• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI PEMBINAAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SYAH PUTRA.S 110200320

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI MASA

HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara

OLEH: SYAH PUTRA.S

110200320

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disahkan/Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum. NIP. 1957032619861101

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H Dr. Marlina, S.H., M.Hum. NIP. 19590511198601001 NIP. 1953031219831002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga sampai detik ini Penulis senantiasa menikmati kasihNya dan dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memproleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul yang Penulis kemukakan “PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI PEMBINAAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 tanjung Gusta Medan)”.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi Penulis sendiri. Walaupun Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang sebaik-baiknya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

Pembimbing I yang telah membantu, dan memberi petunjuk serta bimbingan sehingga skripsi ini akhirnya dapat selesai.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin,SH., M.Hum, selaku selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Fatmi, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing II dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Joiverdia Arifianto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali Penulis selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen sebagai tenaga pendidik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia memberi ilmu dan pandangan hidup kepada Penulis selama Penulis menempuh ilmu di Fakultas Hukum

10.Tak lupa pula kepada seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut membantu dan memberi kemudahan kepada Penulis.

(5)

dorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua Penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Fajar Manganjur Tua Sibagariang dan Ibunda Ronndang Simatupang yang telah memberikan segalanya bagi Penulis baik dari materil maupun moril yang tidak bisa ternilai harganya, untuk saat ini hanya doa tulus yang dapat diberikan dari Penulis untuk Ayah dan Ibu. Semoga kelak Penulis dapat membahagiakan kedua orangtua.

2. Untuk saudara-saudara Penulis abang Hermanto Sibagariang, kakak Sri Fitria Sibagariang, adik-adikku Andri Sibagariang, Andi Sibagariang dan Indah Sibagariang, terimakasih untuk segala bantuan yang kasih sayang kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Untuk sahabat-sahabat Penulis yang telah menjadi keluarga di kampus: Elisa, itok Vivi Pipot, Riscia Belle, Ovanago, itok Titin, itok Melva, Terima kasih buat dukungannya.

4. Untuk Bolang, terima kasih buat dukungan, tumpangan dan perhatiannya selama ini.

(6)

depannya. Salam persahabatan dan penghargaan terdalam bagi ikatan kekeluargaan yang telah kita lalui bersama selama ini.

6. Untuk sahabat LG : Elton, Amir, Dodi, Dani, Harry, Eko, Arnold, Ivan, Wino, Muktar, Day Vend, Pitcur, Rudol, Rido, baik Penulis yang telah berbagi suka duka, motivasi, dan teman bermain . Terimakasih untuk persahabatan yang telah kita jalin sejak SMA, Semoga kita sukses dengan karir kita ke depan, dan menjaga persahabatan ini sampai seterusnya. 7. Untuk Astriani Situngkir, terimakasih untuk semua waktu, perhatian,

semangat dan kesabaran dalam menemani penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

8. Untuk teman-teman Alumni SMA NEGERI 1 MATAULI angakatan XV khususnya XII IPS 3 yang menjadi teman seperjuangan penulis.

9. Untuk seluruh teman-teman stambuk 2011 yang terkhusus di grup C, kelompok Klinis, Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA), Panitia PMB Reguler 2014 dan Panitia natal 2014 di Fakultas Hukum USU. Terima kasih atas waktu yang sempat kita lalui bersama di FH USU. 10.Semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung

dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Penulis akan selalu menghargai dan mengingat dukungan dan kebersamaannya.

(7)

kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

(8)

DAFTAR ISI

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI PEMBINAAN MENURUT

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 9

C.Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 10

E.Keaslian Penulisan... 12

F. Tinjauan Kepustakaan ... 14

1. Pengertian Sanksi ... 14

2. Pengertian Narapidana ... 15

3. Pidana ... 16

4. Tindak Pidana ... 17

5. Lembaga Pemasyarakatan... 17

6. Pembinaan ... 19

G.Metode Penulisan ... 20

(9)

BAB II: PENGATURAN HUKUM TERHADAP PROSES PEMBINAAN

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 26

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ... 24

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan... 35

C. Peraturan Pemerintah Nomor 99 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ... 44

BAB III : SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 56

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Oleh Narapidana ... 56

B. Jenis Sanksi Yang Diberikan Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana ... 65

Bangun Guna Serah ... 58

C. Penjatuhan Sanksi Bagi Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Masa Hukuman ... 69

BABIV: UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 81

A. Upaya Penanggulangan Penal ... 81

B. Upaya Penaggulangan Nonpenal... 85

BAB V: PENUTUP ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 99

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI MASA

HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan)

ABSTRAK *Syah Putra S.

* Prof.Dr.Suwarto, S.H.,M.H. *1Dr.Marlina, S.H.,M.Hum.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang sangat meresahkan dan dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan dapat dilakukan oleh narapidana yang sedang menjalani masa pidana. Faktor penyebab dilakukannya tindak pidana ini adalah karena adanya kelemahan yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan. Dengan tingkat kebebasan yang rendah dan jumlah narapidana yang semakin bertambah membuat suatu pelanggaran semakin cenderung dilakukan. Perlu adanya suatu penanganan terhadap narapidana pelaku tindak pidana tersebut. Perbuatan ini harus dicegah dan dihentikan untuk mencapai tujuan pembinaan yang efektif.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan Narapidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Narapidana yang melakukan suatu pelanggaran berupa tindak pidana dihukum dengan memberikan hukuman disiplin dan juga hukuman pidana oleh aparat penegak hukum berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan. Pencegahan pelanggaran narapidana ini dapat dilakukan dengan menggunakan upaya penanggulangan penal yaitu dengan pemberian sanksi bagi narapidana terkait dan upaya penanggulangan nonpenal yaitu perbaikan struktur pada lembaga pemasyarakatan.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing I

(12)

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI MASA

HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan)

ABSTRAK *Syah Putra S.

* Prof.Dr.Suwarto, S.H.,M.H. *1Dr.Marlina, S.H.,M.Hum.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang sangat meresahkan dan dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan dapat dilakukan oleh narapidana yang sedang menjalani masa pidana. Faktor penyebab dilakukannya tindak pidana ini adalah karena adanya kelemahan yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan. Dengan tingkat kebebasan yang rendah dan jumlah narapidana yang semakin bertambah membuat suatu pelanggaran semakin cenderung dilakukan. Perlu adanya suatu penanganan terhadap narapidana pelaku tindak pidana tersebut. Perbuatan ini harus dicegah dan dihentikan untuk mencapai tujuan pembinaan yang efektif.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan Narapidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Narapidana yang melakukan suatu pelanggaran berupa tindak pidana dihukum dengan memberikan hukuman disiplin dan juga hukuman pidana oleh aparat penegak hukum berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan. Pencegahan pelanggaran narapidana ini dapat dilakukan dengan menggunakan upaya penanggulangan penal yaitu dengan pemberian sanksi bagi narapidana terkait dan upaya penanggulangan nonpenal yaitu perbaikan struktur pada lembaga pemasyarakatan.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing I

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia selain sebagai makhluk individu, juga disebut sebagai makhluk sosial. Ciri dari manusia sebagai mahkluk sosial dalam kesehariannya yaitu memiliki harkat untuk bersatu dengan manusia lain dan bersatu dengan alam disekitar. Untuk mewujudkan kedua hal tersebut, maka manusia melakukan interaksi dengan manusia dan dengan alam disekitar. Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang- perorang dengan kelompok manusia.2 Selanjutnya interaksi yang dilakukan manusia tersebut kerap kali menimbulkan berbagai penyimpangan.

Munculnya penyimpangan itu disebabkan oleh hal-hal yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja. Pelanggaran-pelanggaran ini dapat terjadi karena berbagai macam alasan. Gambarannya sering kali lebih rumit. Tekanan ekonomi, ketiadaan lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah dan kerasnya orientasi orang kepada kebendaan merupakan motivasi yang paling dominan dari setiap tindak pidana.3 Penyimpangan tersebut kerap kali dilakukan untuk mencapai suatu

2

Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada, 1987, hal. 51.

3

(14)

tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai dengan cara yang sesuai dengan norma. Bentuk penyimpangan yang terjadi salah satunya adalah kejahatan atau tindak pidana. Seseorang yang berbuat jahat untuk mendapatkan suatu hal dengan muda bukan merupakan suatu fenomena yang baru lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini akan selalu ada dan berkembang jenis dan motifnya dari masa ke masa dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Bonger, arti kejahatan dipandang dari sudut formil adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat diberi pidana.4 Batasan mengenai kejahatan menurut Bonger adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.5 Bonger juga berpendapat bahwa kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral.6 Selanjutnya Shuterland berpendapat bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.7

Kejahatan dalam pandangan sosiologis diartikan sebagai semua bentuk ucapan dan tingkah laku yang melanggar norma-norma sosial, serta merugikan dan mengganggu keselamatan masyarakat, baik secara ekonomis, politis maupun sosial-psikologis.8 Perkembangan dan peningkatan kejahatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan

4

Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, Pustaka Bangsa Press, Medan , 2013, hal.1.

5

Noach Simanjuntak dan L. Pasaribu, Op.Cit., hal.45.

6 Ibid.

7

Suwarto,Op.Cit., hal.2.

8

(15)

berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu dipikirkan oleh para ilmuwan terkenal. Plato (427-347s.m) misalnya dalam bukunya “republik” menyatakan antara lain bahwa manusia adalah sumber dari banyak kejahatan.9

Kejahatan merupakan suatu masalah manusia dalam perhubungan masyarakat yang tak dapat lepas dari perkembangan negara kearah negara yang lebih modern.10 Indonesia sebagai negara hukum, harus mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada setiap individu yang ada didalamnya agar dapat menjalankan haknya dengan baik. Salah satu unsur yang utama dari negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia dan warga negara serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata. Sebagai konsekuensi dari negara hukum, tentunya setiap pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana harus mendapat sanksi dan sanksi tersebut harus dijalankan sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku. Sebab tujuan dari norma adalah untuk ditaati dan untuk ditaati diperlukan sanksi.11 Norma tersebut antara lain adalah norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat, norma agama dan norma hukum. Diantara norma-norma tersebut bentuk sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum pidana yaitu sanksi berupa derita atau nestapa yang diberikan secara sadar dan sengaja pada seseorang yang melakukan suatu pelanggaran

9

Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 , hal.1.

10

Noach Simanjuntak dan L. Pasaribu, Op.Cit, hal.45.

11

(16)

hukum.12 Secara umum hukum pidana memiliki fungsi yang sama dengan bidang hukum lainnya yaitu menjaga ketertiban masyarakat sehingga ketertiban dan kesejahteraan serta kedamaian hidup dapat diciptakan disamping keadilan sebagai cita hukum yang tinggi.13 Pemberian sanksi tersebut harus dijalankan sesuai dengan sistem peradilan pidana. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela dan memberikan suatu sanksi terhadapnya.14 Penegakan hukum pidana apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahapan.15 Tahap yang pertama adalah tahap formulasi yaitu penegakan hukum in

abstracto oleh badan pembuat undang-undang atau disebut juga dengan tahap

legislative, sedangkan tahap kedua adalah tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.16 Tahap yang terakhir yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini disebut juga dengan tahap eksekutif.17

Sistem peradilan pidana berjalan dengan tujuan menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas pelaksanaan hukum disuatu negara.18Mardjono Reksodiputro memberikan definisi

12

Ibid, hal.47.

13

Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal.14.

14

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, PT. Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 4.

15 Ibid.

16 Ibid. 17

Ibid. 18

(17)

sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi masyarakat.19 Pemberian sanksi dilakukan kepada pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana semata-mata bukan hanya untuk pembalasan atas kerugian yang diakibatkannya, namun pemberian sanksi juga diberikan sebagai upaya pembinaan bagi pelaku tindak pidana sehingga seorang pelaku tindak pidana tersebut tidak mengulangi perbuatan jahat berulang-ulang. Pemberian sanksi atau pemidanaan harus memperhatikan asas keseimbangan kepada pelaku kejahatan. Asas keseimbangan ini mengandung arti bahwa pemidanaan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan korban.20 Asas keseimbangan juga diperlukan agar terdapat keselarasan antara kerugian yang diakibatkan dengan hukuman yang akan diberikan. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan dan tanpa memperhatikan ketentuan yang ada. Pemidanaan yang menekankan kepentingan masyarakat, hanya akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka.21

Seorang pelaku tindak pidana harus menjalani serangkaian proses hukum yang dimulai dari tahap penyidikan oleh kepolisisan, tahap penuntutan di kejaksaan hingga pada proses persidangan di pengadilan. Sanksi kepada pelaku tindak pidana baru dapat diberikan setelah ada keputusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap (inkrach van gewijsde). Pelaku tindak pidana tersebut kemudian berubah status menjadi narapidana pada saat putusan pengadilan

19 Ibid.

20

Marlina, Hukum Penitensier, Reflika Aditama, Bandung , 2011, hal. 36.

(18)

dilaksanakan dan akan berakhir setelah narapidana selesai menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Narapidana di lembaga pemasyarakatan akan diberikan pengertian melalui serangkai pembinaan yang dilakukan petugas lembaga pemasyarakatan beserta dengan lembaga lain yang terkait.

Lembaga pemasyarakatan (selanjutnya disebut Lapas) yang secara khusus menampung para pelanggar hukum dan yang sedang menjalankan pembinaan terhadap narapidana juga tidak lepas dari permasalahan-permasalahan, baik yang dilakukan antar narapidana maupun narapidana dengan petugas Lapas. Segala kekurangan yang dimiliki oleh Lapas sangat memungkinkan untuk terjadinya permasalan-permasalahan selama proses pembinaan narapidana. Terlalu banyak keterbatasan, yang semakin menjauhkan cita-cita ideal dengan kenyataan.22 Alih-alih terjadi interaksi edukasi, yang banyak ditemukan di dalam Lapas justru kehidupan sebaliknya, Lapas masih dikotori dengan segala macam praktek tak terpuji, seperti perlakuan diskriminatif, penyuapan, pemerasan, dan tindakan kekerasan.23 Keadaan cenderung memburuk, karena hingga hari ini Lapas tidak saja memiliki keterbatasan tenaga petugas, dana dan fasilitas, namun juga keterbatasan cara berfikir dan profesionalisme pengolahan.24

Dewasa ini semakin marak terjadi perbuatan pidana yang dilakukan oleh narapidana selama proses pembinaan, dimulai dari perkelahian antar narapidana, peredaran narkoba dalam Lapas, pembakaran, hingga pada pengerusakan Lapas yang mengakibatkan kematian. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan alur

22

Ibid. 23

David J Cookie dkk, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal.xiii.

(19)

berpikir sebagai berikut, secara psikologis penempatan orang penempatan orang dalam penjara pada hakikatnya merupakan suatu pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah penghuni mengalami kesakitan akibat berbagai kehilangan baik kehilangan rasa aman, relasi seksual, otonomi maupun kehilangan kekuasaan atas barang-barang yang dimiliki. Keadaan ini kerap menimbulkan permintaan lebih dari narapidana yang tidak mungkin dapat dipenuhi.

[image:19.595.156.515.504.741.2]

Perbuatan-perbuatan pidana di Lapas terjadi sebagai puncak dari adanya kekurangan dalam pelaksanaan proses pembinaan didalam Lapas. Umumnya kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan oleh narapidana itu disebabkan karena jumlah narapidana yang melebihi daya tampung dari Lapas, tidak optimalnya fasilitas dan pelayanan Lapas, jumlah sipir yang minim, dan lemahnya pengawasan terhadap narapidana. Tabel berikut merupakan perbandingan jumlah narapidana di Lapas:

Tabel 1.

Data perbandingan narapidana yang masuk dan keluar dari Lapas.

Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

Masuk: 108.807 Keluar: 41.225 Rincian keluar: Bebas murni: 5.109 (12%)

Bebas remisi: 3.165 (8%)

PB/CB/CMB: 32.951 (80 %)

Total keluar: 41.225

Masuk: 135.826 Keluar: 90.795 Rincian keluar: Bebas murni: 38.216 (42 %)

Bebas remisi: 3.221 (4%) PB/CB/CMB: 49.358 (54 %)

Total: 90.795

Masuk: 88.662 Keluar: 75. 147 Rincian keluar: Bebas murni: 44.133 (59%)

Bebas remisi: 4.205 (5%)

PB/CB/CMB: 26.809 (36%)

Keterangan:

PB: Pembebasan bersyarat CB: Cuti bersyarat

CMB: Cuti menjelang bebas

(20)

Data diatas menyebutkan bahwa jumlah narapidana yang masuk penjara dari tahun ke tahun lebih banyak dari narapidana yang keluar dari Lapas, sedangkan luas halaman dan bangunan Lapas untuk pembinaan tidak bertambah.

Salah satu contoh perbuatan pidana yang secara nyata dilakukan narapidana selama menjalani masa pidana adalah peristiwa pembakaran Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta Medan. Penyebab kerusuhan narapidana di Lapas Tanjung Gusta lalu, salah satu adalah tuntutan narapidana yang tidak terpenuhi oleh petugas Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta. Sebanyak lima orang tewas dalam kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Kelas I Medan, dan membuat sedikitnya 200 narapidana berhasil kabur.25

Setiap narapidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana juga harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya, sama seperti pelaku kejahatan pada umumnya meskipun diketahui bahwa masa hukuman dari narapidana pelaku kejahatan tersebut masih belum berakhir. Narapidana pelaku tindak pidana tersebut harus mengikuti proses hukum untuk kemudian dibuktikan kesalahan apa yang disangkakan kepadanya.

Narapidana yang melakukan perbuatan pidana di Lapas juga kemudian harus dicermati apakah masih layak mendapatkan hak-haknya sepenuhnya ataukah hanya dapat menjalankan sebagian saja. Petugas Lapas beserta dengan instansi terkait harus turut membantu penyelesaian masalah tersebut melalui suatu kebijakan agar dapat mengerti, dan mengendalikan narapidana sehingga kejadian yang sama tidak terjadi kembali. Upaya perbaikan tidak saja harus dilakukan atas

25

(21)

inisiatif dan para petugas Lapas dan pemerintah, namun juga seluruh pihak.26 Perlu ada sinergi antara masyarakat dan bahkan para napi dan mantan narapidana sendiri yang sangat memahami keadaan di dalam Lapas.27

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu permasalahan dengan judul ” Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Masa Hukuman Menurut Hukum Pidana di Indonesia ( Studi di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan)”.

B. Rumusan Permasalahan

Adapun perumusan masalah yang muncul berdasarkan penjelasan diatas antara lain:

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

2. Bagaimana sanksi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana di Lembaga Pesmayarakatan?

3. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap narapidana agar tidak melakukan tindak pidana selama proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta?

C . Tujuan Penelitian

Fungsi dari suatu penelitian adalah sebagai alat untuk mengetahui sesuatu masalah yang akan diteliti, baik ilmu sosial, ilmu hukum, maupun ilmu lainnya. Setiap penelitian ilmiah perlu ditegaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar

26

David J Cookie dkk, Op.Cit, hal.xiv.

(22)

penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan adanya permasalahan– permasalan yang telah dikemukakan diatas. Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat dirumuskan tujuan dari penelititan ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pembinaan warga binaan khususnya narapidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pada narapidana beserta dengan sanksi yang diberikan terhadap narapidana pelaku tindak pidana.

3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap narapidana agar tidak melakukan tindak pidana pidana selama proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Adapaun yang menjadi manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah mencakup kegiatan-kegiatan teoritis dan praktis,yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

(23)

2. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan pihak-pihak terkait dalam menentukan dan melakukan perubahan terhadap kekurangan yang ada sekaligus merupakan sumber hukum untuk mengetahui terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan.

a. Bagi Narapidana

1) Agar dapat mengikuti pembinaan sesuai dengan sistem pembinaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga kelak tidak ditemui lagi pelanggaran dan perbuatan pidana selama menjalani masa pembinaan.

2) Agar dapat menjalankan haknya sebagai narapidana dengan sebaik-baiknya.

b. Bagi Lembaga Pemasyarakatan

1) Agar petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan dapat lebih optimal dalam memberikan pembinaan pada narapidana.

2) Agar kekurangan terhadap sarana dan prasarana yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan dapat diperbaiki untuk menunjang pembinaan narapidana dan warga binaan lainnya. c. Bagi Masyarakat

(24)

2) Agar masyarakat mengetahui pola pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

3) Agar masyarakat dapat memahami dan menerima kembali setiap orang yang telah dididik dan bina di dalam Lembaga Pemasyarakatan seperti individu pada umumnya dan tidak memiliki prasangka buru dan diskriminatif.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana selama Menjalani Masa Hukuman menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan) merupakan hasil karya yang ditulis sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari berbagai peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, media elektronik yang berhubungan dengan penulisan dalam skripsi ini beserta dengan data yang diperoleh dari hasil studi yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan.

Berdasarkan hasil penelusuran data kepustakaan Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa skripsi dengan judul Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Masa Hukuman Menurut Hukum Pidana di Indonesia, belum pernah ada yang pernah menulis sebelumnya.

(25)

Judul : Sanksi Bagi Narapidana yang melakukan perkelahian Di Lembaga Pemasyarakatan ( Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Sragen)

Permasalahan : 1) Bagaimana proses pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (narapidana) agar sesuai dengan fungsi dan tujuan Lembaga Pemasyarakatan?

2) Faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya perkelahian pada narapidana?

3) Bagaimana penyelasaian dan sanksi terhadap perkelahian narapidana di Lembaga Pemasyarakatan? Sumber : www.garuda.dikti.go.id

2. Nama : Eko Retno Mardan

Judul : Implementasi Dan Eksistensi Hukuman Disiplin Bagi Narapidana (Studi Kasus Di Rumah Tahanan Negara Kelas II B Wonogiri).

Permasalahan : 1) Bagaimanakah implementasi hukuman disiplin terhadap narapidana yang diterapkan dirumah tahanan negara Kelas IIB Wonogiri ?

2) Bagaimanakah eksistensi hukuman disiplin terhadap narapidana yang diterapkan dirumah tahanan negara Kelas IIB Wonogiri?

(26)

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sanksi

Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:

a. Sanksi hukum pidana; b. Sanksi hukum perdata;

c. Sanksi administrasi/administratif.28

Penetapan jenis dan bentuk sanksi pidana, sesungguhanya kebijakan kriminal yang menurut pengguna atau penerapan metode yang rasional.29 Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan yang bersangkutan menjadi jera.30 Sanksi pidana sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia, yaitu:

a. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi: 1) Hukuman mati

2) Hukuman penjara 3) Hukuman kurungan 4) Hukuman denda

b. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi: 1) Pencabutan beberapa hak yang tertentu

2) Perampasan barang yang tertentu 3) Pengumuman keputusan hakim

Hukum perdata merupakan hukum privat yang mengatur tentang kepentingan dari individu perindividu. Sanksi dalam hukum perdata dapat berupa:

a. Kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban).

28

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-%28pidana,-perdata,-dan-administratif%29, diakses pada tanggal 9 April 2015.

29

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya, Jakarta, PT Raja Grafindo, hal 15.

30

(27)

b. Hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.

Untuk sanksi administrasi/administratif, adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Umumnya sanksi administrasi/administratif berupa:

a. Denda (misalnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda Di Bidang Kepabeanan );

b. Pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin (misalnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubugan Republik Indonesia Nomor: KM 26 Tahun 2009 Tentang Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keselamatan Penerbangan);

c. Penghentian sementara pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi (misalnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan).

2. Pengertian Narapidana

(28)

pembinaannya diberikan hak-hak tertentu sebagai narapidana dan tinyatakan secara tegas dalam undang-undang.

Narapidana terdiri atas narapidana laki-laki dan naridana wanita. Setiap narapidana baik laki-laki maupun wanita merupakan naraidana yang telah dewasa menurut hukum. Pembinaan narapida wanita dilakukan di Lapas wanita.31 Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan aman. Narapidana diperlakukan sebagai subjek pembinaan dan diperlakukan secara manusiawi.32

3. Pidana

Istilah hukuman berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana.33 Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempenyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.

Hulsman berpendapat hakikat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot

de orde roepen); pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni

untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflickstoplossing).34 Menurut Sudarto pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap

31

Ibid, pasal 12 ayat (2) .

32

Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta , 1995, hal. 36.

33

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hal. 11.

34

(29)

ketentuan undang-undang hukum pidana, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.35

4. Tindak Pidana

Tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene strafbar gestelde “onrechtmatig, met schuld in verband staaande handeling van

een toerekeningsvatbaar person”).36 Van Hamel merumuskan bahwa strafbaar

feit adalah kelakuan orang (menselijk gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwardig) dan dilakukan dengan kesalahan.37 Barda Nawawi Arief menyatakan tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan melawan hukum baik secara formil maupun secara materil.

5. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.38 Setiap narapidana yang ada di dalam Lapas tersebut harus dibina dengan menggunakan sistem pemasyarakatan yang telah ditetapkan. Secara umum lembaga pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana fisik yang cukup memadai bagi pelaksanaan pembinaan narapidana, seperti adanya sarana

35

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1981 , hal. 109-110.

36

D. Simons, 1921, Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Vier Drunk, P.Noordhoff, Groningen, hal.101 dalam buku Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia ,Rajawali Pers, 2013, hal.58.

37

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 , hal 61.

38

(30)

perkantoran, sarana perawatan (balai pengobatan), sarana peribadatan, sarana pendidikan dan perpustakaan (hanya beberapa Lapas), sarana kerja terdiri dari bengkel kerja dan tanah pertanian, sarana olah raga baik lapangan voli, bulu tangkis, tenis meja maupun sepak bola, saran sosial terdiri dari tempat kunjungan keluarga, aula pertemuan dan ruang konsultasi, sarana tranportasi (mobil dinas).39 Lapas merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).40 Lapas sebagai salah satu wadah pembinaan narapidana, pada hakekatnya harus mampu berperan didalam pembangunan manusia seutuhnya sebagai wadah untuk mendidik manusia terpidana agar menjadi manusia yang berkualitas.41

Lembaga Pemasyarakatan secara sederhana, berfungsi sebagai:42

1. Menerima terpidana yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pidana penjara;

2. Melakukan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan;

3. Melakukan berbagai upaya agar proses pembinaan dapat terlaksana dengan baik;

4. Memproses pemberi remisi agar layak menerimanya;

5. Melakukan koordinasi dengan sub sistem kepolisian atau kejaksaan manakala terjadi peserta didik pemasyarakatan tengah menjalani proses pengadilan pidana;

6. Menerima dan meneruskan permintaan grasi;

7. Menyiapkan pembebasan apabila waktu menjalankan pidana penjara telah selesai;

8. Menyiapkan pembebasan bersyarat;

9. Menjaga dan memenuhi hak-hak narapidana yang diatur berdasarkan aturan Peraturan Perundang-Undangan.

39

Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Studi Lembaga Pemasyaralatan di Indonesia, CV. Lubuk Agung, Bandung, 2011, Hal.15.

40

http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada tanggal 6 April 2015.

41

Suwarto, Op.Cit, hal. 80.

42

(31)

Penghuni lembaga pemasyarakatan merupakan warga binaan pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.

6. Pembinaan

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani, dan rohani narapidana dan anak didik narapidana.43 Narapidana adalah manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan kearah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidana.44 Pembinaan narapidana, tidak hanya ditujukan kepada pembinaan spiritual saja, tetapi juga dalam bidang keterampilan. Sebab itu pembinaan narapidana juga dikaitkan dengan pemberian pekerjaan selama menjalani pembinaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pembinaan kegiatan secara berencana dan terarah untuk lebih menyempurnakan tata

hukum yang ada agar sesuai dng perkembangan masyarakat.45 Pembinaan juga

merupakan suatu proses yang berkelanjutan, bukan proses sepotong-sepotong.46

43

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 1.

44

Harsono. Op.Cit. hal.43.

45

http://kbbi.web.id/bina, di akses pada tangga l 6 April 2015.

46

(32)

Karena memiliki spesifikasi tertentu, maka dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana.

Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana, yaitu: 1. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri;

2. Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat.

3. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada saat masi berada diluar Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan, dapat masyarakat biasa, pemuda masyarakat, atau pejabat setempat.

4. Petugas, dapat berupa petgas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lembaga Pemasyarakatan, Rutan, Balai Pemasyarakatan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain sebagainya.

Keempat kompenen pembinaan narapidana, harus tahu akan tujuan pembinaan narapidana, perkembangan pembinaan narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai program serta pemecahan masalah.47

Pembinaan dilakukan di tempat yang telah disediakan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Pembinaan narapidana dapat dilakukan didua tempat. Pertama, di Lapas dan kedua diluar Lapas. Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dan telah mendapat ijin dari Kepala Lembaga Pemasyaratan, dapat ditempatkan di Lapas terbuka, jika narapidana bersedia.48 Tujuan dari pembinaan di luar Lapas adalah mengurangi dampak psikologis akibat dampak penjara, disamping juga supaya narapidana mendekatkan diri dengan masyarakat.49

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif (Deskriptif

Research) yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta yang ada (fact

47

Harsono, Op.Cit, hal. 51.

48

Ibid, Hal. 86.

49

(33)

finding). Penemuan gejala-gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam aspek -aspek yang sedang diteliti. Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan proses pemberian sanksi para narapida yang melakukan kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan kelas 1Tanjung Gusta.

Penelitian deskriptif tersebut dilakukan dengan langkah-langkah berdasarkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara yuridis normatif dan yuridis empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.50 Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan pemberian sanksi disiplin dalam pembinaan narapidana. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Perundang-Undangan. Pendekatan tersebut melakukann pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan proses pembinaan warga binaan wanita.

50

(34)

b. Pendekatan empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.51 Pendekatan empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan petugas pemasyarakatan yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi lapangan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lakukan di wilayah hukum, Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta, Medan Sumatera Utara. Lapas ini dijadikan tempat dilakukan penelitian dengan pertimbangan bahwa Lapas tersebut telah memenuhi kriteria yang dibutuhkan sebagai tempat dilakukannya penelitian.

3. Sumber Data a) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan atau survei dilapangan yang berlakitan dengan perilaku masyarakata.52 Penelitian ini data diperoleh dari orang yang berhubungan langsung dengan obyek penelitian lapangan bersumber dari Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta Medan.

51

Ibid, hal 30.

52

(35)

b) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka.53 Didalam penelitian hukum, data sekunder berfungsi untuk menerangkan bahan hukum primer.

c) Data bahan tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder.54 Contoh bahan data tersier, yaitu kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif.

4. Metode Pengumpulan Data

Cara yang ditempuh untuk mengumpulkan data disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan, antara lain :

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data melalui literatur, buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

b. Studi lapangan (field research) yaitu dengan melakukan kunjungan ke lokasi yang sedang diteliti di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, melakukan wawancara terhadap Kepala bidang administrasi keamanan dan ketertiban dan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan.

5. Analisis Data

Sesuai dengan prosedur penelitian yang ada, maka data yang telah terkumpul baik data teoritis maupun data hasil observasi/wawancara dan studi dokumen terhadap masalah yang sedang diteliti, kemudian dimanfaatkan dan

53

Ibid.

(36)

dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Analisis Kualitatif yaitu pengolahan data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.

Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.55 Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan teori-teori hukum, undang-undang, dan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti terhadap fakta dari data yang diperoleh dalam penelitian. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan pemecahan masalah dengan metode induktif yaitu mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang khusus untuk menarik kesimpulan secara umum, atau sebaliknya dengan menggunakan metode deduktif, yaitu dengan membuat kesimpulan secara khusus melalui kajian dan analisis terhadap fakta-fakta yang bersifat umum.

Melalui metode-metode yang penulis kemukakan di atas, akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang kemudian menjadi hasil penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara keseluruhan dari skripsi ini penulis akan menguraikan sistematikanya. Skripsi ini terdiri dari V (Lima) bab, yaitu : Bab I : Pendahuluan. Bab ini adalah sebagai bab pengantar dari

permasalahan, terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu latar belakang, permasalahan, keaslian penulisan, tujuan

55

(37)

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Pengaturan Hukum Terhadap Proses Pembinaan Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Bab ini diuraikan mengenai pengaturan-pengaturan hukum narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang masih berlaku. Bab III : Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana

di Lembaga Pemasyarakatan. Bab ini menguraikan hal-hal apa saja yang menjadi faktor penyebab dilakukannya tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan, jenis sanksi yang diberikan pada narapidana dan hukuman yang diberikan beserta dengan tata cara pemberian hukumannya.

Bab IV : Upaya penanggulangan yang dilakukan terhadap narapidana untuk menghindari terjadinya tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tanjung Gusta Medan. Dalam bab ini di uraikan berbagai upaya pencegahan guna memcegah terjadinya kembali perbuatan-perbuatan tindak pidana baik melalui penanggulangan penal dan penanggulangan non penal.

(38)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Narapidana merupakan salah satu jenis warga binaan yang dibina di Lapas. Penghuni suatu Lapas adalah mereka yang menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, orang yang dikenakan penahanan sementara, orang-orang yang disandera (gegijzelden), dan orang lain yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, tetapi secara sah telah dimasukkan kedalam Lapas.56

Pemidanaan narapidana sebelum Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 tahun 1995 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemasyarakatan) ini diberlakukan, dilakukan pada bangunan yang dikenal dengan istilah penjara. Inti dari pidana penjara adalah mengutamakan pemberian pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang dilakukan. Perhatian terhadap narapidana, kepentingan narapidana sama sekali diabaikan.57 Teori pembalasan benar-benar dilaksanakan, seolah-olah narapidana adalah objek semata-mata.58 Pembalasan tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera agar sipelaku tidak mengulangi perbuatannya kembali. Tugas penjara pada waktu itu, tidak lebih dari mengawasi

56

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 167.

57

Harsono, Op.Cit., hal. 36

(39)

para narapidana agar tidak membuat keributan dalam penjara dan tidak melarikan diri dari penjara.59

Konsep pemasyarakatan yang dikenal di Indonesia pada dasarnya merupakan konsep yang ditawarkan Sahardjo pada tahun 1963.60 Menurut Muladi sebagaimana yang dikutip oleh Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji berpendapat bahwa konsep pemasyarakatan ini ditujukan untuk menggantikan konsep penjara peninggalan Belanda yang diatur dalam Ordonnantie op de

Voorwaardelijke Invrijheodstelling (stb.1917-749 tanggal 27 Desember 1917 jo

stb.1926-488), Gestichten Reglement (stb. 1917-708 tanggal 10 Desember 1917)

dan Uitvoeringordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (stb. 1926-487

tanggal 16 November 1926) yang kesemuanya dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi dan norma masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan.61 Sistem pelaksanaan pembinaan pada narapidana dari sistem penjara menjadi sistem pembinaan dimulai pada tahun 1964 ini membawa perubahan yang cukup jauh dalam hubungannya dengan tujuan pemidanaan. Selanjutnya Muladi menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional.62 Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai pembaharuan pelaksanaan pidana penjara merupakan suatu kegiatan yang mengandung dua hal.63 Hal

59

Ibid.

60

Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji. Op.Cit, hal. 126

61 Ibid.

62

Ibid, hal.61.

63

(40)

pertama yang adalah mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami evolusi berkenaan dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara baru, dan pada hal yang kedua adalah mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam rangka sistem pemasyarakatan.64 Sistem pemasyarakatan diselenggarakan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga kemudian dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Kedua hal tersebut merupakan faktor utama dan tetap dalam pembaharuan pelaksanaan pidana penjara.

Undang-Undang Pemasyarakatan mulai diberlakukan tanggal 30 Desember 1995. Sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. hak yang sama juga terjadi pada institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lapas. Menurut Undang-Undang Pemasyarakatan, pemasyarakatan diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan.65 Pemasyarakatan dilakukan berdasarkan suatu sistem terpadu yang dilakukan bukan saja oleh petugas yang berwenang namun juga melibatkan masyarakat sekitar. Penghuni Lapas juga berbeda dengan

64 Ibid. 65

(41)

sistem penjaraan, dimana penghuni dalam Lapas dinamakan warga binaan pemasyarakatan. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan.66 Pembinaan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan tidak lagi pemberikan pembalasan pada narapidana melainkan berupa pembinaan di dalam pemasyarakatan. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pemasyarakatan menerangkan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Terpidana yang dimaksud itu adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.67 Pasal 4 Undang-Undang Pemasyarakatan kemudian menyebutkan bahwa Lapas didirikan di setiap kabupaten atau kotamadya.

Sistem pembinaan narapidana dan warga binaan pemasyarakatan lainnya dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :68

a. Pengayoman;

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan;

d. Pembimbingan;

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu.

Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.

66

Ibid, Pasal 1 Angka 5.

67

Ibid, Pasal 1 angka 6.

68

(42)

Persamaan perlakuan dan pelayanan, yaitu pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda -bedakan.

Pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain penananman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

Penghormatan harkat dan martabat manusia, yaitu sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, yaitu warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu selain dari itu haknya sebagai manusia dan perdatanya tetap dilindungi.

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, yaitu walaupun berada didalam Lapas tetapi warga binaan tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak diasingkan dari masyarakat, seperti diperbolehkan menerima kunjungan, hiburan ke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

(43)

bersangkutan mendapat bebas bersyarat atau cuti menjelang bebas. Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di Lapas disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka kedalam kehidupan masyarakat.69 Hal ini tidak ditemukan pada sistem penjara yang dianut pada zaman Belanda dulu.

Pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilakukan dimulai setelah dilakukan pendaftaran terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan. Pendaftaran narapidana di Lapas meliputi pencatatan putusan pengadilan, pencatatan jati diri, pencatatan barang dan uang yang dibawa, pemeriksaan kesehatan, pembuatan pasfoto, pengambilan sidik jari, dan pembuatan berita acara serah terima terpidana.

Pembinaan narapidana didalam Lapas dilakukan oleh petugas-petugas yang dipimpin oleh seorang kepala Lapas. Pembinaan terhadap narapidana di Lapas dilakukan penggolongan atas dasar:

a. Umur;

b. Jenis kelamin;

c. Lama pidana yang dijatuhkan; d. Jenis kejahatan;

e. Kriteria lainnya sesuai dengan lebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Pembinaan narapidana anak dilakukan di tempat yang terpisah dengan narapidana dewasa. Kriteria tersebut dilakukan berdasarkan penggolongan umur. Narapidana yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun dilakukan di Lapas anak. Penggolongan juga dilakukan berdasarkan jenis kelamin narapidana. narapidana wanita dan narapidana laki-laki juga dipisah. Untuk tindak pidana

69

(44)

tertentu seperti tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dibeberapa tempat juga dibuat Lapas tersendiri. Untuk menjalankan pembinaan narapidana memilki hak yang tidak dapat dilupakan. Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan menentukan hak narapidana yaitu :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana ( remisi);

j. Mendapakan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapat cuti menjelang bebas; dan

m.Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(45)

narapidana sebagaimana dimaksud harus dilakukan diluar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke Lapas setempat untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud.70

Awal perubahan ini didukung dengan berkembangnya teori pemidanaan treatmen. Teori treatmen berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.71 Argumentasi dari aliran ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatmen) dan perbaikan (rehabiltation) dan pembinaan. Aliran ini lahir pada abad ke-19.

Perubahan tersebut memiliki dampak besar dalam proses pembinaan narapidana, yaitu adanya pengklasifikasian narapidana berdasarkan usia, jenis kelamin dan lamanya masa pidana seperti yang termuat dalam Pasal 12 Undang Pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana yang dianut oleh Undang-Undang Pemasyarakatan ini mengikuti aliran modern yang berkembang dibeberapa negara didunia. Pembinaan juga sudah dilakukan dengan membentuk tim-tim yang memiliki fungsinya sendiri dalam rangka mendukung pembinaan seperti pada Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Pemasyarakatan yang mengatur bahwa pada proses pembinaannya terdapat suatu tim pengamat pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat Lapas, BAPAS, atau pejabat lainnya yang bertugas:

1. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan;

70

A. Josias Simons dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., hal 65.

71

(46)

2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan;dan

3. Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan.

Pembentukan, susunan, dan tata cara kerja balai pertimbangan pemasyarakatan dan tim pengamat pemasyarakatan ditetapkan keputusan menteri. Pegawai Lapas yang bertugas dalam pembinaan narapidana diperlengkapi dengan senjata api.72

Penetapan sistem pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan terpidana membawa suatu kesadaran, dimana kesadaran itu membawa Indonesia kepada faham “rehabilitation” yang berarti narapidana soyogianya tidak dipidana

melainkan diperbaiki (resosialisasi) semata-mata.73 Penjara tidak ada lagi di Indonesia. Konsep tempat berpijak dan kegiatan-kegiatan kepenjaraan sudah diubah dan diganti. Rumah penjara sekarang dinamakan Lapas.

Perubahan menuju yang lebih baik sudah dimulai, tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan, banyak Lapas di Indonesia yang belum melaksanakan perintah Undang-Undang Pemasyarakatan sepenuhnya, sehingga pembinaan dalam Lapas tidak berjalan optimal. Beberapa Lapas masih memiliki fasilitas yang kurang memadai, jumlah petugas yang kurang dan kurangnya disiplin dari petugas Lapas sendiri.

72

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tentang Pemasyarakatan, Pasal 48.

73

(47)

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pembinaan narapidana di Lapas dalam pandangan publik sering kali terkesan buruk, sebab tak jarang dari warga binaan yang dibina dan dibimbing dalam Lapas justru malah bertambah buruk bukannya bertambah baik. Prinsip pemasyarakatan pada dasarnya adalah terpidana yang dibina didalam Lapas tidak dimaksudkan membuat mereka menjadi lebih jahat, namun sebaliknya yaitu membina dan mendidik mereka agar menjadi manusia lebih baik. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pembinaan dan dapat kembali kemasyarakat serta tidak mengulangi lagi perbuatannya, adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri.74 Untuk dapat menumbuhkan perubahan dalam diri narapidana tersebut membutuhkan peran dari orang lain yang berada di sekitarnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan PP Nomor 31 Tahun 1999) pada Pasal 1 angka 1 menerangkan bahwa pembinaaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesionalitas, kesehatan jasmani, dan rohani narapidana dan anak didik narapidana. Lapas memiliki andil yang sangat besar dalam proses pembinaan narapidana dan warga binaan lainnya. Pasal 3 PP Nomor 31 Tahun 1999 kemudian menjelaskan bahwa pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian terhadap narapidana dan warga binaan lainnya, meliputi:

74

(48)

1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Kesadaran berbangsa dan bernegara; 3. Intelektual;

4. Sikap dan prilaku;

5. Kesehatan jasmani dan rohani; 6. Kesadaran hukum;

7. Reintegrasi sehat dengan masyarakat; 8. Keterampilan kerja;dan

9. Latihan kerja dan produksi.

Penanaman nilai-nilai agama merupakan nilai yang paling penting dalam pembinaan. perwujudan asas ini adalah dengan ditetapkannya hak narapidana untuk melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianut dari masing-masing narapidana. Semua asas-asas diatas harus dimuat dalam suatu sistem pembinaan yang dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi. Asas-asas ini sekaligus sebagai upaya perlindungan hak-hak narapidana. Peningkatan kualitas intelektual narapidana dilakukan melalui kegiatan pendidikan bagi narapidana di Lapas. Pendidikan dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan informal yang diselenggarakan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan dalam bentuk kursus, latihan keterampilan, dan sebaginya. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berfikir warga binaan pemasyarakatan.75

Pelaksanaan pembinaan selanjutnya diatur dalam, Pasal 7 PP Nomor 31 tahun 1999 menentukan bahwa pembinaan narapidana dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap yaitu tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya ditetapkan melalui sidang yang dilakukan oleh

75

(49)

tim pengamat pemasyarakatan berdasarkan data dari pembina pemasyarakatan, pengaman pemasyarakatan, pembimbing pemasyarakatan dan wakil narapidana.

Ketentuan mengenai waktu untuk tiap-tiap proses pembinaan tersebut diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 31 tahun 1999 selengkapnya menentukan :

(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf a bagi narapidana dimulai sejak dengan 1/3 ( satu pertiga) dari masa pidana.

(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) buruf b meliputi:

a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ ( satu perdua) dari masa pidana dan

b. Tahap lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 ( dua pertiga) masa pidana.

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. (4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),(2) dan

ayat (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. Pasal 10 PP Nomor 31 tahun 1999 kemudian menjelaskan bahwa pembinaan tahap awal dimulai dengan masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 bulan; perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian dan Pemilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. Pembinaan tahap lanjutan dimulai dengan Perencanaan program pembinaan lanjutan; Pelaksanaan program pembinaan lanjutan; Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. Pembinaan tahap akhir dilakukan dengan Perencanaan program integrasi; Pelaksanaan program integrasi; Pelaksanaan program integrasi;

(50)

perlakuan terhadap narapidana di Indonesia sejak tahun 1964 dengan rasionalisasi sebagai tujuannya, adalah bagaimana proses pembinaan narapidana itu dilaksanakan. Proses pemasyarakatan ditinjau dari segi keamanannya (security) dibagi menjadi 4 ( empat) tahap :

Tahap pertama, tahap maximum security terhadap narapidana dalam tahap

ini mendapat pengawasan ketat, kalau perlu penjagaan bersenjata, terutama bai narapidana yang berbahaya. Tahap ini sampai 1/3 masa pidana yang sebenarnya, tahap ini diawali dengan tahap oerientasi yaitu sejak masuk, didaftar, diteliti surat-surat vonisnya, lama pidananya, diperhitungkan kapan bebasnya dan lain-lain, da diadakan penelitian untuk meng

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2
Tabel.3

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh kebijakan dividen sebagai variabel moderasi terhadap profitabilitas dan nilai perusahaan adalah jika laba perusahaan tinggi, maka kemampuan perusahaan dalam

Hal ini juga dibenarkan oleh Suhardjo (1998), dengan memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan akan menjamin tercapainya perkembangan potensi

Pada kasus klien mengalami penurunan kesadaran disertai di alami penderita ± 2 hari, penurunan kesadaran terjadi secara tiba tiba setelah penderita kejang.saat kejang kaki dan

Dari seluruh responden dalam penelitian ini yaitu sebanyak 64 responden, didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi

1) Perusahaan AJB Bumiputera adalah salah satu perusahaan jasa yang bergerak pada asuransi jiwa, pengalaman yang diberikan sudah dari tahun 1912 membuktikan bahwa

Tahun 2008 diharapkan merupakan tahap kemandirian dan selanjutnya pada tahun 2008-2009 Dinas kesehatan dan Keluarga Berencana dapat mewujudkan apa yang menjadi

terkandung pada pada novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, 3) mendeskripsikan perbandingan nilai pendidikan yang terdapat pada struktur pembangun cerita

Perancis berarti layar). Selain pengangkatan karya sastra ke dalam bentuk film, ada juga fenomena pengalihan wahana dari film ke dalam bentuk novel yang sering disebut