang kurang dan kurangnya disiplin dari petugas Lapas sendiri.

72

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 48.

73

Bachtiar Agus Salim, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana Di Indonesia, Medan, USU Press, 2009, hal.89.

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Dokumen terkait