• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

H. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja (UU tentang Cipker)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU tentang Desa) dibentuk dengan semangat penerapan konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ketentuan dalam konstitusi tersebut tergambarkan dalam salah satu tujuan dari pengaturan desa yaitu “memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada

dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia”.70

Selanjutnya, semangat konstitusi tersebut diejawantahkan dalam Pasal 6 UU tentang Desa yang mengklasifikasikan desa menjadi desa dan desa adat.

Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa. UU tentang Desa menggabungkan fungsi self-governing community (Desa Adat) dengan local

self government (Desa), yang diharapkan dengan adanya kesatuan

masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa dapat ditata sedemikian rupa dan dibedakan menjadi desa dan desa adat. Kedua jenis desa tersebut mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda.

PUSAT PUU BK DP R RI

101

Perbedaan antara Desa dengan Desa Adat yaitu dalam pelaksanaan hak asal usul, terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Pada dasarnya, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.

UU tentang Desa perlu dilakukan evaluasi dan analisis dalam Naskah Akademik RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan dikarenakan di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat dua klasifikasi desa, yaitu desa dan desa adat. Keterkaitan antara RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan dengan UU tentang Desa adalah mengenai pembentukan dan kewenangan desa adat. Pembentukan desa adat ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 97 UU tentang Desa, yaitu:

a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

PUSAT PUU BK DP R RI

102

c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan desa adat dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat desa dan sarana prasarana pendukung.71 Adapun status Desa dapat diubah menjadi desa adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi desa, dan desa adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.72

Keterkaitan lainnya yaitu mengenai kewenangan Desa Adat, Pasal 103 UU tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul meliputi: a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Ketentuan mengenai Desa Adat sebagai urusan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan perlu diatur di dalam RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 belum mengatur mengenai ketentuan tersebut. RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan juga diperlukan untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan peraturan

71Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

PUSAT PUU BK DP R RI

103

perundang–undangan di Indonesia terutama mengakomodir Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan perlu memperhatikan dan merujuk pada ketentuan dalam UU tentang Desa terkait pengaturan tentang desa dan desa adat.

I. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif

Undang-Undang tentang Ekonomi Kreatif ditujukan sebagai salah satu upaya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang mampu memajukan kesejahteraan umum, negara Indonesia harus mengoptimalkan seluruh sumber daya ekonomi, terutama mengoptimalkan kreativitas sumber daya manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi. Untuk mengoptimalkan SDM tersebut, diperlukan pengelolaan potensi Ekonomi Kreatif secara sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan pengarusutamaan Ekonomi Kreatif dalam rencana pembangunan nasional melalui pengembangan Ekosistem Ekonomi Kreatif yang memberikan nilai tambah pada produk Ekonomi Kreatif yang berdaya saing tinggi, mudah diakses, dan terlindungi secara hukum.

Pasal 4 UU tentang Ekonomi Kreatif lebih lanjut menjabarkan mengenai tujuan UU tersebut. Salah satu tujuan ekonomi kreatif dalam Pasal 4 huruf g adalah untuk mengarusutamakan ekonomi kreatif dalam Pembangunan Nasional. Selain itu, tujuan ekonomi kreatif berfokus kepada menciptakan ekoistem ekonomi yang mengutamakan potensi sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi sehingga dapat mensejahterahkan rakyat sebagaimana termuat dalam Pasal 4 huruf a sampai dengan huruf g tersebut.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 9 menyatakan bahwa pemerintah dan/ atau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam mengembangkan

PUSAT PUU BK DP R RI

104

ekosistem ekonomi kreatif. Dalam hal ini Pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan beserta Pemerintah kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan juga berkewajiban dalam mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif sesuai dengan potensi SDM dan SDA yang dimiliki.

Penataan daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan dalam RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan, didalamnya perlu mengatur mengenai upaya menjaga dan mengembangkan SDA dan SDM yang dimiliki sebagai khas kedaerahan. Pengembangan SDA dan SDM dalam suatu daerah berada dalam suatu pembagian urusan di bidang kepariwisataan. Ekonomi kreatif merupakan suatu upaya perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi. Sehingga pembagunan ekonomi kreatif menjadi penting dalam upaya penataan daerah di Sulawesi Selatan mengingat banyak kekhasan dan budaya daerah Sulawesi Selatan yang memiliki nilai jual tambah.

Pembagian kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya menciptakan nilai tambah dalam ekonomi kreatif di Daerah Sulawesi Selatan juga perlu mengacu pada pengembangan riset ekonomi kreatif sebgaimana termuat dalam Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa hasil pengembangan riset digunakan sebagai pembuatan kebijakan di bidang ekonomi kreatif. Dalam hal hubungannya terkait dengan penataan daerah Sulawesi Selatan dalam RUU tentang Sulawesi selatan menunjukkan bahwa kebijakan dibidang ekonomi kreatif yang berdasarkan hasil riset ekonomi kreatif dapat perlu mendukung pembangunan daerah dalam penataan di daerah Sulawesi Selatan.

Selain itu, penataan daerah Sulawesi Selatan dalam RUU tentang Sulawesi Selatan sangat terkait dengan pengadan fasilitas di daerah tersebut. Dalam UU tentang Ekonomi Kreatif mekanisme atau skema pembiayaan bagi ekonomi kreatif diatur dalam Pasal 16 ayat (1). Pasal tersebut menyatakan bahwa Pemerintah Pusatlah yang memiliki kewajiban untuk memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan

PUSAT PUU BK DP R RI

105

intelektual bagi pelaku ekonomi kreatif sedangkan pemerintah daerah dapat mengembangkan sumber pembiayaan alternatif diluar mekanisme lembaga pembiayaan sebagaimana termuat dalma Pasal 17 UU tentang Ekonomi Kreatif.

Lebih lanjut pengaturan mengenai kewajiban untuk mendorong penyediaan infrastruktur ekonomi kreatif dibebankan kepada pemerintah dan pemerintah daerah sebagimana termuat dalam Pasal 19 UU tentang Ekonomi Kreatif. Kewajiban untuk mendukung penyediaan baik sarana dan infrastruktur secar langsung akan berdampak kepada kebijakan yang perlu diatur dalam RUU tentang Sulawesi Selatan dengan memperhatikan ke khasan dan SDM serta SDA di daerah tersebut.

Oleh karena itu pengaturan dalam UU tentang Ekonomi Kreatif berisikan substansi yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU tentang Sulawesi Selatan karena terkait pertimbangan kebijakan yang perlu diambil dalam penataan daerah Sulawesi Selatan yang khususnya dibidang Ekonomi Kreatif, sehingga kebijakan yang akan diatur dalam RUU tentang Sulawesi Selatan menjadi kebijakan yang implementatif.

J. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan